Showing posts with label HUKUM. Show all posts
Showing posts with label HUKUM. Show all posts

Sunday, 28 June 2015

NEGARA DAN AGAMA



Perbincangan mengenai hubungan agama dan negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus berkepanjangan di kalangan para ahli.[1] Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara merupakan bagian dari dogma agama. Bahkan, menurut Syafi’i Maarif (1935 M.), Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998 M.), seorang ahli teologi Islam pernah mengatakan, bahwa persoalan yang telah memicu konflik intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan umat Islam adalah berkait dengan masalah hubungan agama dengan negara.[2]
Menurut Deliar Noer (1926 M.), Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yaitu agama dan masyarakat (politik)[3]. Akan tetapi untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan suatu problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari mereka malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan Negara[4].
Perdebatan dan diskusi mengenai ini sesungguhnya lebih terletak pada tataran konseptualisasi dan pola-pola hubungan antara keduanya[5]. Dimana perdebatan ini muncul dilatar belakangi oleh teks-teks agama sendiri yang pola hubungannya dikotomis. Agama dan negara seringkali dikesankan sebagai dua wilayah yang berhadapan. Misalnya, hubungan dunia akhirat atau al dunya wa al-din. Baik al-Qur’an maupun hadits banyak menyebut dua hal tersebut. Bahkan sering dijumpai ungkapan al Islam huwa al-din wa al-daulah.
Kesan berhadap-hadapan seperti itulah yang kemudian memunculkan kontroversi yang tajam dan keras di sekitar konsep hubungan agama dan negara. Sehingga menurut, Azyumardi Azra (1955 M.), ketegangan perbedaan hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (daulah).
Dari sini lalu akan timbul pertanyaan: Apakah Islam mempunyai konsep tentang negara. Untuk menjawab tentang pertanyaan ini kiranya sangat perlu kita menengok ke belakang, perjalanan sejarah pemikiran para ulama dalam konteks ini. Memang dalam Islam, negara bisa diterjemahkan dengan berbagai cara.
Perbedaan ini bukan saja disebabkan oleh faktor sosio-budaya-historis, tetapi bersumber juga dari aspek teologis-doktrinal. Menurut Karim, Walaupun Islam mempunyai konsep ‘khalifah, daulah, hukumah’ tetapi al-Qur’an belum menjelaskan secara rinci tentang bentuk dan konsepsi tentang negara Islam.

Teori Negara teokrasi
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Karya tulis Ibnu Taimiyah dalam bidang politik yang paling penting adalah buku yang berjudul Al-Siyasah al-Syar’iyah fi islah al-Ra’i wal al-Ra’iyah (Politik yang berdasarkan Syariah untuk Perbaikan Penggembala dan Gembala). Orientasi pemikiran politik Ibnu Taimiyah yang bersendikan agama itu selain tampak jelas dari judul bukunya, juga dapat dilihat pada isi Pendahuluan buku itu, dengan melanda skan teori politiknya atas firman Allah dalam Al-Quran, surat An-Nisaa ayat 58 dan 59.
Menurut Ibnu Taimiyah ayat yang pertama, yakni ayat 58 ditujukan untuk para pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi hendaknya mereka menyampaikan amanat yang berhak atasnya, dan bertindak adil dalam mengambil keputusan atas sengketa antara sesama anggota masyarakat. Sedangkan ayat kedua, ayat 59, ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan supaya taat, tidak saja kepada Allah dan Rasul, tetapi juga kepada pemimpin mereka, dan melakukan segala perintahnya selama tidak diperint ahkan berbuat maksiat atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Jadi negara teokr atis ditandai, antara lain, dengan (1) diterimanya kitab suci sebagai sumber hukum, (2) negara berada di tangan pemimpin agama[6].
Menurut Munawir Sjadzali terdapat tiga pandangan umat Islam tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan:  aliran pertama, berpendirian bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat, yaitu hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah salah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Oleh karena itu dalam bernegara umat Islam sebaiknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan Al-Khulafa Al-Rasyidin. Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah Syekh Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana A.A. Al-Maududi.
Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanya seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur; Nabi tidak pernah bertujuan mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh-tokoh terkemuka aliran kedua ini adalah Thaha Husain dan Ali Abd Al-Raziq.
Aliran ketiga, menolak pendapat aliran pertama dan kedua. Menurut aliran ketiga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika untuk kehidupan bernegara. Tokoh yang menonjol dari aliran ini adalah Mohammad Husein Haikal.
Pemikiran pertama sering disebut sebagai aliran tradisional atau integralistik. Aliran kedua disebut sebagai kelompok sekuler atau reformis-sekuler. Sedangkan aliran ketiga disebut sebagai reformis atau modernis, atau reformis-modernis. Ketiga aliran pemikiran tersebut memiliki pertautan dengan pemikiran-pemikrian Ibnu Taimiyah, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan bersambung dengan pemikiran-pemikiran Islam kontemporer masa kini. Sifat negara Islam menurut Maududi universal, menyeluruh, dan bersifat ideologis artinya segenap pendukung dan penyelenggara negara harus meyakini serta menjunjung tinggi ideologi Islam dan hukum Islam[7]
Teori teokrasi diadaptasi oleh NII KW-9 untuk membuat suatu negara yang berlandaskan pada hukum Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang disitir dalam pembenaran konsep agama dan negara yang mereka tanamkan kepada anggota NII KW-9.

