Monday 25 February 2013

Filsafat Laqit


BAB I
PENDAHULUAN


A.           Latar belakang
           
            Mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggung jawaban Allah SWT Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.

B.            Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan al-Laqiith?
2.      Bagaimana hukum pengasuhan anak hilang?
3.      Bagaimana status anak hilang?
4.      Bagaimana harta warisan anak hilang?
5.      Filsafah al-Laqiith (manamukan anak hilang)?

C.                         Sistematika Penulisan
            Bab I      Pendahuluan
a.              Latar belakang
b.             Rumusan masalah
c.              Tujuan pembahasan
            Bab II     Pembahasan
            Bab III   Kesimpulan




BAB II
PEMBAHASAN

A.                Definisi
            Anak Hilang atau Laqiith (اللقيط) adalah anak kecil yang belum baligh yang ditemukan dijalan, yang tersesat atau anak yang tidak diketahui nasabnya (orang tuanya).

B.                 Hukum Pengasuhan Anak Hilang
            Anak hilang wajib dipelihara oleh masyarakat setempat dimana anak itu ditemukan atau oleh negara. Dalilnya adalah keumuman firman Allah ta’ala
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al Maidah ; 2)[1]
            Menurut ulama’ Hanafiah, memungut al-Laqiith adalah sangat di anjurkan dan termasuk amal yang sangat mulia, karena dengan memungutnya, berarti telah menyelamatkan hidup si anak, bahkan hukumnya bias menjadi fardhu kifayah. Jika seandainya si anak tidak dipungut, maka diduga kuat keselatatan anak terancam, seperti si anak di temukan berada dalam gua atau tempat-tempat berbahaya lainnya.
            Sementara itu, para imam lain mengatakan, memungut al-Laqiith hukumnya adalah fardhu kifayah, kecuali jika keselamatan hidup si anak terancam, maka hukumnya menjadi fardhu ‘ain.
            Di samping itu, terdapat sejumlah hukum cabang yang berkaitan dengan al-Laqiith, di antaranya adalah,
  1. Bahwa orang yang menemukan dan memungutnya (al-multaqith) lebih berhak terhadap al-Laqiith, sehingga jika mau, maka ia bisa berderma untuk merawat dan membiayai hidupnya. Atau bisa juga ia melaporkannya kepada hakim, untk selanjutnya hakim menunjuk seseorang untuk merawat dan mengasuh al-Laqiith dan biayanya dibebankan pada baitul mal (kas Negara). Karena fungsi baitul mal adalah untuk memenuhi berbagai kebutuhan seluruh kaum muslimin. Ini apabila memang al-Laqiith tidak memiliki harta. Jika ternyata al-Laqiith memiliki harta, seperti ketika al-Laqiith ditemukan, disampingnya ditemukan juga harta yang diperuntukkan juga baginya, maka biaya perawatan dan nafkahnya diambilkan dari harta al-Laqiith tersebut. Karena dengan begitu, berarti al-Laqiith bukanlah orang yang butuh, sehingga ia tidak memiliki hak terhadap sebagian harta baitul mal.
Hukum ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.[2]
            Seandainya al-multaqiith menafkahi al-Laqiith dengan menggunakan harta milik al-multaqith sendiri, maka apabila itu atas dasar izin dan rekomendasi dari hakim, maka ia bisa meminta ganti kepada al-Laqiith ketika sudah baligh nanti. Namun apabila itu tanpa seizin dan rekomendasi dari hakim, maka berarti biaya yang dikeluarkan oleh al-multaqith untuk menafkahi al-Laqiith itu adalah derma, sehingga kelak al-multaqiith tidak bisa meminta ganti kepada allaqiith ketika sudah baligh.
            Al-Laqiith statusnya adalah sama seperti luqathah (barang temuan), yatu sebagamana amanah di tangan al-multaqith.
  1. Bahwa perwalian atas al-laqith dalam urusan dirinya dan hartanya adalah ditangan hakim, yakni dalam kaitannya dengan urusan menjaga, mendidik, merawat, menikahkan dan malakukan pentasharufan terhadap hartanya. Hal ini berdasarkan hadits, “Sulthan adalah wali bagi orang-orang yang tidak memiliki wali”. Al-multaqith tidak memiliki perwalian atas al-Laqiith dalam hal menikahkan dan mentasharufkan hartanya.
            Apabila hakim menikahan al-Alaqiith, maka maharnya diambilkan dari baitul mal, kecuali jika al-Laqiith memiliki harta, maka maharnya diambilkan dari hartanya. Begitu juga biaya hidup, sandang, obat dan lain sebagainya yang dibutuhkan oleh al-Laqiith juga diambilkan dari baitul mal. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar ibnul Khathab r.a. Dan Ali ibnu Abi Thalib r.a juga, diantara fungsi baitul mal adalah digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan orang-orang yang sedang butuh seperti al-Laqiith dan orang yang menderita sakit menahun yang tidak mampu bekerja lagi dan tidak memiliki harta. Juga karena harta pusaka al-Laqiith adalah dimasukkan ke dalam baitul mal, berdasarkan prinsip, hasil keuntungan untuk pihak yang menanggung kerugian, yakni karena kelak hasil keuntungan al-Laqiith (dalam hal ini yaitu harta pusakanya) dan diyat yang berhak ia dapatkan seandainya ia menjadi korban tindak kriminal fisik adalah untuk baitul mal, maka oleh karena itu, baitul mal juga yang harus menanggung kerugiannya (yakni biaya hidup yang dibutuhkan oleh al-Laqiith).
