BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia merupakan mahluk sosial, tidak dapat bertahan apabila tidak ada
bantuan dari orang lain. Maka dari itulah setiap manusia harus saling membantu
atau bahu-membahu terutama di sini dengan jalan mengadakan perjanjian atau
kontrak terhadap pihak yang bersangkutan. Akibat dari hal demikian maka
timbullah perikatan yang mana ada kewajiban yang harus dipenuhi dan hal yang
harus dituntut.
Dalam islam, istilah ini sering disebut akad, mencakup perikatan maupun
perjanjian. Islam juga mewajibkan orang yang terlibat dalam akad untuk memenuhi
kewajiban terhadap orang lain. Misalnya saja dalam hutang, apabila orang yang
berhutang tersebut meninggal dunia sedangkan ia belum membayar lunas, maka
harus ditanggung oleh ahli waris. Dari gambaran tersebut betapa tegasnya Islam
dalam perikatan atau akad. Kemudian apakah perikatan dalam Islam dengan akad
pada umumnya selalu sama akan dijelaskan di sini. Semoga makalah ini akan
membantu dalam memahami perikatan dalam Islam meskipun penjelasan di sini hanya
bersifat mendasar dan pengantar saja.
Dilihat dari berbagai literatur, akad terdiri dari
beraneka bentuk. Para ahli fiqih mengelompokkannya berbeda-beda sesuai dengan
pemikiran mereka masing-masing. Untuk memberi kemudahan dalam memahami bentuk-bentuk
akad, dalam makalah ini penulis akan membagi bentuk akad berdasarkan kegiatan
usaha yang sering dilakukan saat ini dalam tiga bentuk, yaitu: Percampuran,
pertukaran dan derivasinya.
B.
Rumusan Masalah
1)
Apakah yang di maksud
bentuk akad perjanjian syariah percampuran?
2)
Apakah yang di maksud
bentuk akad perjanjian syariah pertukaran?
C.
Tujuan Pembahasan
1)
Untuk menjelaskan
bentuk akad perjanjian syariah percampuran
2)
Untuk menjelaskan
bentuk akad perjanjian syariah pertukaran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERCAMPURAN
Kerjasama atau As-syirkah secara
etimologi berarti percampuran[1],
yaitu percampuan antara sesuatu dengan selainnya, sehingga sulit dibedakan.
Sedangkan secara terminology yaitu ikatan kerjasama antara orang-orang yang
berserikat dalam hal modal dan keuntungan.
Dasar hokum dari syirkah ini yaitu bukan
hanya dari al-qur’an saja tapi melainkan
dari hadis Rasulullah dan juga ijma’ para ulama’
1)
Al-Quran
QS. Shaad (38) : 24
tA$s% ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ß¼ãr#y $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çm/u §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ
Daud berkata:
"Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa
Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud
dan bertaubat.
QS. an-Nisa (4) : 12
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$2 Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur úüϹqã !$ygÎ/ ÷rr& &úøïy 4 Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6t öNä3©9 Ós9ur 4 bÎ*sù tb$2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur cqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïy 3 bÎ)ur c%x. ×@ã_u ß^uqã »'s#»n=2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%2 usYò2r& `ÏB y7Ï9ºs ôMßgsù âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy uöxî 9h!$ÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÎ=ym ÇÊËÈ
Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
2)
Hadits Rasulullah
Imam
ad-Daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW yang bersabda :
Allah SWT berfirman : “Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua
orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak
berkhianat kepada perseroannya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat,
maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi).
HR. Abu Daud :
“Umat islam bersekutu dalam tiga hal : air, padang rumput, dan api…”
Syirkah
memiliki syarat-syarat dalam pelaksanaannya dan diantara syarat umum syirkah, yakni :
1) Perserikatan
itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. artinya, salah satu pihak jika
bertindak hukum terhadap objek perserikatan itu, dengan izin pihak lain,
dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang bersangkutan.
2) Persentase
pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan
ketika berlangsungnya akad.
3) Keuntungan
itu diambilkan dari hasil laba perserikatan, bukan dari hasil harta lain.
Kemudian
, Ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya akad syirkah. hal-hal yang
menyebabkan berakhirnya akad perserikatan secara umum adalah sama dengan
berakhirnya akad pada umumnya. jika dilihat dari bentuk perserikatan secara
khusus, ada beberapa hal berakhirnya akad, yakni :
1) Pada
syirkah Amwal, akad dinyatakan batal bila semua atau sebagian modal
perserikatan hilang, karena objek perserikatan ini adalah harta.