Teori Negara Sekularisme
Kata secular yang berasal dari bahasa Latin saeculum mencakup dua pengertian: waktu (time) dan tempat (location). Hal itu menunjukkan “masa kini” dan lokasi yang berarti “duniawi”. Dengan demikian, jangkauan dan pengertian sekularisme itu adalah memikirkan ”kurun ini” (this age) dan ”masa kini” (the present time) dan berhubungan dengan kepen tingan hidup ”duniawi” yang berkembang menurut proses sejarah. Proses awal tumbuhnya aliran sekularisme di benua Eropa pada abad pertengahan ketika kekuasaan gereja Kristen pada saat itu tidak dapat menjawab tantangan-tantangan masyarakat yang tumbuh dan kekurangan kepercayaan terhadap peranan agama Kristen dalam usaha-usaha kenegaraan. Menurut H. M. Yunan Nasution, secara singkat dapat disimpulkan bahwa sekularisme adalah sistem politik, ideologi, maupun  falsafah sosial yang akan mencapai kesejahteraan manusia di dunia ini de ngan mengandalkan kemampuan akal dan menolak segala bentuk dan campur tangan ajaran dan keyakinan agama[8].
Claus Offe membagi menjadi 8 butir organisasi negara, diantaranya dalam teori Marxis tentang negara, terdapat pemisahan antara dua pendekatan. Satu pendekatan mengemukakan, terdapat hubungan instrumental khusus antara kelas penguasa (kapital secara keseluruhan) di satu pihak dan aparatur nega ra di lain pihak. Dengan demikian, negara menjadi alat untuk memajukan kepentingan bersama kelas penguasa. Kita yakin pendekatan ini menyesatkan, termasuk versi-versi yang dikemukakan dalam doktrin tentang “kapitalisme monopoli negara” dan proposi stereotipnya tentang “penggabungan monopoli dan aparatur negara”. Pendekatan alternatifnya adalah bahwa negara tidak memajukan kepentingan tertentu dan tidak beraliansi dengan kelas tertentu. Sebaliknya yang dilindungi dan dimajukan negara adalah seperangkat peraturan dan hubungan sosial yang dianggap tercakup dalam kekuasaan kelas kapitalis. Negara tidak membela kepentingan satu kelas tertentu tetapi kepentingan bersama semua anggota masyarakat (kelas) kapitalis. Hal teresbut berhubungan dengan definisi sekularisme yang berarti pemisahan dua kepentingan[9].
NII KW-9 dalam menjalankan konsep keagamaan tidak mengambil konsep sekularisme untuk diterapkan. Bagi NII KW-9 suatu negara harus integral dengan agama, sehingga dalam penerapan hukum-hukumnya tidak dapat dilepaskan dari hukum-hukum agama, yaitu Al-Quran dan Hadis. Namun dalam kenyataannya, para anggota NII KW-9 kurang memperhatikan aspek ruhiyah dalam kajian-kajian yang dilakukannya. Mereka lebih menekankan pada rekrutmen anggota dan penggalangan dana, seperti masalah shalat. NII KW-9 memiliki doktrin tentang shalat yang bersifat ritual dan universal. Shalat ritual adalah shalat yang dilakukan lima kali sehari, sedangkan shalat universal adalah penerapan nilai shalat ritual dalam sosial kemasyarakatan, hal ini diartikan sebagai rekrutmen anggota baru dan penggalangan dana untuk mendirikan negara. Anggota NII KW-9 lebih memilih shalat universal dibandingkan dengan shalat ritual. Hal ini bertentangan dengan teori teokrasi yang sangat menekankan pada nilai-nilai agama.


[1] Dede Rosyada. Pendidikan kewargaan demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani Jakarta: ICCE UIN syarif hidayatullah, 2000 Hlm 58
[2] Ahmad syafi’I ma’arif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacaba 1999 Hlm ix
[3] Deliar Noer, gerakan modrn islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8 1996 Hlm 1
[4] Ahmad syafi’I maarif, islam dan masalah kenegaraan studi tentang percaturan dalam konstituante, Jakarta: LP3ES, cet ke-1 1996 Hml 15
[5] Ahmad suaedy pergulatan pesantren demokrasi, Yogyakarta: LKiS, Hlm 88
[6] Bahtiar Effendi, isla dan Negara: transformasi pemikiran dan praktek politik islam di Indonesia,” prisma, Mei 1995 Hlm 21
[7] Haedar Nashir, gerakan islam syariat: reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia, Jakarta: Psap, 2007, Hlm 109-111
[8] H.M. Yunan Nasution, islam dan problema-problema kemasyarakatan, Jakarta: bulan bintang, 1988 Hlm 82
[9] Anthony Giddens dan David Held, perdebatan klasik dan kontemporer mengenai kelompok, kekuasaan, dan konflik: teori social kontemporer, Jakarta: CV Rajawali, 1987 Hlm 241

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia memungkinkan adanya pengaruh dan kontribusi yang besar terhadap perundang-undangan di Indonesia. Hal ini tentunya juga akan mempengaruhi kualitas hukum yang dihasilkan di bumi pertiwi Indonesia. Walaupun pada hakekatnya Indonesia bukan Negara Islam namun tidak memungkinkan hukum-hukum islam ikut mewarnai produk hukum di Indonesia dikarenakan para pemimpin dan penguasa hampir 99% mayoritas dipegang dan diduduki orang-orang muslim.
Kelompok agama ini berjumlah sekitar 900 juta penganutnya, yang tersebar di lebih 30 negara. Sebagian dari mereka hidup di Afrika (Maroko, Aljazair, Tunesia, Libia, Mesir dan juga sebagian dari kaum Negro di sebelah selatan sahar a. sebagian lagi tinggal di Asia bagian timur (Arab Saudi, Syiria, Iraq, Turki)). Dan juga di Eropa (Albania dan Slavia Selatan) dan bagian terbesar berada di Asia (Iran, Turkestan dan Asia Tengah(bekas republic-republik Uni Soviet)), Afganistan, Pakistan, Bangla-Desh, Jazirah, Malaysia, indonesia dll[1].   
Secara teori hanya ada satu hukum islam, yang berlaku di semua wilayah tempat bermukim kaum muslimin. Namun pada hakikatnyatelah ada sejak berabad-abad beberapa aliran local dan perbedaannya terutama terletak pada cara dunia islam bereaksi terhadap pengaruh tatanan-tatanan hukum barat.[2]
Hukum islam adalah hukum yang berlaku bagi kaum muslim saja dan bukan pada penduduk sebuah Negara oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengakaji lebih dalam terkait

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengakuan hukum islam, pancasila dan konstitusi?
2.      Apa saja macam Teori eksistensi hukum islam di indonesia?
3.       Apa itu teori Nomokrasi?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Bagaimana pengakuan hukum islam, pancasila dan konstitusi.
2.      Untuk mengetahui Apa saja macam Teori eksistensi hukum islam di indonesia.
3.      Untuk mengetahui Apa itu teori Nomokrasi.














