BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah
salah satu negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, walaupun
Indonesia bukan negara Islam. Dengan jumlah penduduk yang mayoritas muslim maka
tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh organisasi-organisasi Islam di Indonesia cukup besar. Salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia adalah NU (Nahdlatul Ulama).
NU berdiri pada 31 Januari 1926 yang pada mulanya adalah efek dari kebangkitan
bangsa di kalangan pesantren untuk melawan kolonialisme dengan membentuk
organisasi pergerakan. Organisasi ini dipimpin oleh K.H Hasyim Ashari, yang
dalam perjalanannya merumuskan kitab Qanun Asasi dan I’tiqad
Ahlussunah wal Jamaah. Kedua kitab inilah yang dijadikan rujukan warga NU
dalam berfikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Secara garis besar,
metode pengambilan keputusan hukum yang ditetapkan NU dibedakan menjadi dua bagian:
ketentuan umum; dan sistem pengambilan keputusan hukum serta petunjuk
pelaksana. Dalam ketentuan umum dijelaskan mengenai al-kutub al-muktabarat
(kitab standard).
Untuk memutuskan
masalah hukum baik yang sifatnya klasik maupun baru NU membentuk lembaga yang
dinamakan Bahtsul Masail yang di koordinasikan Lembaga Syuriyah (legislatif).
Bahtsul Masail memiliki wewenang dan tugas menetapkan keputusan hukum berupa
fatwa NU yang berkaitan dengan masail fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah
ketauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat).
Dengan adanya
forum-forum kajian ke Islaman di lingkungan warga NU terutama di pondok
pesantren, metode yang digunakan biasanya membahas pasal-pasal dalam kitab
kuning. Kyai sebagai titik sentral merupakan simbol yang selalu diidolakan
untuk dimintai fatwa. Dalam memberikan fatwa, nasehat atau pendapat para ulama,
NU selalu membiasakan mengambil dari kitab-kitab imam mazhab yang 4 atau para
pengikutnya.
Forum ini terbiasa
di ikuti oleh syuriyah, ulama-ulama NU di luar stuktur kepengurusan NU dan
banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat. Masalah-masalah yang dibicarakan
biasanya bersifat waqiyah dan furuiyah yang datang dari syuriyah, pengurus
organisasi, ulama-ulama NU, masyarkat dan bahkan persoalan saat ini cendrung
dipengaruhi dari fenomena perubahan peradaban, sosial, kultur, politik,
teknologi dan Ilmu Pengetahuan.
Menurut pengamatan
K.H M.A Sahal Mahfudh dari segi historis maupun operasional, bahtsul masa'il NU
dalam perjalanannya merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan
"berwawasan luas". Ungkapan ini muncul dari banyaknya kritik, dimana
batshul Masail NU terlalu terfokus kepada teks teks hukum yang terkodifikasi
dalam kitab fiqh klasik. K.H M.A Sahal Mahfudh ber-alibi selama ini batshul
masail sudah cukup dinamis, sebab persoalan (masa'il) yang dibahas selalu
mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat dan demokratis, karena dalam
forum tersebut tidak ada perbedaan antara kyai, santri baik yang tua maupun
muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan
"berwawasan luas" sebab dalam forum bahtsul masa'il tidak ada
dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama?
2.
Bagaimana model
istinbath dan istidlal di kalangan ulama Nahdlatul Ulama?
3.
Bagaimana sistem pengambilan keputusan hukum Islam
dalam bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama.
2. Untuk
mengetahui model istinbath dan istidlal di kalangan ulama Nahdlatul Ulama.
3. Untuk
mengetahui sistem pengambilan keputusan hukum Islam dalam bahtsul masail
di lingkungan Nahdlatul Ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul
Ulama
Nahdlatul
Ulama
merupakan
organisasi jami’iyyah diniyah yang didirikan pada tanggal
31 Januari 1926 di Surabaya
oleh sekelompok ulama’
yang
merupakan
kepentingan Islam tradisional, terutama sistem
kehidupan
pesantren. Dimana
wilayah ajaran
dan praktik Islam tradisional telah tergeser
akibat pesatnya perkembangan modernisme
Islam
saat
itu.[1]
Lahirnya
Jami’iyyah Nahdlatul Ulama
didahului dengan
beberapa
peristiwa penting.