2) Pada
syirkah Mufawadhah, perserikatan dinyatakan batal bila modal masing-masing
pihak tidak sama kuantitasnya, karena Mufawadhah berarti persamaan, baik dalam
modal, kerja, maupun keuntungan yang dibagi.
Syirkah menurut ulama’ juga memilik
jenis-jenis sendiri yang berbeda dengan antar satu dan lainnya. Syirkah secara
umum terbagi dalam tiga bentuk, yaitu syirkah ibahah, syirkah amlak, dan
syirkah uqud.
1.
Syirkah ibahah
Yaitu persekutuan hak semua orang untuk
di bolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaaan
seseorang.
2.
Syirkah amlak
Yaitu persekutuan antara dua orang atau
lebih untuk memiliki suatu benda. Syirkah amlak ini terbagi menjadi dua, yaitu
:
1. Syirkah amlak jabriyah, syirkah ini
terjadi tanpa keinginan para pihak yang bersangkutan, misalnya persekutuan ahli
waris.
2. Syirkah amlak ikhtiyariyah, syirkah ini
lawan dari syirkah amlak jabriyah, yaitu terjadi atas keinnginan pihak yang
bersangkutan, misalnya persekutuan dagang.
3.
Syirkah akad
yaitu persekutuan antara dua orang atau
lebih yang timbul dengan adanya perjanjian. Syirkah ini terbagi menjadi 4,
yaitu :
1. Syirkah Amwal,
yaitu
persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta. Syirkah bentuk ini
ada dua macam.
a. Syirkah al-Inan, adalah persekutuan
antara dua orang atau lebih untuk memasukkan bagian tertentu dari modal yang
akan diperdagangkan dengan ketentuan keuntungan dibagi antara para anggota
sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan modal masing-masing tidak harus
sama.
b. Syirkah al-Mufawadhah adalah persekutuan
antara dua orang atau lebih dalam modal dan keuntungannya dengan syarat besar
modal masing-masing yang disertakan harus sama, hak melakukan tindakan hukum
terhadap harta syirkah harus sama, dan setiap anggotanya adalah penanggung dan
wakil dari anggota lainnya.
2. Syirkah Ámal/Ábdan
adalah
perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan
dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi
diantara para anggotanya sesuai dengan kesepakatan mereka.
3. Syirkah Wujuh
adalah
persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar
untuk mengelola modal bersama tersebut dengan membagi keuntungan sesuai dengan
kesepakatan.
4. Syirkah Mudharabah (Qiradh)
yaitu
berupa kemitraan terbatas yakni perseroan antara tenaga dan harta. Seseorang
(pihak pertama/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain
(pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan
keuntungan bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak
sesuai dengan kesepakatan. bila terjadi kerugian, maka dibebankan kepada harta,
dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola yang bekerja[2].
B.
PERTUKARAN
kedua
belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek
pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad
dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price),
dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara
“sunnatullah” (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang
termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah,
sewa-menyewa, dll
Dalam
akad-akad di atas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya
(baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap
berdiri-sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak
ada pertanggungan resiko bersama. Juga tidak ada percampuran aset si A dengan
aset si B. Yang ada misalnya adalah si A memberikan barang ke B, kemudian
sebagai gantinya B menyerahkan uang kepada A. Di sini barang ditukarkan dengan
uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli (al-bai’).
Akad
pertukaran terbagi dua, yaitu : pertukaran terhadap barang yang sejenis dan
barang yang tidak sejenis.[3]
a. Pertukaran barang yang sejenis, yaitu
object pertukaran ini barangnya sejenis.
Oleh karena itu pertukaran ini di bagi lagi menjadi dua, yaitu :
ü Pertukaran uang dengan uang atau sharf
Al-Sharf
secara bahasa berarti al-Ziyadah (tambahan) dan al'adl (seimbang)[4].
Ash-Sharf kadang-kadang dipahami berasal dari kata Sharafa yang berarti membayar
dengan penambahan[5].
Dalam kamus istilah fiqh disebutkan bahwa Ba'i Sharf adalah menjual mata uang
dengan mata uang (emas dengan emas)[6].
Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Ulama
fiqih mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjual belikan uang dengan uang
yang sejenis maupun tidak sejenis. Pada masa kini, bentuk jual beli ini banyak
dilakukan oleh bank-bank devisa atau money changer.
Dasar Hukum Al-Sharf
Fuqoha
mengatakan bahwa kebolehan praktek al-Sharf didasarkan pada sejumlah hadis Nabi
antara lain pendapat Jumhur yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi', dari
Abu Sa'id al-Khudri ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عن ابي سعيد
الخدري. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم: لاتبيعوا الذهب بالذهب إلامثلا بمثل،
ولاتثفوابعضها على بعض، ولاتبيعوا الفضة بالفضة إلامثلا بمثل، ولاتثفوابعضها على
بعض، ولا تبيعوا منها شيئا غا ئبابناجز. (مثفق علية)
Artinya: "Dari Abu Said al
Khudzriy ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kamu menjual
emas dengan emas kecuali dengan seimbang dan janganlah kamu memberikan
sebagainya atas yang lain. Janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali
dengan seimbang, dan janganlah kamu memberikan sebagainya atas yang lain.
Janganlah kamu menjual dari padanya sesuatu yang tidak ada dengan sesuatu yang
tunai (ada)". (H. Muttafaq Alaihi)[7].
Hadits
diatas menunjukkan bahwa menjual emas dengan emas atau perak dengan perak itu
tidak boleh kecuali sama dengan sama, tidak ada salah satunya melebih yang
lain.
Dalam hadits Rasulullah SAW, yaitu:
وعن عبادة بن
الصامث قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الذ هب بالذ هب، والفضة بالفضة،
والبر بالبر، والثعيربالثعير، والتمربالتمر، والملح بالملح، مثلابمثلا، سواء بسواء،
يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعواكيف سئتم اذا كان يذا بيد. (رواه مسلم)
Artinya: "Dari Ubadah bin
Shamith ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: "Emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan biji gandum, jagung centel dengan jagung
centel, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama dengan sama, tunai dengan
tunai, jika berbeda dari macam-macam ini semua maka juallah sekehendakmu
apabila dengan tunai." (HR. Muslim)[8].
Hadits ini
juga menerangkan enam macam jenis yang tidak boleh dijual kecuali dengan sama
timbangannya dan tunai:
1.
Emas dijual dengan emas
2.
Perak dengan perak
3.
Gandum dengan gandum
4.
Jagung centel dengan jagung centel
5.
Kurma dengan kurma
6.
Garam dengan garam
Jika
berlainan, misalnya emas dibeli dengan beras itu hukumannya boleh dengan syarat
harus kontan.
Jumhur
Fuqoha juga telah sepakat, bahwa emas atau perak yang sudah dicetak, juga masih
lantakan atau sudah menjadi perhiasan, semuanya itu sama-sama dilarang
menjualnya satu dengan yang lainnya memakai pelebihan. Kecuali mu’awiyah yang
membolehkan pelebihan antara barang lantakan dengan barang yang sudah menjadi
perhiasan, dengan alasan bertambahnya unsur kebiasaan[9].
Syarat-Syarat Al-Sharf
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam
akad al-Sharf adalah:
1)
Masing-masing
pihak saling menyerah terimakan barang sebelum keduanya berpisah. Syarat ini
untuk menghindarkan terjadinya riba nasi'ah. Jika keduanya atau salah satunya
tidak menyerahkan barang sampai keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi
batal.
2)
Jika akad
al-Sharf dilakukan atas barang sejenis maka harus setimbang, sekalipun keduanya
berbeda kualitas atau model cetakannya.
3)
Khiyar
syarat tidak berlaku dalam akad al-Sharf, karena akad ini sesungguhnya
merupakan jual beli dua benda secara tunai. Sedang khiyar syarat
mengindikasikan jual beli secara tidak tunai[10].
Menurut
Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih sunnah, bahwa apabila berlangsung jual beli emas
dengan emas atau gandum dengan gandum, ada dua syarat yang harus dipenuhi agar
jual beli hukumnya sah, yaitu:
1)
Persamaan
dalam kwantitas tanpa memperhatikan baik dan jelek, berdiri kepada hadits
diatas dan yang diriwayatkan oleh muslim bahwa seorang mendatangi Rasulullah,
dengan membawa sedikit kurma Rasullulah lalu mengatakan padanya:
ماهذا من تمرنا افقال الرجل: يارسول الله بعنا
تمرناصاعين بصاع. فقال صلى الله عليه وسلم: ذلك الرباردوه ثم بيعو اتمرناثم
اشتروالنا من هذا.