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengakuan hukum islam dalam pancasila dan konstitusi
Membicarakan kedudukan hokum islam dalam tata hokum di Indonesia, tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu umat islam. Umat islam di maksud, merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman secara hokum ketatanegaraan di Indonesia. Oleh karena itu, umat islam tidak dapat terceraipisahkan dengan hokum islam yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hokum islam di Indonesia bila dilihat dari aspek perumusan dasar Negara yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu para pemimpin islam dalam Negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri Negara bahwa Negara berdasar Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemuluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa”.
Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh muridnya (H. Mohammad Daud Ali) mengandung norma dan garis hokum yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa Negara Republi Indonesia berdasarkan atas Ketuhan Yang Maha Esa. Hal itu hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut.[3]
1.      Dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hokum islam bagi umat islam dan juga agama lainnya. Hal ini berarti di dalam wilayah Negara Republik Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hokum yang bertentangan dengan norma-norma (hokum) agama dan kesusilaan bangsa Indonesia.
2.      Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat islam bagi orang islam, dan sama juga halnya bagi agama-agama yang lain. Makna dari penafsiran kedua adalah Negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam pengertian menyediakan fasilitas agar hokum yang berasal dari agama yang dianut oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hokum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara Negara.
3.      Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya. Oleh karena itu, dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut ini, Dr. Muhammad Hatta ketika menjelaskan arti perkataan “kepercayaan” yang termuat dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan agama. Kuncinya adalah perkataan itu terdapat di ujung ayat (2) pasal 29 dimaksud. Kata “itu” menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut. Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab agama.
Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas, dapat diasumsikan bahwa islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di Indonesia.
Indonesia adalah negara hukum,[4] yaitu mendasarkan semua tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu hukum yang mengatur (Rule of Law).[5] Di dalam suatu tatanan hukum tersebut terdapat suatu sistem hukum.[6] Sistem hukum yang dianut di Indonesia merupakan Mix Law System yang mana di samping berlakunya hukum perundang-undangan juga berlaku Hukum Islam Eksistensi Hukum Islam termanifestasi di dalam konstitusi Negara Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan suatu hukum dasar yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara guna terwujudnya suatu pemerintahan yang adil dan rakyat yang sejahtera.[7] Dalam kaitannya kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi mengatur kehidupan beragama, yaitu sebagaimana tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Prinsip ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 oleh the founding parents merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan. Dalam perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap eksistensi Agama Islam Sebagai agama resmi dan Hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di Indonesia.[8]
Selanjutnya mengenai Islam dalam perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional UUD 1945 memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk Agama Islam untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam. Eksistensi ideologi Islam secara expressiv verbis terdapat pada Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila yaitu, “Ketuhanan yang Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al Ihlas pada ayat (1) yang artinya “katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”. Lebih lanjut pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yan tinggi yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan sifat bangsa kita yang percaya bahwa terdapat kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan kita di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti.[9]
Di samping itu, dalam perspektif konstitusi terdapat keseimbangan mengenai hubungan negara, hukum, dan agama. Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila.
Prinsip-prinsip Hukum Islam yang dijadikan landasan ideal fiqih sebagimana dikatakan oleh Juhaya S. Pradja yaitu:[10]
1.      Prinsip tauhidullah,
2.      Prinsip insaniyah,
3.      Prinsip tasamuh,
4.      Prinsip ta’awun,
5.      Prinsip silaturahim bain annas,
6.      Prinsip keadilan, dan
7.      Prinsip kemaslahatan.
Selanjutnya menurut Muhammad Thahir Azhary, Agama Islam dalam sistem hukum nasional terdapat berbagai relevansi hukum, baik dalam bentuk konsep maupun praktik hukum yang ada, yaitu sebagai berikut:
1.      Prinsip permusyawaratan, di dalam Alquran terdapat dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar nomokrasi (negar hukum) yang mempunyai relevansi dengan hukum di Indonesia, yaitu terdapat pada Q.S. Al Syura ayat (38) ayat ini menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum, Nabi selaku mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya. Selanjutnya dijelaskan pula dalam Q.S. Ali Imran ayat (159), yang berarti “dan bermusyawarahlah engkau dalam setiap setiap urusan”. Ketentuan dalan surat tersebut mempunyai relevansi dengan sila keempat pada  Pancasila yang menyangkut mengenai permusyawaratan.
2.      prinsip keadilan, prinsip keadilan merupakan prinsip ketiga dalam hukum Islam. Perkataan adil (al ‘adl, al qisth, dan al mizan) menempati urutan ketiga yang paling banyak disebut di dalam Alquran setelah kata “Allah” dan “ilmu pengetahuan”. Sehingga disimpulkan bahwas Islam mengajarkan manusia di duia untuk selalu berbuat adil dengan mengedepankan integritas yang tinggi.[11] Lebih lanjut isebutkan dalam Q.S. Annisa’ ayat (135) yang berarti “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu benar-benar menjadi penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri, atau ibu-bapak dan kerabatmu”. Secara konstitusional konsep dan prinsip keadilan dapat ditemukan pada sila ke lima pada Pancasila, yang menjadi landasan dasar dari tujuan dan cita-cita-cita negara (staatsidee) sekaligus sebagai landasan filosofis negara (filosofische grondslag).
3.      Prinsip persamaan atau kesetaraan dan hak asasi manusia, prinsip persamaan dalam hukum Islam mencakup persamaan dalam segala bidang termasuk di bidang politik, hukum dan sosial. Perdamaan di bidang hukum memberikan jaminan akan perlakuan dan perlindungan hukum yang sama terhadap semua orang tanpa memandang kedudukan asalnya (original position).[12] Prinsip persamaan, termasuk prinsip kebabasan yang sama tercermin dari adanya ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights and fredoms of citizens). Berkaitan dengan hak kesetaraan hukum antara pria dan wanita (gender) dapat ditemukan pada Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1) UUD 1945 Pasca amandemen. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat (228) disebutkan yang artinya yaitu para perempuan mempunyai hak yang setara dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.
4.      Prisip peradilan yang bebas, yaitu peradilan yang berguna memberikan keadilan bagi para pencari keadilan (justiciabelen). Justice Abu Hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus kebebasan dari segala macam bentuk pressure (tekanan) dan campur tangan kekuasaan eksekutif. Bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan putusan pada seseorang penguasa apabila ia melaggar hak-hak rakyat.[13] Prinsip peradilan yang bebas dijelaskan dalam Q.S. An nisaa ayat (58) yang berarti “Bila kamu menetapkan hukum di antara manusia maka hendaklah kamu tetapkan dengan adil”. Dalam bidang justisial, secara normatif mewajibkan tercantum kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada setiap putusan hakim. Di samping itu, mengenai peradilan terdapat pengakuan eksistensi terhadap Peradilan Agama sebagai peradilan yang independen. Peradilan agama merupakan peradilan bagi orang-orang Islam dengan kewenangan memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata antara orang Islam.
5.      Prinsip kesejahteraan, dalam prinsip ini ada motivasi pelaksanaan prinsip kesejahteraan yaitu doktrin Islam “hablun min Alah wa hablun min annas”, yaitu aspek ibadah dan aspek mu’amalah. Dengan kata lain, realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat.[14]
B.     Teori eksistensi hukum islam di indonesia
Hukum islam baru dikenal di indonesia setelah agama islam disebarluaskan di tanah air. Walaupun para ahli berbeda pendapat mengenai kapan islam masuk ke indonesia, namun dapat dikatakan bahwa setelah islam datang ke indonesia, hukum islam telah diakui dan dilaksanakan oleh pemeluk agama islam di nusantara.[15]
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli hukum menyangkut pemberlakuan hukum islam di indonesia. Teori-teori tersebut antara lain :
1.      Teori penerimaan otoritas hukum
Teori ini dikemukakan oleh H.A.R Gibb dalam bukunya yaitu the modern trends of islam, yaitu bahwa orang islam jika telah menerima islam sebagai agamanya, ia menerima otoritas hukum islam terhadap dirinya. Secara sosiologis orang-orang yang telah beragama islam menerima otoritas hukum islam dan taat kepada hukum islam. Tingkatan ketaatan seseorang pasti berbeda-beda tergantung kepada individu masing-masing. Menurut gibb, hukum islam adalah alat yang ampuh untuk mempersatukan etika sosial islam. Teori ini menggambarkan bahwa di dalam masyarakat islam ada hukum islam. Mereka yang telah menerima islam sebagai agamanya juga menerima otoritas hukum islam terhadap dirinya.
2.      Teori receptio in complexu
Teori ini dikemukakan oleh lodewijk willem christian van den berg ( 1854- 1927 ). Van den berg adalah ahli hukum islam dari belanda yang tinggal cukup lama di indonesia. Menurut teori ini bagi orang islam berlaku penuh hukum islam sebab mereka telah memeluk agama islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Pada prinsipnya teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi suatu kasus adalah hukum menurut agama yang ada di daerah tersebut.
Teori ini diangkat dari kenyataan yang menunujukkan bahwa sebelum voc berkuasa di indonesia banyak kerajaan islam yang memberlakukan hukum islam. Di kerajaan-kerajaan tersebut diterapkan norma-norma hukum islam. Kerajaan yang memberlakukan hukum silam antara lain kerajaan samudra pasai, kesulthanan demak, kesultanan mataram, cirebon, banten, ternate, kesultanan buton, sumbawa, kalimantan selatan, kutai, pontianak, surakarta dan palembang. Diwilayah kerajaan tersebut diberlakukan hukum islam dan ada lembaga peradilan agama.
