BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran
sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, ahklak, dan hukum.
Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah Saw dengan Sunnahnya
sehingga, sepanjang hidup beliau, hukum setap kasus dapat diketahui berdasarkan
nash Al-quran atau Al-Sunnah. namun, pada masa berikutnya, masyarakat mengalami
perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas dan para sahabat pun
tersebar keberbagai daerah seiring dengan arus ekspansi yang berhasil dengan
gemilang.
Selain aktif
dalam jihad dan dakwah, para sahabat terkemuka juga mengemban tanggung jawab
sebagai rujukan fatwa dan informasi keagamaan bagi umat di daerah yang mereka
datangi. Kontak antara bangsa arab dan bangsa lain diluar jazirah Arab dengan
corak budayanya yang beragam sehingga menimbulkan berbagai kasus baru yang
tidak terselesaikan degan tunjukan lahir nash semata-mata. Untuk
menghadapi hal itu, para sahabat terpaksa melakukan ijtihad. Tentu saja mereka
tetap mempedomani nash-nash Al-quran atau hadist dan hanya melakukan
ijtihad secara terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang dihadapi. Karena
ijtihad merupakan upaya memahami dan menjabarkan Al-quran dan sunnah dengan
mempertimbangkan seluruh makna serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Pada masa berikutnya, tanggung jawab itu beralih kepada para tokoh tabi’in,
dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid dari generasi berikutnya.
Untuk memenuhi
kebutuhan fatwa yang terus meningkat, mereka berusaha merumuskan kaidah-kaidah
sebagai pedoman dalam berijtihad. Sejalan dengan perbedan kaidah-kaidah yang
dirumuskan, fatwa-fatwa yang lahir sebagai hasil ijtihad pun banyak yang
berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain.
Secara umum,
sebagai produk social budaya semasa dan setempat, ilmu selalu terkait dengan
kondisi masyarakat, ilmu hukum juga tidak terkecuali. Hukum mengatur perilaku
masyarakat, tetapi kebiasaan yang berlaku turut pula menjadi hukum sendiri .
dalam hukum islam, ketentuan hukum Islam yang terkait dengan, atau diatur
berdasarkan urf’ cukup besar jumlahnya.
Dari masa
kemasa, proses ijtihad tetap dilaksanakan mulai dari masa sahabat hingga saat
ini para ulama melakuka ijtihad dengan tujuan mendapatkan jawaban hukum yang
tidak ada dalam nash ataupun sunnah.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini diantaranya adalah:
1.
Bagaimana metode Istimbath
Ulama kontemporer?
2.
Bagaimana metode Istidlal Kontemporer?
3.
Bagaimana metode istimbath Yusuf Qardhawi?
4.
Bagaimana metode istimbath Ibnu Qayyim?
C.
Tujuan
Dari Rumusan Masalah dimuka dapat diketahui tujuan diantaranya
adalah:
1.
Untuk mendiskripsikan metode Istimbath
Ulama kontemporer.
2.
Untuk mengetahui metode istidlal kontemporer.
5.
Untuk mengetahui metode istimbath Yusuf Qardhawi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Metode Istimbath Ulama Kontemporer
Istinbath hukum yaitu suatu cara yang dilakukan oleh pakar hukum (fiqih)
untuk mengungkapkan suatu dalil yang dijadikan dasar hukum. Dalil-dalil dan sumber-sumber yang digunakan dalam istinbath hukum
ini bisa berdasar atas teks (bi al-nashi)maupun bukan teks (ghaira al-nashi).[1]
Metode Ijtihad Kontemporer Di kalangan ulama mutaakhkhirīn (kontemporer), dikenal tiga metode penalaran,
yaitu: al- Ijtihād al-Bayānī; al-Ijtihad al-Qiyāsī dan al-Ijtihad al-
Istislāhī.[2]
1.
Al-Ijtihād al-Bayānī
Ijtihad bayani yaitu
ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya dhanni,
baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijitihad
bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu
di antara beberapa pemahaman yang berbeda. Dalam hal ini hukumnya tersyrat
dalam nash, namun tidak memberikan penjelasan yang pasti. Ijtihad disini hanya
memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nash itu.[3]
Metode penalaran bayānī, pada dasarnya memberikan penafsiran
terhadap nas (Alquran dan Sunnah), di mana lafal-lafalnya mengandung
kemungkinan makna bervariasi. Hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya uslūb
atau gaya bahasa Arab yang beragam, dan ulama memiliki peluang menafsirkan
secara berbeda. Maka pada dasarnya, dari sinilah sebenarnya pola bayānī secara
fungsional dan metodologis mendapatkan prioritas dan otoritas, dalam rangka
memaknai dan memahami teks-teks nas.
Perlu dipahami bahwa,
corak penalaran bayānī ini, berbeda dengan kedua corak (ta’līlī dan istislāhī)
dalam hal adanya ketentuan hukum sebuah masalah dalam atau tersebut dalam nas,
sedangkan kedua corak yang disebut terakhir, sebaliknya tidak memliki ketentuan
hukum dalam nas, sehingga, corak ta’līlī mengakomodir ketentuan hukum pada
hukum asal (al-asl) karena adanya kesamaan ‘illat, sedangkan pada corak
penalaran istislāhi bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan manusia, tetapi
tidak terlepas dari spirit nas. Menurut ulama Hanafiyah, penunjukan bayānī
terhadap teks-teks keagamaan sebagai kegiatan ijtihad dapat dibedakan dalam
empat kategori, yaitu:
a.
Dilālat al-Ibārah
Yang dimaksud dilālat al-Ibārah menurut Abu Zahrah
adalah:
وهي المعنى المفهوم من اللفظ سواء اكان نصا او
ظاهرا
makna yang dapat
dipahami dari apa yang disebut dalam lafadz, baik dalam bentuk nash maupun
dhahir.
Mengandung arti bahwa
makna yang dimaksud langsung dipahami dari lafadz yang disebutkan, apakah dalam
bentuk penggunaan asalnya(nash) atau bukan menurut asalnya (dhahir). Pemahaman
lafadz dalam bentuk ini adalah menurut apa adanya yang dijelaskan dalam lafadz
itu. Pemahamannya secara “tersurat” dalam lafadz.
Salah satu ayat yang
dijadikan contoh oleh ulama Hanafiyah dalam rangka memperjelas dilālah
al-‘ibārah adalah firman Allah swt. dalam QS al-Nisa (4) : 3
÷bÎ)ur
÷LäêøÿÅz
wr&
(#qäÜÅ¡ø)è?
Îû
4uK»tGuø9$#
(#qßsÅ3R$$sù
$tB
z>$sÛ
Nä3s9
z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB
y]»n=èOur
yì»t/âur
(
÷
Artinya: Jika kamu takut
tidak akan berlaku adil dalam hal anak yatim maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil.
Ayat ini menurut ibarat
nash atau menurut yang tersurat, sesuai dengan tujuan semula, yaitu bolehnya
mengawini perempuan sampai empat orang saja, bila terpenuhi syarat adil. Lafadz
dalam ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukan hal tersebut.[4]
b.
Dilālat al-Isyārah,
Yang dimaksud dengan dilālah al-isyārah atau disebut juga dengan isyarah al-nash
adalah :
ما يدل عليه اللفظ بغير عبارة
Hakikat dilalah isyarah
itu ialah bahwa lafadz yang diungkapkan memberi arti kepada suatu maksud, namun
tidak menurut apa yang secara jelas disebutkan dalam lafadz itu. Lafadznya
menunjukan kepada suatu arti tertentu, tetapi arti tersebut bukan merupakan maksud
semula dari lafadz tersebut.
Setiap lafadz menurut
ibaratnya (ibarah nash) memberi petunjuk kepada maksud tertentu sesuai dengan
apa yang dituju oleh lafadz itu. Para ulama ushul juga dapat menangkap bentuk
lafadz yang demikian untuk memberi petunjuk (isyarat) kepada maksud lain.
Kadang-kadang lafadz itu memberi isyarat kepada lebih dari satu maksud diluar
apa yang ditunjuk menurut ibaratnya.
n?tãur
Ïqä9öqpRùQ$#
¼ã&s!
£`ßgè%øÍ
£`åkèEuqó¡Ï.ur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/
4
“dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf”
Ibarat lafadz dalam ayat di atas menunjukan
kewajiban si ayah (suami) untuk memberi nafkah dan pakaian yang layak untuk
istrinya atau jandanya dalam masa iddah.[5]
c.