Artinya: "Ini
bukanlah kurma kita." Orang tersebut berkata lagi: "Wahai Rasulullah,
kami jual kurma kami sebanyak dua sha' dengan satu sha'." Rasulullah
lantas bersabda lagi: "Yang demikian itu riba. Kembalikanlah, kemudian
juallah kurma kita dengan setelah itu belilah untuk kita dari jenis ini".
2)
Tidak boleh
menangguhkan salah satu barang, bahkan pertukaran harus dilaksanakan secepat
mungkin[11].
Adapun menurut para ulama, syarat yang harus dipenuhi
dalam jual beli mata uang adalah sebagai berikut:
1)
Pertukaran
tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing pihak
harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang
bersamaan.
2)
Motif
pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi
perdagangan barang dan jasa antar bangsa.
3)
Harus
dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang dari B haru ini
dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan
datang.
4)
Transaksi
berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan
valuta asing yang dipertukarkan.
5)
Tidak
dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak
kepemilikan (bai al-alfudhuli)[12].
ü Pertukaran barang dengan barang atau
barter
Islam
pada prinsipnya membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang.[13]
Namun dalam pelaksanaannya bila tidak memperhatikan ketentuan syariat dapat menjadi
barter yang mengandung unsur riba, umpamanya kita saling menukar beras, tapi
takarannya berbeda.
b. Pertukaran barang yang tidak sejenis.
ü Pertukaran uang dengan barang, misalnya
jual beli
Jual
beli dalam istilah fiqih disebut dengan al ba’i yang berarti tukar menukar
barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan yang sepadan
menurut cara yang dibenarkan[14].
Jual
beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik
dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah.)
Para Ulama membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk yaitu: jual beli shahih, jual beli batal, dan jual beli fasid. Adapun jual beli dalam bentuk khusus dibagi menjadi dua yaitu, murabahah (jual beli diatas harga pokok) dan as salam (jual beli dengan pembayaran dimuka).
Para Ulama membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk yaitu: jual beli shahih, jual beli batal, dan jual beli fasid. Adapun jual beli dalam bentuk khusus dibagi menjadi dua yaitu, murabahah (jual beli diatas harga pokok) dan as salam (jual beli dengan pembayaran dimuka).
ü Pertukaran barang dengan uang, misalnya
sewa.
Ijarah
menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.
Menurut Ulama Syafii adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju.
C.
PEMBERIAN KEPERCAYAAN
a.
Wadi’ah (Titipan)
Ø Pengertian
Lafadz
Wadi’ah berasal dari wazan Wada’a yang berarti “ketika
seseorang telah meninggal “ , jadi menurut bahasa Wadi’ah ialah sesuatu yang
yang ditinggalkan di tempat bukan orang lain untuk dijaga. Sedangkan menurut
istilah ialah suatu aqad yang bertujuan untuk menjaga. Wadi’ah merupakan suatu
amanah yang ada dalam kekuasaan wadii’ (orang yang dititipi).[15]
Sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan pasal 1 angka 4 peraturan Bank Indonesia nomor
7/46/PBI/2005 bahwa yang dimaksud dengan wadiah ialah : “ penitipan dana
atau barang dari pemilik dana atau barang pada penyimpan dana atau barang denga
kewajiban pihak yang menerima titipan untuk mengembalikan dana atau barang
titipan sewaktu-waktu.”[16]
Ø
Dasar hokum wadiah
Al-Qur’an
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& …
“
sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada
yang berhak menerimanya … “ (An-Nissa’: 58)
As-sunnah
{عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَدَّ الأَمَانَةَ اِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ}
Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah
SAW bersabda, “ sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak
menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah menghianatimu.”
Ø Ketentuan Wadi’ah
Rukun wadiah
yaitu :
1. Orang yang menitipkan ( muwaddi’)
2. Orang
yang di titipi ( wadii’ )
3. Barang yang disimpan ( wadi’ah )
4. Ijab Qabul ( shighoh )
Wadi’ah
itu wajib dijaga oleh wadii’ (orang yang dititipi ) secara sepantasnya, karena
wadi’ah merupakan amanah. Wadii’ tidak wajib menanggung atas wadi’ah apabila
wadii’ telah menjaga wadi’ah secara semestinya dan terjadi kerusakan atau
kehilangan bukan karena kelalaiannya, tapi apabila wadii’ lalai, seperti si
wadii’ menitipkan wadi’ah kepada orang lain tanpa izin pemiliknya dan tidak ada
udzur karenanya, kemudian wadi’ah tersebut rusak dan hilang, maka wadii’ harus
menanggungnya.
b.