Pertama adalah berdirinya grup diskusi
di Surabaya pada tahun 1914
dengan nama “Taswirul Afkar”
yang dipimpin
KH. Wahab Hasbullah
dan KH. Mas Mansyur.
Pada
tahun 1916 grup diskusi
ini telah berkembang dan
berubah dengan nama “Nahdlatul
Wathan”
(kebangkitan tanah
air).
Peristiwa yang
lain
adalah
pembentukan komite Hijaz sebagai utusan
ke Arab Saudi guna mengikuti konggres khilafah pada
tahun 1926.[2]
Pada
akhirnya
muncullah kesepakatan untuk
membentuk organisasi yang bernama
Nahdlatul Ulama
(kebangkitan ulama)
pada
16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) yang dipimpin oleh
K.H. Hasyim Asy’ari
sebagai Rais Akbar.[3] K.H. Hayim
Asy’ari merupakan
tokoh pendiri NU, dan pemikirannyapun paling berpengaruh di dalam
internal NU. Dan salah satunya
pemikirannya rentang bermadzhab,
beliau menawarkan empat
pilihan
bermadzhab. Dalam
pandangannya
yang kemudian menjadi
pandangan resmi
NU. Beliau sendiri
telah menetapkan
memilih
madzhab Syafi’i,
sebab madzhab ini dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia dan selalu mengambil
jalan tengah
dalam menentukan
(Istinbat) hukum-hukum
Islam.[4]
B. Model Istinbath dan
Istidlal di Kalangan Ulama Nahdlatul Ulama
Metodologi penetapan
hukum atau istinbath hukum dalam wacana hukum Islam merupakan spare
part yang paling penting dan berpengaruh pada penetapan produk hukum yang
dihasilkan. Para ulama ushul membahas metodologi penetapan hukum itu dalam
pembahasan adillat al-ahkam yakni dalil-dalil yang menjadi dasar dan
metode penetapan hukum.
Kata istinbath berasal
dari kata istinbatha yang berarti menemukan, menetapkan atau
mengeluarkan dari sumbernya. Sedangkan secara istilahi adalah mengeluarkan
hukum-hukum fiqih dari al-Qur’an dan as-Sunnah melalui kerangka teori yang
dipakai oleh ulama ushul, sehingga istinbath identik dengan ijtihad.
Dalam lembaga bahtsul
masa’il NU istilah istinbath hukum tidak banyak dikenal. Bagi ulama NU ini
lebih berkonotasi pada istikhraj al-hukm min al-nushush (mengeluarkan
hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an dan sunnah) yang dilakukan oleh mujtahid
mutlaq, yang menurut ulama NU sangat berat untuk dilakukan. Sebagai
gantinya adalah dengan istilah ittifaq hukum.
Di kalangan ulama NU, istinbath
hukum diartikan bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber hukum
yang asli yakni al-Qur’an dan sunnah,
tetapi dilakukan dengan mentabiqkan secara dinamis nash-nash yang telah
dielaborasi fuqaha kepada
persoalan (waqi’iyah) yang dicari hukumnya.[5]
Istinbath hukum langsung dari sumber primer yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlaq,
bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan yang memang
disadari terutama dalam ilmu-ilmu penunjang dan perlengkapan yang harus
dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara ijtihad dalam batas mazhab di samping
lebih praktis dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami
kitab-kitab fiqih yang sesuai dengan terminologinya yang baku.
Secara definitif NU
memberikan arti istinbath hukum dengan upaya mengeluarkan hukum syara’
dengan al-qawaid al-fiqhiyyah dan al-qawaid al-ushuliyyah baik
berupa adillah ijmaliyah, adillah tafshiliyyah maupun adillah ahkam. Dengan
demikian produk hukum yang dihasilkan PBNU merupakan hasil ijtihad ulama atas
nash-nash al-Qur’an dan sunnah yang sesuai dengan prinsip-prinsip mujtahid
tempo dulu.