Dilālat al-Dilālah
Yang dimaksud dengan dilālat al-dilālah atau disebut juga dilalah al-nash adalah:
دلالة اللفظ على ثبوت حكم ما ذ كرلما سكت عنه لفهم المناط
بمجرد فهم اللغة
“Dilalah lafadz yang
disebutkan dalam penetapan hukum untuk yang tidak disebutkan karena ada
hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa”
Dilalah nash adalah
penunjukan lafadz yang “tersurat” terhadap apa yang “tersirat” dibalik lafadz
itu. Hukum yang terdapat dalam suatu lafadz secara tersurat, berlaku pula pada
apa yang tersirat dibalik lafadz itu, karena di antara keduanya terdapat
hubungan. Untuk sampai pada pemahaman yang tersirat itu cukup dengan hanya
menggunakan analisa kebahasaan, tidak menggunakan ijtihad dengan mengerahkan
kemampuan daya nalar.
Umpamanya firman Allah
dalam surat al-Isra’ ayat 23:
xsù
@à)s?
!$yJçl°;
7e$é&
wur
$yJèdöpk÷]s?
“Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka”
Ibarat dari nash ini menunjukan tidak bolehnya
mengucapkan kata-kata kasar dan menghardik ibu bapak. Hukum “tidak boleh” itu
berlaku pula pada perbuatan “memukul orang tua” secara lebih kuat, karena sifat
“menyaki” yang menjadi alasan larangan pada pengucapan kasar lebih kuat pada
perbuatan “memukul”. Alasan ini dapat dipahami semata-mata karena berdasarkan
pada pemahaman dari segi bahasa (lughawi) tanpa memerlukan penalaran.[6]
d.
Dilālat al-Iqtidhhā’
Yang dimaksud dengan dilālat al-Iqtidā’ disebut juga iqtidha’ al-nash adalah:
دلالة اللفظ على كل امر لايستقيم المعنى الا بتقد يره
“Penunjukan lafadz
kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tanpa memunculkannya”
Iqtidha’ al-nash dalam
suatu makna yang sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang
akan mudah mengetahuinya, namun dari susunan ucapan itu terasa ada yang kurang
sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali bila yang tidak tersebut itu
dinyatakan.
Contohnya adalah firman
Allah dalam QS. Yusuf (12) : 82
tentang perintah bertanya kepada penduduk :
È@t«óur
sptös)ø9$#
ÓÉL©9$#
$¨Zà2
$pkÏù
uÏèø9$#ur
ûÓÉL©9$#
$uZù=t6ø%r&
$pkÏù
(
$¯RÎ)ur
cqè%Ï»|Ás9
ÇÑËÈ
Artinya: Dan tanyalah
(penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya,
dan Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar".
Menurut dhahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena
bagaimanapun mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup.
Karenanya dirasakan perlu memunculkan suatu kata dalam ayat itu menjadi benar.
Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung”
sehingga menjadi “penduduk kampung”, yang dapat ditanya dan memberi jawaban.
Selain itu juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-orang” sebelum kata “kafilah”
sehingga menjadi “orang-orang kafilah” yang memungkinkan memberikan jawaban.[7]
2.
Al-Ijtihād al-Qiyāsī,
Ijtihad qiyasi yaitu
ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak
ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun secara
dhanni, juga tidak ada ijma yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal
ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian (peristiwa) dengan merujuk pada
kejadian yang telah ada hukumnya, karena ada dua peristiwa itu ada kesamaan
dalam illat hukumnya. Dalam hal ini mujtahid menetapkan hukum suatu kejadian
berdasarkan pada kejadian yang telah ada nashnya. Ijtihad seperti ini adalah
melalui metode qiyas dan istihsan.
Dalam ijtihad bentuk
pertama (bayani) hukumnya “tersurat” dalam nash tetapi ada ketidakpastian
maksudnya, dan ijtihad digunakan untuk mencari kepastian hukumnya itu. Dalam
ijtihad bentuk kedua ini hukumnya memang tidak tersurat tetapi “tersirat” dalam
dalil yang ada. Untuk mencari hukum dibalik tersirat diperlukan ijtihad dengan
cara merentangkan hukum yang telah ada dalam nash kepada kejadian lain yang
belum ada ketentuan hukumnya.[8]
Tatkala sebuah masalah
yang muncul dan tidak ditemukan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah, maka upaya
penalaran harus dilakukan, dalam rangka menggali ketetapan-ketetapan hukum
terhadap masalah tersebut, yang didasarkan kepada semangat Alquran dan Sunnah. Penalaran
seperti ini didasarkan kepada ‘illat qiyasi, yakni ‘illah’ yang digunakan untuk
mengetahui apakah ketetntuan yang berlaku terhadap suatu masalah yang
dijelaskan oleh suatu dalil nas dapat diberlakukan pada ketentuan lain yang
tidak dijelaskan oleh dalil nas karena adanya kesamaan di antara keduanya. Dengan kala lain, ketentuan pada masalah pertama yang ada nas-nya,
diberlakukan nada masalah kedua yang tidak ada nas- nya karena ada kesamaan
‘illat. Dalam usul al-fiqh inilah yang disebut dengan qiyas.
Kehujjahan qiyās,
Istinbath hukum dengan qiyas dalam rangka mendapatkan hukum syara’ terhadap
suatu perkara yang tidak ada nas-nya (secara eksplisit) yang menerangkan
hukumnya, tidaklah begitu saja digunakan tanpa adanya acuan atau dalil yang
membolehkannya. Dalil atau
penguat keberadaan qiyas sebagai salah satu metode penggalian hukum, sering
disebut dengan istilah hujjah atau justification (bahasa Inggeris), atau dasar-
dasar pembenaran akan keberadaannya. Dalam hal ini hujjah qiyās antara lain:
a.
Alquran, QS. al-Nisa’ (4) : 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr&
©!$# (#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
(
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$#
ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/
ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$#
4
y7Ï9ºs
×öyz ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Ayat tersebut mengandung pengertian
adanya perintah kepada orang mukmin bila terjadi silang pendapat tentang
sesuatu yang tidak ada hukumnya secara eksplisit dalam Alqurandan Sunnah,
hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (mengandung pengertian
menghubungkan sesuatu peristiwa yang tiada nas- nyakepada kejadian yang ada
nas-nyadan itu merupakan cara mengembalikan hukum kepada Allah dan Rasul-Nya).
b.
Sunnah
Hadis Muadz bin Jabal
(sebagaimana tersebut sebelumnya), bahwa Rasulullah ketika mengutusnya ke
Yaman, beliau bersabda: bagaimana kamu mengadili suatu perkara jika kamu
dimintai untuk memberikan keputusan ? Muaz menjawab: dengan Alquran, jika tidak
kudapati, maka dengan Sunnah, jika tidak kudapati juga, maka aku akan
berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah
menepuk dadanya seraya mengucapkan alhamdulillah yang telah memberikan taufiq
kepada utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhaiNya.
c.
Ijma’
Para sahabat
banyak menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum yang tidak ada nas-nva secara
jelas, sehingga ijmu’ turut menjustifikasi keberadaan qiyas sebagai metode
penetapan hukum sekaligus diakuinya produk qiyas sebagai dalil hukum.
3.
Al-Ijtihād Istislāhi
Ijtihad istislahi yaitu
karya ijtihad untuk menggali, menemukan dan merumuskan hukum syar’i dengan cara
menerapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak
terdapat nash baik qath’i maupun dhanni, dan tidak memungkinkan mencari
kaitannya dengan nash yang ada juga belum diputuskan ijma. Dasar pegangan
bentuk ijtihad ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat maupun menghindarkan
mudharat.[9]
Salah satu piranti ijtihad yang dianggap amat adaptif dan responsif
terhadap perubahan zaman adalah al- maslahat al-mursalah. Cukup menarik apa
yang dikatakan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf bahwa istislah merupakan cara
meng-syari’atkan hukum yang paling subur dalam hal tidak ada teks syariat yang
tegas menentukan hukumnya.
