BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Operasi
Plastik
Contoh-contohnya
:
1.
Menghilangkan
jari yang berlebihan atau memisahkan dua jari yang saling menempel
2.
Menghilangkan
belang bekas luka bakar
3.
Memisahkan
bayi kembar siam
4.
Memperbaiki
bibir yang sumbing
5.
Menghilangkan
gigi yang lebih (gingsul)
6.
Menghilangkan
bulu yang tidak normal pada wanita, misalnya kumis dan jenggot.
Hal-hal tersebut semuanya boleh dilakukan, karena
itu adalah penyakit, dan menghilangkannya berarti mengambil sebab kesembuhan
yang dianjurkan dalam Islam.
Adapun operasi plastik untuk mempercantik diri yang
sifatnya menipu atau mengubah sesuatu yang pada dasarnya bukan cacat atau
penyakit, hukumnya haram. Misalnya : operasi kulit wajah supaya tidak kelihatan
tua, mengikir gigi supaya kelihatan kecil dan rapi, serta menyambung rambut
dengan rambut palsu (wig).
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata – dalam Fath Al
Bari – “Dikecualikan dari itu semua adalah menghilangkan atau merubah
sesuatu yang memang dapat membahayakan, seperti gigi yang terlalu panjang
hingga mengganggu , atau jari yang jumlahnya lebih hingga membuat repot atau
menyakitkan. Menghilangkan semua itu diperbolehkan, baik bagi pria maupun
wanita.”
Dalam Al-Qur’an Allah SWT menyebutkan perkataan
Iblis, “…dan aku akan suruh mereka (merubah ciptaan Allah) lalu mereka
benar-benar merubahnya.” (QS. An-Nisaa’ (4) : 119 )
Ibnu Mas’ud RA berkata, “Allah SWT melaknat wanita
yang bertato dan memasangkan tato , yang mencukur bulu alis, dan yang mengikir
gigi untuk mempercatntik diri. Mereka semua merubah ciptaan Allah. Bagaimana
aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah SAW? “ ( HR
Al-Bukhari dan Muslim )[1]
Dalam literatur lain dijelaskan bahwa operasi
plastik dengan alasan kecantikan telah dibahas oleh ulama jauh sebelum kemajuan
bidang kedokteran dan operasi plastik. Ulama-ulama masa lampau mengharamkan
perubahan bentuk fisik manusia , lebih-lebih kalau hanya didasarkan
pertimbangan kecantikan. Pengubahan itu dinilai sebagai tidak menerima
ketetapan Allah. Bukankah , kata mereka, manusia telah diciptakan Allah dalam
bentuk sebaik-baiknya? (lihat QS At-Tiin [95] : 5 )
Dalil-dalil terperinci yang mereka kemukakan antara
lain firman Allah dalam Surah Ar-Ruum (30) : 30,…jangan lakukan/tidak
dibenarkan perubahan dalam ciptaan Allah. Juga surah An-Nisaa’ (4) : 119,
yang menginformasikan sumpah setan,… dan akan saya suruh mereka memotong
telinga-telinga binatang ternak dan akan saya suruh mereka mengubah ciptaan
Allah (lalu benar-benar mereka akan mengubahnya).
Memang, orang musyrik dahulu memotong (sebagian)
telinga binatang dan membutakan matanya. Allah melarang hal tersebut bukan saja
karena itu menyakiti binatang, melainkan juga karena perubahan itu didasarkan
atas ajaran yang sesat. Itu sebabnya—tulis Al-Qurthubi dalam
tafsirnya—terlarang menyembelih binatang kurban yang buta atau cacat
telinganya, karena adanya kesan bahwa itu adalah hasil perintah setan.
Mengebiri juga termasuk dalam larangan ini, walaupun sebagian ulama
membolehkannya terhadap binatang (Tafsir Al-Qurthubi 5 : 390).