Secara umum kaidah fiqhiyyah
dengan qaidah ushuliyyah mempunyai
perbedaan yang komplementer. Untuk mengetahui perbedaan tersebut perlu
diidentifikasi bahwa kaidah fiqhiyyah adalah kaidah yang timbul dari
pemahaman mujtahid terhadap nash-nash syara’, yang penekanannya dalam konteks
hukum praktis. Sedangkan kaidah ushul timbul dari konteks kebiasaan dalam
rangka memahami nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Selain itu, kaidah fiqhiyyah
merupakan hasil penelitian induksi dari hukum-hukum yang telah ada,
sedangkan kaidah ushul merupakan saran untuk memahami pesan-pesan nash dalam
bentuk praktis, hukum-hukum Islam.
Dari beberapa
pertimbangan di atas, ada dua istinbath hukum yang dilakukan yakni
melalui pendekatan kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah. Kaidah
fiqhiyyah lebih didahulukan daripada kaidah ushuliyyah yang
secara umum telah disepakati oleh para ulama sebagai thariqat istinbath hukum,
di samping itu juga mengingat eksistensi kaidah fiqhiyyah yang sangat
penting dalam studi fiqih.[6]
Penggunaan kaidah fiqhiyyah
di kalangan ulama NU, nampaknya dilatarbelakangi oleh konsep bermazhab
dalam mengembangkan hukum Islam, yang menjadi pilihan bagi para founding
fathers NU di masa awal. Pilihan ini dilatarbelakangi oleh situasi
masyarakat Indonesia yang telah menganut mazhab Syafi’i secara kultural. Dengan
demikian apa yang dipilih NU merupakan akumulasi pendapat masyarakat dalam
memahami dan mengamalkan hukum Islam yang dielaborasi dari al-Qur’an dan
as-Sunnah. Akumulasi itu selanjutnya terformat dalam konsep bermazhab, dengan cara
mengikuti pendapat-pendapat yang sudah menjadi di kalangan mazhab tertentu
yakni berupa aqwal hasil istinbath yang dilakukan oleh seorang
mujtahid sekaligus menggunakan manhaj tersebut, bila memang diperlukan.
Bermazhab secara qauli
(aqwal) berarti mengikuti hasil istinbath yang telah
dilakukan oleh mujtahid terdahulu, sedangkan bermazhab secara manhaji adalah
bermazhab dapat mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah
disusun oleh Imam mazhab.[7]
Pengaruh ajaran-ajaran
teologi Asy’ari dan mazhab Syafi’i sangat kental di kalangan masyarakat muslim
Indonesia. Khususnya di berbagai pesantren salaf yang biasanya memberikan mata
pelajaran ilmu kalam dam fiqih. Aqidat al-Awam, Umm al-Barahim dan Jawahir
al-Kalamiyah menjadi kitab pegangan dalam mengajarkan akidah bagi para
santri. Begitu juga dengan kitab-kitab faiqih madzhab Syafi’i Minhaj
al-Talibin oleh Imam Nawawi, Fath al-Wahab karya Zakaria al-Anshori,
Nihayat at-Muhtajnya oleh Imam Ramli, Mughni al-Muhtaj karya
Syarbini, serta Al-Muharrornya Imam Rofi’i sangat mendominasi
pengajaran ilmu fiqih di pesantren. Karya-karya ini selalu dikaji baik secara sorogan
(individu) maupun bandongan (klasikal).
Dengan berbagai data di
atas, sangatlah beralasan apabila NU tidak terlalu revolusioner dalam
mengadakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tidak seperti organisasi
keagamaan modernis pada umumnya yang reaksioner. Ulama-ulama NU tetap memakai
ajaran-ajaran ahlusunnah wal jamaah yang mengikuti empat Imam mazhab
sunni.
NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam
yakni al-Qur’an, as-sunnah, al-ijma’, dan qiyas. Dalam
memahami serta menafsirkan Islam dari berbagai sumber tersebut, NU mengikuti paham ahlusunnah wal jama’ah, dengan memakai
jalan pendekatan sebagai berikut:[8]
a. Di bidang aqidah, NU
menganut paham ahlusunnah wal jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi.
b. Di bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dari 4 mazhab. Keempat mazhab
tersebut yaitu mazhab Abu Hanifah An-Num’an (Hanafi), Imam Malik bin Anas
(Maliki), Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Syafi’i) serta Imam Ahamd bin
Hambal (Hambali).
c. Di bidang tasawuf
mengikuti aliran tasawuf Imam Al-Junaid Al-Bugdadi, Imam Al-Ghazali serta
imam-imam yang lain.
Pada prinsipnya NU menggenggam pendirian dasar bahwa Islam adalah agama
yang fitri atau suci, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang secara
asasi sudah dimiliki oleh manusia. Berdasarkan prinsip tersebut, NU tidak
pernah berniat menghapus nilai-nilai yang sudah menjadi milik masyarakat. NU
hanya ingin menyempurnakan dan membimbing nilai-nilai atau tradisi yang telah
ada di masyarakat, sehingga selaras dengan ajaran Islam. Bertitik tumpu pada
dasar keagamaan seperti itu maka dalam perilaku kemasyarakatan NU mengambil
sikap antara lain:[9]
1. Menjunjung tinggi
nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam
2. Mendahulukan kepentingan
bersama daripada kepentingan pribadi
3. Menjunjung tinggi sifat
keikhlasan dan berkhidmat serta berjuang
4. Menjunjung tinggi
persaudaraan (ukhuwah), persatuan (ittihad) serta kasih mengasihi
5. Meluhurkan kemuliaan
moral (akhlakul karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-shidqu)
baik dalam berpikir, bersikap maupun dalam bertindak
6. Menjunjung tinggi
kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan negara
7. Menjunjung tinggi nilai
amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dan ibadah kepada Allah SWT
8. Menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan serta para ahlinya
9. Selalu siap untuk
menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat bagi
kemaslahatan umat
10. Menjunjung tinggi
kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan
masyarakat
11. Menjunjung tinggi
kebersamaan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara
Dengan prinsip-prinsip tersebut, dapat dimengerti jika NU senantiasa
bersikap “lunak” terhadap beragam nilai atau tradisi yang telah menyatu dengan
kehidupan masyarakat. NU tak pernah menyulut “api peperangan” terhadap tradisi.
Yang penting bagaimana agar pelaksanaan berbagai tradisi itu sesuai dengan
Islam. Biarlah “kulitnya” masih diwarnai tradisi versi lama, asal “isinya”
sudah Islam. Dengan demikian upaya mempribumikan Islam atau meng-Indonesia-kan
Islam, sebetulnya sudah lama dilakukan oleh NU.
Dalam kalangan Nahdlatul
Ulama yang paling berpengaruh adalah ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf.
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas masalah ketuhanan sehingga ia nanti akan
berkeyakinan bahwa Allah maujud. Ilmu fiqh adalah ilmu untuk mengetahui
dan menghantarkan kepada ketaatan terhadap Allah, seperti halnya cara-cara
bersuci, shalat, dan puasa. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tentang
berbagai keadaan, maqam, tingkatan, dan membahas rayuan serta tipu daya
nafsu dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Nahdlatul Ulama selalu
mengidentifikasikan diri dengan organisasi yang berhaluan ahlusunnah wal
jama’ah dan mengikuti salah satu dari
empat mazhab. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,
Turmudzi, Ibnu Majah dari Abu Hurairah, yang menyatakan bahwa umat Muhammad
akan terpecah menjadi 73 kelompok besar yang tersesat dan kelompok yang
selamat, yaitu ahlusunnah wal jama’ah. Dalam Hasiyah asy-Syanwani
disebutkan yang dimaksud dengan ahlusunnah wal jama’ah adalah Abu Hasan
al-Asy’arie dan kelompoknya. Oleh karena Allah menjadikan mereka sebagai hujjah
bagi makhluknya. Kelompok inilah yang dimaksudkan dalam hadis Nabi,
sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan umat untuk bersepakat dalam kesesatan.
