BAB
II
PEMBAHASAN
A. ilat kosmetik, obat-obatan dan penyedap rasa
Banyak orang kurang mengerti
tentang hukum benda najis, bahwa benda najis itu bukannya tidak boleh disentuh,
tetapi benda najis itu tidak boleh dimakan. Tidak satu pun dalil yang
mengharamkan kita untuk menyentuh benda najis, baik sengaja atau tidak sengaja,
baik najis itu levelnya ringan, sedang atau berat, baik najis bentuknya cair,
padat atau gas.
Seorang muslim tidak berdosa bila
bersentuhan dengan benda najis. Oleh karena itu pekerjaan yang terkait dengan
benda-benda najis itu tidak haram hukumnya. Tukang sampah, tukang sedot WC,
dokter bedah, dokter kandungan atau jagal yang kerjanya menyembelih hewan
adalah contoh orang-orang bekerja dengan selalu bersentuhan dengan benda-benda
najis. Meski selalu bergelimang dengan benda-benda najis, hukum pekerjaanya tetap
halal.
Maka dari itu, bila kita secara
sengaja melumuri tubuh kita seluruhnya dengan kotoran sapi, usus babi, atau
darah hewan, hukumnya tidak haram. Dan demikian juga bila kita pakai bedak atau
kosmetik yang dipastikan 100% terbuat dari bangkai, darah, atau babi, maka
tidak ada larangan apapun, dan tidak melahirkan dosa, jika kita telisisk dari
judul yang diangkat maka aka nada beberapa problematika yang akan di bahas,
karena kosmetik, obat-obatan, dan penyedap rasa mengunakan bahan najis.
Kosmetik dibagi menjadi dua macam,
yang pertama mengunakan bahan yang mengandung alkohol dan yang kedua mengunakan
bahan yang tidak mengunakan alkohol, maka untuk mengetahui itu kita akan
membahas bagaimanakah hukum alkohol. Yaitu:
a.
Pengertian
alkohol
Berbicara alkohol tidak bisa
dipisahkan dengan istilah khamar. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, alkohol berarti
zat cair yang memabukkan (sebagai yang dicampurkan di minuman keras dan
sebagainya). Menurut Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, segala minuman
yang bisa memabukkan dalam jumlah banyak atau sedikit baik itu berupa khamar
atau bukan, adalah diharamkan.[1]
Kata alkohol berasal dari bahasa
Arab, yaitu (الكحول) (alkuhul), rumusnya adalah C2 H5-OH=C= Carbonium, artinya zat
arang; H berarti Hidroginium, maksudnya zat cair. Dengan demikian, C2 H 50H
artinya persenyawaan antara 2 atom zat arang dengan 5 atom zat cair. Alkohol semacam
ini disebut "alkohol absolutus", yaitu alkohol 99 %., sedangkan l
%-nya adalah air.[2]
Pengertian alkohol sangat luas,
Gliserin sebagai dasar obat peledak Nitrogliserin juga termasuk alkohol.
Spiritus bakar juga alkohol, tetapi ia sudah dicampur dengan racun yang disebut
metanol supaya jangan diminum orang ternyata metanol itu sendiri juga alkohol.[3]
Alkohol itu belum dikenal orang
pada masa dahulu, maka status hukumnya pun tidak terdapat dalam kitab-kitab
Fiqih dahulu, baik dalam mazhab Syafii, Hanafi, Maliki, Hambali, Dawud Zhahiri
ataupun lainnya. Akan tetapi, masalah najis atau sucinya alkohol hanya dapat
dilihat dalam pembahasan-pembahasan para ulama masa sekarang.
Masalah alkohol dalam minuman telah
lama menjadi persoalan kaum muslimin. Persoalan tersebut menjadi semakin
menghangat dengan semakin luasnya pergaulan dimana manusia banyak bergaul
dengan bangsa yang tidak mempersoalkan keberadaan alkohol dalam minumannya.
Kaum muslimin tidak hanya mempersoalkan alkohol dalam minuman, tetapi juga
alkohol dalam obat, kosmetika, dan dalam makanan. Hal tersebut mudah dipahami karena
pada kenyataannya alkohol banyak terdapat pada ketiga jenis komoditi tersebut.
Selain itu antusiasme kaum muslimin membicarakan masalah alkohol merupakan
indikasi yang menggembirakan karena hal itu merupakan pertanda meningkatnya
kesadaran keagamaan yang menuntut kehalalan apa saja yang dikonsumsi dalam
keseharian.
b.