Dalam metode ini, tersedia lapangan yang luas untuk mengembangkan
hokum syari’at sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, untuk mewujudkan
kemaslahatan mereka. Husain Hamid Hassan menilai bahwa keunggulan dan keutamaan
syari’at terletak di sini teori maslahat yaitu bahwa ia memperhatikan kebutuhan
dan kepentingan masyarakat.[10]
Ijtihad dengan pola istislahi ini, mendasarkan pengkajian dan
penetapan (istinbat) hukum pada “kemaslahatan” umat manusia. Dengan demikian
sejalan dengan tujuan Allah menurunkan syariat (maqāsid al-syari’ah). Ulama
sepakat bahwa istislah bukanlah sumber hokum dalam lapangan ibadah dan
al-muqaddarat. Semenjak illat ibadah tidak dapat dipastikan oleh nalar manusia,
maka istislah, istihsan atau qiyas tidak dapat digunakan untuk menyentuhnya.
Dalam bidang ibadah sangat sulit dibayangkan adanya maslahah mursalah,
sedangkan dalam bidang hudūd atau muqaddarāt masih terdapat kontroversi, apakah
dapat diselesaikan dengan istislah atau tidak. Tetapi ada fuqaha yang
menyelesaikan masalah hudūd dengan maslahah mursalah. Singkatnya sesuatu yang berkaitan dengan
ibadah dan hukum- hukum yang jelas, maka seorang muslim wajib melaksanakan dan
mengikuti sebagaimana adanya.
Tetapi di luar bidang
ibadah dan muqaddarāt, mayoritas ulama menyatakan bahwa penggunaan istislah
sebagai sumber hukum syariat adalah dibenarkan.
Kebolehan menggunakan hujjah dengan maslahah mursalah adalah
Alquran, Sunnah, ijma’, dan logika.[11]
Dalam Alquran terdapat
ayat yang menerangkan secara global dan rinci terhadap kewajiban mengikuti maslahah,
karena syariah Islam dibangun di atas panji-panji kemaslahatan umat dan
mencegah kemudratan. Tujuan syariat yang demikian memperoleh sandaran langsung
dari Alquran, antara lain tersebut di dalam QS. al-Hajj (22) : 78, di mana
Allah menggambarkan bahwa tujuan diwahyukannya agama bukan untuk menimbulkan
kesulitan. Pernyataan ini biasa dikonfirmasikan dalam QS. al-Ma’idah (5) : 6 yang
intinya menyatakan bahwa Allah tidak pernah bermaksud untuk membuat kesulitan
bagi manusia.
Memperhatikan beberapa
contoh ayat yang dijadikan sebagai dalil di atas, memang secara tidak langsung (eksplisit)
menunjukkan kebolehan penggunaan masālih mursalah, melainkan hanya pengertian
dan pemahaman terhadap ayat tersebut yang dibawa kepada konsep maslahah
mursalah.
Cara serupa digunakan juga dalam memberikan landasan dari Sunnah
terhadap kehujjah an maslahah mursalah. Di antara hadis yang sering dijadikan
hujjah adalah “lā darara wa lā dirāra”, hadis dari Aisyah yang artinya bahwa
Nabi saw tidak memilih kecuali yang lebih mudah dari dua alternatif sepanjang tidak
menyebabkan dosa (innahū mā khayyara bayna amraini illa ikhtāra aisara huma mā
lam yakun isman) .
Meskipun secara teknis
biasa dikatakan bahwa konsep maslahah mursalah tidak diterapkan pada keputusan hukum
Nabi saw., tetapi hadis tersebut menunjukkan bahwa masalih merupakan bagian
dalam penetapan hukum yang dibuat oleh Nabi saw.
Adapun argumentasi
ke-hujjah- an maslahah mursalah yang bersumber dari ijma’ secara ringkas dapat dijelaskan
bahwa ketika menghadapi permasalahan baru setelah wafatnya Nabi saw., para
sahabat memutuskan hukum dengan apa yang dianggap mendatangkan kemaslahatan. Mereka
tidak henti-hentinya menetapkan hukum yang didasarkan kepada kemaslahatan ini.
syari’ tidak menentukan sikap tertentu, sehingga mereka beranggapan terhadap
sesuatu yang dapat menarik manfaat dan menolak bahaya berdasarkan akal mereka untuk
melahirkan kemaslahatan. kiranya sangat cukup membangun hukum syari’at dengan
maslahah ini.
Sedangkan argumentasi berdasarkan logika tentang kehujjahan
maslahah mursalah, di antaranya adalah:
a. Sudah tidak diragukan lagi bagi orang yang berakal bahwa maksud dan tujuan
syari’at yang utama adalah untuk kemaslahatan umat manusia.
b. Apabila masālih yang kita peroleh itu sesuai dengan tujuan tasyri’ dan
termasuk dianjurkan karena jenisnya, maka sudah tentu sesuai dengan tujuan
syāri’, karenanya pula menggunakan maslahah mursalah tidak keluar dari sumber
hokum
c.
Sesungguhnya jika maslahah mursalah tidak digunakan sebagai pertimbangan
hukum, maka manusia akan menghadapi kesulitan dan kesempitan dalam hidupnya.
B.
Metode Istidlal Ulama Kontemporer
Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata Istadalla yang berarti:
minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi
memberikan arti istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan
yang diminta.[12]
Dalam proses pencarian, al-Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah
menjadi alternatif kedua, Ijma’ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan
berikutnya. Apabila keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka
upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan,
Maslahah Mursalah, dll. Dengan demikian, teori istidlal merupakan
pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil tersebut.
1.
Maslahah Mursalah
Maslahah
secara etimologi adalah kata tunggal dari al-masalih, yang searti dengan kata
solah, yaitu “yang mendatangkan kebaikan”. Terkadang digunakan juga istilah lain yaitu al-istislah yang
berarti “mencari kebaikan”. Tak jarang kata maslahah atau istislah ini disertai
dengan kata al-munasib yang berarti
“hal-hal yang cocok sesuai dan tepat penggunaannya”. Dari beberapa arti
ini dapat diambil suatu pemahaman bahwa setiap sesuatu, apa saja, yang
mengandung manfaat didalamnya baik untuk memperoleh kemanfaatan, kebaikan,
maupun untuk menolak kemudaratan, maka semua itudisebut dengan maslahah.
Sehubungan
dengan pendekatan maslahah ini, dalam ilmu ushul Fiqh, dikenal tiga jenis
maslahah, yaitu; 1) maslahah al-mu’tabarah, yakni kajian hukum dengan melihat
dimensi kemslahatan pada berbagai perbuatn syar’I yang masih terakomodasi oleh
pernyataan eksplisit nas (ain’ manshush), 2) maslahah al-mursalah, yakni kajian
hukum denganmempertimbangkan dimensi kemaslahatan pada berbagai perbuatan
syar’I yang tidak terjangkau oleh pernyataan eksplisit nas. Tetapi masih
termasuk dalam kelompok jenis perbuatan yang terakomodasi nas, 3) Maslahah
Maskut, yakni kajian hukum dengan mempertimbangkan dimensi kemaslahatan pada
berbagai perbuatan syar’I yang sama sekali tidak terjangkau nas, baik dari segi
ain’ perbuatan itu sendiri maupun jenis-nya.
Maslahah
al-Mu’tabarah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan dimensi kemaslahatan
untuk sesuatu yang tidak dinyatakan secara khusus oleh nas, namun masih
termasuk afrad salah satu dari pernyataan nas. Oleh karena itu, al-Ghazali
menyebutkan dengan system analisa Qiyas (terhadap asal yang ditunjuk langsung
oleh nas), karena sama dengan prosedur analisa qiyas untuk suatu furu’ yang
tidak ditunjuk langsungoleh nas. Metode kajian hukum tersebut oleh abd Al-Wahab
Khallaf disebut dengan metode analisa maslahat al-mu’tabarah min al-Syar’I,
karena Syar’I sendiri telah menetapkan hukum untuk jenis perbuatan yang sama
dengan orientasi yang sama pula. Dengan
demikian, metode analisa “maslahat al-mu’tabarah” tersebut merupakan bagian
dari upaya mengikuti pola Syar’I dalam menetapkan hukum.