Abu Mansur bin Tahir at-Tamimi mengatakan bahwa yang termasuk kelompok tersesat
bukanlah mereka yang berbeda pendapat dalam masalah fiqh, tetapi perselisihan
dalam masalah aqidah.[10]
Pengertian sunnah menurut
K.H. Hasyim Asy’ari adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalankan dlaam
agama sebagaimana dipraktikkan oleh Rasulullah dan tokoh agama yang lain
seperti sahabat. Dia menukil hadis Nabi, yang menyebutkan bahwa, “Kalian harus
berpegang pada tradisiku dan tradisi para penggantiku”.
Para pengganti Nabi
adalah golongan salafiyun yaitu golongan yang seacara konsisten
memegangi mazhab tertentu, berpegang pada kitab-kitab mu’tabarah yang
berlaku, mencintai ahlul bait, para wali dan para shalihin, ber-tabaruk
kepada mereka baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal berziarah
kubur, membacakan talqin pada mayat, meyakini adanya syafa’at,
manfaat doa tawasul dan yang lainnya.
Keharusan mengikuti empat
mazhab karena mereka adalah penerus golongan salafus shalih yang
merupakan golongan terbesar. Didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh
Turmudzi, sesungguhnya Allah tidak akan menyatukan umatku dalam kesesatan.
Tangan Allah bersama jama’ah. Barang siapa yang menyendiri, maka ia akan
menyendiri di neraka. Ibnu Majjah, mengatakan apabila terjadi perbedaan maka
ikutilah golongan terbesar bersama kebenaran dan pengikutnya.
Berpegang pada empat
mazhab memiliki manfaat yang besar, sedangkan berpaling dari itu mempunyai
bahaya yang besar. Didasarkan hadis Rasul, ikutilah golongan terbesar. Oleh
karena mazhab-mazhab yang benar sudah punah kecuali empat mazhab ini, maka
mengikuti empat mazhab berarti mengikuti golongan terbesar dan keluar darinya
berarti keluar dari golongan terbesar.[11]
C. Sistem Pengambilan
Keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masail di Lingkungan Nahdlatul Ulama
Bahtsul masail
al-Diniyyah adalah salah satu forum
diskusi keagamaan dalam organisasi Nahdlatul Ulama untuk merespon dan
memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan
masyarakat.
Melalui forum bahtsul
masail, para ulama NU selalu aktif mengagendakan pembahasan tentang
problematika aktual tersebut dengan berusaha secara optimal untuk memecahkan
kebutuhan hukum Islam akibat dari perkembangan sosial masyarakat yang terus
menerus tanpa mengenal batas, sementara secara tekstual tidak terdapat
landasannya dalam al-Qur’an dan hadis, atau ada landasannya, namun
pengungkapannya secara tidak jelas.
Dalam memecahkan dan
merespon masalah, maka bahtsul masail hendaknya mempergunakan kerangka
pembahasan masalah atau metode penetapan fatwa, antara lain sebagai berikut:[12]
1. Analisis masalah, yakni
(sebab mengapa terjadi kasus) ditinjau dari berbagai faktor:
a. Faktor ekonomi
b. Faktor politik
c. Faktor budaya
d. Faktor sosial
e. Faktor lainnya
2. Analisis dampak, yaitu
(dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang dicari
hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek antara lain:
a. Aspek sosial ekonomi
b. Aspek sosial budaya
c. Aspek sosial politik
d. Aspek lainnya
3. Analisis hukum, yakni
(dampak bahtsul masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan
latar belakang dan dampaknya di segala bidang) di samping mempertimbangkan
hukum Islam juga mempertimbangkan hukum yuridis formal.
a. Status hukum (al-ahkam
al-khamsah)
b. Dasar dari ajaran / ahlusunnah
wal jama’ah
c. Hukum positif
Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka
bermazhab kepada salah satu empat mazhab yang disepakati dan mengutamakan
bermazhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah
disusun dalam urutan sebagai berikut:[13]
1. Metode Qauli
Yakni jika dalam kasus
ketika jawaban bisa dicukupi oleh kitab dari kutub al-madzahib al-arba’ah[14]
dan di sana terdapat hanya satu pendapat dari kutub al-madzahib
al-arba’ah, maka dipakailah pendapat tersebut.