Dasar
Hukum Alkohol
Islam dengan tegas dan jelas telah
mengharamkan khamar dan judi bagi seluruh kaum Muslim berdasarkan nas Al-Qur'an
al-Karim dan hadis-hadis Nabi. Khamar ialah segala sesuatu yang memabukkan yang
menghilangkan akal, dan menyebabkan manusia keluar dari kesadarannya yang
benar.[4]
Tiap-tiap minuman yang memabukkan adalah haram dan dinamai khamar. Sesuatu yang
dapat memabukkan apabila diminum sedikit apalagi banyak maka hukumnya haram.[5]
Khamar adalah perasan anggur (dan
sejenisnya) yang diproses menjadi minuman keras yang memabukkan, dan segala
sesuatu yang memabukkan adalah khamar.[6]
Umat Islam masih terus meminum
khamar hingga Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah. Umat Islam bertanya-tanya
tentang minum khamar dan tentang berjudi demi melihat kejahatan-kejahatan dan
kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh kedua perbuatan itu. Oleh karena
itulah Allah menurunkan ayat:
۞يَسَۡٔلُونَكَ
عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ وَيَسَۡٔلُونَكَ
مَاذَا يُنفِقُونَۖ قُلِ ٱلۡعَفۡوَۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ
لَعَلَّكُمۡ تَتَفَكَّرُونَ ٢١٩
Mereka bertanya
kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
"Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir
Maksudnya ialah bahwa melakukan kedua
perbuatan itu mengandung dosa besar, karena di dalamnya kemadaratan-kemadaratan
serta kerusakan-kerusakan material dan keagamaan. Kedua hal itu memang
mempunyai manfa'at yang bersifat material, yaitu keuntungan bagi penjual khamar
dan kemungkinan memperoleh harta benda tanpa susah payah bagi si penjudi.
Akan tetapi dosanya jauh lebih
banyak daripada manfa'at-manfa'atnya itu. Lebih besar dosanya daripada
manfa'atnya itulah yang menyebabkan keduanya diharamkan. Hal ini jugalah yang
membuat keduanya lebih cenderung untuk diharamkan walaupun belum diharamkan
secara mutlak.[7]
Setelah ayat di atas turun pula
ayat yang mengharamkan khamar dalam kaitannya dengan shalat terutama bagi mereka
yang telah kecanduan khamar dan telah menjadi bagian dari hidupnya. Allah
berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا
تَقُولُونَ
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan
Dalam Tafsir Al-Azhar dijelaskan
bahwa Asbab an-Nuzul ayat ini ialah kasus seorang muslim yang mengerjakan shalat
padahal dia sedang dalam keadaan mabuk[8],
sehingga ia mengucapkan:
قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ
١ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ٢
ﹶ tanpa
menyebut kata ﻻَ dalam
ayat لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُون
Kasus ini merupakan pengantar bagi
diharamkannya minum khamar itu secara final dan setelah ini Allah
mengharamkannya secara tuntas melalui ayat:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ
مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٩٠ إِنَّمَا يُرِيدُ
ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةَ وَٱلۡبَغۡضَآءَ فِي ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِ
وَيَصُدَّكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِۖ فَهَلۡ أَنتُم مُّنتَهُونَ ٩١
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (91)
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian
di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)
Dari larangan diatas Allah Swt
mengkategorikan, judi, berkorban untuk berhala dan bertenung (mengundi nasib)
sama dengan khamar. Oleh Allah Swt. semua hal ini dihukumkan sebagai berikut:
1.
Keji
dan menjijikkan, sehingga harus dihindari oleh setiap orang yang mempunyai
pikiran waras
2.
Perbuatan,
godaan dan tipu daya syaitan.
3.
Lantaran
perbuatan itu merupakan perbuatan syaitan, maka haruslah dihindari. Dengan
menjauhkan diri dari perbuatan itu, maka berarti yang bersangkutan telah
bersiap sedia untuk meraih kebahagiaan dan keberuntungan
4.
Tujuan
syaitan menggoda manusia agar meminum khamar dan berjudi tidak lain untuk
merangsang timbulnya permusuhan dan persengketaan. Permusuhan dan persengketaan
ini merupakan dua bentuk kerusakan duniawi.
5.
