BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia
memungkinkan adanya pengaruh dan kontribusi yang besar terhadap
perundang-undangan di Indonesia. Hal ini tentunya juga akan mempengaruhi
kualitas hukum yang dihasilkan di bumi pertiwi Indonesia. Walaupun pada
hakekatnya Indonesia bukan Negara Islam namun tidak memungkinkan hukum-hukum
islam ikut mewarnai produk hukum di Indonesia dikarenakan para pemimpin dan
penguasa hampir 99% mayoritas dipegang dan diduduki orang-orang muslim.
Kelompok agama ini berjumlah sekitar 900 juta penganutnya, yang
tersebar di lebih 30 negara. Sebagian dari mereka hidup di Afrika (Maroko,
Aljazair, Tunesia, Libia, Mesir dan juga sebagian dari kaum Negro di sebelah
selatan sahar a. sebagian lagi tinggal di Asia bagian timur (Arab Saudi,
Syiria, Iraq, Turki)). Dan juga di Eropa (Albania dan Slavia Selatan) dan
bagian terbesar berada di Asia (Iran, Turkestan dan Asia Tengah(bekas
republic-republik Uni Soviet)), Afganistan, Pakistan, Bangla-Desh, Jazirah,
Malaysia, indonesia dll.
Secara teori hanya ada satu hukum islam, yang berlaku di semua
wilayah tempat bermukim kaum muslimin. Namun pada hakikatnyatelah ada sejak
berabad-abad beberapa aliran local dan perbedaannya terutama terletak pada cara
dunia islam bereaksi terhadap pengaruh tatanan-tatanan hukum barat.
Hukum islam adalah hukum yang berlaku bagi kaum muslim saja dan
bukan pada penduduk sebuah Negara oleh karena itu, penulis tertarik untuk
mengakaji lebih dalam terkait
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengakuan hukum islam, pancasila dan konstitusi?
2.
Apa saja macam
Teori eksistensi hukum
islam di indonesia?
3.
Apa itu teori Nomokrasi?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui Bagaimana pengakuan hukum islam, pancasila dan konstitusi.
2.
Untuk
mengetahui Apa saja macam Teori eksistensi hukum islam di indonesia.
3.
Untuk mengetahui Apa itu teori
Nomokrasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengakuan hukum islam dalam
pancasila dan konstitusi
Membicarakan
kedudukan hokum islam dalam tata hokum di Indonesia, tidak ada salahnya
membicarakan lebih dahulu umat islam. Umat islam di maksud, merupakan salah
satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman secara hokum
ketatanegaraan di Indonesia. Oleh karena itu, umat islam tidak dapat
terceraipisahkan dengan hokum islam yang sesuai keyakinannya. Namun demikian,
hokum islam di Indonesia bila dilihat dari aspek perumusan dasar Negara yang
dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia),
yaitu para pemimpin islam dalam Negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal,
usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada
tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri Negara bahwa Negara
berdasar Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemuluknya.
Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut
dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha
Esa”.
Penggantian kata dimaksud,
menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh muridnya (H. Mohammad Daud Ali)
mengandung norma dan garis hokum yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945
bahwa Negara Republi Indonesia berdasarkan atas Ketuhan Yang Maha Esa. Hal itu
hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut.
1. Dalam Negara Republik Indonesia
tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hokum
islam bagi umat islam dan juga agama lainnya. Hal ini berarti di dalam wilayah
Negara Republik Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hokum yang
bertentangan dengan norma-norma (hokum) agama dan kesusilaan bangsa Indonesia.
2. Negara Republik Indonesia wajib
menjalankan syariat islam bagi orang islam, dan sama juga halnya bagi
agama-agama yang lain. Makna dari penafsiran kedua adalah Negara Republik
Indonesia wajib menjalankan dalam pengertian menyediakan fasilitas agar hokum
yang berasal dari agama yang dianut oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana
sepanjang pelaksanaan hokum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau
penyelenggara Negara.
3. Syariat yang tidak memerlukan
bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya. Oleh karena itu, dapat
dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi
kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri
menurut agamanya masing-masing.
Mengenai perkataan
kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam pasal 29 UUD 1945
yang terletak dalam Bab Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut ini, Dr.
Muhammad Hatta ketika menjelaskan arti perkataan “kepercayaan” yang termuat
dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti
perkataan kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan agama. Kuncinya
adalah perkataan itu terdapat di ujung ayat (2) pasal 29 dimaksud. Kata “itu”
menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut.
Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan ini
digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab agama.
Berdasarkan uraian
dan penjelasan diatas, dapat diasumsikan bahwa islam dan kekuatan hukumnya
secara ketatanegaraan di Negara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945, yang
kemudian dijabarkan melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pedoman
bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di Indonesia.