  1. Al-Laqiith statusnya adalah mereka dan muslim. Karena status asal manusia adalah merdeka, sementara kaidah mengatakan, bahwa status sesuatu di hukumi sesuai dengan status asalnya, hingga ada hal yang mengubahnya. Juga karena tempat dimana al-Laqiith di temukan adalah masuk kawasan negeri islam dan negeri merdeka. Sehingga al-Laqiith yang ditemukan di dalam kawasan negeri islam, maka ia dihukumi sesuai dengan status asalnya, yaitu merdeka dan si anak juga ditetapkan sebagai seorang muslim mengikuti tempat dimana ia di temukan
            Berdasarkan hal ini, maka apabila ada seorang islam menemukan al-Laqiith di kawasan negeri islam maka al-Laqiith di tetapkan sebagai orang islam, bahkan jika seandainya al-Laqiith itu mati, maka ia dimandikan, di sholati, dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin. Adapun jika al-Laqiith di temukan di dalam gereja, atau di dalam sinagog (tempat ibadah kaum yahudi), atau di perkampungan yang penghuninya tidak ada yang beragama islam, baik apakah yang menemukannya adalah seorang muslim atau orang kafir dzimmi, maka status al-Laqiith itu dihukumi sebagai kafir dzimmi karena didasarkan pada pertimbangan dzahir atau lahiriyahnya. Seandainya ada seorang kafir dzimmi menemukan al-Laqiith di kawasan negeri islam , maka al-Laqiith itu dihukumi sebagai orang islam, dengan kata lain yang menjadi pertimbangan ata patokannya disini adalah tempat dimana al-Laqiith di temukan.
            Sementara itu, dalam riwayat an-nawaadir menurut ibnu samma’ah, bahwa dalam hal ini yang diperhatikan dan menjadi patokan adalah orang yang menemukan. Dengan kata lain status al-Laqiith apakah iya dihukumi dan ditetapkan sebagai orang islam ataukah kafir dzimmi, disesuaikan dengan orang yang menemukannya, tanpa mempertimbangkan tempat dimana ia ditemukan. Jadi, apabila yang menemukan al-Laqiith adalah seorang muslim, maka status al-Laqiith di tetapkan sebagai orang islam, baik apakah ia ditemukan di kawasann orang islam maupun di kawasan non islam begitu juga sebaliknya, apabila yang menemukan al-Laqiith adalah orang kafir dzimmi, baik apakah ia ditemukan di kawasan islam ataupun  kawasan non islam. Alasannya adalah, karena posisi “tangan” (dalam hal ini adalah pemungutan). Lebih kuat dari posisi tempat ( dalam hal ini adalah tempat dimana al-Laqiith di temukan).
            Dalam sebuah riwayat lain di sebutkan bahwa, al-Laqiith di tetapkan sebagai orang islam, disesuaikan orang yang menemukannya atau lokasinya.
            Al-Kasani mengatakan bahwa yang benar adalah riwayat ini. Maka karena itu, apabila  al-Laqiith ditemikan oleh seorang muslim di kawasan islam, maka al-Laqiith di tetapkan sebagai orang islam, mengikuti tempat dimana ia ditemukan. Apabila al-laqiit di temukan oleh orang kafir di kawasan islam, maka al-Laqiith di tetapkan sebagai orang islam. Atau al-Laqiith ditemukan oleh orang kafir dzimmi atau seorang muslim di dalam gereja, maka statusnya ditetapkan sebagai kafir dzimmi.[3]
            Jadi dalam hal ini terdapat tiga pendapat. Pertama, yang menjadi pertimbangan dan patokannya adalah tempat dimana al-Laqiith di temukan. Kedua, yang menjadipertimbangan adalah orang yang menemukannya. Ketiga, yang menjadi pertimbangannya adalah te,pat dimana al-Laqiith di temukan atau orang yang menemukannya. Menurut ulama’ hanafiyyah pendapat yang ketiga inilah yang lebih shahih.
            Sementara itu, ulama’ syafi’iyyah dan ulama’ hanabilah mengatakan apabila al-Laqiith di temukan di kawasan islam, maka ditetapkan sebagai orang islam. Apabila ditemukan di kawasan non islam (kafir), maka al-Laqiith di tetapkan sebagai orang kafir dengan syarat di kawasan itu tidak di temukan satupun orang islam, seperti orang islam yang menjadi tawanan atau orang islam yang berniaga di kawasan itu, namun apabila di kawasan non islam itu di temukan ada orang islam di dalamnya, maka al-Laqiith itu di tetapkan sebagai orang islam menurut pendapat yang lebih shahih,[4] sebagai bentuk memenangkan dan mengunggulkan unsur islam, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh imam ahmad dan Ad-Daruquthni, “ Islam itu unggul dan tidak ada yang mengungguli”.
  1. Hukum nasab al-Laqiith, al-Laqiith atau anak pungut di anggap sebagai orang yang tidak di ketahui nasabnya, sehingga jika seandainya ada seseorang yang mengakui bahwa nasab al-Laqiith adalah kepadanya, maka pengakuan itu diterima dan sah.
            Berdasarkan hal ini, maka seandainya al-Multaqith (orang yang menemukan dan memungut al-Laqiith) atau orang lain mengakui dan mengklaim bahwa al-Laqiith itu adalah anaknya, maka pengakuan itu di terima tanpa harus ada bayyinah (saksi), sebagai bentuk al-Istihsaan, namun jika dilihat dari sudut pandang qiyas, maka pengakuan itu tidak diterima kecuali dengan di dasari adanya bayyinah.
            Arah qiyas jelas, yaitu bahwa orang yang bersangkutan mengakui dan mengklaim sesuatu yang mengandung kemungkinan ada dan tidak ada. Maka oleh karena itu, dari sini harus ada salah satu dari dua kemungkinan itu yang diunggulkan dan dimenangkan dengan berdasarkan pada suatu pertimbangan yang bisa diterima, yaitu bayyinah, sementara disini tidak di temukan bayyinah.