Rahn (Barang Jaminan)
Ø Pengertian
Secara
etimologi, rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad rahn dalam istilah
hukum positif disebut barang jaminan atau agunan. ada beberapa definisi rahn
yang dikemukakan oleh ulama fiqh.
Ulama
Maliki mendifinisikannya dengan harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai
jaminan utang yang bersifat mengikat. Ulama Hanafi mendefinisikannya dengan
menjadikan sesuatu (barang) sebagai hak pembayar (piutang) itu, baik seluruhnya
maupun sebagian. Sedangkan Uama Syafi’ie dan Ulama Hambali mendefinisikannya
dengan menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berutang tidak dapat membayar utangnya
tersebut[17].
Ø Dasar Hukum
Al-Quran
al-Baqarah (2) :
283
*
bÎ)ur óOçFZä.
4n?tã
9xÿy
öNs9ur
(#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù
×p|Êqç7ø)¨B (
÷bÎ*sù
z`ÏBr&
Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/
Ïjxsãù=sù Ï%©!$#
z`ÏJè?øt$#
¼çmtFuZ»tBr&
È,Guø9ur
©!$#
¼çm/u 3
wur
(#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4
`tBur $ygôJçGò6t
ÿ¼çm¯RÎ*sù
ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s%
3 ª!$#ur $yJÎ/
tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ
ÇËÑÌÈ
Hadits
Dari
‘Aisyah r.a menjelaskan bahwa : Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari
orang Yahudi dan Beliau menggadaikan kepadanya baju besi Beliau (HR. Bukhari)
Ijtihad
Ijtihad
Para
ulama sepakat bahwa rahn boleh dilakukan dalam perjalanan atau tidak, asalkan
barang jaminan itu bisa langsung dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang.
misalnya apabila barang jaminan tersebut berbentuk tanah, maka yang dikuasai
adalah surat jaminan tanah. Rahn dibolehkan karena banyak kemaslahatan yang
terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
Ø Ketentuan
Apabila
barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad rahn mengikat
bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, utang terkait dengan barang jaminan,
sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan
utang dibayar. Apabila didalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka
wajib mengembalikan kepada pemiliknya.
Jumhur
ulama fiqh selain ulama Hambali berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak
boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan barang miliknya
secara penuh. Hak pemegang barang jaminan hanya sebagai jaminan piutang, dan
apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, ia boleh menjual
atau menghargai barang itu utuk melunasi utangnya. Alasan jumhur ulama adalah
sabda Rasulullah yang berbunyi : “barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari
pemiliknya, karena hasil (dari barang jaminan) dan risiko (yang timbul atas
barang itu) menjadi tanggung jawabnya.” (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu
Hibban dari Abu Hurairah)[18]
Akan
tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan
barang jaminan itu selama berada ditangannya, maka sebagian ulama Hanafi
membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang
barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi sebagian ulama Hanafi
lainnya, ulama Maliki, ulama Syafi’ie berpendapat, sekalipun pemilik barang itu
mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan
itu, karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu
merupakan riba yang dilarang syari’at sekalipun diizinkan pemilik barang.
c.
Wakalah (perwakilan)
Ø Pengertian
Wakalah
adalah pemberian kewenangan atau kekuasaan kepada pihak lain tentang apa yang
harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti
pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.
Ø Dasar Hukum
Al-Quran
QS. Al-Kahfi
(18) : 19
y7Ï9ºx2ur
óOßg»oY÷Wyèt/ (#qä9uä!$|¡tGuÏ9
öNæhuZ÷t/
4 tA$s%
×@ͬ!$s%
öNåk÷]ÏiB öN2 óOçFø[Î6s9 (
(#qä9$s%
$uZø[Î7s9 $·Böqt
÷rr&
uÙ÷èt/
5Qöqt
4 (#qä9$s% öNä3/u ÞOn=ôãr& $yJÎ/
óOçFø[Î6s9
(#þqèWyèö/$$sù
Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd
n<Î) ÏpoYÏyJø9$#
öÝàZuù=sù !$pkr& 4x.ør& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uù=sù
5-øÌÎ/
çm÷YÏiB ô#©Ün=tGuø9ur wur ¨btÏèô±ç öNà6Î/ #´ymr&
ÇÊÒÈ
Hadits
Dalam
kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad SAW pernah mewakilkan kepada para sahabat
untuk berbagai urusan. Diantaranya untuk membayarkan utangnya, menetapkan
hukuman-hukuman dan melaksanakannya, dan lain-lain.