Indonesia adalah
negara hukum,
yaitu mendasarkan semua tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu hukum
yang mengatur (Rule of Law). Di
dalam suatu tatanan hukum tersebut terdapat suatu sistem hukum. Sistem
hukum yang dianut di Indonesia merupakan Mix Law System yang mana di samping
berlakunya hukum perundang-undangan juga berlaku Hukum Islam Eksistensi Hukum
Islam termanifestasi di dalam konstitusi Negara Indonesia yang lazim dikenal
dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan suatu
hukum dasar yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara guna terwujudnya
suatu pemerintahan yang adil dan rakyat yang sejahtera. Dalam
kaitannya kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi mengatur kehidupan
beragama, yaitu sebagaimana tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD
1945 yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Prinsip ketuhanan
yang ditanamkan dalam UUD 1945 oleh the founding parents merupakan suatu perwujudan
akan pengakuan keagamaan. Dalam perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan
terhadap eksistensi Agama Islam Sebagai agama resmi dan Hukum Islam sebagai
hukum yang berlaku di Indonesia.
Selanjutnya mengenai
Islam dalam perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional UUD 1945
memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk Agama Islam untuk
menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam. Eksistensi ideologi Islam
secara expressiv verbis terdapat pada Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai
Pancasila yaitu, “Ketuhanan yang Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada
Q.S. Al Ihlas pada ayat (1) yang artinya “katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan
Yang Maha Esa”. Lebih lanjut pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yan tinggi yang berhubungan dengan
aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa” mencerminkan sifat bangsa kita yang percaya bahwa terdapat kehidupan
lain di masa nanti setelah kehidupan kita di dunia sekarang. Ini memberi
dorongan untuk mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan
bagi kehidupan yang baik di masa nanti.
Di samping itu,
dalam perspektif konstitusi terdapat keseimbangan mengenai hubungan negara,
hukum, dan agama. Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran
yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam
Pancasila.
Prinsip-prinsip
Hukum Islam yang dijadikan landasan ideal fiqih sebagimana dikatakan oleh
Juhaya S. Pradja yaitu:
1. Prinsip tauhidullah,
2. Prinsip insaniyah,
3. Prinsip tasamuh,
4. Prinsip ta’awun,
5. Prinsip silaturahim bain annas,
6. Prinsip keadilan, dan
7. Prinsip kemaslahatan.
Selanjutnya menurut
Muhammad Thahir Azhary, Agama Islam dalam sistem hukum nasional terdapat
berbagai relevansi hukum, baik dalam bentuk konsep maupun praktik hukum yang
ada, yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip permusyawaratan, di
dalam Alquran terdapat dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai
salah satu prinsip dasar nomokrasi (negar hukum) yang mempunyai relevansi
dengan hukum di Indonesia, yaitu terdapat pada Q.S. Al Syura ayat (38) ayat ini
menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau
kepentingan umum, Nabi selaku mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah
dengan para sahabatnya. Selanjutnya dijelaskan pula dalam Q.S. Ali Imran ayat
(159), yang berarti “dan bermusyawarahlah engkau dalam setiap setiap urusan”.
Ketentuan dalan surat tersebut mempunyai relevansi dengan sila keempat
pada Pancasila yang menyangkut mengenai
permusyawaratan.
2. prinsip keadilan, prinsip
keadilan merupakan prinsip ketiga dalam hukum Islam. Perkataan adil (al ‘adl,
al qisth, dan al mizan) menempati urutan ketiga yang paling banyak disebut di
dalam Alquran setelah kata “Allah” dan “ilmu pengetahuan”. Sehingga disimpulkan
bahwas Islam mengajarkan manusia di duia untuk selalu berbuat adil dengan
mengedepankan integritas yang tinggi.
Lebih lanjut isebutkan dalam Q.S. Annisa’ ayat (135) yang berarti “Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu benar-benar menjadi penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri, atau ibu-bapak dan
kerabatmu”. Secara konstitusional konsep dan prinsip keadilan dapat ditemukan
pada sila ke lima pada Pancasila, yang menjadi landasan dasar dari tujuan dan
cita-cita-cita negara (staatsidee) sekaligus sebagai landasan filosofis negara
(filosofische grondslag).
3. Prinsip persamaan atau
kesetaraan dan hak asasi manusia, prinsip persamaan dalam hukum Islam mencakup
persamaan dalam segala bidang termasuk di bidang politik, hukum dan sosial.
Perdamaan di bidang hukum memberikan jaminan akan perlakuan dan perlindungan
hukum yang sama terhadap semua orang tanpa memandang kedudukan asalnya
(original position).
Prinsip persamaan, termasuk prinsip kebabasan yang sama tercermin dari adanya
ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights and
fredoms of citizens). Berkaitan dengan hak kesetaraan hukum antara pria dan
wanita (gender) dapat ditemukan pada Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1) UUD 1945
Pasca amandemen. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat (228) disebutkan yang artinya yaitu
para perempuan mempunyai hak yang setara dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf.
4. Prisip peradilan yang bebas,
yaitu peradilan yang berguna memberikan keadilan bagi para pencari keadilan
(justiciabelen). Justice Abu Hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman
harus kebebasan dari segala macam bentuk pressure (tekanan) dan campur tangan
kekuasaan eksekutif. Bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim
untuk menjatuhkan putusan pada seseorang penguasa apabila ia melaggar hak-hak
rakyat.