Teori receptio in complexu ini muncul sebagai rumusan dari keadaan hukum yang ada dan bersumber dari prinsip hukum islam bagi orang islam berlaku hukum islam. Van den berg mengkonsepkan staatsblad 1882 nomor 152 yang berisi ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agamanya yang berada di dalam lingkungan hidupnya. Jadi yang berlaku untuk rakyat jajahan yang beragama islam di indonesia adalah hukum islam. Karena yang berlaku ketentuan hukum islam atau norma hukum islam maka badan peradilan agama yang pada waktu pemerintahan hindia belanda datang ke indonesia sudah ada dilanjutkan dan diakui kewenangan hukumnya. Berdasarkan teori receptio in complexu ini maka hukum yang berlaku bagi suatu kasus adalah hukum agama yang berada di negara tersebut.
3.      Teori receptie
Teori ini dikemukakan oleh christian snouck hurgronje ( 1857-1936 ) kemudian dikembangkan oleh C. van vollenhoven dan ter haar. Teori receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum islam berlaku apabila hukum islam telah diterima masyarakat sebagai hukum adat.[16] Teori ini pada prinsipnya bertujuan untuk mempersulit berlakunya hukum islam di tengah-tengah masyarakat.
Teori receptie ini berpangkal dari keinginan snouck hurgronje agar orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran islam dan hukum islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradapan barat. Oleh sebab itu ia memberikan nasihat kepada pemerintahan hindia belanda untuk mengurus islam di indonesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat kepada kebudayaan eropa dan pemerintah hindia belanda. Digariskan beberapa kebijakan sebagai berikut :
a.       Dalam kegiatan agama dalam arti sebenarnya ( agama dalam arti sempit ), pemerintah hindia belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang-orang islam untuk melaksanakan ajaran agamanya.
b.      Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hindia belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku dengan membuka jalan yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat jajahan kepada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah hindia belanda dengan memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini.
c.       Di bidang ketatanegaraan mencegah tujuan yang dapat membawa atau menghubungkan gerakan pan islamisme yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan mengahadapi pemerintah hindia belanda terhadap rakyat bangsa timur.
Eksisitensi teori receptie ini kemudian dikokohkan melalui pasal 134 I.S yang menyatakan bahwa bagi orang pribumi kalau hukum mereka menghendaki, diberlakukan hukum islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hkum adat. Kebijaksanaan pemerintah hindia belanda selanjutnya adalah bersaha melmphkan dan menghambat pelaksanaan hkm islam dengan cara sebagai berikut :
a.       Sama sekali tidak memaskkan masalah hudud dan qishash dalam bidang hukum pidana. Hukum pidana yang diberlakukan diambil langsung dari wetboek van strafrecht dari nederland yang diberlakukan sejak januari 1919
b.      Di bidang tata negara, ajaran islam yang mengenal hal tersebt dihancurkan sama sekali. Pengajian ayat-ayat suci al-qur’an yang memberikan pelajaran agama dan penguraian hadits dalam bidang politik tentang kenegaraan atau ketatanegaraan dilarang.
c.       Mempersempit berlakunya hukum muamalah yang menyangkt hukum perkawinan dan kewarisan. Khusus untuk hkm kewarisan islam diusahakan tidak berlaku. Sehubungan dengan hal itu diambil langkah-langkah :[17]
1)      Menaggalkan wewenang peradilan agama di jawa dan madura, serta kalimantan selatan untuk mengadili perkara waris
2)      Memberi wewenang mengadili perkara waris kepada landraad
3)      Melarang penyelesaian dengan hukum islam jika di tempat adanya perkara tidak diketahi bagaimana bunyi hukum adat
Karena sangat merugikan hukum islam dan umat islam, teori ini mendapat tentangan dari para pemikir hukum islam di indonesia. Dengan teori ini, menurut mereka belanda ingin mematikan pertumbuhan hukum islam dalam masyarakat sejalan dengan pengejaran dan pembunuhan terhadap para pemuka dan ulama besar islam seperti yang terjadi di aceh.
4.      Teori receptie exit
Teori ini dikemukakan oleh hazairin, seorang pakar hukum islam dari universitas indonesia. Ia berpendirian bahwa setelah indonesia merdeka, setelah proklamasi, dan setelah UUD 1945 dijadikan undang-undang dasar negara, maka walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Seluruh peraturan perundangan pemerintah hindia belanda yang berdasarkan ajaran teori receptie tidak berlaku lagi, karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Menurut hazairin teori receptie tidak berlaku lagi dan harus exit karena bertentangan dengan al-qur’an dan as-sunnah bahkan ia menyebutnya sebagai teori iblis, karena dengan adanya teori exit ini masyarakat semakin dijauhkan dari nilai-nilai al-qur’an dan as-sunnah.[18]
Setelah proklamasi, UUD 1945 di nyatakan berlaku yang didalamnya ada semangat merdeka di bidang hukum. Adanya peraturan peralihan dimaksudkan untuk menghindari kevakuman hukum, oleh karena itumasih diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan keinginan-keinginan hukum yang ada, selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut hazairin masih banyak aturan pemerintah hindia belanda yang bertentangan dengan UUD terutama yang merupakan produk dari teori receptie.[19]
Berdasarkan teori hazairin ini maka dapat dinyatakan :
a.       Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara indonesia sejak tahun 1954 dengan kemerdekaan bangsa indonesia dan mulai berlaku UUD 1945 dan dasar negara indonesia. Demikian pula keadaan ini setelah adanya dekrit presiden tanggal 5 juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945
b.      Sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, negara republik indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional indonesia yang bahannya adalah hkum agama
c.       Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional indonesia it bukan hanya hukum islam saja, melainkan juga hukum agama lain u nntuk pemeluk agama lain tersebut. Hukum agama dibidang hukum perdata dan pidana diserap menjadi hukum nasional indonesia. Itulah hukum baru indonesia dengan dasar pancasila.
5.      Teori receptio a contrario
Teori receptio a contrario ini adalah pengembangan dari teori receptie exit. Menurut teori yang dicetuskan pada tahun 1980 oleh sayuti thalib pada prinsipnya teori ini berpendapat bahwa :
a.       Bagi orang islam berlaku hukum islam
b.      Hal tersebut sesai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya
c.       Hukum adat berlaku bagi orang islam kalau tidak bertentangan dengan agama islam dan hukum islam
Teori ini disebut dengan nama demikian, karena memuat ajaran teori yang merupakan kebalikan dari teori receptie. Perbedaan antara teori receptie exit dengan teori receptie contrario terletak pada pangkal tolak pemikirannya. Teori receptie exit berpangkal tolak pada kenyataan bahwa sejak kemerdekaan bangsa berdirinya republik indonesia, dasar negara pancasila, UUD 1945 dalam pembukaan dan bab XI, dan pemahaman terhadap pasal II aturan peralihan ialah dengan mendahulukan dasar dan jiwa kemerdekaan, dan tidak menerima pemahaman rumusan aturan peralihan secara formal belaka.
Landasan pemikiran teori receptie contrario ialah dengan pemikiran bahwa didalam negara republik indonesia yang merdeka, sesuai dengan cita-cita batin, moral, dan kesadaran hkum kemerdekaan, berarti ada keleluasaan untuk mengamalkan ajaran agama dan hukum agama. Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum islam terhadap hukum adat dimana hukum adat didahulukan sebagai hukum yang berlaku, maka teori teori receptie a contrario mendudukan hukm adat di dalam penilaian hukum islam.[20]
Menurut A. Hamid S. Attamimi, pertentangan antara teori receptio in complexu dengan teori receptie nampaknya telah surut dan kini cenderung berlangsung penerimaan teori yang pertama ketika bangsa indonesia memasuki alam kemerdekaan. Dengan dibentuk departemen agama dan peradilan agama, pemerintah tampaknya telah mengakui teori receptie in complexu. Namun demikian, ditinjau dari sudut teori perundang-undangan hukum islam di indonesia masih merupakan hukum yang tidak tertulis, dalam arti hukum peraturan perundang-undangan bukan geschereven wettelijk regels.
6.      Teori recoin ( receptio contextual interpretation )
Teori ini diperlukan untuk melanjutkan teori-teori receptio in complexu, receptie exit, dan receptio a contrario, yang telah memberikan landasan teori berlakunya hukum islam di indonesia. Pemberlakuan  hukum islam terutama dibidang hukum waris islam dengan menerapkan penafsiran tekstual, ternyata secara empiris dirasakan menimbulkan ketidakadilan. Perkara waris sebanyak 88,18 % diajukan ke pengadilan negeri yang mengadili berdasarkan hukum adat. Oleh karena itu dalam penerapan hukum waris islam perlu dilakukan penafsiran teks ayat-ayat al-qur’an itu secara kontekstual.
Dengan dasar pemikiran bahwa hukum yang diciptakan tuhan bagi manusia pasti adil. Tidak mungkin tuhan menurunkan aturan hukum yang tidak adil. Demikian juga al-qur’an surat an-nisa’ ayat 11 yang antara lain menentukan bahwa bagian warisan untuk anak laki-laki adalah dua kali bagian warisan anak perempuan adalah setengah bagian anak laki-laki.
Dengan menggunakan interpretasi secara tekstual, ayat tersebt secara rasional dapat dinilai tidak adil. Berbeda halnya jika ayat tersebt ditafsirkan secara kontekstual. Pada kasus-kasus tertentu, ayat tersebut dapat diberi interpretasi bahwa bagian warisan anak perempuan adalah minimal setengah bagian anak laki-laki. Interpretasi secara kontekstual inilah yang dinamakan teori recoin.[21]        
7.      Teori eksistensi
Dari dua teori yang muncul setelah masa kemerdekaan indonesia diatas, maka berkelanjutan dengan munculnya teori eksistensi. Teori eksistensi adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum islam dalam hukum nasional indonesia/ hukum positif. Menurut teori ini bentuk eksistensi hukum islam dalam hukum nasional ialah :
a.       Ada, yang dalam arti hukum islam berada  dalam tata hukum nasional sebagai bagian ang terintegral darinya
b.      Ada, dalam arti lain aitu kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasiinal dan sebagai hukum nasional
c.       Ada dalam hukum nasional, dalam arti norma hukum islam berfungsi sebagai penaring bahan-bahan hukum nasional indonesia
d.      Ada dalam hukum nasional, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur penting hukum nasional indonesia.
Berdasarkan teori ini maka keberadaan hukum islam dalam tata hukum indonesia merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Behkan lebih dari itu, hukum islam merupakan bahan utama atau unsur utama hukum nasional.