Dalam kasus ketika jawaban
bisa dicukupi oleh kitab dan di sana terdapat lebih dari satu pendapat, maka
dilakukan taqrir jama’iy[15]
untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Dengan mengambil pendapat
yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
b. Khusus dalam mazhab
Syafi’i sesuai dengan keputusan Muktamar ke I (1926 M), perbedaan pendapat disesuaikan
dengan cara memilih:
1) Pendapat yang disepakati
oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi’iy)
2) Pendapat yang dipegangi
oleh al-Nawawi
3) Pendapat yang dipegangi
oleh al-Rafi’iy
4) Pendapat yang didukung
oleh mayoritas ulama
5) Pendapat ulama yang
terpandai
6) Pendapat ulama yang wara’
c. Untuk mazhab selain
Syafi’i berlaku ketentuan-ketentuan menurut mazhab yang bersangkutan.
2. Metode Ilhaqi
Dalam kasus tidak ada
pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq
al-masail bi nazhairiha secara jama’iy[16]
oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq,
mulhaq bih dan wajhu al-ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
3. Metode Manhaji
Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka
bisa dilakukan istinbath jama’iy[17]
dengan prosedur bermazhab secara manhaji[18]
oleh para ahlinya. Yaitu dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah oleh
para ahlinya.
Hierarki dan sifat keputusan bahtsul masail antara lain:
1. Seluruh keputusan bahtsul
masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang diambil dengan prosedur yang
telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur
organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak
saling membatalkan.
2. Suatu hasil keputusan bahtsul
masail di lingkungan Nahdlatul Ulama dianggap mempunyai kekuatan daya ikat
lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama
tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.
3. Sifat keuputusan dalam bahtsul
masail tingkat Munas dan Muktamar adalah:
a. Mengesahkan rancangan
keputusan yang telah disiapkan sebelumnya dan atau
b. Diperuntukkan bagi
keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang
4. Muktamar sebagai forum
tertinggi di Nahdlatul Ulama, maka Muktamar dapat mengukuhkan atau menganulir
hasil Munas.
Kerangka analisa tindakan, peran dan pengawasan efektifitas hasil bahtsul
masail (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari bahtsul masail,
siapa yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan dimana hal itu hendak
dilakukan serta bagaimana cara sosialisasi mekanisme pemantapan agar semua
berjalan sesuai dengan keputusan), maka perlu memperhatikan aspek-aspek berikut
ini:[19]
1. Aspek politik, yaitu
dengan berusaha agar hasil bahtsul masail dapat dijadikan sebagai sarana
mempengaruhi kebijakan pemerintah.
2. Aspek budaya, yakni
dengan berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat terhadap
hasil-hasil bahtsul masail melalui berbagai media massa dan forum
seperti majlis ta’lim dan sebagainya.
3. Aspek ekonomi, yaitu
dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4. Aspek sosial, yakni
dengan upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan hidup dan lain
sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nahdlatul Ulama berdiri
pada 16 Rajab
1344 H (31 Januari 1926) yang dipimpin oleh
K.H. Hasyim Asy’ari
sebagai Rais Akbar. Yang menganut salah satu empat mazhab
untuk mengambil hukum dan menetapkan memilih madzhab
Syafi’i, sebab madzhab ini
dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia dan selalu mengambil
jalan tengah
dalam menentukan
(Istinbat) hukum-hukum
Islam.
2. Metode istinbath
dan istidlal hukum Nahdlatul Ulama menggunakan dua metode yaitu dengan
pendekatan al-qawaid al-fiqhiyyah dan pendekatan al-qawaid
al-ushuliyyah.
3. Sistem
pengambilan keputusan hukum Islam dalam bahtsul masail di lingkungan
Nahdlatul Ulama ada 3 prosedur yang digunakan antara lain
menggunakan metode qauli, metode ilhaqi serta metode manhaji.