Prinsip peradilan yang bebas dijelaskan dalam Q.S. An nisaa ayat (58) yang berarti
“Bila kamu menetapkan hukum di antara manusia maka hendaklah kamu tetapkan
dengan adil”. Dalam bidang justisial, secara normatif mewajibkan tercantum kata
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada setiap putusan hakim.
Di samping itu, mengenai peradilan terdapat pengakuan eksistensi terhadap
Peradilan Agama sebagai peradilan yang independen. Peradilan agama merupakan
peradilan bagi orang-orang Islam dengan kewenangan memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara perdata antara orang Islam.
5. Prinsip kesejahteraan, dalam
prinsip ini ada motivasi pelaksanaan prinsip kesejahteraan yaitu doktrin Islam
“hablun min Alah wa hablun min annas”, yaitu aspek ibadah dan aspek mu’amalah.
Dengan kata lain, realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata bertujuan
untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat.
B. Teori
eksistensi hukum islam di indonesia
Hukum
islam baru dikenal di indonesia setelah agama islam disebarluaskan di tanah
air. Walaupun para ahli berbeda pendapat mengenai kapan islam masuk ke
indonesia, namun dapat dikatakan bahwa setelah islam datang ke indonesia, hukum
islam telah diakui dan dilaksanakan oleh pemeluk agama islam di nusantara.
Ada
beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli hukum menyangkut pemberlakuan
hukum islam di indonesia. Teori-teori tersebut antara lain :
1. Teori
penerimaan otoritas hukum
Teori ini
dikemukakan oleh H.A.R Gibb dalam bukunya yaitu the modern trends of islam,
yaitu bahwa orang islam jika telah menerima islam sebagai agamanya, ia menerima
otoritas hukum islam terhadap dirinya. Secara sosiologis orang-orang yang telah
beragama islam menerima otoritas hukum islam dan taat kepada hukum islam.
Tingkatan ketaatan seseorang pasti berbeda-beda tergantung kepada individu
masing-masing. Menurut gibb, hukum islam adalah alat yang ampuh untuk mempersatukan
etika sosial islam. Teori ini menggambarkan bahwa di dalam masyarakat islam ada
hukum islam. Mereka yang telah menerima islam sebagai agamanya juga menerima
otoritas hukum islam terhadap dirinya.
2. Teori receptio
in complexu
Teori ini
dikemukakan oleh lodewijk willem christian van den berg ( 1854- 1927 ). Van den
berg adalah ahli hukum islam dari belanda yang tinggal cukup lama di indonesia.
Menurut teori ini bagi orang islam berlaku penuh hukum islam sebab mereka telah
memeluk agama islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Pada prinsipnya teori ini menyatakan bahwa hukum
yang berlaku bagi suatu kasus adalah hukum menurut agama yang ada di daerah
tersebut.
Teori ini
diangkat dari kenyataan yang menunujukkan bahwa sebelum voc berkuasa di
indonesia banyak kerajaan islam yang memberlakukan hukum islam. Di
kerajaan-kerajaan tersebut diterapkan norma-norma hukum islam. Kerajaan yang
memberlakukan hukum silam antara lain kerajaan samudra pasai, kesulthanan
demak, kesultanan mataram, cirebon, banten, ternate, kesultanan buton, sumbawa,
kalimantan selatan, kutai, pontianak, surakarta dan palembang. Diwilayah
kerajaan tersebut diberlakukan hukum islam dan ada lembaga peradilan agama.
Teori
receptio in complexu ini muncul sebagai rumusan dari keadaan hukum yang ada dan
bersumber dari prinsip hukum islam bagi orang islam berlaku hukum islam. Van
den berg mengkonsepkan staatsblad 1882 nomor 152 yang berisi ketentuan bahwa
bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agamanya yang berada di
dalam lingkungan hidupnya. Jadi yang berlaku untuk rakyat jajahan yang beragama
islam di indonesia adalah hukum islam. Karena yang berlaku ketentuan hukum
islam atau norma hukum islam maka badan peradilan agama yang pada waktu
pemerintahan hindia belanda datang ke indonesia sudah ada dilanjutkan dan
diakui kewenangan hukumnya. Berdasarkan teori receptio in complexu ini maka
hukum yang berlaku bagi suatu kasus adalah hukum agama yang berada di negara
tersebut.
3. Teori receptie
Teori ini
dikemukakan oleh christian snouck hurgronje ( 1857-1936 ) kemudian dikembangkan
oleh C. van vollenhoven dan ter haar. Teori receptie menyatakan bahwa bagi
rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum islam berlaku apabila
hukum islam telah diterima masyarakat sebagai hukum adat.
Teori ini pada prinsipnya bertujuan untuk mempersulit berlakunya hukum islam di
tengah-tengah masyarakat.
