PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Di zaman modern, perdebatan tentang
relasi agama dan Negara terus menjadi wacana yang menarik.
Pengalaman masyarakat muslim di sejumlah Negara menunjukkan terdapatnya
hubungan yang canggung antara Islam dan Negara. Berbagai eksperimen dilakukan
untuk menyelaraskan konsep dan kultur masyarakat muslim.
Seperti
diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam
sejarah peradaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar,
hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada
bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan),
ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah
dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah
lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apapun termasuk hubungan negara agama, bisa
terjadi. Tapi, sekurang kurangnya
secara teori, kini kita telah merasa
cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di
mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing
masing. Agama untuk urusan pribadi,
negara untuk urusan publik.
Sejauh ini kita
beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang
terbaik.Dalam pola hubungan ini,agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk
melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa
memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah
persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan
sekularistik pada mulanya merupakan "wisdom" yang didapat oleh
masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas.
Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori
benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa
sebaliknya. "Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal
ketakwaan" (Q: Al Baqarah/176).
Tapi memang,
sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah
antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan
terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan
masyarakat Barat sendiri selama berabad-abad dalam menata hubungan agama negara,
mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari
kehidupan nyata.
Sementara itu,
kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun
terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik
(negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme
adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam
kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah
privat, negara untuk wilayah publik.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan
masalah dari makalah ini diantaranya adalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan Negara beserta ruang lingkupnya?
2.
Bagaimana Cita Negara Pancasila, Cita Negara Sekularistik, dan Cita
Negara Teokrasi?
3.
Apa yang dimaksud dengan Cita Negara?
C.
TUJUAN
Dari
rumusan masalah dimuka dapat diketahui Tujuan dari makalah ini diantaranya
adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian Negara beserta ruang lingkupnya.
2.
Untuk mendiskripsikan Cita Negara Pancasila, Cita Negara
Sekularistik, dan Cita Negara Teokrasi.
3.
Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Cita Hukum.
PEMBAHASAN
A.
NEGARA DAN RUANG LINGKUP NEGARA
1.
Pengertian Negara
Negara adalah suatu daerah atau wilayah
yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi,
politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam
suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah,
pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.
Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para
Ahli : Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau
mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. Georg Jellinek : Negara
merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di
suatu wilayah tertentu. Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi
manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang
sama.
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan
yang berbentuk republik yang telah diakui oleh dunia internasional dengan
memiliki ratusan juta rakyat, wilayah darat, laut dan udara yang luas serta
terdapat organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berkuasa.
Negara
merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan
bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara
tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita
bangsa secara bersama-sama.[1]
Secara literal istilah Negara merupakan terjemahan dari
kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), state (Bahasa Belanda dan
Jerman) dan etat (Bahasa Prancis), kata staat, state, etat itu diambil dari
kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap
atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara
terminologi Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu
kelompok masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
2.
Fungsi-Fungsi
Negara :[2]
a. Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat.
Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia
secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
b. Melaksanakan ketertiban. Untuk menciptakan
suasana dan lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan pemeliharaan
ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.
c. Pertahanan dan keamanan. Negara harus bisa
memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman yang
datang dari dalam maupun dari luar.
d. Menegakkan keadilan. Negara membentuk
lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di segala
bidang kehidupan.
3.
Urgensi
Bernegara
Negara, yang secara terminologi bermakna
organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
cita-cita untuk bersatu, hidup di daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan
yang berdaulat, didefinisikan oleh Roger H. Soltau dengan alat (agency) atau
wewenang (authority), yang mengatur persoalan-persoalan bersama, atas nama
rakyat. Maka, bernegara dengan baik menjadi sangat urgen bagi setiap warga
negara.
Plato telah menggambarakan secara naratif
alasan mengapa manusia perlu bernegara. Menurut Plato, pada mulanya manusia
hidup sendiri-sendiri. Lantaran tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia memerlukan teman untuk dapat memenuhinya. Lantas mereka bergabung
dengan manusia lain. Jumlah mereka yang banyak secara tidak langsung menuntut
adanya aturan yang disepakati dan ditaati serta seorang pemimpin.
Kemudian dilanjutkan dengan pembagian tugas
masing-masing agar tidak ada tumpang tindih satu sama lain. Selain itu mereka
juga membutuhkan seseorang yang memiliki otoritas guna melakukan tindakan
tertentu jika terjadi sesuatu dengan mereka. Dia juga harus sekaligus mampu
menjadi penengah atas semua konflik yang terjadi. Inilah yang mereka sebut
sebagai raja atau kepala Negara.