Di samping ayat tersebut , ada lagi beberapa hadits
Nabi , antara lain yang diriwayatkan oleh Muslim, “ Allah mengutuk pemakai
tato dan pembuatnya, dan yang mencabut rambut wajahnya serta si pencabutnya,
dan yang mengatur giginya yang mengubah ciptaan Allah.”
Demikian, sebagian teks keagamaan yang dijadikan
dasar oleh sebagian ulama dalam hal melarang pengubahan atau operasi plastik
dengan tujuan kecantikan. Kalau kita menganalisis dalil-dalil tersebut , maka
sebenarnya sedikit sekali ulama yang memahami arti Surah Ar-Ruum (30) : 30
tersebut sebagai larangan mengubah bentuk fisik manusia. Hampir semua ulama
baik yang terdahulu, lebih-lebih yang kontemporer, memahaminya sebagai larangan
atau tidak bisanya mengubah fitrah keagamaan manusia (fitrah tauhid). Hal ini
sejalan dengan konteks ayat itu, kalaupun fitrah dipahami dalam arti umum, maka
ayat ini pun tidak dapat dijadikan dasar, karena fitrah manusia adalah apa yang
diciptakan Allah dalam dirinya.
Fitrah adalah gabungan dari unsur tanah yang
melahirkan jasmani dan unsur ruh yang melahirkan akal dan jiwa. Manusia
berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadnya, dan upayanya untuk mengambil
sesuatu dengan kakinya tidak sejalan dengan fitrah jasadiah ini. Mengambil
kesimpulan dengan mengaitkan premis-premis adalah fitrah akliahnya, dan
mengambil kesimpulan akliah dengan premis-premis yang saling bertentangan
adalah bertentangan dengan fitrah akliah manusia. Kecenderungan terhadap lawan
seks adalah fitrah manusia, dan ingin memiliki keturunan serta cinta anak
adalah fitrah manusia. Ingin selalu cantik juga fitrah manusia. Menghilangkan
atau mengubah fitrah itulah yang dilarang.
Adapun surah An-Nisa’ (4) : 119 tersebut, maka jelas
ia merupakan larangan melakukan pengubahan bentuk fisik, tetapi diamati oleh
sekian ulama bahwa konteks ayat tersebut berkaitan dengan (a) binatang;(b)
pengubahan yang memperburuk atau menghalangi berfungsinya salah satu anggota
badan ciptaan Allah; dan (c) atas dorongan ajaran setan. Atas dasar ini, jika
faktor tersebut tidak terpenuhi maka terbuka kemungkinan untuk membolehkannya.
Hadis-hadis yang melarang penyambungan rambut,
meruncingkan atau meluruskan gigi dan semacamnya bila dipahami dalam konteks
faktor-faktor itu, tentu tidak akan dipahami secara harfiah dan dengan demikian
terbuka peluang untuk membolehkannya.
Ulama besar kontemporer dari Tunis, Syaikh Muhammad
Fadhil bin Asyur, menulis dalam tafsirnya At-Tahriir wa At-Tanwiir (
V:205) : “ Tidak termasuk dalam pengertian mengubah ciptaan Allah bila seseorang
melakukan perubahan yang diizinkan-Nya. Tidak juga termasuk dalam larangan ini,
perubahan yang bertujuan memperbaiki atau memperindah. Bukankah khitan termasuk
mengubah ciptaan Allah? Akan tetapi karena mempunyai dampak positif terhadap
kesehatan maka ia diperbolehkan. Demikian juga mencukur rambut untuk
menghindari keruwetan, menggunting kuku untuk memudahkan kerja tangan, dan
melubangi telinga wanita untuk memasang anting demi keindahan. Adapun
riwayat-riwayat yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi SAW, menyangkut larangan
menyambung rambut, meluruskan gigi untuk keindahan, maka riwayat-riwayat
tersebut memang musykil.”