C.    Teori Nomokrasi
Dalam konteks hukum tata negara, Istilah Nomokrasi (nomocracy : Inggris) berasal dari bahasa latin nomos‟ yang berarti norma dan cratos yang berarti kekuasaan, yang jika digabungkan berarti faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum, karena itu istilah ini sangat erat dengan gagasan kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Jika istilah ini dikaitkan dengan Islam sebagai suatu komunitas baik agama maupun negara, maka makna yang muncul adalah kedaulatan hukum Islam sebagai penguasa tertinggi, atau yang lebih dikenal dengan supremasi Syari‟ah.
Ide mengenai Negara hukum menurut Jimly Asshidiqie , selain terkait dengan konsep rechstaat dan the rule of law juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal dari perkataan nomos yang berarti norma dan cratos yang berarti kekuasaan. Sehingga dapat diartikan bahwa yang harus di utamakan dalam nomocracy adalah penggunaan norma atau hukum untuk melaksanakan kekuasaan. Dalam istilah A. V. Dicey nomokrasi dapat dikaitkan dengan prinsip rule of law yang berkembang di Amerika Serikat, sehingga menghadirkan jargon the rule of law, and not of man. Yang dimaksud sebagai pemimpin adalah adalah hukum itu sendiri, bukan orang.
Perkembangan pada hukum dan konstitusi modern, bagi hukum Islam akan beradaptasi dengan hukum modern (modern jurisprudent)  baik yang berada dalam ranah rule of law maupun rechstaat. Karena itu dalam perancangan konstitusi sebuah negara, ia tidak terlepas dari ciri khas hukum Islam. Apalagi sulit dinafikan, saat ini banyak pemuka dan pembaharu Islam menginginkan agar beberapa syariat diintegrasikan dalam konstitusi guna mengatur warga dan pemeluk agama Islam.
Konsep nomokrasi seperti ini juga dikenal dalam Islam, Nomokrasi Islam menurut Thahir Azhary adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum seperti berikut:
a.       Prinsip kekuasaaan sebagai amanah.
Perkataan amanah ini tercantum dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 58 yang berbunyi :
Artinya : “sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah member pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Thahir Azhary, dengan mendasarkan kepada pendapat Hazairin dan Sayjuti Thalib, menyatakan bahwa dari ayat tersebut dapat diambil dua garis hukum yaitu, Pertama, manusia diwajibkan menyampaikan amanah atau amanat kepada yang berhak menerimanya. Kedua, menusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.
b.      Prinsip musyawarah.
Al-Qur’an, dalam konteks musyawarah ini paling tidak ada dua ayat di dalamnya yang menggariskan tentang keberadaan musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam nomokrasi Islam. Ini dapat dilihat dalam surat Al-Syura ayat 38 yang berbunyi :
Artinya :“dan (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”
Ayat ini menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum Nabi selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya. Dalam ayat lain, Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah untuk selalu bermusyawarah
c.    Prinsip keadilan.
Prinsip Keadilan ini, sebagaimana seluruh prinsip nomokrasi Islam dapat kita temukan dalam Al-Qur’an dan Hadits, salah satunya dalam surah An-Nisa ayat 135, :
Artinya :
“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan (qawwamin bi al-qisti ), menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, atau Ibu-Bapak dan kamu kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
d.    Prinsip persamaan.
Prinsip persamaan dalam Islam ini dapat kita lihat dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya berbunyi :
“ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal “.
Ayat tersebut di atas melukiskan bagaimana kejadian manusia, proses penciptaan yang seragam merupakan suatu kriteria bahwa dasarnya semua manusia adalah sama, inilah yang disebut prinsip persamaan dalam nomokrasi Islam. Prinsip persamaan dalam nomokrasi Islam mengandung aspek yang luas, ia mencakup persamaan dalam segala bidang kehidupan.
e.    Prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Dalam Nomokrasi Islam, hak-hak manusia bukan hanya diakui, namun dilindungi sepenuhnya, karena itu ada dua prinsip yang kuat, pertama, prinsip pengakuan hal-hak asasi manusia, kedua, prinsip perlindungan terhadap hak-hak tersebut. Secara tegas dalam surat Al-Isra’ ayat 70 Allah berfirman yang artinya :
“ Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami tebarkan mereka di darat dan di laut serta Kami anugerahi mereka rizki yang baik-baik dan kami lebihken mereka dengan kelebihan  yang sempurna daripada kebanyakan Makhluk yang telah kami ciptakan “.
f.    Prinsip peradilan bebas.
Prinsip ini berkaitan dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam nomokrasi Islam seorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam makna setiap putusan yang dia ambil bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun, Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 58 sudah menetapkan sebuah ketentuan hukum bahwa :
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kalian menetapkan dengan adil.
Nomokrasi Islam memposisikan hakim dalam kedudukan yang bebas dari pengaruh siapapun. Hakim bebas pula menentukan dan menetapkan putusannya. Bahkan dia memiliki kewenangan untuk melakukan ijtihad dalam menegakkan hukum.
Meskipun seperti itu, peradilan bebas dalam nomokrasi Islam ini tetap tidaklah boleh bertentangan dengan tujuan hukum Islam (al-maqasid al-khamsah) , jiwa Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad.