Sedangkan
maslahat al-mursalah, sebagaimana dikemukakan Abd al-Karim Zaidan, adalah
kajian hukum dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan serta menghindari kebinasaan,
untuk sesuatu perbuatan yang tidak diungkapkan secara eksplisit dalam al-Quran,
akan tetapi masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran yang diungkapkan
secara induktif oleh al-Quran dalam suatu perbuatan yang berbeda-beda. Dalam
konteks ini, ayat al-Quran tidak berperan sebagai dalil yang menunjukkan norma
hukum tertentu, tapi menjadi saksi (syahid) atas kebenaran fatwa-fatwa hukumnya
tersebut. Dengan
demikian, system analisa tersebut dibenarkan karena sesuai dengan kecenderungan
syar’I dalam penetapan hukum-Nya.
Pendekatan
maslahah al-mursalah dalam metode kajian hukum dimulai dengan perumusan
kaidah-kaidahnya yang dilakukan melalui system analisa induktif terhadap
dalil-dalil hukum suatu perbuatan yang berbeda satu sama lain namun
memperlihatkan substansi ajaran yang sama. Kesamaan pada dimensi substansial
itulah yang dijadikan premis-premis dalam perumusan kesimpulan induktifnya,
sehingga dapat dirumuskan menjadi kaidah-kaidah maslahah al-mursalah yang
merupakan kaidah kulli. Kaidah-kaidah tersebut selanjutnya dijadikan sebagai
hukum asal untuk melihat kedudukan hukum furu’ yang dihadapi para mujtahid. Oleh karena itu, Husein Hamid Hasan menyimpulkan, bahwa system
analisa “maslahah al-mursalah” tiada lain adalah aplikasi makna kulli terhadap
furu’ yang juz’i. dengan demikian system analisanya sama dengan system analisa
qiyas. Bahkan lebih kuat dari qiyas, karena pola qiyas adalah menganalogikan
furu’ pada asal yang hanya didukung oleh satu ayat nas. Sedangkan pada system
analisa maslahah al-mursalah hukum asalnya didukung oleh beberapa ayat atau
nas. Akan tetapi, nas atau ayat tersebut bukan dijadikan sebagai dalil teradap
ketentuan hukumnya, karena secara eksplisit ayat atau nash tersebut
mengungkapkan tema perbuatan yang berbeda, namun dijadikan sebagai saksi
(syahid) atas kebenaran fatwa hukum tersebut. Selain diambil makna substansial
ajarannya sebagai premis-premis dalam pengambilan kesimpulan induktifnya untuk
merumuskan kaidah-kaidah kulliyah tentang maslahah al-mursalah tersebut.[13]
2. Istihsān
Istihsān secara etimologi berarti “menganggap atau memandang sesuatu
baik. Adapun istihsān secara terminology
menurut ulama ushul ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jalī
(nyata) kepada qiyas khāfi (sama) atau dari dalil kulli kepada hukum tahksīs
lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya
dan mementingkan perpindahan hukum.
Dalam pengertian lain, istihsān ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan
yang lebih kuat dari itu, karena terdapat dalil yang menghendakinya, serta
lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.[14]
Ulama
Hanafiyyah membagi istihsān kepada
enam macam:
a. Istihsān bil
al-Nash, yaitu istihsān berdasarkan
ayat atau hadis. Maksudnya, ada ayat atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan
ketentuan kaidah umum.
b. Istihsān bil al-Ijma` , yaitu istihsān yang didasarkan pada ijma`.
c. Istihsān bil al-Qiyās al-Khafi , yaitu istihsān berdasarkan qiyas yang
tersembunyi.
d. Istihsān bil al-Maslahah , yaitu istihsān berdasarkan kemaslahatan.
e. Istihsān bil al-‘Urf , yaitu istihsān berdasarkan adat kebiasaan yang
berlaku umum.
f. Istihsān bil al-Darūrah , yaitu istihsān berdasarkan keadaan darurat. Ulama ushul fiqhi berbeda pendapat dalam
menetapkan istihsān sebagai salah satu
metode atau dalil dalam menetapkan hukum
syara’.
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsān
merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Sedangkan ulama Syafi`iyah,
Zahiriyah, Syi’ah, dan Mu`tazilah tidak menerima istihsān sebagai salah satu dalil
dalam menetapkan hukum syara’. Syafi’iyah
pernah mengatakan, “barang siapa menggunakan
istihsān maka ia telah membuat
syari’at. Sedangkan Ibnu Hazm memandang
bahwa berhujjah dengan istihsān
adalah mengikuti hawa nafsu, yang membawa
kesesatan.[15]
C. Metode Istimbath Yusuf Qardhawi
Qardhawi menegaskan bahwa tidak sepantasnya bagi seorang yang berilmu, yang
dikaruniai berbagai fasilitas akal pikiran yang bias digunakan untuk mentarjih,
yaitu memilih-milih pendapat yang lebih relevan dan real untuk dijalankan,
terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi seharusnya ia wajib berpegang
kepada dalil dan hujjah yang kuat dan sahih untuk menjadi pegangannya.[16]
Seorang muslim
yang baik adalah orang yang selalu berpegang kepada dalil yang benar dan hujjah
yang kuat sebagai parameter untuk dipedomani guna mengetahui yang haq. Dan
tidaklah layak baginya mengikuti suatu pendapat hanya karena kemasyhurannya dan
banyak pengikutnya. [17]Menurut
Qardhawi ada dua pola pikir yang harus dijauhkan dari masyarakat, baik
masyarakat awam maupun cendekiawan dan ulama. Pertama, berbagai pemahaman yang
merasuk kaum muslim di era penjajahan berupa kesalahpahaman terhadap Islam,
seperti memahami zuhud dengan meninggalkan kehidupan dunia secara total,
sehingga dikuasai oleh orang-orang kafir, memahami keimanan terhadap takdir
sebagaimana yang dipahami oleh kaum jabariah, memahami bahwa pintu ijtihad
telah ditutup, akal berseberangan dengan wahyu, menganggap perempuan sebagai
perangkap setan, memahami bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat digantung untuk
menjaga diri dari jin, berkah sunnah terletak pada pembacaan Kitab Shahih
Bukhari saat terjadi musibah, memahami masalah wali dan karomah dengan
pemahaman yang bertentangan dengan sunnatullah, dan sebagainya. Masih banyak
lagi pemahaman lain yang menyebabkan kebekuan ilmu dan pemikiran. Kedua,
berbagai pemahaman yang menyerang masyarakat bersamaan dengan serangan
penjajah. Mereka masuk dari pintu dan berjalan bersama rombongannya, berlindung
di belakangnya dan menjadikan mereka sebagai kiblat dan imam.[18]
Qardhawi menegaskan bahwa Ijtihad tidak menghilangkan tradisi fikih klasik
tetapi ijtihad mengandung beberapa hal yang mendasar, yaitu :
1. Menafsir ulang tradisi fikih klasik yang melimpah ruah melalui aliran,
madzhab, dan pendapat-pendapat yang shahih terutama dari kalangan sahabat dan
tabi’in, kemudian memilih mana yang lebih kuat serta sesuai dengan
tujuan-tujuan syariat serta kemaslahatan umat dalam kondisi yang aktual.
2.
Kembali kepada sumber, nash-nash yang shahih yang sesuai dengan
tujuan umum syariat.
3.
Ijtihad untuk kasus-kasus dan masalah-masalah aktual yang tidak ada
hukumnya serta belum terungkap oleh para ahli fikih terdahulu. Hal itu
dilakukan untuk mengambil hukum aktual[19]
yang sesuai dengan dalil-dalil syara.
Menurut
Qardhawi, ada dua bidang baru untuk ijtihad, yakni yang pertama, bidang
hubungan keuangan dan ekonomi. Hal ini berhubungan dengan kegiatan perbankan,
pertukaran valuta, jaminan surat-surat berharga, deposito, dan lain sebagainya.
Yang kedua, bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran (medis), seperti masalah
pencangkokan organ tubuh, bolehkah organ tubuh itu diambil dari orang-orang non
muslim untuk diberikan kepada orang-orang muslim, bolehkah donor darah dari
orang non muslim untuk diberikan kepada orang
muslim, mencangkok organ tubuh binatang untuk diberikan kepada manusia.[20]
Mengenai peluang ulama untuk berijtihad saat ini menurut Qardhawi adalah
suatu keharusan dan hukumnya fardu kifayah. Ada tiga macam ijtihad yang
dikemukakan oleh Qardhawi, yaitu ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i, dan ijtihad
integrasi antara ijtihad intiqa’i dan insya’i.