Sebelum ulama ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
(w.1935) pun telah menulis dalam tafsirnya menyangkut pengubahan ciptaan Allah,
kutukan terhadap yang memakai tato, dan meluruskan gigi untuk tujuan keindahan.
Beliau berpendapat demikian : “Agaknya larangan yang begitu keras ini
disebabkan oleh mereka yang melampaui batas dalam melakukan hal tersebut hingga
mencapai tingkat pengubahan yang buruk dan menjadikan semua badan, apalagi yang
tampak darinya, seperti muka dan tangan , berwarna biru karena tato buruk itu,
sedangkan ketika itu banyak tato yang menggambarkan sembahan-sembahan mereka
dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani dengan
menggambar salib di tangan dan dada mereka. Adapun yang berkaitan dengan gigi,
meluruskannya atau memotong sedikit kalau panjang, maka tidak tampak disini
pengubahan yang memperburuk, bahkan ia lebih mirip dengan menggunting kuku dan
mencukur rambut, seandainya rambut dan kuku tidak selalu memanjang maka tidak
ada bedanya dengan gigi” (Tafsir Al-Manaar V:428).[2]
Hukum operasi plastik ada
yang mubah dan ada yang haram.
1.
Operasi
Plastik yang mubah
Operasi
plastik yang mubah adalah yang bertujuan untuk memperbaiki cacat sejak lahir (al-uyub
al-khalqiyyah) seperti bibir sumbing, atau cacat yang datang kemudian (al-uyub
al-thari`ah) akibat kecelakaan, kebakaran, atau semisalnya, seperti wajah
yang rusak akibat kebakaran/kecelakaan.[3]
Operasi plastik untuk memperbaiki cacat yang demikian ini hukumnya adalah
mubah, berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan untuk berobat (al-tadawiy).
Nabi SAW bersabda,“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah
menurunkan pula obatnya.” (HR Bukhari, no.5246). Nabi SAW bersabda pula,”Wahai
hamba-hamba Allah berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan
satu penyakit, kecuali menurunkan pula obatnya.” (HR Tirmidzi,
no.1961).
2.
Operasi
Plastik yang Diharamkan
Adapun
operasi plastik yang diharamkan, adalah yang bertujuan semata untuk
mempercantik atau memperindah wajah atau tubuh, tanpa ada hajat untuk
pengobatan atau memperbaiki suatu cacat. Contohnya, operasi untuk memperindah
bentuk hidung, dagu, buah dada, atau operasi untuk menghilangkan
kerutan-kerutan tanda tua di wajah, dan sebagainya.
Dalil
keharamannya firman Allah SWT (artinya) : “dan akan aku (syaithan) suruh
mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya”. (QS
An-Nisaa` : 119). Ayat ini datang sebagai kecaman (dzamm) atas perbuatan
syaitan yang selalu mengajak manusia untuk melakukan berbagai perbuatan
maksiat, di antaranya adalah mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah).
Operasi plastik untuk mempercantik diri termasuk dalam pengertian mengubah
ciptaan Allah, maka hukumnya haram.[4]
Selain
itu, terdapat hadis Nabi SAW yang melaknat perempuan yang merenggangkan gigi
untuk kecantikan (al-mutafallijat lil husni). (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis ini terdapat illat keharamannya, yaitu karena untuk mempercantik
diri (lil husni)[5]
Imam
Nawawi berkata,”Dalam hadis ini ada isyarat bahwa yang haram adalah yang
dilakukan untuk mencari kecantikan. Adapun kalau itu diperlukan untuk
pengobatan atau karena cacat pada gigi, maka tidak apa-apa.” (Imam Nawawi, Syarah
Muslim, 7/241). Maka dari itu, operasi plastik untuk mempercantik diri
hukumnya adalah haram. Wallahu alam.