            Sedangkan arah al-Istihsaan adalah, bahwa klaim itu adalah sebuah pengakuan yang bermanfaat dan memberi dampak positif bagi al-Laqiith. Karena dengan memiliki nasab, status al-Laqiith bisa menjadi terhormat seperti anak-anak yang lain, berbeda dengan jika ia menjalani hidup tanpa memiliki nasab.
            Membenarkan dan menerima klaim dari orang yang bersangkutan tersebut dalam masalah seperti ini, tidak perlu dengan adanya bayyinah. Akan tetapi jika yang mengklaim itu adalah orang kafir dzimmi, maka klaimnya tersebut tetap diterima dan al-Laqiith itu di nasabkan kepadanya, namun status keagamaannya al-Laqiith ditetapkan sebagai orang islam. Karena klaim nasab yang diterima adalah dalam hal-hal yang bermanfaat dan baik bagi al-Laqiith, bukan yang merugikan. Keberadaan al-Laqiith sebagai anak orang kafir dzimmi yang mengklaim nasabnya itu tidak mesti ia juga kafir. Sama seperti dalam kasus ada salah satu pasangan suami istri masuk islam, maka anak itu mengikuti salah satu dari kedua orang tuanya yang baik agamanya (yaitu yang beragama islam), sebagaimana yang sudah diketahui bersama.
            Seandainya ada dua orang, sebut saja si A dan si B, keduanya mengklaim bahwa al-Laqiith itu adalah anaknya, namun mereka berdua sama-sama tidak memiliki bayyinah, sementara salah satu di antara mereka berdua sebut saja si A adalah Muslim, sedangkan si B adalah kafir dzimmi, maka yang lebih layak diterima adalah klaim si A, karena itu adalah yang lebih bermanfaat dan baik bagi al-Laqiith.
            Namun apabila keduanya sama-sama Muslim dan berstatus orang merdeka, maka menurut ulama Hanafiyyah, siapa diantara keduanya mengenali suatu tanda pada tubuh al-Laqiith, maka dirinyalah yang lebih berhak di terima klaimnya. Karena dengan dirinya mampu menyebutkan dan mengenal suatu anda fisik pada tubuh al-Laqiith, maka itu mengindikasikan bahwa sebelumnya al-Laqiith itu berada ditangannya. Maka oleh karena itu, zahirnya adalah, al-Laqiith itu untuknya. Hal ini didasarkan pada ayat yanag menceritakan tentang kisah nabi Yusuf as.
bÎ) šc%x. ¼çmÝÁŠÏJs% £è% `ÏB 9@ç6è% ôMs%y|Ásù uqèdur z`ÏB tûüÎ/É»s3ø9$# ÇËÏÈ   bÎ)ur tb%x. ¼çmÝÁŠÏJs% £è% `ÏB 9ç/ߊ ôMt/xs3sù uqèdur
z`ÏB tûüÏ%Ï»¢Á9$# ÇËÐÈ    
"Jika baju gamisnya koyak di muka, Maka wanita itu benar dan Yusuf Termasuk orang-orang yang dusta. dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita Itulah yang dusta, dan Yusuf Termasuk orang-orang yang benar."[5]
            Namun apabila keduanaya tidak ada yang bisa menyebutkan dan mengenali suatu tanda fisik pada tubuh al-Laqiith, atau kedua-duanya sama-sama mengajukan bayyinah, maka diputuskan bahwa al-Laqiith adalah anak mereka berdua. Karena disini, tidak ada di antara mereka berdua yang bisa diangap lebih berhak. Keputusan ini juga diriwayatkan dari Umar Ibnu Khaththab r.a. dalam kasus yang serupa, ia berkata,”al-Laqiith itu adalah anak mereka berdua, al-Laqiith berhak mewarisi harta pusaka mereka berdua dan mereka berdua sama-sama berhak mewarisi harta pusaka al-Laqiith.”
            Aabila salah satunya mengajukan bayyinah, sedangkan yang lain mengyebutkan dan mengenali tanda fisik tubuh al-laqiit, maka klaim nasab yang lebih berhak diterima adalah klaim pihak yang mengajukan bayyinah. Karena ia adalah pihak yang memiliki landasan yang menguatkan posisinya, yaitu bayyinah.
            Sementara itu, ulama’ syafi’iyyah menagatakan, apabila ada dua orang sama-sama mengaku dan mengklaim bahwa al-Laqiith it u adalah anaknya, sementara tidak ada di antara mereka berdua yang memiliki bayyinah, maka langkah yang diambil untuk memutuskan adalah dengan menggunakan jasa al-qaa’if (pakar mengenali nasab dengan berdasarkan pengamatannya terhadap kemiripan-kemiripan yan ada), maka siapa yang diantara mereka berdua yang dinyatakan sebagai orang tua al-Laqiith oleh al-qaa’if, maka dialah orang tuanya. Karena dalam kasus-kasuus ketidakjelasan nasab seseorang, maka yang dijadikan rujukannya adalah hasil pengamatan dan penelitian al-qaa’if.[6]
            Apabia ada seorang perempuan mengaku dan mengklaim bahwa al-Laqiith adalah anaknya, maka apabila ia perempuan tidak besuami, maka klaimnya itu tidak bisa diterima. Namun apabila ia perempuan yang bersuami, lalu si suami membenarka klaim isterinya itu,atau ada bidan yang bersaksi untuknya, atau ada dua orang saksi laki-laki yang memberikan kesaksian untuknya, maka klaimnya itu diterima.
            Seandainya ada dua orang perempuan sama-sama mengklaim dan mengakun bahwa al-Laqiith itu adlah anaknya, maka siapa diantara mereka berdua yang bisa mengajukan bayyinah, maka klaimnya itulah yang diterima. Jika kedua-duanya sama-sama mengajukan bayyinah, maka menurut imam Abu Hanifah, al-Laqiith itu ditetapkan sebagai anak mereka berdua. Sedangkan menurut Abu Yusuf, klaim keduanya sama-sama ditolak dan al-Laqiith atidak ditetapkan sebagai anak salah satu dari mereka berdua.[7]
           