1)
Ijtihad Intiqa’i/Tarjih
Yang dimaksud
dengan ijtihad intiqa’i adalah memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat
terkuat yang terdapat pada warisan fikih Islam yang penuh dengan fatwa dan
putusan hukum.[21]
Qardhawi tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa kita
boleh berpegang pada pendapat dalam bidang fikih (pemahaman) karena sikap itu
merupakan taqlid tanpa dibarengi argumentasi. Seharusnya diadakan studi
komparatif terhadap pendapat-pendapat itu dan meneliti kembali dalil-dalil nash
atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan dasar pendapat tersebut, sehingga pada
akhirnya dapat diketahui dan dipilih pendapat yang terkuat dalilnya dan
alasannya pun sesuai dengan kaidah tarjih, seperti mempunyai relevansi dengan
kehidupan pada zaman sekarang, pendapat itu mencerminkan kelemahlembutan dan
kasih sayang kepada manusia, pendapat itu mendekati kemudahan yang ditetapkan
oleh hukum Islam, pendapat itu lebih memprioritaskan realisasi maksud-maksud
syara, kemaslahatan manusia, dan menolak marabahaya.[22]
Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli tarjih pada masa kebangkitan
kembali hukum Islam berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa kemunduran hukum
Islam. Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai
kegiatan yang tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat para ahli fikih di
lingkungan intern madzhab tertentu, seperti syafi’iyah, malikiyah, dll. Sedangkan pada periode kebangkitan Islam, tarjih berarti menyeleksi
berbagai pendapat dari bermacam madzhab, baik beraliran sunni atau tidak. Jadi,
sifatnya lintas madzhab.[23]
Ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari ijtihad tarjih ini. Sedikitnya
menurut Qardhawi ada tiga hal, yakni perubahan sosial politik, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, dan adanya desakan dari perkembangan zaman.[24]
Contoh ijtihad tarjih adalah tentang harusnya meminta izin untuk menikahkan
anak gadis. Golongan Syafi’i, Maliki, dan mayoritas golongan Hanbali
berpendapat sehungguhnya orang tua berhak memaksakan anak gadisnya yang sudah
akil balig untuk menikah dengan calon suami yang dipilih oleh orang tua
walaupun tanpa persetujuan gadis tersebut. Alasan yang digunakan adalah orang
tua lebih tahu tentang kemaslahatan anak gadisnya. Cara yang demikian itu
mungkin masih dapat diterapkan pada seorang gadis yang belum mengenal
sedikitpun tentang kondisi dan latar belakang suaminya, sedangkan di zaman modern
sekarang para gadis mempunyai kesempatan luas untuk belajar, bekerja dan
berinteraksi dengan lawan jenis dalam kehidupan ini. Akhirnya, hasil dari
ijtihad tarjih ini adalah mengambil pendapat Abu Hanifah yakni melibatkan
urusan pernikahan kepada calon mempelai wanita untuk mendapatkan persetujuan dan izinnya.[25]
Contoh lain dari ijtihad intiqa’i adalah tentang kekayaan yang dalam bahasa
al-Qur’an disebut dengan al-amwal, yakni segala sesuatu yang sangat diinginkan
oleh manusia untuk memilikinya. Menurut
Ibnu Asyir, kekayaan pada mulanya adalah emas dan perak tetapi kemudian berubah
pengertiannya menjadi sesuatu yang disimpan dan dimiliki. Menurut madzhab
Hanafi, kekayaan adalah segala yang dapat dimiliki dan digunakan menurut
kebiasan. Kekayaan dapat disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat tersebut,
seperti tanah, binatang, barang-barang, perlengkapan dan uang. Sesuatu yang
tidak dapat dimanfaatkan tetapi mungkin dimiliki seperti ikan di laut,
binatang di hutan dan burung di udara adalah termasuk kekayaan. Sebaliknya
sesuatu yang dapat dimanfaatkan tetapi tidak mungkin dimiliki seperti cahaya
dan panas matahari, tidak termasuk kekayaan., begitu juga sesuatu yang secara
nyata dapat dimiliki tetapi tidak dapat dimanfaatkan seperti sebutir beras,
segenggam tanah, setetes air dan sebagainya. Menurut madzhab Maliki, Syafii dan
Hanbali, yang dimaksud dengan kekayaan adalah termasuk segala manfaat yang
dapat dikuasai dengan cara menguasai tempat dan sumbernya. Ibnu Najim
berpendapat bahwa kekayaan, sesuai dengan yang ditegaskan oleh ulama-ulama
ushul fikih adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan,
Setelah memperhatikan dan mempelajari berbagai pendapat tadi, maka Qardhawi
menyimpulkan bahwa yang paling tepat adalah pendapat madzhab Hanafi. Alasannya
adalah pengertian tersebut lebih dekat pengertiannya dalam kamus- kamus Arab
dan dapat diterapkan pengertiannya melalui nash-nash tentang zakat.[26]
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan kekayaan adalah sesuatu yang berwujud
dan dapat dimiliki, itulah yang dapat
dibebani kewajiban untuk mengeluarkan zakat.
2)
Ijtihad Insya’i
Yang dimaksud
dengan ijtihad insya’i adalah pengambilan konkluse hukum dari suatu persoalan
yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Atau cara seseorang
mujtahid kontemporer untuk memilih pendapat baru dalam masalah itu, yang belum
ditemukan didalam pendapat ulama salaf. Boleh juga ketika para pakar fikih
terdahulu berselisih pendapat sehingga terkatub pada dua pendapat, maka
mujtahid masa kini memunculkan pendapat ketiga.[27]
Sebagian besar ijtihad insya’i ini terjadi pada masalah- masalah baru yang
belum dikenal dan diketahui oleh ulama terdahulu serta belum pernah terjadi
pada masa mereka. Kalaupun
mengenalnya, tentu masih dalam skala kecil yang belum mendorong mereka untuk
mengadakan penelitian demi mencari penyelesaiannya. Mengenai ijtihad insya’i
ini, Qardhawi berpendapat bahwa setelah mengutip berbagai pendapat para ulama,
maka langkah selanjutnya adalah mengkaji kembali berbagai pendapat tersebut, kemudian
menarik simpulan yang sesuai dengan nash al-Quran dan Hadits, kaidah-kaidah dan
maqashid al-syar’iyah sambil berdoa semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak
menghalangi tabir pahala,dan menjaga dari belenggu fanatisme dan taqlid serta
hawa nafsu dan prasangka buruk terhadap
orang lain.[28]
Sebagai contoh ijtihad insya’i adalah para pakar fikih pada zaman moderen
ini berpendapat bahwa rumah, pabrik, tanah, dan sebagainya yang disewakan wajib
dikeluarkan zakatnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, Abdul
Wahhab Khalaf dan Abdurrahman Hasan, Qardhawi sangat mendukung pendapat
tersebut dengan pembahasan yang lengkap dengan dalil-dalil yang dipegangi.[29] Apabila pemilik tanah menyewakan tanahnya
dengan sewa berupa uang atau lain-lain yang menurut jumhur hukumnya boleh, maka
siapakah yang berkewajiban membayar zakatnya, apakah pemilik tanah atau penyewa
tanah? Menurut Abu Hanifah, zakat wajib atas pemilik tanah. Berdasarkan
ketentuan bahwa zakat adalah kewajiban tanah yang memproduksi, bukan kewajiban
tanaman. Dan bahwa zakat
adalah beban tanah yang sama kedudukannya dengan kharaj. Maka dalam hal sewa,
tanah yang seharusnya diinvestasi dalam bentuk pertanian lalu diinvestasi dalam
bentuk sewa, berarti sewa tersebut sama kedudukannya dengan hasil tanaman.
Demikian juga pendapat Ibrahim al-Nakha’i.[30]
Malik, Syafii, al –Tsauri, Ibn al-Mubarak dan Jumhur ulama Fikih
berpendapat bahwa zakat wajib atas orang yang menyewa, karena zakat adalah
beban tanaman bukan beban tanah. Pemilik tanah bukanlah penghasil biji-bijian
dan buah- buahan yang karenanya tidak mungkin mengeluarkan zakat hasil tanaman
yang bukan miliknya. Menurut
Ibnu Rusyd perbedaan pendapat disebabkan tidak ada kepastian apakah zakat
tersebut merupakan beban tanah, beban tanaman atau beban keduanya.[31]
Al-Mughni
menilai bahwa pendapat Jumhur lebih kuat, zakat diwajibkan atas hasil tanaman.