Konklusinya adalah bahwa manusia tidak dapat
hidup dengan teratur, tertib dan terjamin keamanannya tanpa adanya negara.
Karena pada hakikatnya, dalam komunitas sekecil apapun diperlukan adanya
pemimpin dan aturan.
4.
Urgensi
Beragama
Secara kodrati manusia menyadari bahwa di luar
dirinya ada kekuatan yang maha dahsyat. Dimana manusia dan alam sekitarnya tak
kan mampu menandingi kekuatan itu. Pengakuan seperti inilah yang disebut dengan
beragama.
Tak dapat dibayangkan jika manusia tidak
mengenal agama sama sekali. Sama artinya dia tidak akan menemu kebahagian dan
kedamaian hidup, tidak ada aturan dan norma yang membatasi tingkah laku.
Niscaya sulit untuk dibedakan dengan hewan.
Kesimpulannya adalah manusia beragama karena
memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dengan agama manusia mendapatkan
nilai-nilai moral yang universal dan hal-hal yang tak dapat dicapainya dengan
akal.
B.
HUBUNGAN AGAMA
DENGAN NEGARA
1.
Cita Negara
Pancasila
Apabila kita perhatikan,
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, selain mempunyai makna yang sangat
mendalam, juga mengandung pokok- pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan
dari Undang Undang Dasar 1945. Pokok- pokok pikiran tersebut mewujudkan cita
hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum tertulis
maupun hukum yang tertulis.[3]
Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah:[4]
1. “Negara melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas
persatuan dan kesatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan,
negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi, negara mengatasi
segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara,
menurut pengertian Pembukaan ini menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa
Indonesia seluruhnya.
2.
“Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“.
3. “Negara yang berkedaulatan rakyat
berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan / perwakilan”. Oleh karena itu,
sistem negara yang terbentuk dalam Undang Undang Dasar harus berdasar atas
kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Tentunya hal
ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
4. “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Oleh karena itu, Undang
Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan penyelenggara
negara yang lainnya untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur
dan memegang teguh cita- cita moral rakyat yang luhur.
Sementara itu, lima sila dari Pancasila
berbunyi sebagai berikut:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan demikian, apabila kita perhatikan dan
bandingkan antara keempat pokok Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dengan sila-
sila Pancasila, tampak bahwa pokok- pokok pikiran itu tidak lain adalah
pancaran dari dasar falsafah negara Pancasila. Jadi, kita dapat menyimpulkan
bahwa Pancasila merupakan cita- cita yang luhur bangsa Indonesia. Selanjutnya,
pokok- pokok pikiran tersebut dijelmakan ke dalam pasal demi pasal Batang Tubuh
Undang Undang Dasar 1945.[5]
Pancasila
sebagai tujuan sekaligus cita- cita yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia
pernah disampaikan oleh Presiden Soeharto di depan Sidang DPRGR pada tanggal 16
Agustus 1967. Inti dari isi pernyataan Presiden Soeharto saat itu adalah
sebagai berikut: “ Cita- cita luhur negara kita tegas dimuat dalam Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945, karena Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 merupakan penuangan
jiwa proklamasi ialah jiwa Pancasila. Maka dengan demikian, Pancasila juga
merupakan cita- cita dan tujuan bangsa Indonesia. Cita- cita luhur inilah yang
akan dicapai oleh bangsa Indonesia.[6]
Pancasila yang menjiwai Pembukaan UUD 1945,
yang menjadi dasar dalam tujuan kita berbangsa dan bernegara, dalam tataran
implementasinya harus mengarah kepada terwujudnya cita-cita Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinnekaan. Oleh
karenanya, lembaga-lembaga negara terkait, terutama pemerintah, tidak boleh
ragu-ragu dalam menyikapi berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat
yang ditengarai bertentangan dengan Pancasila dan sendi-sendi bangsa. Segala
tindakan yang melawan konstitusi dan hukum, tentu harus diselesaikan dengan
tegas pemerintah dan perangkat hukum melalui jalur hukum yang berkeadilan dan
beradab.