Kalau
bedah plastik yang sifatnya bedah rehabilitasi, maka itu justru dianjurkan
dalam Islam, sebab hal itu mutlak dibutuhkan. Misalnya bibir sumbing atau kasus
Lisa, yang cukup menyedot perhatian khalayak. Wajahnya tak lagi berbentuk
selayak orang yang normal. Bayangkan kalau Lisa tidak di operasi, hal itu akan
menjadi beban fisik dan psikologis tersendiri baginya.
Sedangkan
apabila kasusnya merubah-rubah apa yang telah diciptakan oleh Allah,hal itu
jelas telah melampaui batas kewajaran. Allah telah mengingatkan kita agar
jangan sampai melebihi batas. Seperti dalam firman berikut yang artinya:
“Oleh karena itu Kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia
seluruhnya dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka
seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya
telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi “(Al-Maidah
: 32)
B.
Pergantian
Kelamin[6]
1.
Pengertiannya:
Perkataan pergantian kelamin merupakan terjemahan dari
Bahasa Inggris “transeksual”, karena memang operasi tersebut sasaran utamanya
adalah mengganti kelamin seseorang waria yang menginginkan dirinya menjadi
perempuan. Padahal waria digolongkan sebagai laki-laki, karena ia memiliki alat
kelamin laki-laki.
Maka dalam hal ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa
penggantian kelamin (transeksual) adalah usaha seseorang dokter ahli bedah
plastik dan kosmetik untuk mengganti kelamin seseorang laki-laki menjadi
kelamin perempuan, melalui proses operasi.
2.
Proses operasi dan efeknya
Bukan hanya di negara barat yang menunjukkan keberhasilan
beberapa dokter ahli, mengganti kelamin laki-laki menjadi perempuan, tetapi di
Indonesia pun sudah banyak dokter yang mampu berbuat seperti itu.
Meskipun proses operasi penggantian kelamin (transeksual)
hanya memerluakan waktu dua jam saja, namun hal tersebut tidak bisa disebut
sebagai operasi kecil, karena resikonya sangat besar bila terjadi kekurang
telitian atau kelainan dokter yang menanganinya. Resiko yang dimaksudnya adalah
bukan saja terjadi pada saat pembedahan, tetapi justru sesudahnya yang lebih
berbahaya. Lebih-lebih bila larangan dokter dilanggar oleh yang menjalani
pergantian kelamin itu.
Pada operasi penggantian kelamin, penis (dzakar)
scrotum(buah dzakar atau buah pelir) serta testis ( tempat produksi sperma)
dibuang. Sedangkat kulit scroten digunakan untuk menutup liang vagina (faraj);
dan untuk pembuatan clitoris (klentit) diambil sebagian dari penis yang telah
terbuang tadi.
Karena operasi tersebut termasuk pembedahan yang
mengandung resiko, maka seorang dokter yang menanganinya harus berhati-hati dan
cermat, karena bisa saja terjadi hal-hal sebagai beerikut:
a.
Tembusnya unus atau kotoran, sehingga mestinya kotoran
keluar melalui dubur, tetapi justru melewati liang vagina buatan itu. Maka
kedalaman liang vagina buatan itu harus disesuaikan dengan besarnya pinggul
atau anatomi tubuh yang menjalani operasi. Tentu saja pinggul yang agak kecil
tidak diperbolehkan membuat liang vaginannya terlalu dalam,karena dikhawatirkan
dapat menembus tempat pembuangan kotorannya, yang pada gilirannya akan
berbahaya pada sipasien itu sendiri. Kebanyakan pasien yang dioperasi di
indonesia, kedalam vaginanya hanya mencapai antara 10-15 cm. Itupun masih bisa
mengerut dan memendek bila operasi sudah sembuh. Oleh karena itu vagina buatan
yang selesai dioperasi, dipasangi didalamnya sebuah alat penyanggah yang
disebut “tempo” selama satu bulan baru bisa dilepaskan. Dan kalau dilepaskan
sebelum lukannya sembuh maka liangnya bisa tertutup kembali.
b.