Sedangkan Al-Rafii berpendapat bahwa penyewa tanah mempunyai dua kewajiban
yakni membayar sewa dan membayar zakat. Setelah mempelajari pendapat para ulama
tersebut maka Qardhawi mengemukakan pendapat bahwa yang adil adalah baik
penyewa maupun pemilik harus secara bersama-sama menanggung zakat itu
masing-masing sesuai dengan perolehannya[32]
Jadi pemilik tanah juga diwajibkan mengeluarkan zakat dari hasil sewa, sedangkan
pendapat tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu. Ijtihad yang demikian disebut ijtihan insya’i. Pendapat tersebut
sangat adil dan sangat realistis diterapkan dizaman sekarang.
3)
Integrasi antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i
Di antara bentuk ijtihad kontemporer adalah ijtihad perpaduan antara
intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang
dipandang lebih relevan dan kuat kemudian dalam pendapat tersebut ditambah
unsur-unsur ijtihad baru. Sebagai
contoh ijtihad jenis ini adalah masalah aborsi. Lajnah Fatawa di Kuwait
mengeluarkan pendapat tentang aborsi yang dibolehkan dan yang diharamkan.
Lajnah Fatawa telah menyeleksi pendapat-pendapat para pakar fikih Islam
sekaligus menambahkan unsur-unsur kreasi baru yang dituntut oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan ilmu kedokteran. Yang ditunjang dengan segala peralatan
teknologi canggih dan kemampuan untuk mendeteksi apa yang menimpa pada janin
dalam bulan-bulan pertama, berupa cacat yang mempunyai pengaruh fisik/biologis
dan psikis pada kehidupan si janin dikemudian hari menurut sunnatullah yang
berlaku di alam ini.
Isi Fatwa yang dikeluarkan tanggal 29 September 1984 itu adalah seorang
dokter dilarang menggugurkan kandungan seorang wanita yang telah genap 120
hari, kecuali untuk menyelematkan wanita/ibu itu dari marabahaya yang
ditimbulkan oleh kandungannya. Dan seorang dokter boleh menggugurkan kandungan
wanita dengan persetujuan kedua belah pihak yaitu suami istri, sebelum
kandungan itu genap berusia 40 hari, yakni saat masih berbentuk segumpal darah.
Apabila kandungan itu sudah lebih dari 40 hari dan belum sampai 120 hari maka
dalam keadaan seperti ini tidak boleh dilakukan abortos kecuali dalam dua
kondisi berikut ini:
a.
Apabila kandungan itu tetap dipertahankan, akan menimbulkan bahaya
bagi sang ibu dan bahaya itu akan berlangsung terus menerus sampai sehabis
melahirkan.
b.
Apabila sudah dapat dipastikan bahwa janin yang lahir akan
menderita cacat baik fisik atau akalnya, yang kedua hal itu tidak mungkin dapat
disembuhkan.[33]
Selanjutnya Qardhawi juga memberikan rambu-rambu bahwa ada beberapa hal
yang harus dihindari agar didalam berijtihad tidak terjadi penyimpangan, yaitu
:
1.
Mengabaikan nash Qardhawi mengingatkan bahwa yang sangat perlu
diperhatikan oleh seorang Mujtahid adalah kembali kepada nash al-Qur’an, bila
tidak ada dalam al-Qur’an maka hendaklah berpedoman kepada al-Sunnah. Jika tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah barulah
berijtihad menurut pendapatnya dengan tidak meremehkan kedua sumber tersebut. [34]
Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Muaz bin Jabal ketika ia
diutus oleh Nabi Saw ke Yaman.
2.
Salah memahami nash atau menyimpang dari konteksnya.
Menurut
Qardhawi, kesalahan ijtihad kontemporer juga bisa terjadi disebabkan kesalahan
dalam pemahaman dan keliru dalam menginterpretasikan nash tersebut, misalnya
nash yang bersifat umum dianggap khusus atau yang muthlaq diperkirakan muqayyad
atau sebaliknya. Atau ketika memahami suatu nash dipisahkan dengan konteksnya,
atau dipisahkan dari nash-nash lain yang
menjelaskan isi dan maksudnya, atau terpisahkan dari ijma yang kuat, atau lebih
cenderung membenarkan kenyataan yang ada, sehingga ijtihad yang dihasilkan
menyimpang dari tujuan syariat[35]
3.
Kontra terhadap ijma yang dikukuhkan.
Yang
dimaksud dengan ijma jenis ini adalah ijma yang telah diyakini, yang telah
menjadi ketetapan fikih dan ijma itu telah diterapkan oleh semua umat Islam dan
disepakati oleh semua madzhab fikih dikalangan umat Islam sepanjang masa. Ijma
semacam ini biasanya tidak akan timbul kecuali bersandar kepada nash.[36]
4)
Qiyas tidak pada tempatnya. Menurut Qardhawi , kekeliruan dapat
pula terjadi apabila salah dalam menggunakan Qiyas (analogi), seperti
mengqiyaskan perkara yang bersifat taabbudi (ibadah) kepada hal-hal yang
bersifat adat istiadat dan muamalat, atau salah dalam memandang hukum dan
tujuan- tujuannya, atau salah dalam menetapkan illatnya, dan sebagainya. [37]
5)
Kealpaan terhadap realitas zaman. Qardhawi menegaskan bahwa
terkadang manusia terbawa hanyut dalam arus realitas yang ada sehingga
mengikuti aliran moderen sekalipun aliran tersebut bersifat asing dan
bertentangan dengan Islam. Agar dapat membenarkan kenyataan yang ada, mereka
berusaha untuk membenarkannya dengan cara memberikan sandaran hukum yang
diambil dari Islam meskipun dengan cara penyelewengan dan paksaan.[38]
6)
Berlebih-lebihan dalam mengungkapkan kepentingan umum walaupun
harus mengabaikan nash.
Menurut Qardhawi, suatu kekeliruan juga dapat terjadi
ketika berdalih untuk kepentingan umum (mendapatkan maslahat) tanpa
memperhatikan nash. Karena pada dasarnya setiap hukum syariat telah memenuhi
kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat. Dan menurut para ahli fikih
dalam menerapkan maslahat tidak boleh bertentangan dengan nash yang bersifat
qath’i. [39]
Untuk mewujudkan ijtihad yang lurus, menurut
Qardhawi harus diperhatikan beberapa aturan dan ketentuan pokok untuk ijtihad
kontemporer:
1. Tidak ada
ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan.
2. Tidak ada
ijtihad dalam masalah-masalah yang bersifat qath’i.
3. Tidak boleh
menjadikan yang zanni menjadi qath’i.
4.
Menggabungkan antara fikih dan hadits, sekaligus menghilangkan jurang pemisah
antara fuqaha dan muhadditsin.
5. Waspada agar
tidak mudah tergelincir oleh tekanan realita.
6.
Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat dengan tidak menerima atau menolak
hal-hal yang bersifat asing, tetapi menyeleksinya lebih dahulu.
7. Tidak
mengabaikan perkembangan zaman.
8. Melakukan
transformasi dari ijtihad individu kepada ijtihad kolektif.
9. Bersikap
lapang dada terhadap kekeliruan mujtahid[40]
D. Metode Istimbath Ibnu Qayyim
Menurut Ibnu
Qayyim berbeda padangan dengan ulama-ulama lainnya tentang urutan dasar-dasar
istinbath hukum. Dan urutan dasar-dasar istinbath hukum yaitu ada lima macam:[41]
1.
Nash (al-Qur’an dan as-sunnah)
Seorang
mujtahid atau mufti diperintahkan mengambil sumber hukum yang berdasarkan teks
al-qur’an dan hadits. Apabila ada hadits yang saling bertentangan, ia wajib
memilih hadits yang lebih shahih. Seorang mujtahid atau mufti dilarang
mengambil istinbath hukum yang berdasarkan ijma’, karena ijma’ sulit untuk
direalisasikan, ia juga tidak boleh berdasarkan atas dalil-dalil yang bersifat
zhanni’.
2.
Fatwa atau ijma’ sahabat
Apabila fatwa para sahabat yang diketahui saling bertentangan, seseorang
mujtahid atau mufti tidak dapat menjadikan fatwa mereka sebagai dasar hukum,
karena fatwa mereka bukan lagi dikatakan sebagai ijma’ sahabat lagi.
3.