Pancasila sebagai cita- cita bangsa juga
berarti bahwa untuk mencapai cita- cita itu sendiri kita harus menghayati
dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa,
bermasyarakat, dan bernegara. Sikap- sikap positif yang harus kita
lakukan dalam rangka mewujudkan cita- cita bangsa dapat diwujudkan dalam
bentuk:
Sikap positif terhadap sila “ Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Setiap warga negara Indonesia sudah seharusnya menjujunjung tinggi
nilai- nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
1)
Mengembangkan
toleransi antarumat beragama untuk mewujudkan kehidupan yang serasi, selaras,
dan seimbang
2)
Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain
3)
Melaksanakan
kewajiban dalam keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa
4)
Membina
kerjasama dan tolong- menolong dengan pemeluk agama lain sesuai dengan situasi
dan kondisi lingkungan masing- masing
Sikap positif terhadap sila “ Kemanusiaan yag
adil dan beradab”. Dalam menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab kita harus bersikap menghormati orang lain sesuai harkat dan
marabatnya . Dengan demikian tidak akan terjadi penindasan atau pemerasan.
1)
Gemar melakukan
kegiatan kemanusiaan seperti menolong orang lain
2)
Mengembangkan
sikap tenggang rasa
3)
Memperlakukan
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa
4)
Mengakui
persamaan derajat, hak, dan kewajiban asasi manusia tanpa membedakan suku,
agama, keturunan, maupun kedudukan sosial
Sikap positif terhadap sila “ Persatuan
Indonesia”. Setiap warga negara harus mempertahankan keutuhan dan kekokohan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1)
Mencintai tanah
air dan bangga terhadap bangsa dan negara Indonesia
2)
Mengembangkan
persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika
3)
Sanggup dan
rela berkorban terhadap bangsa dan negara jika suatu saat diperlukan
4)
Memajukan
pergaulan demi persatuan dan keatuan bangsa
Sikap positif terhadap sila “ Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Sila ini
mengandung makna bahwa hendaknya kita dalam bersikap dan bertingkah laku
menghormati dan mengedepankan kedaulatan negara sebagai perwujudan kehendak
seluruh rakyat Indonesia.
1)
Mengakui bahwa
setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama
2)
Menghormati
pendapat orang lain tanpa memaksakan kehendak
3)
Mengutamakan
musyawarah dan mufakat dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan
bersama
4)
Memberi
kepercayaan kepada wakil- wakil rakyat yang telah dipilih untuk melaksanakan
dan menjalankan tugas dengan sebaik- baiknya
Sikap positif terhadap sila “Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan mengamalkan sila ini diharapkan
kesejahteraan lahir dan batin yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dapat terwujud
1)
Suka bekerja
keras dalam memecahkan atau mencari jalan keluar atas masalah- masalah pribadi,
masyarakat, bangsa, dan negara
2)
Mengembangkan
sikap gotong- royong dan kekeluargaan dengan lingkungan masyarakat sekitar
3)
Tidak melakukan
perbuatan yang dapat merugikan orang lain atau umum
4)
Suka melakukan
kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan social
melalui karya nyata
Dengan mengamalkan nilai- nilai Pancasila tadi
maka cita- cita yang luhur bangsa Indonesia, yaitu Pancasila itu sendiri, akan
terwujud.[7]
2.
Cita Negara
Sekularistik
a.
Pengertian
Sekularisme
Secara leksikologis, kata secular berasal dari bahasa Inggris yang berarti;
yang bersifat duniawi, fana, temporal, yang tidak bersifat spiritual, abadi dan
sacral, kehidupan diluar biara dan sebagainya.[8]
Sedangkan istilah sekuler yang
berasal dari kata latin saeculum mempunyai arti ganda, ruang dan waktu. Ruang
menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pada pengertian
sekarang atau zaman kini. Jadi kata saeculum berarti masa kini atau zaman kini.
Dan masa kini atau zaman kini menunjuk pada peristiwa didunia ini, atau juga
berarti peristiwa masa kini Atau boleh dikatakan bahwa makna “sekuler” lebih
ditekankan pada waktu atau periode tertentu di dunia yang dipandang sebagai
suatu proses sejarah.[9]
Pengertian sekularisasi sering diartikan sebagai
pemisahan antara urusan negara (politik) dan urusan agama, atau pemisahan
antara urusan duniawi dan ukhrowi (akhirat). Sekularisasi, sebagaimana yang
telah dikembangkan sejak Abad Pertengahan, menunjukan arah perubahan dan
penggantian hal-hal yang bersifat adi-kodrati dan teologis menjadi hal-hal yang
bersifat ilmiah, dalam dunia ilmu pengetahuan yang menjadi serba ilmiah dan
argumentatif.[10]
Istilah sekularisme
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1846 oleh George Jacub Holyoake yang
menyatakan bahwa schularism is an ethical system pounded on the principle of
natural morality and in independent of reveald religion or supernaturalism.
(sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral
alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supernaturalisme).