g.    Prinsip perdamaian.
Salah satu tugas pokok yang dibawa Rosulullah melalui ajaran Islam ialah mewujudkan perdamaian bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Arti kata Islam, selain penundukan kepada Allah, keselamatan, dan kesejahteraan, juga berarti perdamaian. Al-Qur’an dengan tegas menyerukan pada perdamaian, seperti yang ada dalam surat Al-Baqarah ayat 208 :
Nomokrasi Islam harus ditegakkan atas dasar prinsip perdamaian. Hubungan dengan Negara-negar lain harus dijalin dan berpegang pada prinsip perdamaian. Pada dasarnya sikap bermusuhan atau perang merupakan sesuatu yang terlarang dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an mengizinkan tindakan kekerasan atau perang sebagai tindakan darurat dan untuk membela diri, jadi apabila pihak lain memulai terlebih dahulu melancarkan serangan atau coba memerangi ajaran Islam.
h.    Prinsip kesejahteraan.
Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam bertujuan mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat atau rakyat. Pengertian nomokrasi Islam bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materiil atau kebendaan saja, akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual dari seluruh rakyat. Negara berkewajiban memperhatikan dua macam kebutuhan itu dan menyediakan jaminan sosial untuk mereka yang kurang atau tidak mampu. Al-Qur’an telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan sosial bagi anggota masyarakat dengan berpedoman pada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi, sumber-sumber dana tersebut antara lain adalah : zakat, infaq, sodaqoh, hibah, dan wakaf, dengan tidak menutupi kemungkinan bagi pendapatan dan pendapatan-pendapatan Negara dari sumber-sumber lain, seperti pajak, bea, dan lain-lain.
Dalam nomokrasi Islam hanya ada satu motivasi pelaksanaan prinsip kesejahteraan, yakni doktrin hablu min-Allah wa hablu min al-nas, yaitu aspek ibadah dan aspek mu’amalah. Dengan kata lain, realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat, sesuai dengan perintah Allah SWT.
i.    Prinsip ketaatan rakyat.
Bagaimana tentang hubungan antara pemerintah dan rakyat, Al-Qur’an telah menetapkan suatu prinsip yang dapat dinamakan sebagai prinsip ketaatan rakyat. Prinsip ini ditegaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi :
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya serta para pemimpin di antara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang suatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul-Nya (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.

