BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Suatu kontrak
atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat,
kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan
dalam pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya empat
syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan
mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya[1].
Pengertian
Hukum Perjanjian Syariah adalah merupakan suatu perikatan yang sengaja dibuat
secara tertulis, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak
yang berkepentingan.
Bentuk
ijtihad kontemporer dari para ulama kini telah terbentuk Dewan Syariah Nasional
(DSN) yang merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Inilah yang
memungkinkan Hukum Perjanjian Syariah dapat mengikuti perkembangan zamannya.
Dengan menggunakan hasil ijtihad, para ulama kontemporer yang sangat mengerti
mengenai teknis transaksi bisnis yang berlaku di zaman modern sekarang ini,
namun Hukum Perjanjian Syariah tetap dapat dijalankan sesuai dengan kaidah
aslinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian dari Hukum Perjanjian
Syariah?
2. Apakah Sumber dan Dalil Hukum Perjanjian
Syari’ah?
3.
Apakah
Kedudukan Hukum Perjanjian
Syari’ah Dalam Tata Hukum Indonesia?
4. Apakah Perbedaan Hukum Perjanjian Syari’ah
dan Hukum Perjanjian Konvensional?
5.
Apa
saja Macam – macam perjanjanjian Syari’ah dan Perjanjian
Konvensional?
- Apakah Syarat-syarat Untuk Sahnya Perjanjian?
- Tujuan Masalah
Dari permasalahn tersebut makalah ini
memiliki tujuan:
1. Untuk mengetahui Pengertian dari Hukum
Perjanjian Syariah?
2. Untuk mengetahui Sumber dan Dalil Hukum
Perjanjian Syari’ah?
3.
Untuk
mengetahui Kedudukan Hukum
Perjanjian Syari’ah Dalam Tata Hukum Indonesia?
4. Untuk mengetahui Perbedaan Hukum Perjanjian Syari’ah
dan Hukum Perjanjian Konvensional?
5.
Untuk
mengetahui Macam – macam perjanjanjian Syari’ah dan Perjanjian
Konvensional?
- Untuk mengetahui Syarat-syarat Untuk Sahnya Perjanjian?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Perjanjian Syariah
Merupakan suatu perikatan yang
sengaja dibuat secara tertulis, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti
bagi para pihak yang berkepentingan.
Dalam fiqh muamalah, pengertian
kontrak pejanjian masuk dalam bab pembahasan tentang akad. Pengertian akad
(al-‘aqd) secara bahasa dapat diartikan sebagai perikatan atau perjanjian.
Jadi, yang dimaksud dengan Hukum
kontrak syariah adalah hokum yang mengatur perjanjian atau perikatan yang
sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai
alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.
B.
Sumber
dan Dalil Hukum Perjanjian Syari’ah
Dalam hukum islam, yang menjadikan
sumber hukum pada zaman dahulu sampai sekarang hanyalah al-quran dan
sunnah. Dasar hukum keduanya sebagai
sebagai sumber syara’ tanpa ada yang terlibat, sedangkan yang lain tidak dapat
dikatakan sebagai sumber hukum kecuali sebatas dalil-dalil syara’ saja itupun
dengan ketentuan selama adanya dalalah-nya dan merujuk pada nash-nash yang
terdapat pada kedua sumber hukum yaitu al-quran dan sunnah.[2]
- Al-Qur’an
Allah berfirman dalam surat
al-baqarah ayat 282 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ
كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ
شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ
لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ
إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا
إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ
وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً
تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ
وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم
Artinya
:
Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[3]
- Hadits
HR Abu Dawud dan Hakim
“Allah SWT telah
berfirman (dalam Hadits Qudsi-Nya), ‘Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang
berserikat selama salah seorang diantaranya tidak berkhianat terhadap temannya.