C.                 Status Anak Hilang
            Bagaimanaka status agama atau kemerdekaan anak tersebut. apakah dia beragama islam atau bukan. Apakah dia anak merdeka atau bukan. Padahal tidak terdapat keterangan atau saksi yang mengetahui status anak hilang tersebut.
            Untuk menjawab pertanyaan pertama maka dikembalikan kepada keadaan lingkungan atau negara tempat anak hilang tersebut ditemukan. Jika anak tersebut diketemukan di negeri atau kampung yang kaum muslimin menjadi mayoritas penghuninya. Anak tersebut dihukumi sebagai seorang muslim. Begitupun jika ia didapati berada di negeri nonmuslim maka anak tersebut dihukumi sebagai non muslim.
            Terkait status anak tersebut apakah budak atau merdeka maka kembalikan pada hukum asal manusia yaitu sebagai makhluk yang merdeka. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah atsar. Abi Sunain seorang lelaki dari bani Sulaim berkata: saya pernah menemukan anak hilang, maka untuk mengetahui hukumnya kudatangi Khalifah Umar bin Khotob Radhiallahu anhu. Ketika bertemu beliau, ada seorang lelaki berkata kepada umar mengenai diriku: “wahai khalifah dia (Abu Sunain) adalah lelaki yang shalih!”. Umar berkata: “benarkah demikian keadaan lelaki tersebut?” “benar demikian wahai khalifah!”. Maka Umar berkata: pulanglah dan bawa anak itu bersamamu, anak tersebut adalah anak yang merdeka, kamu adalah wali baginya adapun. Adapun nafkah anak tersebut adalah tanggung jawab kami
            Atsar ini juga merupakan dalil bahwa nafkah anak hilang berada dalam tanggungan negara. Jelas disebutkan bahwa Umar Radhiallahu anhu mengambil keputusan bahwa biaya sehari-hari anak tersebut dibayar oleh beliau dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Sebagai muslim tentunya kita diperintahkan untuk meneladani sahabat Radhiallahu anhum. Terlebih khulafa rasyidin yang mana Nabi tegaskan secara khusus perintah untuk mengikuti jejak mereka. Dan Umar Raadhiallahu anhu termasuk salah satu dari khulafa rasyidin.