Jika sekularisasi menunjuk
kepada suatu proses yang terjadi dalam pikiran orang seorang dalam kehidupan
masyarakat dan negara maka sekularisme menunjuk kepada suatu aliran, paham,
pandangan hidup, sistem atau sejenisnya yang dianut oleh individu atau
masyarakat. H.M.Rasjidi mendefinisikan sekularisme sebagai berikut, Sekularisme
adalah nama sistem etika plus filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau
pengertian terhadap kehidupan manusia tanpa percaya kepada Tuhan, kitab suci
dan hari kemudian.
Dalam kamus Al-Mu’jam Ad-Dauliy Ats-Tsalits
Al-Jadid menjelaskan kata ”secularism” sebagai berikut:
“Sebuah orientasi dalam
kehidupan atau dalam urusan apapun secara khusus, yang berdiri diatas prinsip
bahwa sesungguhnya agama atau istilah-istilah agama itu, wajib untuk tidak
intervensi ke dalam pemerintahan. Dengan kata lain, sebuah orientasi yang
membuang jauh-jauh makna dari istilah tersebut. Akhirnya, muncul pengertian
seperti ini: hanya politik non agamais (Atheis) yang ada di dalam pemerintahan,
yaitu sebuah sistem sosial dalam membentuk akhlak, dan sebagai pencetus atas
pemikiran wajibnya menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupan modern dan
dalam lingkup masyarakat sosial tanpa harus memandang agama”[11]
Pendiri sekularisme adalah Holyoake
kelahiran Birmingham, Inggris, anak seorang pekerja kasar. Kehidupan ia pada
mulanya berpendidikan agama, kehidupan remajanya yang diliputi dan ditimpa oleh
situasi social dan poilitik ditempat kelahirannya yang keras, maka sikap
Holyoake berubah, dan akhirnya ia menjadi terkenal karena Sekularismenya. Perlu
dicatat bahwa pada mulanya Sekularisme ini belum berupa aliran etika dan
filsafat, melainkan hanya merupakan gerakan protes sosial dan politik.
Pokok-pokok ajaran sekularisme dapat
diperoleh dalam karyanya, seperti: Principles of secularism (1861), Hie Trial
of Ttieism (1558), The limits of Atheism (1861), the origin and Nature Of
Secularisme (1866), dan lain-lain.[12]
b. Prinsip Dasar dan Etika Sekularisme
Berikut ini dijelaskan
mengenai beberapa paham/ajaran sekularisme, yaitu:
1)
Paham Sekuler tentang Etika
Sebagai suatu sistem etika
yang didasarkan atas prinsip-prinsip moralitas alamiah dan bebas dari agama
wahyu atau supranatural, pandangan sekularisme harus didasarkan atas kebenaran
ilmiah, kebenaran yang bersifat sekuler, tanpa ada kaitannya dengan agama atau
metafisika. Sekularisme lahir disaat pertentangan antara ilmu (sains) dan agama
sangat tajam (agama – kristen). Ilmu tampil dengan independensinya yang mutlak,
sehingga bersifat sekuler. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pengalaman
yang telah menghasilkan kemajuan ilmu-ilmu sekuler seperti matematika, fisika
dan kimia telah berhasil membawa kemajuan bagi kehidupan manusia. Justeru kebenaran
ilmiah itu harus mendasari etika, tingkah laku, dan perikehidupan manusia.
Disini, tampak adanya
pengaruh positivisme dan sekularisme. Bahkan kalau dilacak lebih mendalam,
sekularisme dibidang etika dan menerapkan kebenaran ilmiah padanya, sudah dikemukakan
oleh Voiltaire (1694-1778) seorang filsof Perancis yang pernah mengemukakan
bahwa tuntunan hidup kesusilaan tidak bergantung pada pandangan metafisika dan
agama, tetapi harus sesuai dengan tuntunan akal dan rasio.
2)
Paham sekuler tentang Agama
Agama dalam pandangan
hidup sekularisme adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Prinsip sekularisme,
dalam hal ini adalah theisme dan atheisme, sama-sama tidak mendapatkan
dibuktikan dengan pengalaman. Dengan begitu, ia berada di luar pola pemikiran
sekularisme. Theologi memberikan interpretasi tentang dunia yang tidak dikenal,
sedangkan sekularisme tidak mau tahu sama sekali tentang dunia seperti ini
serta interpretasinya. Namun, telah berkembang suatu paham yang menekankan
bahwa karakter-karakter agama itu berbeda. Misalnya karakter Agama Islam
berbeda dengan agama lain, penganut agama lain. Menurut paham ini, agama Islam
akan mudah menerima netralitas negara terhadap pluralitas agama. Namun, Islam
mempunyai karakter tersendiri yang berbeda.Samuel Huntington mendukung pula
paham ini. Misalnya, dikatakan bahwa orang Kristen Barat tidak menuntut
diberlakukannya hukum kristen dibidang pemerintahan dan ekonomi. Keterlibatan
agama hanya sebatas nilai moral dan acara ritual tertentu saja. Namun, konsep
netralitas seperti itu akan sulit diterapkan untuk agama Islam.