Teori
receptie ini berpangkal dari keinginan snouck hurgronje agar orang-orang
pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran islam, sebab pada
umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran islam dan hukum islam tidak mudah
dipengaruhi oleh peradapan barat. Oleh sebab itu ia memberikan nasihat kepada
pemerintahan hindia belanda untuk mengurus islam di indonesia dengan berusaha
menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat kepada kebudayaan eropa dan
pemerintah hindia belanda. Digariskan beberapa kebijakan sebagai berikut :
a. Dalam kegiatan
agama dalam arti sebenarnya ( agama dalam arti sempit ), pemerintah hindia
belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan secara penuh tanpa
syarat bagi orang-orang islam untuk melaksanakan ajaran agamanya.
b. Dalam bidang
kemasyarakatan, pemerintah hindia belanda hendaknya menghormati adat istiadat
dan kebiasaan rakyat yang berlaku dengan membuka jalan yang dapat meningkatkan
taraf hidup rakyat jajahan kepada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati
pemerintah hindia belanda dengan memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh
jalan ini.
c. Di bidang
ketatanegaraan mencegah tujuan yang dapat membawa atau menghubungkan gerakan
pan islamisme yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam
hubungan mengahadapi pemerintah hindia belanda terhadap rakyat bangsa timur.
Eksisitensi
teori receptie ini kemudian dikokohkan melalui pasal 134 I.S yang menyatakan
bahwa bagi orang pribumi kalau hukum mereka menghendaki, diberlakukan hukum
islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hkum adat. Kebijaksanaan
pemerintah hindia belanda selanjutnya adalah bersaha melmphkan dan menghambat
pelaksanaan hkm islam dengan cara sebagai berikut :
a. Sama sekali
tidak memaskkan masalah hudud dan qishash dalam bidang hukum pidana. Hukum
pidana yang diberlakukan diambil langsung dari wetboek van strafrecht dari
nederland yang diberlakukan sejak januari 1919
b. Di bidang tata
negara, ajaran islam yang mengenal hal tersebt dihancurkan sama sekali.
Pengajian ayat-ayat suci al-qur’an yang memberikan pelajaran agama dan
penguraian hadits dalam bidang politik tentang kenegaraan atau ketatanegaraan
dilarang.
c. Mempersempit
berlakunya hukum muamalah yang menyangkt hukum perkawinan dan kewarisan. Khusus
untuk hkm kewarisan islam diusahakan tidak berlaku. Sehubungan dengan hal itu
diambil langkah-langkah :
1) Menaggalkan
wewenang peradilan agama di jawa dan madura, serta kalimantan selatan untuk
mengadili perkara waris
2) Memberi
wewenang mengadili perkara waris kepada landraad
3) Melarang
penyelesaian dengan hukum islam jika di tempat adanya perkara tidak diketahi
bagaimana bunyi hukum adat
Karena
sangat merugikan hukum islam dan umat islam, teori ini mendapat tentangan dari
para pemikir hukum islam di indonesia. Dengan teori ini, menurut mereka belanda
ingin mematikan pertumbuhan hukum islam dalam masyarakat sejalan dengan
pengejaran dan pembunuhan terhadap para pemuka dan ulama besar islam seperti
yang terjadi di aceh.
4. Teori receptie
exit
Teori ini
dikemukakan oleh hazairin, seorang pakar hukum islam dari universitas
indonesia. Ia berpendirian bahwa setelah indonesia merdeka, setelah proklamasi,
dan setelah UUD 1945 dijadikan undang-undang dasar negara, maka walaupun aturan
peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Seluruh peraturan perundangan pemerintah hindia
belanda yang berdasarkan ajaran teori receptie tidak berlaku lagi, karena
jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Menurut hazairin teori receptie tidak berlaku
lagi dan harus exit karena bertentangan dengan al-qur’an dan as-sunnah bahkan
ia menyebutnya sebagai teori iblis, karena dengan adanya teori exit ini
masyarakat semakin dijauhkan dari nilai-nilai al-qur’an dan as-sunnah.
Setelah
proklamasi, UUD 1945 di nyatakan berlaku yang didalamnya ada semangat merdeka
di bidang hukum. Adanya peraturan peralihan dimaksudkan untuk menghindari
kevakuman hukum, oleh karena itumasih diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum
dan keinginan-keinginan hukum yang ada, selama jiwanya tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Menurut hazairin masih banyak aturan pemerintah hindia belanda
yang bertentangan dengan UUD terutama yang merupakan produk dari teori
receptie.
Berdasarkan
teori hazairin ini maka dapat dinyatakan :
a. Teori receptie
telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara indonesia sejak tahun 1954
dengan kemerdekaan bangsa indonesia dan mulai berlaku UUD 1945 dan dasar negara
indonesia. Demikian pula keadaan ini setelah adanya dekrit presiden tanggal 5
juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945
b. Sesuai dengan
pasal 29 ayat 1 UUD 1945, negara republik indonesia berkewajiban membentuk
hukum nasional indonesia yang bahannya adalah hkum agama
c. Hukum agama
yang masuk dan menjadi hukum nasional indonesia it bukan hanya hukum islam
saja, melainkan juga hukum agama lain u nntuk pemeluk agama lain tersebut.