D.                Harta Warisan Anak Hilang
            Jika ditemukan bersama anak hilang harta yang merupakan milik anak tersebut. maka harta tersebut digunakan oleh pengasuhnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak tersebut. adapun jika kemudian anak itu meninggal dan meninggalkan harta. Maka harta benda peninggalannya menjadi milik negara. Begitupula jika anak itu dibunuh lantas pembunuhnya membayar diyat secara otomatis harta diyat menjadi milik negara.[8]



E.                 Filsafah Laqiith (Menemukan Anak Hilang)
            Secara bahasa, Laqiith adalah isim fa'il dari lafal laqatha yang mempunyai makna isim maf’ul, yang berarti barang yang ditemukan atau dipungut. Dalam pengertian syara’nya, Laqiith adalah sebutan bagi anak hilang yang kemudian ditemukan, atau anak yang biasa dipungut atau diangkat.
            Penyebutan lafal dengan nama akibat (dipungut) adalah karena adat atau kebiasaan. Dan, menyebutkan sesuatu dengan nama akibat merupakan sesuatu yang sah-sah saja dan hal itu sering terjadi, sebagaimana dalam firman Allah SWT., dalam QS. Yusuf 36
þÎoTÎ) ûÓÍ_1ur& çŽÅÇôãr& #\ôJyz (
"Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur."                                                      
            Dan firman Allah dalam QS. al-Zumar 30,
y7¨RÎ) ×MÍhtB Nåk¨XÎ)ur tbqçFÍh¨B
“ Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula).”