Sekularisme memandang
bahwa simbol-simbol agama harus dihilangkan karena hal ini dapat memicu
terjadinya pertentangan atau perpecahan. Perancis,misalnya dengan tegas,
mendeklarasikan negaranya sebagai negara sekuler dan berusaha terus menerus
untuk menghilangkan simbol-simbol itu, baik untuk umat kristiani maupun umat
Islam.
3)
Paham sekuler tentang prinsip-prinsip rasio dan kecerdasan
Prinsip-prinsip dan
kecerdasan ini sangat dijungjung tinggi sekularisme karena kelanggengan
sekularisme sangat bergantung pada prinsip ini, sebagaimana ilmu pengetahuan
pun ditopang oleh prinsip ini. Oleh karena itu, sekularisme pun sekaligus
meyakini bahwa ilmu pengetahuan mampu mengajarkan aturan-aturan yang berkenaan
dengan kebahagiaan. Ilmu itu bisa berprinsip bahwasanya dalam kemapanan situasi
dan kondisi kehidupan material, ia mampu menghilangkan kemiskinan dan kebejatan
moral.
4)
Paham sekuler tentang toleransi
Toleransi dalam pandangan
sekularisme merupakan salah satu ciri yang sangat penting. Karena ciri ini,
kita bisa melihat bahwa penganut sekularisme tidak segan-segan untuk bekerja
sama, baik dengan kaum theis maupun atheis.[13]
5)
Sekularisme dan Islam
Sekularisme yang dalam
bahasa Arabnya dikenal “al-’Ilmaniyyah”, diambil dari kata ilmu. Konon, secara
mafhum, ia bermaksud mengangkat martabat ilmu. Dalam hal ini tentu tidak
bertentangan dengan paham Islam yang juga menjadikan ilmu sebagai satu perkara
penting manusia. Bahkan, sejak awal, Islam menganjurkan untuk memuliakan ilmu.
Tetapi sebenarnya, penerjemahan kata sekular kepada “al-’Ilmaniyyah” hanyalah
tipu daya yang berlindung di balik slogan ilmu. Sebenarnya makna tersirat bagi
sekular adalah “al-Ladiniyah” yakni tanpa agama atau “al-Laaqidah” yakni tanpa
aqidah.
Menurut seorang tokoh
pemikir Islam Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi, dalam tulisannya tentang
sekularisme, pernah menyebutkan bahwa Istilah “al-’Ilmaniyyah” dipilih untuk
mengelabui mata umat Islam agar menerimanya kerana jika digunakan istilah
“al-Ladiniyyah” atau “al-La’aqidah“, sudah pasti umat Islam akan menolaknya.
Sebab itulah kita merasakan betapa jahatnya penterjemahan sekular kepada
istilah “al-’Ilmaniyyah” dengan tujuan mengabui mata dan betapa jahatnya
golongan ini yang ingin menutup perbuatan mereka tanpa diketahui oleh
kebanyakan orang.[14]
3.
Cita Hukum
Teokrasi
Kata “teokrasi” berasal dari bahasa Yunani θεοκρατία (theokratia).
θεος (theos)
artinya “Tuhan” dan κρατειν (kratein) “memerintah” Teokrasi
artinya “pemerintahan oleh Tuhan”, Negara teokrasi umumnya difahami sebagai negara yang diperintah oleh orang
(atau orang-orang) yang mengklaim – tentu secara otoriter – sebagai wakil
Tuhan. Dalam teokrasi, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa, diklaim
sebagai keputusan Tuhan sehingga tidak ada seorang pun yang boleh mengkoreksi
atau menolak keputusan tersebut. Setiap bentuk koreksi atau penolakan terhadap
kebijakan penguasa akan mendapatkan hukuman yang sangat berat.