Hazairin menafsirkan, “menaati Allah” ialah “tunduk kepada ketetapan ketetapan Allah”, “menaati Rosul” ialah tunduk pada ketetapan Rosulullah Muhammad SAW. Dan “menaati ulil amri” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas-petugas kekuasaan masing-masing dalam lingkungan tugas kekuasaannya. Dalam konteks ulil amri sebagai petugas-petugas kekuasaan Negara, terdapat dua macam ketetapan yang dikeluarkan oleh ulil amri.
Dengan demikian berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum dengan konsep nomokrasi Islam di atas, maka nomokrasi Islam adalah genus yang tepat untuk istilah bagi negara yang tunduk dan taat pada aturan hukum Islam-syariah.
Nomokrasi Islam memiliki atau ditandai oleh prinsip-prinsip umum yang digariskan dalam al-Qur’an dan dicontohkan dalam sunnah. Diantara prinsip-prinsip itu, maka prinsip musyawarah, keadilan dan persamaan merupakan persamaan yang menonjol dalam nomokrasi Islam. Sedangkan teokrasi adalah suatu miskonsepsi atau kegagalan pemahaman (vervostandnis) terhadap konsep negara dari sudut hukum Islam. Karena baik secara teoritis maupun sepanjang praktik sejarah Islam, teokrasi tidak dikenal dan tidak pula pernah diterapkan dalam Islam.
Nomokrasi Islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, keadilan, persamaan, pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia, peradilan bebas, perdamaian, kesejahteraan dan ketaatan rakyat.[22]
Istilah Nomokrasi Islam itu sendiri adalah untuk menyebutkan konsep negara hukum dari sudut Islam atau untuk lebih memperlihatkan kaitan negara hukum itu dengan hukum Islam yang sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.[23]
Berdasarkan hal tersebut di atas maka predikat negara dalam Islam yang paling tepat adalah Nomokrasi Islam artinya kekuasaan yang didasarkan kepada hukum-hukum yang berasal dari Allah, “karena Tuhan itu abstrak dan hanya hukum-Nyalah yang nyata tertuli.[24]
Majid Khadduri mengutip rumusan nomokrasi dari The Oxford Dictionary sebagai berikut: “Nomokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada suatu kode hukum: suatu rule of law dalam suatu masyarakat”.[25] Menurut Mohammad Tahir Azhary, apabila rumusan Khadduri tersebut digunakan sebagai titik tolak, maka rumusan nomokrasi Islam adalah: suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam (syari’ah), dan ia merupakan Rule of Islamic Law.[26] Dimana Allah adalah titik sentralnya (Teosentrik).[27]                     
Mohammad Tahir Azhary mengemukakan beberapa keunggulan/ kelebihan dari Nomokrasi Islam, yaitu:[28]
1.      Nomokrasi Islam bersumber dari wahyu Allah SWT, dan karena itu mengandung kebenaran mutlak.
2.      Memiliki sifat bidimensional, yaitu: duniawi dan ukhrawi.
3.      Konsep Nomokrasi Islam berisi nilai-nilai Ketuhanan (Ilahiyah) dan kemanusiaan (Insaniyah).
4.      Nomokrasi Islam dilandasi oleh dua doktrin pokok dalam Islam, yaitu: (1) tauhid (unitas) atau Ketuhanan Yang Maha Esa (2) amar mar’ruf nahi munkar, artinya agar manusia memerintahkan perbuatan baik (kebajikan) dan mencegah perbuatan buruk.
5.      Nomokrasi Islam berlaku bagi seluruh umat manuisa, prinsip-prinsipnya mengandung nilai-nilai yang universal, eternal dan sesuai dengan fitrah manusia.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Dapat diasumsikan bahwa islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di Indonesia.
2.      Teori penerimaan otoritas hukum, Teori receptio in complexu, Teori receptive, Teori receptie exit, Teori receptio a contrario, Teori recoin ( receptio contextual interpretation ) dan Teori eksistensi.
3.      Teori Nomokrasi adalah faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum, karena itu istilah ini sangat erat dengan gagasan kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi.