Tujuan
lain dari godaan itu ialah untuk menghalangi orang dari mengingat Allah dan
melalaikan shalat. Hal ini jelas merupakan kerusakan keagamaan
Atas dasar itulah manusia
diwajibkan menghentikan perbuatan-perbuatan tersebut. Ayat diatas merupakan
ayat terakhir yang menghukumi minum khamar dengan hukum "haram
mutlak" (Qath'i).
Minuman khamar diharamkan atas dasar
ayat Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'ul Muslimin. Berdasarkan Firman Allah SWT bahwa
haramnya khamar terdapat dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 90-91 sebagaimana
telah disebutkan di atas. Pada ayat tersebut terdapat 10 (sepuluh) hal yang menunjukkan
haramnya khamar.
Pertama,
khamar dirangkai seiring dengan judi, berkorban untuk berhala, dan mengundi
nasib dengan panah adalah mengisyaratkan bahwa khamar sama dengan yang
mengiringi dalam haramnya.
Kedua,
khamar dinamai dengan رجس yang artinya
محرم yang dilarang (diharamkan). Ketiga, khamar termasuk perbuatan
syaitan. Keempat, manusia disuruh menjauhinya. Kelima, tercapainya kebahagiaan dikaitkan dengan jika menjauhinya.
Keenam,
khamar merupakan kehendak syaitan untuk menimbulkan permusuhan. Ketujuh, Adanya kehendak dari syaitan
untuk menimbulkan kebencian. Kedelapan,
adanya kehendak syaitan untuk menghalangi dari mengingati Allah. Kesembilan, adanya maksud dari syaitan
untuk menghalangi dari shalat. Kesepuluh,
bentuk larangannya fashih dengan bentuk istifham dalam kata-kata فهل
أنتم منتهون yang sekaligus mengisyaratkan adanya suatu
ancaman.[9]
Adapun Hadits yang menjadi dasar bahwa khamer itu haram antara lain:
عن ابن عمر انّ رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال: من شرب الخمر فى الدنيا ثمّ لم يتب منها فى لأخرة (رواه الجماعة
الا الترميدى)
Dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. Bersabda: barangsiapa minum arak (khamer) di
dunia kemudian tidak bertaubat, maka ia cegah mendapatkannya di akherat. (HR. Jamaah
kecuali Turmudzi)
وعن ابن عمر رضى
الله عنهما انّ النبي صلى الله عليه وسلم قال: كلّ مسكر خمروكلّ مسكر حرام (اخرجه
مسلم)
Dari
Ibnu Umar ra. mengatakan Nabi saw bersabda: tiap-tiap yang memabukkan, maka itu
khamr dan tiap-tiap yang memabukkan haram (HR. Muslim).
وعن جابرابن عمر
رضي الله عنه انّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ما أسكر كثيره فقليله حرام
(أحرجه احمدوالأربعة وصححه ابن حبان)
Dari
Jabir ra. mengatakan Rasulullah saw
bersabda: minuman yang memabukkan jika diminum agak banyak, maka sedikitnya
juga haram (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i Ibnu Majah dan disahkan oleh
Ibnu Hibban)
Berdasarkan ijma, para ulama' dan
kaum muslimin sepakat bahwa minuman khamar itu dilarang dan sesungguhnya
minuman khamer itu termasuk dosa-dosa besar yang paling keji dan pelanggaran
yang kejam.
c.
Pendapat
Para Ulama Tentang Pemanfaatan Alkohol
Menurut Muhammad bin Ali Asy-Syaukani
dan Muhammad Rasyid Rida bahwa meminum minuman yang mengandung unsur alkohol,
walaupun kadarnya sedikit dan tidak dimabukkan, sebaiknya dihindarkan untuk
tidak diminum. Mereka berpegang pada kaidah "sadd az-zari'ah" (tindakan
pencegahan), karena meminum minuman yang mengandung alkohol dalam jumlah
sedikit tidak memabukkan, tetapi lama-kelamaan akan membuat ketergantungan bagi
peminumnya sedangkan meminumnya dalam jumlah yang lebih sudah pasti memabukkan.
Karenanya, hal ini lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat.
Dalam hal pemanfaatan alkohol untuk
keperluan sandang dan papan (seperti pembersih alat-alat tertentu di rumah
tangga, rumah sakit, kegiatan industri, dan laboratorium), sebagian ulama
mengatakan hukumnya najis dan sebagian lainnya mengatakan tidak najis.