B. Saran
Demikianlah, makalah
yang dapat kami paparkan tentang “Metode Istinbath dan Istidlal Menurut Ulama
Nahdlatul Ulama”. Ada kiranya, terdapat banyak kesalahan dalam penulisan,
pemaknaan, maupun pemahaman dalam menyusun makalah ini, kami berharap adanya
kritik, serta saran untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat meningkatkan wawasan dan ranah keilmuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Barton, Greg
dan
Greg Fealy (ed),
Tradisionalisme
Radikal: Persinggungan
Nahdlatul
Ulama–Negara.
Yogyakarta: LKiS,
1997.
Fathoni, Khoirul dan
Muhammad Zen. NU Pasca Khittah (Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah). Yogyakarta:
Media Widya Mandala, 1992.
Mawardi, Kholid. Mazhab
Sosial Keagamaan NU. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Grafindo
Litera Media, 2006.
Miri, M. Djamaluddin. Ahkamul
Fuqaha, Soulusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan
Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M). Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004.
Muzadi, Abdul
Muchith. NU
dalam Perspektif
Sejarah
dan Ajaran. Surabaya:
Khalista,
2006.
Qomar, Mujamil. NU ‘LIBERAL’ dari Tradisional
Ahlusunnah Wal
Jamaah
Ke UNIVERSALISME ISLAM. Bandung: Mizan, 2002.
Suprapto, Bibit. Nahdlatul Ulama: Eksistensi Perandan
Prospeknya. Malang:
LP.Ma’arif,
1987.
Yahya, Imam. Dinamika
Ijtihad NU. Semarang: Walisongo Press, 2009.
[1]Greg Barton dan Greg
Fealy
(ed),
Tradisionalisme
Radikal: Persinggungan
Nahdlatul
Ulama–Negara
(Yogyakarta: LKiS,
1997),
h. xiii.
[2]Bibit
Suprapto, Nahdlatul Ulama: Eksistensi Perandan
Prospeknya (Malang:
LP.Ma’arif,
1987), h. 36-37.
[4]Mujamil
Qomar, NU ‘LIBERAL’ dari Tradisional
Ahlusunnah Wal
Jamaah
Ke UNIVERSALISME ISLAM (Bandung: Mizan, 2002), h. 45.
[5]Imam Yahya, Dinamika
Ijtihad NU (Semarang: Walisongo Press, 2009), h. 47.
[6]Imam Yahya, Dinamika
Ijtihad NU, h. 48.
[7]Imam Yahya, Dinamika
Ijtihad NU, h. 49.
[8]Khoirul Fathoni dan
Muhammad Zen, NU Pasca Khittah (Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah) (Yogyakarta:
Media Widya Mandala, 1992), h. 11.
[9]Khoirul Fathoni dan
Muhammad Zen, NU Pasca Khittah (Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah), h.
12.
[10]Kholid Mawardi, Mazhab
Sosial Keagamaan NU (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Grafindo
Litera Media, 2006), h. 12.
[11]Kholid Mawardi, Mazhab
Sosial Keagamaan NU, h. 14-15.
[12]M. Djamaluddin Miri, Ahkamul
Fuqaha, Soulusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan
Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), (Surabaya: LTN NU JawaTimur, 2004),
h. 712-713.
[13]M. Djamaluddin Miri, Ahkamul
Fuqaha, Soulusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan
Konbes Nahdlatul Ulama, h.713-714.
[14]Kutub al-madzahib
al-arba’ah adalah kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunah
Wal Jamaah.
[15]Taqrir Jama’iy adalah upaya secara
kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa qaul/
wajah dalam mazhab Syafi’i.
[16]lhaq (ilhaqul masail bi
nazha’irin) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh
kitab (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah jadi).
[17]Istinbath jama’iy adalah
mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id
fiqhiyah secara kolektif.
[18]Manhaji adalah bermazhab dengan
mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh Imam
mazhab dari al-madzahib al-arba’ah.
[19]M. Djamaluddin Miri, Ahkamul
Fuqaha, Soulusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan
Konbes Nahdlatul Ulama, h. 714-715.
No comments :
Post a Comment