Hukum agama dibidang hukum perdata dan pidana diserap menjadi hukum nasional
indonesia. Itulah hukum baru indonesia dengan dasar pancasila.
5. Teori receptio
a contrario
Teori
receptio a contrario ini adalah pengembangan dari teori receptie exit. Menurut
teori yang dicetuskan pada tahun 1980 oleh sayuti thalib pada prinsipnya teori
ini berpendapat bahwa :
a. Bagi orang
islam berlaku hukum islam
b. Hal tersebut
sesai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya
c. Hukum adat
berlaku bagi orang islam kalau tidak bertentangan dengan agama islam dan hukum
islam
Teori ini
disebut dengan nama demikian, karena memuat ajaran teori yang merupakan
kebalikan dari teori receptie. Perbedaan antara teori receptie exit dengan
teori receptie contrario terletak pada pangkal tolak pemikirannya. Teori
receptie exit berpangkal tolak pada kenyataan bahwa sejak kemerdekaan bangsa
berdirinya republik indonesia, dasar negara pancasila, UUD 1945 dalam pembukaan
dan bab XI, dan pemahaman terhadap pasal II aturan peralihan ialah dengan
mendahulukan dasar dan jiwa kemerdekaan, dan tidak menerima pemahaman rumusan
aturan peralihan secara formal belaka.
Landasan
pemikiran teori receptie contrario ialah dengan pemikiran bahwa didalam negara
republik indonesia yang merdeka, sesuai dengan cita-cita batin, moral, dan
kesadaran hkum kemerdekaan, berarti ada keleluasaan untuk mengamalkan ajaran
agama dan hukum agama. Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum islam
terhadap hukum adat dimana hukum adat didahulukan sebagai hukum yang berlaku,
maka teori teori receptie a contrario mendudukan hukm adat di dalam penilaian
hukum islam.
Menurut
A. Hamid S. Attamimi, pertentangan antara teori receptio in complexu dengan
teori receptie nampaknya telah surut dan kini cenderung berlangsung penerimaan
teori yang pertama ketika bangsa indonesia memasuki alam kemerdekaan. Dengan
dibentuk departemen agama dan peradilan agama, pemerintah tampaknya telah
mengakui teori receptie in complexu. Namun demikian, ditinjau dari sudut teori
perundang-undangan hukum islam di indonesia masih merupakan hukum yang tidak
tertulis, dalam arti hukum peraturan perundang-undangan bukan geschereven
wettelijk regels.
6. Teori recoin (
receptio contextual interpretation )
Teori ini
diperlukan untuk melanjutkan teori-teori receptio in complexu, receptie exit,
dan receptio a contrario, yang telah memberikan landasan teori berlakunya hukum
islam di indonesia. Pemberlakuan hukum
islam terutama dibidang hukum waris islam dengan menerapkan penafsiran
tekstual, ternyata secara empiris dirasakan menimbulkan ketidakadilan. Perkara
waris sebanyak 88,18 % diajukan ke pengadilan negeri yang mengadili berdasarkan
hukum adat. Oleh karena itu dalam penerapan hukum waris islam perlu dilakukan
penafsiran teks ayat-ayat al-qur’an itu secara kontekstual.
Dengan
dasar pemikiran bahwa hukum yang diciptakan tuhan bagi manusia pasti adil.
Tidak mungkin tuhan menurunkan aturan hukum yang tidak adil. Demikian juga
al-qur’an surat an-nisa’ ayat 11 yang antara lain menentukan bahwa bagian
warisan untuk anak laki-laki adalah dua kali bagian warisan anak perempuan
adalah setengah bagian anak laki-laki.
Dengan
menggunakan interpretasi secara tekstual, ayat tersebt secara rasional dapat
dinilai tidak adil. Berbeda halnya jika ayat tersebt ditafsirkan secara
kontekstual. Pada kasus-kasus tertentu, ayat tersebut dapat diberi interpretasi
bahwa bagian warisan anak perempuan adalah minimal setengah bagian anak
laki-laki. Interpretasi secara kontekstual inilah yang dinamakan teori recoin.
7. Teori
eksistensi
Dari dua
teori yang muncul setelah masa kemerdekaan indonesia diatas, maka berkelanjutan
dengan munculnya teori eksistensi. Teori eksistensi adalah teori yang
menerangkan tentang adanya hukum islam dalam hukum nasional indonesia/ hukum
positif. Menurut teori ini bentuk eksistensi hukum islam dalam hukum nasional
ialah :
a. Ada, yang
dalam arti hukum islam berada dalam tata
hukum nasional sebagai bagian ang terintegral darinya
b. Ada, dalam
arti lain aitu kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasiinal dan
sebagai hukum nasional
c. Ada dalam
hukum nasional, dalam arti norma hukum islam berfungsi sebagai penaring
bahan-bahan hukum nasional indonesia
d. Ada dalam
hukum nasional, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur penting hukum nasional
indonesia.