Teokrasi berarti
menganggap diri sebagai perantara Tuhan dan pemegang kekuasaaan penuh dalam
mengenal dan menafsirkan pesan dari langit baik yang berhubungan dengan urusan
agama atau dunia. Pengakuan ini bisa saja datang dari perseorangan yang
memegang tampuk kuasa agama atau politik. Bisa juga pengakuan ini datang dari
personal,lembaga ilmiah ataupun politik. Teokrasi memerintah kehidupan manusia dan
perasaan mereka dengan mengatasnamakan “Kebenaran Tuhan”. “Pendeta” ataupun
“Tokoh agama” mengaku sebagai representasi dari kehendak Pencipta di dunia,
ataupun Keinginan langit di bumi. Maka setiap kebijakan ataupun hukum apapun
yang dilontarkan mereka serta-merta mesti diikuti, karena mereka merupakan
perantara Tuhan dalam mengabarkan suatu ajaran ataupun kebijakan.
Pada masa egypt kuno
sistem pemerintahan Tuhan ini telah ada, sehingga setiap raja fir’aun
menganggap dirinya sebagi Tuhan ataupun anak Tuhan. Begitupun dengan kekaisaran
Kisra, para kaisar mengaku dirinya mempunyai hubungan khusus dengan Tuhannya
“Ahuramazda”. Mereka mengatur masalah perintah dan larangan, juga ucapannya
berarti undang-undang yang turun dari langit. Tidak dapat diprotes sekalipun
bertentangan dengan kemaslahatan rakyat, karena setiap keputusannya adalah
keputusan yang diwahyukan Tuhan. Kekaisaran Romawi pra-Kristen menganggap bahwa
setiap hukum yang ditetapkan kaisar, merupakan kebenaran dari Tuhan.
Sistem pemerintahan romawi
pada awalnya adalah berbentuk feodalisme, yaitu kekuasaan hanya dimiliki oleh
para bangsawan. Namun dimulai abad ke 4, raja-raja selalu didampiingi oleh para
pendeta yang berfungsi sebagai alat legitimasi setiap kebijakan kerajaan. Sehingga
sebelum abad ke 13 hanya pengurus tinggi gereja saja yang memiliki pendidikan,
kultur,serta prestise tertinggi. Adapun pengurus gereja bawahan dan jema’at
adalah orang-orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan akses yang leluasa
untuk menuju ke atas.
Hubungan romantis antara
kerajaan dan gereja ini tidak lepas dari manipulasi politik kelas atas dei
melanggengkan kekuasaannya dan dalam menekan setiap kebijakannya. Sehingga
dijadikan instrumen untuk membius umatnya agar tetap rela dan ridla menderita
di bawah bayang-bayang penguasa feodal atas nama agama.[15]
Setelah kita mengenal
bentuk pemerintahan teokrasi, yang pada intinya merupakan pemerintahan yang
dibentuk oleh kebijakan-kebijakan tokoh agama yang mengaku untouchble
dan setiap kebijakannya datang dari Tuhan. Lalu apakah negara Islam yang
dicita-citakan kaum muslimin dan pernah terwujud selama 12 abad lamanaya,
merupakan penjiplakan terhadap teokrasi yang diusung gereja?.
Dalam ajaran Islam tidak
mengenal terma pengelompokan umat, karena seluruh umat dalam pandangan Alloh
Azza wa Jalla adalah sama. Sama-sama makhluq-Nya, dan sama-sama memiliki dua
kemungkinan, yaitu kemungkinan berbuat benar dan salah. Sehingga siapapun
orangnya, tidak akan serta merta diterima setiap kebijakannya, ketika hal
tersebut bertentangan ataupun tidak terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Setiap orang berhak untuk mengkoreksi dan memprotes setiap pendapat jika hal
itu tidak sesuai dengan kedua Kitab tersebut, maupun bertentangan dengan
kemaslahatan ummat.
1)
Terkecuali kelompok Syi’ah, mereka mengakui kema’shuman imamnya, dan imam
tersebut merupakan pemimpin spiritual dan pemimpin negara bagi mereka. Mereka
beralasan. Bahwa individu tidak ma’shum dari kesalahan, sedangkan ummat merupakan
kumpulan individu, dan kumpulan tersebut tidak ma’shum. Maka membutuhkan adanya
individu yang spesial dan ma’shum –imam- agar menjadi pencegah dari terjadinya
deviasi dan kesesatan ummat.
2)
Banyaknya manuscript dan tafsiran-tafsiran yang menegaskan pendapat mereka
seperti : Imamah dan Sistem politik dalam masyarakat, kedua-duanya merupakan
agama dan rukun dari rukun-rukun agama.