Imam Mazhab yang empat (Hanafi,
Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat mengatakan bahwa alkohol adalah najis, dengan
mengkiaskannya kepada khamar karena kesamaan illat atau sebabnya, yaitu
sama-sama memabukkan. Ulama yang menghukumkan khamer sebagai najis beralasan
pada surah al-Ma'idah (5) ayat 90. Dalam ayat itu disebutkan bahwa khamar
termasuk rijs yang diartikan najis, dan najis adalah kotor berdasarkan firman
Allah SWT dalam surah al-A 'raf (7) ayat 157, karenanya harus dijauhi. Atas
dasar ini mereka menetapkan bahwa alkohol dan semua yang memabukkan adalah
najis, sebagaimana khamar. Sebagian ulama Mazhab Hanafi bahkan menegaskan bila
alkohol mengenai pakaian, maka pakaian itu tidak boleh dipakai untuk shalat.
Jika tetap dipakai, maka shalatnya tidak sah atau batal.
Pendapat di atas beralasan pada hadis
Nabi SAW yang diriwayatkan dari Sa'labah al-Khasyani. Dalam hadits tersebut ia
bertanya kepada Rasulullah SAW: "Ya Rasululah, kami berada di kampung
orang-orang ahlul kitab, apakah kami boleh makan memakai alat-alat (misalnya
piring yang telah) mereka (pakai)?" Rasulullah SAW menjawab: "Jika
kamu bisa mendapatkan yang lain, selain dari alat yang mereka pakai itu, maka
jangan kamu makan di situ. Tetapi, jika tidak ada yang lain lagi, maka basuhlah
(terlebih dahulu), baru kamu makan di situ" (HR. ad-Daruqutni). Dalam riwayat
lain dikatakan pula: "Kami berkunjung kepada orang-orang" ahlulkitab,
mereka memasak daging babi dalam periuk mereka dan minum khamar dengan
alat-alat (gelas) mereka. Rasulullah SAW menjawab: "Jika kamu bisa
mendapatkan yang lain, pakailah yang lain, tapi jika tidak ada yang lain, maka
basuhlah dengan air, lalu makan dan minumlah di situ" (HR. Abu Dawud).
Sebaliknya Imam Rabi'ah ar-Ra'yi (guru
Imam Malik), al-Lais bin Sa'ad, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264
H/878 M; ulama Mazhab Syafi'i), sebagian ulama Baghdad kontemporer, dan Mazhab
az-Zahiri mengatakan bahwa khamar adalah suci. Pendapat ini beralasan pada sebuah
riwayat yang mengatakan bahwa para sahabat menumpahkan khamar di jalan-jalan
Madinah ketika turun ayat yang menegaskan keharamannya. Seandainya khamar itu
najis, tentu sahabat tidak melakukannya karena Nabi SAW akan melarangnya, akan
tetapi ternyata Nabi SAW tidak melarangnya. Mereka menegaskan, kata rijsun
dalam surah al-Ma'idah (5) ayat 90, kalau diartikan najis, maka yang dimaksud
adalah najis hukmy (najis secara hukum), bukan najis 'aini (najis secara
materi). Menurut mereka, hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah
at-Taubah (9) ayat 28, yang artinya: ”sesungguhnya orang-orang musyrik itu
adalah najis..." Di samping itu kata-kata rijsun tersebut juga menjadi
sifat bagi al-maisyir (judi), al-ansab (berkurban untuk berhala), dan al-azlam
(mengundi nasib dengan panah). Namun, tak seorang ulama pun yang menyatakan
benda-benda tersebut adalah najis ' aini.
Di antara ulama yang berpendirian
bahwa khamar itu suci adalah Muhammad bin Ali asy-Syaukani dan Muhammad Rasyid
Rida dalam kitab Tafsir al-Manar, menyatakan ketidak najisan alkohol dan khamar
serta berbagai parfum yang mengandung alkohol atas dasar tidak adanya dalil
sarih (tegas) tentang kenajisannya. Majlis Muzakarah al-Azhar Panji Masyarakat berpendapat
sama bahwa alkohol di dalam minyak wangi hukumnya tidak haram, sebaliknya
memakai minyak wangi malah disunahkan.[10]
Atiah Saqr (ahli fikih Mesir) dalam
bukunya Al-Islam Wa Masyakil Al-Hajah (Islam dan Masalah Kebutuhan)
mengemukakan bahwa mengingat alkohol kini sudah banyak digunakan untuk berbagai
keperluan (seperti medis, obat-obatan, parfum dan sebagainya), maka ia
cenderung mengambil pendapat yang mengatakan kesuciannya, karena pendapat ini
sesuai dengan prinsip al-yusr
(kemudahan) dan adam al-haraj (menghindarkan
kesulitan) dalam hukum Islam.