            Anggur disebut sebagai khamar dan yang mati disebut de­ngan mayit adalah dengan menggunakan nama akibat. Hikmah dalam Laqiith adalah kembali pada pahala yang amat besar bagi orang yang memungut dan mengangkat anak ini. Karena dengan melakukan hal tersebut, berarti seseorang telah memberi ke­hidupan kepada jiwa yang suci yang belum melakukan dosa sekecil apa pun.
            Allah berfirman dalam QS., al-Maidah 32
ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_
“ Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya “.

            Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Ali dengan membawa anak pungut, kemudian Ali berkata, Dia bebas dan aku berharap dapat menjadi penanggung jawab atas dirinya sebagaimana engkau menjaganya. Aku lebih memilih anak ini daripada melakukan perbuatan ini dan ini (ia menghitung beberapa amal kebaikannya).
            Maka lihatlah wahai orang yang dijaga oleh Allah, bagai­mana Ali sangat menyukai perbuatan Laqiith (memungut anak). Bahkan, sampai-sampai la mengunggulkannya dari amalan amalan kebaikan lainnya. Hal itu tidak lain karena adanya pahala yang amat besar di dalam perbuatan tersebut.
            Pemerintah non-Islam sangat peduli sekali terhadap anak­-anak pungut, dan menempatkan mereka pada panti asuhan atau tempat penampungan yang luas. Setelah mereka tumbuh besar, mereka dimasukkan ke dalam sekolah dan diberi pendidikan yang balk. Akhirnya, mereka dapat tumbuh sebagai orang yang terdidik dan terpelajar serta bermanfaat bagi dirinya dan bangsanya di kemudian hari.
            Seharusnya yang lebih layak melakukan hal itu adalah pemerintahan Islam. Pasalnya, agama Islam telah memerintah­kan untuk memperlakukan anak-anak pungut ini dengan sebaik baiknya, agar rnereka dapat tumbuh sebagai orang yang berilmu dan menjadi partisipan dalam kegiatan sosial.



Daftar Pustaka
           
           
            Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wa Al-Kitab Al-’Aziz, Dr. Abdul Azhim Al-Badawi, Dar Ibnu Rajab, 2001
           Al-Badaa’I, juz 6
           Mughnil Muhtaj, Juz 2
           Al-Mughni, Juz 5
           Fiqh Islam Wa Adllatuhu, Juz 6, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Darul Fikr, Damaskus, 2007 M


[1] Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wa Al-Kitab Al-’Aziz, Dr. Abdul Azhim Al-Badawi, Dar Ibnu Rajab, 2001
[2] Al-Mughni, Juz 5 halaman 683
[3] Al-Badaa’I, juz 6, hlm 198
[4] Mughnil Muhtaj, Juz 2, hlm 422, Al-Mughni, Juz 5 hlm. 681
[5] QS. Yusuf 26-27
[6] Mughnil Muhtaaj, juz 2, hlm. 428.
[7] Fiqh Islam Wa Adllatuhu, Juz 6, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Darul Fikr, Damaskus, 2007 M
[8] al-wajiz fi Fiqh As-Sunnah wa Al-Kitab Al-’Aziz, Dr. Abdul Azhim Al-Badawi, Dar Ibnu Rajab, 2001

No comments :