Terlepas dari pendapat
kelompok Syi’ah, negara Islam ini pada dasarnya dipimpin oleh orang yang tidak
luput dari salah dan dosa, tidak kebal dari kritik maupun koreksi. Dan
kesalahan yang dilakukan para pemimpin dalam negara Islam, adalah tindakan yang
dilakukan bertentangan dengan syari’at dan kemaslahatan ummat. Yusuf Qardhawi
menegaskan bahwa Imam, Khalifah, atau Presiden adalah manusia juga, bisa benar
ataupun salah, baik ataupun buruk. Maka bagi umat Islam untuk mengikutinya jika
dia benar ataupun baik, dan membenarkannya jika dia salah ataupun buruk.[16]
Maka tidak ada individu -menurut Abu Al A'la Al Maududi-,
dinasti ataupun kelas yang bisa disebut Khalifah (Pemimpin), kecuali dengan
persyaratan bahwa wewenang khilafah (pemerintahan perwakilan) dipegang oleh
seluruh rakyat, yang bersedia memenuhi persyaratan "Perwakilan"
(Khilafah), setelah mereka menerima prinsip-prinsip Tauhid dan Risalah. Serta
mereka telah memenuhi persyaratan-persyaratan khilafah yang ditentukan oleh kedaulatan
Tuhan".[17]
4.
Cita Negara
a.
Pengertian Cita Negara (Staatsidee)
Kata cita negara ialah terjemahan kata staatsidee. Kata idee
dapat diterjemahkan dengan cita. Cita ialah gagasan, rasa, cipta, pikiran.
Menurut Oppenheim, cita negara yaitu hakikat yang paling dalam dari negara (de
staats diepstewezen), sebagai kekuatan yang membentuk negara (de statenvormende
kraccht). Elemen kunci dari teorinya adalah bahwa kepentingan umum akan selalu
mendahului kepentingan individu dan kelompok. Dari pendapat tesebut dapat
disimpulkan bahwa cita negara ialah hakikat negara yang paling dalam yang dapat
memberi bentuk pada negara atau hakikat negara yang menetapkan bentuk negara.
Pengertian staatsidee merupakan pengertian penting dalam
pendekatan positivis terhadap hukum konstitusional. Menurut doktrin ini, negara
merupakan sebuah herarki hukum (yang dinamakan norma-norma hukum) dimana
puncaknya disebut staasidee (grundnorm, staatsfundamentalnorm, atau norma
dasar). Menurut Nawiasky isi norma dasar ialah norma yang merupakan dasar
(landasan dasar filosofis) bagi pembentukan konstitusi termasuk norma
perubahannya. Hakekat hukum suatu norma dasar ialah syarat bagi berlakunya
suatu konstitusi. Ia ada terlebih dahulu sebelum adanya konstitusi.
b. Macam-macam
Cita Negara
Menurut Soepomo dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI
tanggal 31 Mei 1945 ada tiga teori atau aliran tentang negara. Pertama, teori
perseorangan (individualistis). Menurut aliran ini negara ialah masyarakat
hukum yang disusun atas kontraknya antara seluruh orang dalam masyarakat itu.
Kedua, teori golongan dari negara (class theory). Negara dianggap sebagai alat
dari sesuatu klasee untuk menindas klasee lain. Ketiga, teori integralistik.
Menurut aliran ini, negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau
golongan, tetapi menjamin kepentingan rakyat seluruhnya sebagai persatuan.
Aschaper, merinci cita negara menjadi delapan macam yaitu:
1) Negara Kekuasaan,
2) Negara berdasarkan
atas Hukum,
3) Negara Kerakyatan,
4) Negara Kelas,
5) Negara Liberal,
6) Negara Totaliter Kanan,
7) Negara Totaliter Kiri,
8) Negara Kemakmuran.
c. Tujuan nasional
Indonesia yang ada pada pembukaan undang-undang dasar 1945 adalah mencakup empat hal, yaitu :
1.
Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.
Memajukan
kesejahteraan umum.
3.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa.
4.
Ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan keadilan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Keempat tujuan ini bila terpenuhi maka apa yang disebut
dengan kesejahteraan dan keadilan sosial dapat dikatakan terwujud. Berdasarkan
hal tersebut dikatakan bahwa tujuan negara itu terdiri dari tujuan perlindungan
(protection goal), tujuan kesejahteraan (welfare goal), tujuan mencerdaskan
(education goal) dan tujuan kedamaian (peacefull goal).