Berdasarkan
teori ini maka keberadaan hukum islam dalam tata hukum indonesia merupakan
sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Behkan lebih dari itu, hukum
islam merupakan bahan utama atau unsur utama hukum nasional.
C.
Teori Nomokrasi
Dalam konteks hukum
tata negara, Istilah Nomokrasi (nomocracy : Inggris) berasal dari bahasa latin nomos‟
yang berarti norma dan cratos yang berarti kekuasaan, yang jika digabungkan
berarti faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum,
karena itu istilah ini sangat erat dengan gagasan kedaulatan hukum sebagai
kekuasaan tertinggi. Jika istilah ini dikaitkan dengan Islam sebagai suatu
komunitas baik agama maupun negara, maka makna yang muncul adalah kedaulatan
hukum Islam sebagai penguasa tertinggi, atau yang lebih dikenal dengan
supremasi Syari‟ah.
Ide mengenai Negara hukum
menurut Jimly Asshidiqie , selain terkait dengan konsep rechstaat dan the rule
of law juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal dari perkataan nomos
yang berarti norma dan cratos yang berarti kekuasaan. Sehingga dapat diartikan
bahwa yang harus di utamakan dalam nomocracy adalah penggunaan norma atau hukum
untuk melaksanakan kekuasaan. Dalam istilah A. V. Dicey nomokrasi dapat
dikaitkan dengan prinsip rule of law yang berkembang di Amerika Serikat,
sehingga menghadirkan jargon the rule of law, and not of man. Yang dimaksud
sebagai pemimpin adalah adalah hukum itu sendiri, bukan orang.
Perkembangan pada
hukum dan konstitusi modern, bagi hukum Islam akan beradaptasi dengan hukum
modern (modern jurisprudent) baik yang
berada dalam ranah rule of law maupun rechstaat. Karena itu dalam perancangan
konstitusi sebuah negara, ia tidak terlepas dari ciri khas hukum Islam. Apalagi
sulit dinafikan, saat ini banyak pemuka dan pembaharu Islam menginginkan agar
beberapa syariat diintegrasikan dalam konstitusi guna mengatur warga dan pemeluk
agama Islam.
Konsep nomokrasi
seperti ini juga dikenal dalam Islam, Nomokrasi Islam menurut Thahir Azhary
adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum seperti berikut:
a. Prinsip kekuasaaan sebagai
amanah.
Perkataan amanah ini
tercantum dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 58 yang berbunyi :
Artinya : “sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan
memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah member pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Thahir Azhary,
dengan mendasarkan kepada pendapat Hazairin dan Sayjuti Thalib, menyatakan
bahwa dari ayat tersebut dapat diambil dua garis hukum yaitu, Pertama, manusia
diwajibkan menyampaikan amanah atau amanat kepada yang berhak menerimanya.
Kedua, menusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.
b. Prinsip musyawarah.
Al-Qur’an, dalam
konteks musyawarah ini paling tidak ada dua ayat di dalamnya yang menggariskan
tentang keberadaan musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam nomokrasi
Islam. Ini dapat dilihat dalam surat Al-Syura ayat 38 yang berbunyi :
Artinya :“dan (bagi)
orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedangkan
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”
Ayat ini
menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau
kepentingan umum Nabi selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah
dengan para sahabatnya. Dalam ayat lain, Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah
untuk selalu bermusyawarah
c. Prinsip keadilan.
Prinsip Keadilan
ini, sebagaimana seluruh prinsip nomokrasi Islam dapat kita temukan dalam
Al-Qur’an dan Hadits, salah satunya dalam surah An-Nisa ayat 135, :
Artinya :
“ Wahai orang-orang
yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan (qawwamin bi
al-qisti ), menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, atau
Ibu-Bapak dan kamu kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.
d. Prinsip persamaan.
Prinsip persamaan
dalam Islam ini dapat kita lihat dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya berbunyi
:
“ Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang-orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan
Maha Mengenal “.
Ayat tersebut di
atas melukiskan bagaimana kejadian manusia, proses penciptaan yang seragam
merupakan suatu kriteria bahwa dasarnya semua manusia adalah sama, inilah yang
disebut prinsip persamaan dalam nomokrasi Islam. Prinsip persamaan dalam
nomokrasi Islam mengandung aspek yang luas, ia mencakup persamaan dalam segala
bidang kehidupan.
e. Prinsip pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia.
Dalam Nomokrasi
Islam, hak-hak manusia bukan hanya diakui, namun dilindungi sepenuhnya, karena
itu ada dua prinsip yang kuat, pertama, prinsip pengakuan hal-hak asasi
manusia, kedua, prinsip perlindungan terhadap hak-hak tersebut. Secara tegas
dalam surat Al-Isra’ ayat 70 Allah berfirman yang artinya :
“ Dan sesungguhnya
Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami tebarkan mereka di darat dan di laut
serta Kami anugerahi mereka rizki yang baik-baik dan kami lebihken mereka
dengan kelebihan yang sempurna daripada
kebanyakan Makhluk yang telah kami ciptakan “.
f. Prinsip peradilan bebas.