Terjadinya kelainan syaraf pada penderita, bila ia tidak
dapat menahan kencing setelah operasinya selesai. Ini sering terjadi karena
ketika operasi, saliran kencingnya ikut terbuang.
Ada satu hal yang sangat berbahaya terhadap pasien bila ia tidak menuturuti nasihat dokter, yang akhirnya
melakukan hubungan seks sebelum vaginanya betul-betul sembuh. Perbuatan semacam
itu bisa mengabitkan robeknya selaput perut yang bisa menembus saluran kotoran.
Dan kalau teerjadi hal seperti itu, maka satu-satunya cara mengatasinya, adalah
ooperasi kembali untuk menutupnya. Berarti tidak lagi berfungsi sebagai vagina,
tetapi hanya sebagai saluran kencing saja.
Kalau vaginanya sudah sembuh, maka sudah bisa difungsikan
sebagaimana keinginan pasien, menuruti keterangan dokter. Sehingga tidak
sedikit waria yang sudah mengganti kelaminnya, melangsungkan perkawinan dan
hidup berumah tangga dengan laki-laki. Dan perlu diketahui hubungan seks antar
keduanya, bisa saling memuaskan sebagaimana layaknya laki-laki dengan
perempuan; hanya saja ia tidak dapat hamil, karena maninya tetap berjenis
sperma, tidak bisa dirubah oleh dokter manjadi ovum. Sebagai syarat utama
terjadinya pembuahan (kehamilan) seseorang.
Ada lagi keberhasilan dokter, menemukan obat yang dapat
digunakan oleh waria untuk merawat bodinya menjadi sama dengan bodi perempuan;
yaitu pil keluarga berencana (KB) , yang selama ini hanya sebagai alat
kontarsepsi. Menurut dokter, tablet KB itu dapat merangsang tubuh manusia dan
berfungsi untuk menghaluskan kulit tubuh waria serta merangsang pertumbuhan
payudara dan memperbesar pinggulnya, yang tentunya mempunyai aturan-aturan
tertentu dalam memakainya, agar tidak terjadi efek samping dari padanya.
3.
Hukumya
Seseorang laki-laki dilarang dalam islam menyamakan
dirinya dengan perempuan, dan sebaliknya perempuan dilarang menyamakan dirinya
dengan laki-laki; baik perilakunya, pakaiannya dan lebih-lebih bila ia
mengganti kelaminnya.
Larangan ini mengandung dosa besar, yang banyak
melibatkan pihak lain, misalnya dokter yang mengoprasinya, orang-orang yang
memberikan dorongan moril dalam pengupaya pengoprasiannya dan sebagainya.
Kesemuannya itu mendapatkan dosa yang sama, lebih-lebih lagi bila waria
berhasil mengganti kelaminnya, menggunakan untuk mengadakan hubungan seks
dengan laki-laki. Maka ia mendapatkan lagi dosa besar, karena digolongkan
sebagai perbuatan homoseksual (Al-Liwaath), yang status hukumnya sama dengan
pezinaan. Dan berikut ini dapat dikemukakan salah satu hadist yng dijadikan
dasar diharamkannya perbuatan tersebut:
Artinya:
Empat golongan yang pagi-pagi mendatangi kemarahan Allah,
dan berangkat pada sore hari menemui kemurkaan-Nya. Maka saya berkata (salah
seorang sahabta bertannya): siapakan mereka yang dimaksud itu hai Rasulullah ?
Nabi menjawab: laki-laki yang menyamakan dirinya dengan perempuan, dan
perempuan yang menyamakan dirinya dengan laki-laki, serta orang yang mengumpuli
binatang dan sesama laki-laki. (H.R.
Al Baihaqy)
Telah dikemukakan diatas, semua orang yang terlibat
langsung terhadap upaya penggantian kelamin, termasuk menanggung dosa besar.