Usaha mengkompromikan pendapat sahabat yang saling bertentangan
Apabila terjadi
pertentangan pendapat antara para sahabat, ia harus memilih pendapat yang
berdalil atas al-qur’an dan hadits. Apabila pendapat mereka masing-masing
tetapi ia tidak mengambil pendapat mereka sebagai sumber hukum.
4.
Hadits mursal dan hadits dha’if
Menurut Ibnu
Qayyim, hadits dha’if adalah hadits yang tidak bathil dan tidak munkar serta
perawinya tidak tertuduh dusta. Apabila tidak terdapat hadits shahih atau qaul
sahabat, seorang mujtahid dapat mengamalkan hadits dha’if, sebab dasar ia lebih
utama dari pada qiyas.
5.
Qiyas dalam keadaan darurat
Jika tidak
menemukan dasar normatif, pendapat sahabat, hadits mursal, atau hadits dha’if,
seorang mujtahid boleh berhujjah dengan sumber qiyas dalam keadaan darurat.
Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau
perkataan mikallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan.
Pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyah terhadap istinbath hukum tekstual
1.
Al-qur’an
a.
Cara al-qur’an menetapkan hukum[42]
1)
Al-qur’an tidak memberatkan atau menyusahkan. Misalnya perintah
agar umat dapat melaksanakan ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
2)
Al-qur’an tidak memperbanyak beban. Misalnya, sesuatu yang sangat
memberatkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan akan membawah dampak
psikologis yang sangat mendalam terhadapa seseorang.
3)
Al-qur’an mensyari’atkan sesuatu secara berangsur-angsur. Agar
kedatangan syari’at islam kedunia ini dapat diterima dengan baik oleh para pengikutnya,
islam memperhatikan faktor kemaslahatan, keadilan, dan kasih sayang.
b.
Ke hujjahan dan kandungan hukum al-qur’an[43]
Al-qur’an merupakan pedoman dan hujjah atau dalil bagi seluruh umat
manusia. Al-qur’an berisi tentang aturan hukum yang segala perintahnya wajib
diikuti dan segala larangan hanrus ditinggalkan. Menurut ibnu qayyim menyatakan
bahwa apabila seorang muslim mukmin
telah berselisih pendapat, hendaklah kembali kepada al-qur’an dan hadits.
Kembali kepada al-qur’an dan hadits sebagai sumber hukum adalah wajib.
Sebaliknya, mereka yang mengingkari al-qur’an adalah termasuk orang-orang yang
perbuatannya melampaui batas (thahut).
2.
As-sunnah
a)
Kehujjahan sunnah dalam istinbath hokum
Segala apa yang disampaikan dari nabi SAW. baik perkataan,
perbuatan, atau taqrir merupakan sumber hukum. Kaerna itu, sunnah nabi yang
sampai kepada kita dengan jalan yang benar atau dengan jalan interpretasi yang
telah diuji kebenarannya wajib diikuti dan dijadikan sebagai sumber instinbat
hukum yang menjadi pegangan bagi seluruh mujtahid. Dengan demikian, sumber
hukum sunnah merupakan penjelasan al-qur’an. Karena itu, segala aturannya wajib
diikuti. Sunnah sebagai hujjah dalam mengistinbathkan hukum ini didasarkan
atasa alasan-alasan, baik dari al-qur’an. Hadits, ijma’ maupun rasio.[44]
Menurut ibnu qayyim al-jauziyah mempunyai pandangan lebih longgar
lagi dibanding dengan pandangan ulama lain, yaitu kebolehan mengamalkan hadits
mursal secara mutlak. Beliau menyatakan bahwa hadits dha’if bukan termasuk hadit
yang menurut ahli hadits dikatagorikan sebagai hadits tertolak, tetapi hadits
dha’if termasuk hadits yang shahih. Ahal ini muncul karena ibnu qayyim
mengklasifikasikan hadits menjadi dua macam saja, yakni hadits shahih, hadits
hasan dan hadits dha’if. Jadi beliau memasukan hadits dha’if sebagai hadits
hasan. Padahal, hadits dha’if adalah hadits yang bathil dan munkar. Selain itu,
perawinya yang tertuduh dusta.[45]
Pandangan
ibnu qayyim al-jauziyah terhadap istinbath hukum non tekstual sumber-sumber
hukum nontekstual tersebut adalah:
1.
Ijma’[46]
Secara bahasa
ijma’ mempunyai dua arti kesepakatan (al-ittifaq) dan tekad atau
niat(al-‘azmu). Sedangkan ijma’ secara istilah adalah uangkapan kesepakatan
bersama antara penguasa dan rakyat tentang sesuatu hal. Rumusan ini
mengandaikan adanya kesepakat dalam keyakinan, perkataan, dan segala perbuatan
antar seluruh umat islam yang awam dengan para mujtahid dalam permasalahan
hukum.
Dalam
mengunakan dasar istinbath hukum dengan ijma’ ada tiga hal yang harus disepakati
yaitu:
a.
Apakah orang yang melakukan ijma’ harus melibatkan seluruh umat
islam dengan tidak terbatas ataupun sebatas mewakilkan pada orang yang
mempunyai keterampilan khusus dengan persyaratan yang ketat.
b.
Ketika nabi SAW masih hidup, segala persoalan hukum selalu di atasi
dengan landasan al-qur’an dan as-sunnah nabi SAW. tetapi setelah beliau wafat
setiap muncul persoalan baru tidak jarang memunculkan perbedaan-perbedaan
pandangan. Seperti persoalan yang dihadapai masyarakat saat ini lebih tentang persoalan
politik keagamaan global daripada persoalan-persoalan yang lainnya.karena itu,
diperlukan pengetahuan untuk mengetahuai demensi agama yang berhubungan dengan
persoalan publik dan fardu kifayah yang selama ini tidak banyak diperhatikan.
c.
Kesepakatan bersam dalam ijma’ merupakan hal yang penting, yaitu
adanya perinsip musyawarah dalam menghadapi suatu persoalan. Ada beberapa fase
ketika ijma’ dijadikan sebagai sumber hukum sejak masa sahabat sampai pada masa
para imam mujtahid.
2.
Fatwa sahabat[47]
Secara bahasa sahabat berarti yang mempunyai. Yang menyertai, dan
teman. Sedangkan secara istilah adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi
SAW. dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan muslim. Adapun fatwa
dalam istinbath hukum. Hal ini menunjuk kepada dalil normatif dan logika,
seperti firman Allah surat al-taubah ayat 100, berbunyi:
cqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûïÌÉf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ Å̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur ç...m÷Ztã ÇÊÉÉÈ
“orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah..”
Ayat di atas
menjelaskan bahwa Allah memuji para sahabat karena mereka selalu menaati
perintah Rasul, sehingga pantas mereka mendapatkan pujian. Bukan saja karena
ucapannya sebagai hujjah, tetapi mereka juga dinilai dari segi ketaatnya.
Ibnu qayyim mengartikan sahabat sebagai seseorang yang berpendapat,
memutuskan perkara hukum, berfatwa, berijtihat sendiri atau bersama-sama, atau
mendengar ucapan nabi SAW. sekalipun diperoleh dari hafalan sahabat lain yang
belum tentu riwayatnya benar. Kelonggaran
pendapatnya dapat diamati dalam beberapa hal berikut:
a)
Orang yang sedikit meriwayatkan hadits yang di Peroleh dari
perkataan sahabat abu hurairah adalah termasuk sahabt. Padahal, sebagai ahli
hadits menuduh sahabat abu hurairah sebgai sahabat yang namanya saja tidak
jelas, orang miskin, dan banya tuduhan-tuduahan miring yang dialamatkan
kepadanya.
b)
Bagi ibnu qayyim fatwa sahabat meliputi seluruh riwayat hadits yang
disampaikan oleh para sahabat. Ibnu qayyim tidak khawatir apakah ada penambahan
atau pengurangan terhadap hadits.
Ibnu qayyim kemudian memberikan beberapa Landasan tentang fatwa
sahabat, berikut:
i.
Apa yang diceritakan hendaknya merupakan hadits yang di dengar dari
nabi SAW.
ii.
Hadits yang di dengar itu hedaknya merupakan hadits dari orang yang
mendengarkan dari nabi SAW.
iii.
Perawi hadits itu hedakny memahami al-qur’an
iv.