Prinsip ini
berkaitan dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam nomokrasi Islam seorang
hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam makna setiap putusan yang dia ambil
bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan
persamaan terhadap siapapun, Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 58 sudah
menetapkan sebuah ketentuan hukum bahwa :
Artinya :
Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila
menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kalian menetapkan dengan adil.
Nomokrasi Islam
memposisikan hakim dalam kedudukan yang bebas dari pengaruh siapapun. Hakim
bebas pula menentukan dan menetapkan putusannya. Bahkan dia memiliki kewenangan
untuk melakukan ijtihad dalam menegakkan hukum.
Meskipun seperti
itu, peradilan bebas dalam nomokrasi Islam ini tetap tidaklah boleh
bertentangan dengan tujuan hukum Islam (al-maqasid al-khamsah) , jiwa Al-Qur’an
dan sunnah Nabi Muhammad.
g. Prinsip perdamaian.
Salah satu tugas
pokok yang dibawa Rosulullah melalui ajaran Islam ialah mewujudkan perdamaian
bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Arti kata Islam, selain penundukan
kepada Allah, keselamatan, dan kesejahteraan, juga berarti perdamaian.
Al-Qur’an dengan tegas menyerukan pada perdamaian, seperti yang ada dalam surat
Al-Baqarah ayat 208 :
Nomokrasi Islam
harus ditegakkan atas dasar prinsip perdamaian. Hubungan dengan Negara-negar
lain harus dijalin dan berpegang pada prinsip perdamaian. Pada dasarnya sikap
bermusuhan atau perang merupakan sesuatu yang terlarang dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an mengizinkan tindakan kekerasan atau perang sebagai tindakan darurat
dan untuk membela diri, jadi apabila pihak lain memulai terlebih dahulu
melancarkan serangan atau coba memerangi ajaran Islam.
h.
Prinsip kesejahteraan.
Prinsip
kesejahteraan dalam nomokrasi Islam bertujuan mewujudkan keadilan sosial dan keadilan
ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat atau rakyat. Pengertian nomokrasi Islam
bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materiil atau kebendaan saja, akan
tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual dari seluruh rakyat. Negara
berkewajiban memperhatikan dua macam kebutuhan itu dan menyediakan jaminan
sosial untuk mereka yang kurang atau tidak mampu. Al-Qur’an telah menetapkan
sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan sosial bagi anggota masyarakat dengan
berpedoman pada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi, sumber-sumber
dana tersebut antara lain adalah : zakat, infaq, sodaqoh, hibah, dan wakaf, dengan
tidak menutupi kemungkinan bagi pendapatan dan pendapatan-pendapatan Negara
dari sumber-sumber lain, seperti pajak, bea, dan lain-lain.
Dalam nomokrasi
Islam hanya ada satu motivasi pelaksanaan prinsip kesejahteraan, yakni doktrin
hablu min-Allah wa hablu min al-nas, yaitu aspek ibadah dan aspek mu’amalah.
Dengan kata lain, realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata bertujuan
untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat, sesuai dengan perintah Allah
SWT.
i. Prinsip ketaatan rakyat.
Bagaimana tentang
hubungan antara pemerintah dan rakyat, Al-Qur’an telah menetapkan suatu prinsip
yang dapat dinamakan sebagai prinsip ketaatan rakyat. Prinsip ini ditegaskan
dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi :
Artinya :
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya serta para pemimpin di
antara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang suatu hal, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul-Nya (Sunnah) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian lebih utama
bagimu dan lebih baik akibatnya.
Hazairin
menafsirkan, “menaati Allah” ialah “tunduk kepada ketetapan ketetapan Allah”,
“menaati Rosul” ialah tunduk pada ketetapan Rosulullah Muhammad SAW. Dan
“menaati ulil amri” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas-petugas
kekuasaan masing-masing dalam lingkungan tugas kekuasaannya. Dalam konteks ulil
amri sebagai petugas-petugas kekuasaan Negara, terdapat dua macam ketetapan
yang dikeluarkan oleh ulil amri.
Dengan demikian
berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum dengan konsep nomokrasi Islam di atas,
maka nomokrasi Islam adalah genus yang tepat untuk istilah bagi negara yang
tunduk dan taat pada aturan hukum Islam-syariah.
Nomokrasi Islam
memiliki atau ditandai oleh prinsip-prinsip umum yang digariskan dalam
al-Qur’an dan dicontohkan dalam sunnah. Diantara prinsip-prinsip itu, maka
prinsip musyawarah, keadilan dan persamaan merupakan persamaan yang menonjol
dalam nomokrasi Islam. Sedangkan teokrasi adalah suatu miskonsepsi atau kegagalan
pemahaman (vervostandnis) terhadap konsep negara dari sudut hukum Islam. Karena
baik secara teoritis maupun sepanjang praktik sejarah Islam, teokrasi tidak
dikenal dan tidak pula pernah diterapkan dalam Islam.