Dalam menetapkan hukum penggunaan
alkohol untuk pengobatan, ulama fikih tetap berpedoman pada hukum khamar. Imam
mazhab yang empat pada dasarnya sepakat mengatakan bahwa memakai khamar dan
semua benda-benda yang memabukkan untuk pengobatan hukumnya adalah haram.
Pendapat ini beralasan pada hadis
riwayat Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya
Allah tidak menjadikan obat (untuk) kamu dari sesuatu yang diharamkan
memakannya" (HR. al-Bukhari).
Tariq bin Suwaid meriwayatkan pula
bahwa dia'' bertanya kepada Rasulullah SAW tentang khamar. Rasulullah SAW
melarang atau membenci pembuatan khamar itu. Ibnu Suwaid berkata: "Aku
membuatnya hanya semata-mata untuk obat". Rasulullah menjawab:
"Sesungguhnya (khamar) itu bukannya obat, tetapi malah penyakit" (HR.
Abu Dawud). Hadis lain dari Abu Darda yang mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan (sek aligus) penawar
(obat)-nya, maka berobatlah kamu sekalian, dan janganlah kamu berobat dengan
yang haram" (HR. Abu Dawud).
Akan tetapi, ulama yang datang belakangan
memberikan kelonggaran dengan beberapa persyaratan tertentu. Sebagian ulama
Mazhab Hanafi membolehkan berobat dengan sesuatu yang diharamkan (termasuk
khamar, nabiz, dan alkohol), dengan syarat diketahui secara yakin bahwa pada
benda tersebut benar-benar terdapat obat (sesuatu yang dapat menyembuhkan), dan
tidak ada obat lain selain itu.
Ulama dari kalangan mazhab Syafi'i
berpendapat bahwa haram hukumnya berobat jika hanya dengan khamar atau alkohol
murni, tanpa dicampur dengan bahan lain, di samping memang tidak ada bahan lain
selain bahan campuran alkohol tersebut. Disyaratkan pula bahwa kebutuhan
berobat dengan campuran alkohol itu harus berdasarkan petunjuk atau informasi.
dari dokter muslim yang ahli di bidang itu. Demikian pula penggunaannya hanya sekedar
kebutuhan saja dan tidak sampai memabukkan.
Pada umumnya, ulama fikih membolehkan
menggunakan alkohol untuk berobat sejauh adanya situasi atau kondisi
keterpaksaan atau darurat. Mereka beralasan pada ayat-ayat Al-Qur'an,
hadits-hadits Nabi SAW, dan kaidah fikih.
Dalil-dalil dari Al-Qur'an yang
dikemukakan antara lain, surah al-Baqarah (2) ayat 185: "...Allah
menghendaki bagimu suatu kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu..." dan al-Hajj (22) ayat 78: "...dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan..." Kebolehan
menggunakan alkohol itu juga dikiaskan kepada kebolehan memakan beberapa jenis
makanan yang diharamkan, apabila keadaan memaksa tanpa sengaja untuk berbuat dosa
(QS.2:173, 5:3, 6:145, dan 16:115).
Dalil-dalil berdasarkan hadis yang
digunakan antara lain, hadis dari Ibnu Abbas yang menjelaskan:
"Sesungguhnya Allah mensyariatkan agama, maka dijadikan-Nya agama itu
mudah, lapang dan luas, dan Dia tidak menjadikannya suatu kesempitan" (HR.
at-Tabrani). Sedangkan kaidah fikih yang menopangnya antara lain, "Kesulitan
itu dapat membawa kepada kemudahan" dan "Keterpaksaan dapat membolehkan
sesuatu yang diharamkan".
Tentang penggunaan alkohol sebagai
obat luar, terdapat perbedaan pendapat. Ulama fikih yang memandang alkohol
adalah najis (dengan mengkiaskannya kepada najisnya khamar) memberikan
keringanan untuk berobat dengan alkohol atau campuran alkohol, selama tidak ada
obat lain yang tidak mengandung alkohol. Akan tetapi, ulama fikih yang
memandang alkohol bukan najis tetapi suci, membolehkan untuk menggunakan
alkohol sekalipun ada obat lain yang tidak mengandung alkohol, apalagi obat itu
tidak untuk diminum atau untuk dimakan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas
ulama.