Hal ini dapat diketahui status hukumnya sebagai haram, yang mengakibatkan dosa
bagi seseorang dokter yang menanganinnya, dan orang-oarang yang memberikan
fasilitas dan dorongan morilnya; berdasarkan Qoidah Fiqhiyah yang berbunyi:
ما
حرم اخذه حرم اعطا ؤه
Artinya
Apa-apa yang diharamkan menerimanya, diharamkan pula
memberinya.
Maksud Qoidah ini, adalah seorang waria diharamkan
menerima penggantian kelamin dari dokter, maka diharamkan pula bagi dokter
memberikan waria itu dalam upaya tertentu.
الرضا با لشيء رضا
بم يتو لد منه
Artinya
Rela memberi dukungan terhadap sesuatu, berarti rela pula
terhadap resiko dosa yang ditimbulkannya.
Maksud Qoidah ini adalah orang-orang yang memberikan
fasilitas dan dorongan morilnya, termasuk kedua orang tuanya yang memberikan
izin untuk mengganti kelamin seorang waria, turut menanggug dosannya. Jadi
jelas, semua orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam upaya
pergantian kelamin seorang waria, mendapatkan dosa yang sama besarnya dengan
dosa yang diperbuat oleh dosa waria itu.
Bila sesorang memiliki
dua alat kelamin tapi alat kelamin pria lebih dominan, maka ia boleh mengganti
alat kelaminnya dengan alat kelamin pria.
Hal itu dapat diketahui
melalui pemeriksaan dokter yang ahli dan terpercaya, dengan cara menentukan
jumlah kromosom pria dalam tubuh dan sel-sel darah putih.
Sedangkan bila alat
kelamin wanitanya lebih dominan, maka ia boleh mengganti alat kelaminnya dengan
alat kelamin wanita.Itu semua termasuk pengobatan yang dianjurkan, bahkan
diwajibkan oleh Islam.
Adapun bila hanya ada
kecenderungan seorang pria untuk bertingkah laku seperti wanita, sedangkan
wanita bertingkah seperti pria maka diharamkan bagi mereka untuk mengganti alat
kelamin sesuai dengan keinginan mereka. Hal itu termasuk penyerupaan dengan
lawan jenis yang dilaknat oleh Rasulullah SAW, seperti yang diriwayatkan oleh
Anas RA itu semua hanya akan mendatangkan kerusakan pada diri mereka dan
masyarakat umum. (Diringkas dari fatwa Dar Al-Iftaa’ Al Mishriyyah tahun 1981 M
yang dimuat dalam kitab Ahsan Al Kalam fi Fatawa Al Ahkam karya Syaikh
‘Athiyyah Shaqr , vol. 12 h. 190)[7]
Operasi bedah (ganti kelamin)
boleh diterapkan kepada orang yang secara fisik lelaki, namun menyandang
ciri-ciri khas wanita secara psikologis, dan memiliki kecenderungan seksual
sebagai seorang wanita, seandainya tidak melakukan ganti kelamin, maka mereka
akan terjerumus dalam kerusakan. Operasi tersebut boleh dilaksanakan bila
bertujuan untuk menyingkap dan menampilkan jenis kelamin sejatinya, dengan
syarat tindakan itu tidak menimbulkan perbuatan haram dan berdampak keburukan.[8]
[1] Muhammad Manshur , Fikih
untuk Orang Sakit (Jakarta : NAJLA Press, 2007) , h.228-229
[2] M.Quraish Shihab , Fatwa-Fatwa
Seputar Ibadah dan Muamalah, ( Bandung : Penerbit Mizan,1999) , h.54-59
[7] Muhammad Manshur , Fikih
untuk Orang Sakit , h.230-231
[8] Ayatullah al-Uzhma
Imam Ali Khamenei , Fatwa-fatwa 2 : Muamalah ahlulbait (Jakarta :
Penerbit Al-Huda,2008) , h.99
No comments :
Post a Comment