B.      Saran
            Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dengan adanya makalah ini bisa sedikit banyak memberikan wacana kepada para pembaca tentang kedudukan hukum islam di Indonesia dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Disamping itu, kami juga mengharapakan kritik dan saran dari pembaca, yang mungkin dalam penjelasan dan pembahasan di atas masih memiliki banyak kekurangan, guna dijadikan acuan dalam penulisan atau pembahasan selanjutnya. Demikian akhir kata kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi semua, khususnya bagi pembaca dan penulis. Amin. 



Daftar Pustaka
Afdol. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 Dan
Legislasi Hukum Islam Di Indonesia.  Surabaya : Airlangga University Press, 2009.

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum(Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence). Jakarta, Kencana:2009.

Ali, Daud dan H. Muhammad. Asas-Asas Islam, Pengantar Ilmu Hukum Dan
Tata Hukum Islam Di Indonesia.  Jakarta : Rajawali Press, 1991.

Arinanto, Satya. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila, Proceeding Kongres
Pancasila: Pancasila dalam Berbagai Perspektif. Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan MK: 2009.

Azhari, Muhammad Tahir. Negara Hukum Suatu Segi Tentang Prinsip-prinsip
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta, Kencana : 2007.

Bakir, Herman. Filsafat Hukum: Desain dan Arsitektur Kesejarahan.
 Jakarta,Refika Adhitama:2007.

Gilissen, Emeritus John. Dan Gorle, Emeritus Frits. Sejarah Hokum ; Suatu
            Pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama, 2011.

Hoesein, Zainal Arifin. Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade
            Pengujian Peraturan Perundang-undangan. Jakarta, Rajawali Pers: 2009.

Ichtijanto, S.A. Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia.
  Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991.
Marzuki. Pengantar Studi Hukum Islam: Prinsip Dasar Memahami Berbagai         Konsep Dan Permasalahan Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta :
            Ombak Dua, 2013 .

Saebani, Beni Ahmad. Sosiologi Hukum. Bandung, Pustaka Setia: 2007.

Thalib, Sajuti. Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam.  Jakarta : Bina
            Aksara, 1995.

Zainuddin, Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.
            Jakarta: Sinar Grafika, 2006.




[1] Emeritus John Gilissen Dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hokum ; Suatu Pengantar (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), h. 385.
[2] John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hokum ; Suatu Pengantar, h. 385.
[3], Ali Zainuddin Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 85.
[4] Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan,(Jakarta, Rajawali Pers: 2009), h. 52-53.
[5] Satya Arinanto, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila, Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila dalam Berbagai Perspektif, (Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan MK: 2009), h. 206-207
[6] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum(Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta, Kencana:2009), h. 204.
[7] Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Segi Tentang Prinsip-prinsip Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta, Kencana : 2007), h. 150-152.
[8] Tahir Azhari, Negara Hukum, h. 66.
[9] Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, h. 195-196.
[10] Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, (Bandung, Pustaka Setia: 2007), h. 92-94.
[11] Herman Bakir, Filsafat Hukum: Desain dan Arsitektur Kesejarahan, (Jakarta,Refika Adhitama:2007), h. 177.

[12] Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, h. 126.
[13] Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, h. 145.
[14] Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, h. 152.
[15] Daud Ali, H. Muhammad, Asas-Asas Islam, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Rajawali Press, 1991 ), h. 189
[16] Sajuti Thalib, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, ( Jakarta : Bina Aksara, 1995 ), h. 17-18
[17] Ichtijanto, S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991 ), h. 125
[18] Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam: Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep Dan Permasalahan Hukum Islam Di Indonesia, ( Yogyakarta : Ombak Dua, 2013 ), h. 317.
[19] Ichtijanto, S.A, Hukum Islam Di Indonesia, h. 128
[20] Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 Dan Legislasi Hukum Islam Di Indonesia, ( Surabaya : Airlangga University Press, 2009 ), H. 53
[21] Afdol, Hukum Islam Di Indonesia, H. 54
[22] Muhammad Tahir Azhary. h. 85-86
[23] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari. h. 3
[24] Muhammad  Tahir  Azhary, h. 87,   mengutip dari Rasjidi, “Koreksi  Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisme”, bulan Bintang, Jakarta, h. 84.
[25] Muhammad tahir, h. 88, mengutip dari Majid Khaduri, “War and Peace”, h. 4
[26] Muhammad tahir, h. 88, mengutip dari Majid Khaduri, “War and Peace”, h. 4
[27] Muhammad tahir, h. 263, mengutip dari Majid Khaduri, “War and Peace, h. 4
[28] Muhammad tahir, h. 264, mengutip dari Majid Khaduri, “War and Peace”, h. 4