Sejahtera ukurannya terpenuhinya sandang pangan, dan papan,
sedangkan urusan pendidikan juga merupakan hal yang sangat penting
terlebih-lebih dalam kehidupan yang serba maju peran pendidikan menentukan
sumberdaya manusai, sehingga diperlukan akses yang mudah agar dapat dinikmati
oleh rakyat umunya. Kedamaian adalah tujuan akhir dari hukum, kedamaian disini
ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, situasi yang kondusif tentram, aman
dan damai adalah kehendak seluruh rakyat dalam sebuah negara yang berdasarkan
atas Hukum. Dari keempat tujuan ini dalam penyelenggaraanya harus berdasarkan
pada lima sila dasar negara yakni Pancasila. Pancasila dijadikan pemandu
politik hukum nasional dalam mewujudkan tujuan negara.[18]
KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari
penjelasan dimuka antara lain adalah:
1.
Negara, yang
secara terminologi bermakna organisasi tertinggi di antara satu kelompok
masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di daerah tertentu dan
mempunyai pemerintahan yang berdaulat, didefinisikan oleh Roger H. Soltau
dengan alat (agency) atau wewenang (authority), yang mengatur
persoalan-persoalan bersama, atas nama rakyat. Maka, bernegara dengan baik menjadi
sangat urgen bagi setiap warga negara.
2.
Dinamika hubungan agama dan negara
telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban umat manusia. Di samping
dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah
menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di
atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad
pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan,
atau di abad modern sekarang ini).
3. Tujuan
nasional Indonesia yang ada pada pembukaan undang-undang dasar 1945 adalah mencakup empat hal, yaitu :
c. Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
d.
Memajukan
kesejahteraan umum
e.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa.
f. Ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan keadilan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
B.
SARAN
1. Dalam
proses menentukan politk hukum Indonesia hendaknya produk hukum yang dihasilkan
mencerminkan nilai-nilai pancasila sehingga apa yang menjadi amanat konstitusi
mengenai tujuan negara dapat terwujud. Dalam hal ini politik hukum tidak hanya
ditujukan kepada bandan legislatif pembuat undang-undang, tetapi juga eksekutif
pelaksana undang-undang dan yudikatif yang menerapkan hukum sebagai pengontrol
dan pemberi keadilan bagi pencari keadilan.
2.
Sebagai warga negara, sudah selayaknya kita mengkaji lebih dalam
hubungan antara agama dan negara. Selain untuk memperluas cakrawala berpikir,
kelak ketika kita menempati posisi strategis di pemerintahan kita tidak
terjebak pada arus perdebatan penyatuan agama dan negara. Sebab yang lebih
penting itu semua adalah bagaimana kita bernegara atau memerintah sesuai dengan
norma-norma yang diajarakan agama kita. Lantaran pada hakikatnya agama akan
menuntun umatnya pada kebaikan. Jika kita bernegara dengan mengindahkan norma
agama, niscaya kita akan menjadi warga negara dan pemimpin yang baik.
[1] Tim ICCE UIN Jakarta,
Demokrasi Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana,
2006),h. 130-135.
[3] Haryanto,
dkk. , Pendidikan Kewarganegaraan SMA/ MA kelas X, (Malang: CV.
Krina Alis, 2007), hlm.11.
[4] Anonymous, Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (yang telah diamandemen I, II, dan III),
(Surabaya: Terbit Terang, 2009), hlm. 26.
[5] Haryanto,
Kewarganegaraan, h. 11.
[6] Achmad
Widjaja, MA., Pancasila (Tinjauan dari Aspek Filsafat),(Malang:Lembaga
Penerbitan dan Publikasi Fakultas Ilmu Administrasi U.B., 1991), hlm. 33-34
[7] http://www.
Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila
sebagai Cita – cita Bangsa, diakses 18 september 2014.
[8] M. Solihin, Perkembangan
Pemikiran Filsafat dari Klasik hingga Moderen, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2007. Hlm.244
[9] Syed Muhammad
Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: penerbit pustaka.
1981. Hlm. 19.
[10] Prodoyo,
sekuarisme dalam polemik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1993. Hlm. 20.
[11] Yusuf Al-Qardhawi, Islam
dan Sekularisme diterjemahkan dari buku Al-Islam Wal Ilma Niyah Wajhim, Bandung:
Pustaka Setia, 2006. Hlm. 67.
[12] Atang
abdul Hakim, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, Bandung: CV
Pustaka Setia. 2008. Hlm. 408
[13] M.
solihin. Pemikiran. 247-249
[16] Majalah
Justicia, edisi 29, th. XIV,2006, Yogyakarta. Tema: Sekularisasi, Renaissance dan kerunTuhan otoritas gereja oleh: M. Najibur Rohman, h. 13-14.
No comments :
Post a Comment