Apabila salah seorang diantara kedua berkhianat, maka aku keluar dari
perserikatan keduanya.’56
- Ijtihad
Sumber hukum Islam yang ketiga
adalah ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan akal atau ar-ra’yu. Posisi
akal dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Penggunaan akal
untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kedudukan ijtihad dalam bidang
muamalat memiliki peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan, bahwa sebagian
besar ketentuan-ketentuan muamalat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis
bersifat umum. Ijtihad dalam masalah Hukum Perjanjian Syariah dilakukan oleh
para Imam Mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Bentuk ijtihad kontemporer dari
para ulama kini telah terbentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan
bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Inilah yang memungkinkan Hukum
Perjanjian Syariah dapat mengikuti perkembangan zamannya. Dengan menggunakan
hasil ijtihad, para ulama kontemporer yang sangat mengerti mengenai teknis
transaksi bisnis yang berlaku di zaman modern sekarang ini, namun Hukum
Perjanjian Syariah tetap dapat dijalankan sesuai dengan kaidah aslinya. [4]
- Peraturan Perundangan
Mengenai hukum kontrak (perjanjian)
yang bersumber dari undang-undang dijelaskan :
a. Persetujuan para pihak kontrak
(perjanjian)
b. UU karena suatu perbuatan, selanjutnya
yang lahir dari UU karena suatu perubahan dapat dibagi:
1. Yang dibolehkan (zaakwaarnaming),
2. Yang berlawanan dengan hukum misalnya
seorang karyawan yang membocorkan rahasia perusahan meskipun dalam kontrak
kerja tidak disebutkan perusahaan dapat saja menutut karyawan tersebut karena
perbuatan itu oleh UU termasuk perbuatan yang melawan hukum (onreehtsmatige
daad) untuk hal ini dapat dilihat pasal 1365 KUHPerdata.[5]
Dalam KUHPerdata di BAB ke II
tentang perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian dalam ketentuan
umum dinyatakan :
1) Pasal 1313
suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.
2) Pasal 1314
suatu perjanjian dibuat
dengan Cuma-Cuma atau atas beban. Suatu perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada
pihak yang lain tanpa meneriama satu manfaat bagi dirinya sendiri. Sedangakan
berjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing
pihak memberikan suatu, berbuat sesuatu atas tidak berbuat sesuatu.
3) Pasal 1315
pada umumnya tak
seorang dapat mengikat diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu
janji dari pada untuk diri sendiri.[6]
C.
Kedudukan Hukum Perjanjian Syari’ah Dalam Tata Hukum
Indonesia
Sunarjati
Hartono mengisyaratkan bahwa fase-fase perkembangan penerapan hukum di
Indonesia terjadi dalam 4 fase.
1. Fase
sistem hukum adat
Hingga
abad ke-14, masyarakat kepulauan Nusantara hidup dalam suasana hukum adat
mereka yang asli. Di Minangkabau, misalnya berlaku hukum adat Minangkabau, di
Sulawesi berlaku hukum adat Sulawesi, begitu pula tempat-tempat lain berlaku
hukum adat masing-masing.
2. Fase
pengaruh agama Islam
Sebelum kekuasaan kolonial Belanda melancarkan
politik hukumnya di Indonesia, Hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri
telah mempunyai kedudukan yang kuat baik dalam masyarakat maupun dalam
peraturan perundang-undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam pada zaman dahulu
pun memakai hukum Islam. Menurut Ismail Sunni, hal ini dikarenakan sebagian
besar bangsa Indonesia menganut agama Islam, maka kerajaan-kerajaan Islam
Nusantara menggunakan hukum Islam sebagai hukum satu-satunya.
3. Fase
kolonial
Setelah
kekuasaan VOC diambil alih dan diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda
(tahun 1799), secara berangsur-angsur pemerintah kolonial ini menyingkirkan hukum
Islam sebagai bagian dari upaya peneguhan kekuasaannya untuk menjajah
Indonesia. Teori reseptie in complexu diganti dengan teori receptie yang
menyatakan bahwa hukum Islam hanya berlaku apabila telah diresepsi oleh dan
keluar dalam bentuk hukum adat.
