Monday 25 February 2013

Filsafat Ihya'ul Mawat

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tanah mati adalah tanah yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain. Menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) itu artinya mengelola tanah tersebut, atau menjadikan tanah tersebut layak untuk ditanami dengan seketika. Tiap tanah mati, apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik orang yang bersangkutan. Syara’ telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya.
Politik hukum pertanahan pada jaman HB dengan asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kaula Negara tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan. Menurut Agrarische Wet pemerintah HB bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan setelah Indonesia merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa.
Hukum agraria Negara RI bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal 33 ayat 3
).




B.     Rumusan Masalah
a.       Pengertian  Fiqih Ihya’ul Mawat ?
b.      Fatwa Ihya’ul Mawat?
c.       Hikmah Ihya’ul Mawat ?
C.     Tujuan
a.       Untuk menjelaskan Fiqih Ihya’ul Mawat ?
b.      Untuk menjelaskan Fatwa Ihya’ul Mawat?
c.       Untuk menjelaskan Hikmah Ihya’ul Mawat ?
D.    Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini di bagi menjadi 3 bab, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, Pada bab ini yang merupakan pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : PEMBAHASAN, Pada bab ini diuraikan mengenai pengertian dari ihya’ul mawat, dasar hukum, dan aplikasinya dalam Negara Indonesia.
BAB III : PENUTUP, Pada bab penutup ini berisikan tentang kesimpulan dari materi Ihya’ul Mawat dan saran atas paper yang telah dibuat ini.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Fiqih Ihya’ul Mawat
Bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Dikatakan salah satu cara, karena timbulnya hak milik atau cara memperoleh hak milik itu dapat ditempuh dengan empat jalan, yaitu ihkraj al-mubahat, aqad pemindahan hak milik, al-khalafiyah dan tawallud mim mamluk.
Ihrasul mubahat (penguasaan terhadap bendabenda mubah)
Dimaksudkan dengan benda mubah ialah “harta yang tidak masuk ke dalam milik yang dihormati (milik seseorang yang sah) dan tidak ada suatu penghalang yang dibenarkan syara’ dari miliknya.[1]
Seperti air yang tidak dimiliki seseorang, rumput dan pepohonan di hutan belantara yang tidak dimiliki orang dan binatang buruan serta ikan-ikan di laut, dan api yang tidak dimiliki seseorang. Menguasai benda mubah dilakukan dengan :
a.       Ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati)
b.      Berburu
c.       Menguasai tambang dan harta karun.[2]
Adapun arti “bumi mati” sebagaimana pendapat imam Rafi’i tersebut didalam syarkhus shaghir , yaitu bumi yang tidak ada pemiliknya dan belum ada seorangpun yang mengambil manfaat bumi tersebut.
Ihyaul Mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh dengan dua syarat yaitu:
a.       Bahwa orang yang menghidupkan itu adalah orang islam, maka disunahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun imam mengijinkan atau tidak.
Adapun kafir dzimmi, kafir muahad dan kafir mustakman, mereka semua tidak boleh menghidupkan bumi mati, meskipun imam mengijinkan mereka.
b.      Bumi yang ada itu jelas belum ada seorang islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan bahwa bumi itu dalam setatus jelas merdeka.[3]
Tanah mawat, yaitu tanah yang belum pernah dimakmurkan sama sekali. Asal hukum ini berdasarkan hadits nabi SAW. :
من احيى أرضا ميتة فهي له, وليس لعرق ظالم حق
“Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada tangan yang dzalim berhak kepadanya”.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi, dan kata At-Tirmizi, hadits ini adalah hasan (baik).
Yang dimaksud dengan kalimat Irq, yang diterjemahkan pada “tangan”, atau “kuasa”, tidak boleh bagi mereka untuk bercocok tanam pada tahan itu, tidak boleh membangun diatas tanah itu, tidak boleh mengorek sungai atau perigi.
Ketahuilah, bahwa ihya’ atau menghidupkan tanah mati itu hukumnya sangat dituntut, sesuai dengan sabda nabi SAW.
من أحيى أرضاميتة فله فيها أجر, وماأكله العوافي فهو له صدقة
“barang siapa menghidupkan  tanah mati, maka baginya ada pahalanya dan apa yang dimakan oleh binatang, maka itu merupakan sedekah daripadanya.”
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Yang disebut binatang didalam hadits tadi termasuk, burun, binatang liar dan binatang buas.