Hendaknya ada kesepakatan secara keseluruhan bahwa yang disampaikan
kepada kita hanya merupkan dari seorang mufti.
v.
Ia mempunyai pengetahuan yang luas dalam kebahasaan, yaitu dilihat
dari perkataan, perbuatan, dan perilakunya.
vi.
Ia tidak memberikan pemahaman riwayat yang seolah-olah dari nabi
padahal bukan dari nabi, dan juga tidak memberikan pengertian yang keliru.
3.
Qiyas [48]
Ibnu qayyim mendasarkan Konsep qiyasnya atas risalah umar yang ditunjukan
kepada abu musa al-asy’ari yang artinya: “perhatikan dengan seksama. Aku tunjukkan kepadamu suatu hujjah
bagimu yang tidak ada di dalam al-qur’an dan as-sunnah. Qiyaskanlah perkara
yang ada, berpikirlah terhadap perumpamaan-perumpaan, berpenganglah kepada
pendapat yang dicintai oleh allah dan persamakanlah dengan kebenaran.”
Lebih lajut, ibnu qayyim menyatakan bahwa qiyas mengandung sifat berpikir
suatu masalah hukum, lalu hukum itu disamakan dengan hukum yang ada. Jadi semua
hukum perumpamaan disebut qiyas, karena hukum perumpamaan adalah sama dengan
hukum yang diumpamakan.
Padangan ibnu qayyim menyatakan bahwa ketetapan qiyas sebagai hujjah hukum
tidak diperintahkan dan bukan dari agama.[49] Beliau merujukan kepada firman allahSWT. Dalam surat an-nisaa’ ayat 59, berbunyi:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Yang memerintahkan kaum muslim agar kembali kepada allah dan rasulnya,
yakni berpegang teguh kepada al-qur’an dan as-sunnah nabi SAW. ibnu qayyim
menolak dalil qiyas sebab merupakan dalil zhanni yang harus dihindari sebagai
sumber istinbath hukum. Dan
beliau juga menganggap qiyas sebagai khabar yang berkebohongannya karena tidak
bisa memberikan keyakinan yang benar. Nabi SAW bersabda sesungguhnya zhanni aalah
hadits yang sangat bohong.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Metode Ijtihad Kontemporer Di kalangan ulama
mutaakhkhirīn (kontemporer), dikenal
tiga metode penalaran, yaitu:
a.
Al-Ijtihād al-Bayānī, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam
nash, namun sifatnya dhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari
segi penunjukannya.
b.
Al-Ijtihād al-Qiyāsī, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan
hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat
dalam nash baik secara qath’i maupun secara dhanni, juga tidak ada ijma yang
telah menetapkan hukumnya.
c.
Al-Ijtihād Istislāhi, yaitu karya ijtihad untuk menggali, menemukan dan
merumuskan hukum syar’i dengan cara menerapkan kaidah kulli untuk
kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat nash baik qath’i maupun dhanni,
dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada juga belum
diputuskan ijma.
2.
Metode istidlal ulama kontemporer:
a.
Maslahah mursalah, bahwa setiap sesuatu, apa
saja, yang mengandung manfaat didalamnya baik untuk memperoleh kemanfaatan,
kebaikan, maupun untuk menolak kemudaratan, maka semua itudisebut dengan
maslahah. Dikenal tiga jenis maslahah, yaitu; 1) maslahah al-mu’tabarah, 2)
maslahah al-mursalah, 3) Maslahah Maskut.
b. Istihsān secara etimologi berarti “menganggap atau memandang sesuatu
baik. Adapun istihsān secara terminology
menurut ulama ushul ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jalī
(nyata) kepada qiyas khāfi (sama) atau dari dalil kulli kepada hukum tahksīs
lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya
dan mementingkan perpindahan hukum.
3.
Metode ijtihad yang dikemukakan oleh Qardhawi,
yaitu:
a. Ijtihad
Intiqa’i/Tarjih : memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang
terdapat pada warisan fikih Islam yang penuh dengan fatwa dan putusan hukum.
b. Ijtihad insya’i
adalah pengambilan konkluse hukum dari suatu persoalan yang belum pernah
dikemukakan oleh ulama terdahulu.
c. Ijtihad perpaduan antara intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para
ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat kemudian dalam pendapat
tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.
4.
Metode ijtihad Ibnu Qayyim: urutan dasar-dasar
istinbath hukum yaitu ada lima macam:
a. Nash (al-Qur’an dan as-sunnah), Seorang mujtahid atau mufti diperintahkan
mengambil sumber hukum yang berdasarkan teks al-qur’an dan hadits.
b. Fatwa atau ijma’ sahabat, Apabila fatwa para sahabat yang diketahui saling
bertentangan, seseorang mujtahid atau mufti tidak dapat menjadikan fatwa mereka
sebagai dasar hukum, karena fatwa mereka bukan lagi dikatakan sebagai ijma’
sahabat lagi.
c. Hadits mursal
dan hadits dha’if, Menurut Ibnu
Qayyim, hadits dha’if adalah hadits yang tidak bathil dan tidak munkar serta
perawinya tidak tertuduh dusta. Apabila tidak terdapat hadits shahih atau qaul
sahabat, seorang mujtahid dapat mengamalkan hadits dha’if, sebab dasar ia lebih
utama dari pada qiyas.
d. Qiyas dalam keadaan darurat, Jika tidak menemukan dasar normatif, pendapat
sahabat, hadits mursal, atau hadits dha’if, seorang mujtahid boleh berhujjah
dengan sumber qiyas dalam keadaan darurat.
B. Saran
Demikian penyusunan makalah ini kami buat. Harapan kami
dengan adanya tugas ini dapat menambah wawasan kami dan dapat bermanfaat kepada
para pembaca, khusunya kelompok kami sendiri. Demi kesempurnaan makalah ini,
kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca serta dosen yang telah
membimbing kami.Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
[2] Muhammad Salam Mazkur, Manāhij
al-Ijtihād fī al- Islām, dalam Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam( Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 8
[12] Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press, 2011), hlm. 50
[13] Hasbi Umar, Nalar
Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 112-115.
[15] Nasrun
Rusli,. Ijtihad Asy-Syaukani. Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 32
[16]Al Qardhawi, Fatawa Muasirah (Bairut:Dar
al Fikr 1991) j.2 h.99 sebagaimana dikutip Rif’an Syafruddin, Ijtihad
Kontemporer dalamPersfektif Yusuf Al Qardhawi, Tesis IAIN Antasari 2004 h.32.
[17]Al
Qardhawi, Fatawa Muasirah, h. 3.
[18]Al Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syari’at Islam, Akidah,
Ibadah, Akhlak, alih bahasa oleh Abdus Salam Masykur (Solo: Era Intermedia,
2003) Cet ke 1 h.125-126.
[19]Qardhawi,
Tafsir al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fadilah 1987) h. 8.
[20]Al Qardhawi, Ijtihad Kontempore Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,
alih bahasa oleh Abu Barzani (Surabaya: Risalah Gusti 1995) Cet. Ke
1h.7-12.
[21]Al
Qardhawi, Ijtihad, h.15-24.
[22]Al
Qardhawi, Ijtihad h.24-25.
[23]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu 1997) cet ke-1, h.167-168.
[24]Qardhawi,
Ijtihad Kontemporer, Opcit, h 32-42.
[25]Al
Qardhawi, Ijtihad, h.34.
[26]Qardhawi, Hukum Zakat, alih bahasa oleh Salman Harun dkk
(Jakarta: Litera Antar Nusa 2006) Cet ke 9 h. 123-124.
[27]Qardhawi,
Ijtihad Kontemporer, h. 43.
[28]Qardhawi,
Fikih Peradaban, Sunnah sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, alih
bahasa oleh Faizah Firdaus.(Surabaya:Dunia Ilmu, 1997) cet I h. 56.
[29]Qardhawi,
Hukum Zakat h.376-379.
[30]Qardhawi,
Hukum Zakat, h.376.
[31]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut, Lebanon: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah 1988/1408) cet ke 10.
[32]Qardhawi,
h. 377.
[33]Qardhawi,
Ijtihad Kontemporer. h. 53-54.
[34]Qardhawi,
h. 63.
[35]Qardhawi,
h. 71.
[36]Qaradhawi,h.
81.
[37]Qaradhawi,
h. 87.
[39]Qaradhawi
h. 89.
[40]Qaradhawi
h. 131-142.
No comments :
Post a Comment