Sekelompok fukaha dan sebagian ulama
fikih Mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa alkohol adalah najis, menyatakan
tidak boleh memakai wangi-wangian atau parfum yang bercampur alkohol. Apabila
pakaian yang dikenai parfum dipakai untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.
Ulama fikih seperti Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzani dan fukaha kontemporer
mazhab Hanafi berpendapat bahwa alkohol bukan najis. Alasannya, tidak mesti
sesuatu yang diharamkan itu najis, banyak hal yang diharamkan dalam syarak
tetapi tidak najis. Kalaupun hal tersebut najis, ia tidak termasuk dalam najis
'aini, tetapi hanya najis hukmi.
Muhammad Rasyid Rida dalam kitab
Tafsir al-Manar, mengatakan bahwa menghukumi najisnya Alkohol yang kini sudah
banyak digunakan untuk tujuan-tujuan positif (seperti untuk keperluan medis,
campuran obat-obatan, dan sebagainya) tentu akan menimbulkan kesulitan (haraj)
bagi umat manusia, dan ini bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an yang menyatakan
kesulitan itu harus dihilangkan.
Menurut Keputusan Muktamar Nahdhatul
Ulama ke-23 di Solo pada tanggal 25 oktober 1961 m ditegaskan bahwa alkohol itu
termasuk benda yang menjadi perselisihan hukum di antara para ulama. Dikatakan
bahwa alkohol itu najis, sebab memabukkan, dan juga dikatakan bahwa alkohol itu
tidak najis sebab tidak memabukkan. Akan tetapi muktamar berpendapat najis hukumnya,
karena alkohol itu menjadi arak. Adapun minyak wangi yang dicampuri alkohol
itu, kalau campurannya hanya sekedar menjaga kebaikannya, maka dimaafkan.
Begitupun halnya obat-obatan.
DAFTARPUSTAKA
Ahmad Dimyati Badruzzaman, Umat
Bertanya ULama Menjawab, Bandung, Sinar Baru 1973
Ahmad Asy-Syarbashi, Yas’akunaka:
Tanya Jawab Tentang Agama Dan Kehidupan, terjemah. Ahmad Subandi, Jakarta,
Lentera, 1997
A. Mustofa
Bisri, Fikih Keseharian Gus Mus, Surabaya, Khalista, 2005
Abd Al-Rahmad Al-Jaziri, Kitab
Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazhahib Al-Arba’ah, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah
Azyumardi Azra (Penyunting), Islam
Dan Masalah-Masalah Kemasyarakatan, Jakarta, Pustaka Panjimas 1983
Hamka, Tafsif
Al azhar, Jakarta Pt Pustaka Panji Mas, 1999 Juz 5
Musthafa K.S, Alkohol Dalam
Pandangan Islam Dan Ahli-ahli Kesehatan, Bandung PT Al-Ma’arif
Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, Kairo, Maktabah Dar al-Turas, juz 2
Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz
al-Malibary, Fath al-Mu’in Bi Sarh Qurrah al Uyun, Maktabhah wa Matbaah,
Semarang, Toha Putera
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum
Fiqih Islam Tinjauan Antar Mazhab, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001
[1] Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in Bi Sarh
Qurrah al Uyun, Maktabhah wa Matbaah, Semarang, Toha Putera Hlm 131
[2] Ahmad Dimyati Badruzzaman, Umat Bertanya ULama Menjawab, Bandung,
Sinar Baru 1973, Hlm 215
[3] Musthafa K.S, Alkohol Dalam Pandangan Islam Dan Ahli-ahli
Kesehatan, Bandung PT Al-Ma’arif Hlm 21
[4] Ahmad Asy-Syarbashi, Yas’akunaka: Tanya Jawab Tentang Agama Dan
Kehidupan, terjemah. Ahmad Subandi, Jakarta, Lentera, 1997 Hlm 526
[5] TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam Tinjauan Antar
Mazhab, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001 Hlm 211
[6] A. Mustofa Bisri, Fikih Keseharian Gus Mus, Surabaya,
Khalista, 2005 Hlm 497
[7]Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo, Maktabah Dar al-Turas,
juz 2 Hlm 374
[8] Hamka, Tafsif Al azhar, Jakarta Pt Pustaka Panji Mas, 1999
Juz 5 Hlm 78-79
[9] Abd Al-Rahmad Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazhahib Al-Arba’ah,
Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Hlm, 8
[10] Azyumardi Azra (Penyunting), Islam Dan Masalah-Masalah
Kemasyarakatan, Jakarta, Pustaka Panjimas 1983 Hlm 426
No comments :
Post a Comment