Jadi semua orang yang boleh memiliki harta dibolehkan menghidupkan tanah, atau membuka tanah, kemudian dimilikinya tanah mati yang dihidupkannya itu, karena itu adalah milik dengan sebab perbuatannya menghidupkan tanah mati itu. Jadi perkaranya sama dengan kerja memburu dan mengutip kayu-kayuan dan sebagainya.
Tidak ada perbedaan dalam hal memiliki tanah mati itu dengan diizinkan oleh penguasa (pemerintah) atau tidak, tetapi mencukupilah dengan keizin penghulu dari sekalian orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terbelakang, yaitu Nabi Muhammad SAW.
B.     Fatwa Ihya’ul Mawat
Hak-hak atas tanah
1.      Hak milik
a.       Dasar hukum untuk pemilikan hak milik atas tanah yaitu pasal 20-27 UUPA
b.      Mempunyai sifat turun temurun
c.       Terkuat dan terpenuh
d.      Mempunyai fungsi social
e.       Dapat beralih atau dialihkan
f.       Dibatasi oleh ketentan sharing (batas maksimal) dan dibatasi oleh jumlah penduduk
g.      Batas waktu hak milik atas tanah adalah tidak ada batas waktu selama kepemilikan itu sah berdasar hukum
h.      Subyek hukum hak milik atas tanah yaitu WNI asli atau keturunan, badan hukum tertentu
2.      Hak guna bangunan
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 29 UUPA untuk perusahaan pertanian atau peternakan.
a.       Jangka waktu 25 tahun dan perusahaan yang memerlukan waktu yang cukup lama bisa diberikan selama 35 tahun
b.      Hak yang harus didaftarkan
c.       Dapat beralih karena pewarisan
d.      Obyek HGU yaitu tanah negara menurut pasal 28 UUPA pasal 4 ayat 2, PP 40/96
Apabila tanah yang dijadikan obyek HGU tersebut merupakan kawasan hutan yang dapat dikonversi maka terhadap tanah tersebut perlu dimintakan dulu perlepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan (pasal 4 ayat 2 UUPA, PP 40/96).
Apabila tanah yang dijadikan obyek HGU adalah tanah yanh sah mempunyai hak maka hak tersebut harus dilepaskan dulu (pasal 4 ayat 3, PP 40/96)
Dalam hal tanah yang dimohon terhadap tanaman dan atau bangunan milik orang lain yang keberadaannya atas hak yang ada maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut harus mendapat ganti rugi dari pemegang hak baru (pasal 4 ayat 4, PP 40/96)
Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan pengujian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis dalam bentuk peta  dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
  • Data fisik adalah keterangan atas letak, batas, luas, dan keterangan atas bangunan.
  • Persil adalah nomor pokok wajib pajak.
  • Korsil adalah klasifikasi atas tanah.
  • Data yuridis adalah keterangan atas status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban lain yang membebaninya.
Dasar hukum pendaftaran tanah :
UUPA pasal 19, 23, 32, dan pasal 38. PP No 10/1997 tentang pendaftaran tanah dan diganti dengan PP No 24/1997
Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 PP 24/1997 yaitu memberikan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah meliputi :
a.       Kepastian hukum atas obyek atas atas tanahnya yaitu letak, batas dan luas.
  1. Kepastian hukum atas subyek haknya yaitu siapa yang menjadi pemiliknya (perorangan dan badan hukum)
  2. Kepastian hukum atas jenis hak atas tanahnya (hak milik, HGU, HGB)
Tujuan pendaftaran tanah (pasal 3 PP 24 Tahun 1997)
a.       Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
  1. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang mudah terdaftar.
  2. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
  3. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam satu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
  4. Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
  5. Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satuan-satuan rumah susun.
  6. Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
  7. Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin
  8. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.
  9. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
  10. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
  11. Tujuan wakaf (pasal 4 UU No. 41/2004) yaitu memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya
  12. Fungsi wakaf (pasal 5) yaitu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
C.     Penerapan Hukum Pertanahan Dalam Negara Indonesia
Menurut UUPA Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:
1.      Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional
2.      Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
3.      Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.
Berdasarkan tujuan pembentukan UUPA tersebut maka seharusnyalah kaidah-kaidah hukum agraria dibicarakan oleh suatu cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, yaitu cabang ilmu hukum agraria. Menurut Prof Suhardi, bahwa untuk dapat menjadi suatu cabang ilmu harus memenuhi persyaratan ilmiah yaitu:
1.      Persyaratan obyek materiil Yaitu bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
2.      Persyaratan obyek formal Yaitu UUPA sebagai pedoman atau dasar dalam penyusunan hukum agraria nasional
Berdirinya cabang ilmu hukum agraria kiranya menjadi sebuah tuntutan atau keharusan, karena:
1.      Persoalan agraria mempunyai arti penting bagi bangsa dan negara agraris.
2.      Dengan adanya kesatuan/kebulatan, akan memudahkan bagi semua pihak untuk mempelajarainya.Disamping masalah agraria yang mempunyai sifat religius, masalah tanah adalah soal masyarakat bukan persoalan perseorangan.
D.    Filsafat Ihya’ul Mawat
Al-Mawaat merupakan sebutan dari lahan tanah yang tidak terkena air. Sebagaimana pertanian merupakan sumber kekaya­an terbesar dan mata pencarian, menghidupkan tanah yang mati mempunyai faedah yang amat besar yang hikmahnya kembali pada enam manfaat yaitu :
1.      Menghidupkan tanah yang telah mati
2.      Memperluas lahan pencarian rezeki manusia.
3.      Pengambilan manfaat bagi seorang imam untuk Baitul Mal umat Islam sebanyak sepersepuluh dan juga pajak dari tanah ini yang kemudian membaginya kepada yang berhak.
4.     Mendorong manusia untuk berusaha dan bekrja mencari rizki dalam hidup ini disamping untuk tempat tinggal
5.     Agar manusia hidupnya tidak berkumpul dsalam suatu tempat dan agar tidak berdesak-desakan karena kekurangan lahan untuk tempat tinggal
6.     Agar manusia mensyukuri atas kekuasaan Alloh bahwa bumi ini dijadikan untuk manusia.
Dan, tidak asing lagi bahwa orang yang menghidupkan lahan mati dengan izin imam setelah itu, maka ia menjadi pemiliknya. Apabila orang tersebut fakir, maka akan menjadi orang kaya yang mempunyai kepemilikan hingga menyelamat­kan dirinya dari jeratan kefakiran.
Semoga Allah menghindarkan kami dan kalian semua dari hal itu, dan ini merupakan nikmat terbesar yang dapat diperoleh.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Al-Mawaat merupakan sebutan dari lahan tanah yang tidak terkena air. Sebagaimana pertanian merupakan sumber kekaya­an terbesar dan mata pencarian, menghidupkan tanah yang mati mempunyai faedah yang amat besar yang hikmahnya kembali pada tiga manfaat.
a.       Menghidupkan tanah yang telah mati
b.      Memperluas lahan pencarian rezeki manusia.
c.       Pengambilan manfaat bagi seorang imam untuk Baitul Mal umat Islam sebanyak sepersepuluh dan juga pajak dari tanah ini yang kemudian membaginya kepada yang berhak.
d.      Mendorong manusia untuk berusaha dan bekrja mencari rizki dalam hidup ini disamping untuk tempat tinggal
e.       Agar manusia hidupnya tidak berkumpul dsalam suatu tempat dan agar tidak berdesak-desakan karena kekurangan lahan untuk tempat tinggal
f.       Agar manusia mensyukuri atas kekuasaan Alloh bahwa bumi ini dijadikan untuk manusia.
Dan, tidak asing lagi bahwa orang yang menghidupkan lahan mati dengan izin imam setelah itu, maka ia menjadi pemiliknya. Apabila orang tersebut fakir, maka akan menjadi orang kaya yang mempunyai kepemilikan hingga menyelamat­kan dirinya dari jeratan kefakiran.
Semoga Allah menghindarkan kami dan kalian semua dari hal itu, dan ini merupakan nikmat terbesar yang dapat diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Alhusaini KIFATAUL AKHYAR
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqih Muamalah , Semarang : Pustaka Rezeki Putra.
Muhammad Yusuf Musa, al-Madkhal  li Fiqh al-Islami, Mesir: Maktabah Abdullah Wahbah.
Abu Abdillah Muhammad Bin Qasim TAUSYEKH ALA FATHUL QARIB MUJIB Indonesia : kharomain
                        UUPA No: 5 Tahun 1960
                        www.lawcommunity.com


[1] TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqih Muamalah , Semarang : Pustaka Rezeki Putra, 2001, hlm. 12.
[2] Muhammad Yusuf Musa, al-Madkhal  li Fiqh al-Islami, Mesir: Maktabah Abdullah Wahbah,, 1955, hlm. 375.
[3] Abu Abdillah Muhammad Bin Qasim TAUSYEKH ALA FATHUL QARIB MUJIB Indonesia : kharomain hal 170

No comments :