Nomokrasi Islam
adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip kekuasaan sebagai amanah,
musyawarah, keadilan, persamaan, pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak
asasi manusia, peradilan bebas, perdamaian, kesejahteraan dan ketaatan rakyat.
Istilah Nomokrasi Islam
itu sendiri adalah untuk menyebutkan konsep negara hukum dari sudut Islam atau
untuk lebih memperlihatkan kaitan negara hukum itu dengan hukum Islam yang
sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Berdasarkan hal
tersebut di atas maka predikat negara dalam Islam yang paling tepat adalah
Nomokrasi Islam artinya kekuasaan yang didasarkan kepada hukum-hukum yang
berasal dari Allah, “karena Tuhan itu abstrak dan hanya hukum-Nyalah yang nyata
tertuli.
Majid Khadduri
mengutip rumusan nomokrasi dari The Oxford
Dictionary sebagai berikut: “Nomokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang
didasarkan pada suatu kode hukum: suatu rule of law dalam suatu
masyarakat”.
Menurut Mohammad Tahir Azhary, apabila rumusan Khadduri tersebut digunakan
sebagai titik tolak, maka rumusan nomokrasi Islam adalah: suatu sistem
pemerintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam (syari’ah),
dan ia merupakan Rule of Islamic Law.
Dimana Allah adalah titik sentralnya (Teosentrik).
Mohammad Tahir Azhary
mengemukakan beberapa keunggulan/ kelebihan dari Nomokrasi Islam, yaitu:
1. Nomokrasi Islam bersumber dari
wahyu Allah SWT, dan karena itu mengandung kebenaran mutlak.
2. Memiliki sifat bidimensional,
yaitu: duniawi dan ukhrawi.
3. Konsep Nomokrasi Islam berisi
nilai-nilai Ketuhanan (Ilahiyah) dan kemanusiaan (Insaniyah).
4. Nomokrasi Islam dilandasi oleh
dua doktrin pokok dalam Islam, yaitu: (1) tauhid (unitas) atau Ketuhanan Yang
Maha Esa (2) amar mar’ruf nahi munkar, artinya agar manusia
memerintahkan perbuatan baik (kebajikan) dan mencegah perbuatan buruk.
5. Nomokrasi Islam berlaku bagi
seluruh umat manuisa, prinsip-prinsipnya mengandung nilai-nilai yang universal,
eternal dan sesuai dengan fitrah manusia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Dapat diasumsikan bahwa islam
dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara Indonesia adalah
Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam
yang menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di
Indonesia.
2. Teori
penerimaan otoritas hukum, Teori receptio in complexu, Teori receptive, Teori
receptie exit, Teori receptio a contrario, Teori recoin ( receptio contextual interpretation
) dan Teori eksistensi.
3.
Teori
Nomokrasi adalah faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma
atau hukum, karena itu istilah ini sangat erat dengan gagasan kedaulatan hukum
sebagai kekuasaan tertinggi.
B.
Saran
Demikianlah makalah ini kami buat,
semoga dengan adanya makalah ini bisa sedikit banyak memberikan wacana kepada
para pembaca tentang kedudukan hukum islam di Indonesia dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya. Disamping itu, kami juga mengharapakan kritik dan saran
dari pembaca, yang mungkin dalam penjelasan dan pembahasan di atas masih
memiliki banyak kekurangan, guna dijadikan acuan dalam penulisan atau
pembahasan selanjutnya. Demikian akhir kata kami, semoga makalah ini bermanfaat
bagi semua, khususnya bagi pembaca dan penulis. Amin.
Daftar Pustaka
Afdol. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 Tahun
2006 Dan
Legislasi
Hukum Islam Di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press, 2009.
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum(Legal
Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi
Undang-undang (Legisprudence). Jakarta, Kencana:2009.
Azhari, Muhammad Tahir. Negara Hukum Suatu Segi Tentang
Prinsip-prinsip
Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta,
Kencana : 2007.
Bakir, Herman. Filsafat Hukum: Desain dan
Arsitektur Kesejarahan.
Jakarta,Refika Adhitama:2007.
Ichtijanto, S.A. Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam Di
Indonesia.
Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991.
Marzuki. Pengantar Studi Hukum Islam: Prinsip Dasar Memahami
Berbagai Konsep Dan Permasalahan Hukum Islam Di Indonesia.
Yogyakarta :
Ombak Dua, 2013 .
Thalib, Sajuti. Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam. Jakarta : Bina
Aksara, 1995.
Achmad
Ali, Menguak Teori Hukum(Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence),
(Jakarta, Kencana:2009), h. 204.
Herman
Bakir, Filsafat Hukum: Desain dan Arsitektur Kesejarahan, (Jakarta,Refika
Adhitama:2007), h. 177.