4. Fase
Indonesia Merdeka
Kondisi berubah bagi hukum Islam dan peluang
juridis-konstitusional bagi pemberlakunya semakin terbuka. Lahirnya lembaga
keuangan dan bisnis syariah, khususnya bank syariah menjadikannya sebagai
pijakan dasar. Beberapa bentuk akad telah diformalkan dalam Peraturan Bank
Indonesia. Pada aspek ini, keberlakuan hukum Islam khususnya di bidang
perjanjian merupakan suatu kebutuhan dan tuntutan realitas nyata untuk
memberikan dasar pijak bagi penyelenggaraan bisnis dan ekonomi syariah yang
telah menjadi kenyataan di negeri ini.
Akhirnya kita dapat mengambil
kesimpulan, bahwa kedudukan Hukum Islam (termasuk di dalamnya Hukum Perjanjian
Islam) setelah Indonesia merdeka sudah lebih kokoh, tanpa dikaitkan dengan
Hukum Adat. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan Hukum Nasional yang berprinsip
sebagai berikut :
a) Hukum
Islam yang disebut dan direntukan oleh peraturan perundang-undangan dapat
berlaku langsung tanpa harus melalui Hukum Adat.
b) Republik
Indonesia wajib mengatur sesuatu masalah sesuai dengan Hukum Islam sepanjang
hukum itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
c) Kedudukan
Hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia sama dan sederajat dengan Hukum Adat
dan Hukum Barat.
d) Hukum
Islam juga menjadi sumber pembentukan Hukum Adat, Hukum Barat, dan hukum
lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia.[7]
D.
Perbedaan Hukum Perjanjian Syari’ah
dan Hukum Perjanjian Konvensional
Perjanjian
dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-’aqd yang berarti perikatan,
permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan : ”Pertalian
ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan”
Sementara
dalam pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah “suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melakukan suatu hal”.[8]
Dengan demikian, setelah adanya perjanjian yang
menimbulkan perikatan maka timbulah yang dinamakan kontrak atau oleh
Hasanuddin Rahmad disebut perjanjian tertulis sebagai media atau bukti kedua
belah pihak
Perbedaan
pokok antara Hukum Perjanjian Islam dengan Hukum Perjanjian Barat (konvensional)
Perbedaan
|
Perjanjian
Islam
|
Perjanjian
Barat (Konvensional)
|
Landasan Filosofis
|
Religius Transedental
(ada nilai agama, berasal dari ketentuan Allah)
|
Sekuler(tidak
ada nilai agama)
|
Sifat
|
Individual
Proposional
|
Individual /
Liberal
|
Ruang lingkup
(Substansi) |
Hubungan bidimensional
manusia dengan Allah (vertikal), manusia dengan manusia, benda, dan
lingkungan (horizontal)
|
Hanya hubungan
manusia dengan manusia, manusia dengan benda (horizontal)
|
Proses
Terbentuknya
|
Adanya
pengertian al-ahdu (perjanjian)-persetujuan-al-akhdu
(perikatan)
(QS.Ali Imron : 76,QS Al-Maidah:1). |
Adanya pengertian
perjanjian (overeenkomst) dan perikatan (verbintebsis) (1313
dan 1233 BW)
|
Sahnya
Perikatan
|
1.
Halal
2.
Sepakat
3.
Cakap
4.
Tanpa
Paksaan
5.
Ijab
& Qabul
|
1. Sepakat
2. Cakap
3. Hal tertentu
4. Halal (1320 BW)
|
Sumber
|
1. Sikap tindak yang didasarkan Syariat
2. Persetujuan yang tidak melanggar
Syariah
|
1. Persetujuan
2. Undang-undang (1233 BW)
|
E.
Macam –
macam perjanjanjian Syari’ah dan Perjanjian Konvensional
1.
Perjanjian
Syari’ah
Perjanjian dalam Syari’ah kebanyakan
mengenai perjajanjian muamalat, diantaranya :
a.
Al-Wakalah
b.
Ash shulhu
c.
Perjanjian
Jual Beli
d.
Perjanjian
Sewa Menyewa (Al-Ijarah)
e.
Bagi Hasil
f.
Penitipan
Barang (Wadi’ah)
g.
Serikat/Perseroan
(Syirkah)
h.
Pemberian (Hibah)
i.
Pinjam Pakai
(Al-Ariyah)
j.
Perjanjian
Pinjam Pakai habis (Pinjam Meminjam)
k.
Gadai (Rahn)
l.
Penanggungan
Hutang (Kafalah)
m.
Perjanjian
Perdamaian (As Shulhu), dan masih banyak lagi.[9]
2. Perjanjian
Konvensional
Berikut adalah beberapa perjanjian
yang biasa dijumpai dalam perjanjian konvensional :
a. Perjanjian
Timbal Balik
b. Perjanjian
Cuma-Cuma (Pasal 1314 KUHPerdata)
c. Perjanjian
Atas Beban
d. Perjanjian
Bernama (Benoemd)
e. Perjanjian
Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst)
f. Perjanjian
Obligator
g. Perjanjian
Kebendaan (Zekelijk)
h. Perjanjian
Konsensual
i.
Perjanjian Rill
j.
Perjanjian Liberatoir
k. Perjanjian
Pembuktian (Bewijsovereenkomst)
l.
Perjanjian Untung-untungan
m. Perjanjian
Publik
n. Perjanjian
Campuran (Contractus Sui Generis)[10]
F.
Syarat-syarat Untuk Sahnya
Perjanjian
Pasal 1320 :
“Untuk sahnya
persetujuan-persetujuan diperlukan 4 syarat :
1. Sepakat mereka yangmengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab
yang halal[11]
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
dari isi makalah diatas adalah bagaimana cara kita memahami dan mengetahui
sumber dan dalil tentana hukum perjanjian syari’ah. Dewasa ini sudah semakin
banyak orang-orang yang mengetahui tentang perjanjian syari’ah, tetapi
kebanyakan dari mereka (orang awam) belum mengetahui tentang perbedaan
perjanjian syari’ah dengan perjanjian biasanya (konvensional), orang-orang
kebanyakan berpikir bahwa perjanjian syari’ah disi sama halnya dengan
perjanjian konvensional yang sudah ada sejak dulu. Sebenarnaya perjanjian
syari’ah dan hukum dari perjanjian tersebut sudah ada sejak zaman dahulu, hal
itu dapat ditinjau dari sejarah yang telah dipaparkan di atas, sejak masyarakat
adat hingga saat ini hukum perjanjian syari’ah telah ada. Bahkan di dalam
Al-Qur’an, al-Hadits dan Ijtihad dari beberapa Ulama telah mengemukakannya. Dan
saat ini hukum perjanjian syar’iah telah banyak di aplikasikan oleh masyarakat
Indonesia sendiri dan dunia.
DARTAR PUSTAKA
Burhanuddin.
2009. Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta.
Darus Badrulzaman Mariam.
2001. Kompilasi Hukum Perikata. Jakarta
: PT. Citra
aditya Bakti
Dewi
, Gemala. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Pasaribu,
Chairuman. 1993. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Medan : Sinar Grafika S,
Saliman,
Abdul Rasyid. 2005. Hukum Bisnis untuk Perusahan teori dan contoh. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
Suharnoko.
2007. Hukum Perjanjian. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
[2] Burhanuddin S, Hukum
Kontrak Syariah, (Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2009), 4
[4] Gemala
Dewi,Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2005), 42-44
[5]
Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan teori dan cotoh kasus,
(Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2005), 5.
[6] Subekti, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT Pradnya Paramita), 338
[7] Gemala Dewi,Hukum,11-18.
[10] Mariam Darus
Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta, PT. Citra aditya
Bakti, 2001) hlm 66-69
[11] Mariam Darus
Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta, PT. Citra aditya
Bakti, 2001) hlm 73
2 comments :
ijin copas dikit yaa buat nmbahin tugas makasih ^_^
Alhamdulillah. Cukup lengkap makalahnya
Post a Comment