Ijtihad
Para
ulama telah sepakat atas dibolehkannya wakalah karena kebutuhan umat
terhadapnya. Wakalah termasuk jenis ta’awwun atau tolong menolong atas dasar
kebaikan dan taqwa. (QS. Al-Maidah (5) : 2
Ø Ketentuan
Wakalah
boleh dilakukan dengan menerima bayaran atau tanpa bayaran. Nabi Muhammad
memberikan komisi kepada para petugas penarik zakat. Dari Bisr Ibnu Said dari
Ibnu as-Sa’idi berkata “Umar ra pernah mempekerjakan aku untuk menarik zakat
(shadaqah). Setelah pekerjaanku selesai, Umar memberikanku upah, maka saya
protes : “saya bekerja ini hanya untuk Allah”, Umar menjawab, “ambil saja apa
yang diberikan kepadamu. Sungguh aku pernah dipekerjakan oleh Rasulullah SAW
dan beliau memberiku upah”.
Imam Abu Daud juga meriwayatkan tentang
sahabat yang menerima upah, pemberian dari kepala kampung yang telah
disembuhkannya dari sengatan binatang (kalajengking) melalui bacaan surat
al-Fatihah. Jika diperhatikan, dua kasus diatas adalah termasuk amal tabarru’
(suka rela dan sosial) tetapi dalam kasus ini diperkenankan menerima upah seiring
dengan perkembangan zaman, aktifitas yang terkait dengan jasa seperti mengajar,
pengobatan, dan lain-lain dinilai sebuah pekerjaan yang dapat menghasilkan uang
atau imbalan.
d.
Kafalah (tanggungan)
Ø Pengertian
Kafalah
menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang kedalam
tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum. Dengan kata lain
menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang
berkaitan dengan masalah nyawa, utang, atau barang. Meskipun demikian, penjamin
yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak
yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin.
Sedangkan
menurut mazhab Maliki, Syafi’ie dan Hambali, kafalah adalah menjadikan
seseorang penjamin ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam
pelunasan atau pembayaran utang, dan dengan demikian kedua-duanya dipandang
berutang. Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam
muamalah dan agar yang berutang tidak dirugikan karena ketidak mampuan yang
berutang.
Ø Dasar Hukum
Al-Quran
QS. Yusuf (12) : 66
QS. Yusuf (12) : 66
tA$s%
ô`s9
¼ã&s#Åöé& öNà6yètB 4Ó®Lym Èbqè?÷sè?
$Z)ÏOöqtB ÆÏiB
«!$#
ÓÍ_¨Yè?ù'tFs9 ÿ¾ÏmÎ/ HwÎ) br&
xÞ$ptä öNä3Î/ (
!$£Jn=sù
çnöqs?#uä óOßgs)ÏOöqtB tA$s%
ª!$#
4n?tã
$tB ãAqà)tR
×@Ï.ur ÇÏÏÈ
Hadits
HR.
Abu Daud: Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar.
HR. Abu Daud, at-Tarmizi dishahihkan Ibnu Hibban … bahwa penjamin adalah orang
yang berkewajiban membayar.
Ijtihad
Ulama
sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah dan
agar yang berutang tidak dirugikan karena ketidakmampuan yang berutang.
Ø Ketentuan
Secara umum,
kafalah dibagi menjadi dua bagian, yakni :
a) Kafalah dengan jiwa
Kafalah
dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak
penjamin (al-kafil, al-dhmin, atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia
tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makful lah)
Penjamin
yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti
mengetahui permasalahan, karena menyangkut badan bukan harta. Penangungan
tentang hak Allah, seperti had al-khamr dan had menuduh zina adalah tidak sah,
sebab Nabi Muhammad SAW telah bersabda : “tidak ada kafalah dalam had” (Riwayat
al-Baihaqi).
b) Kafalah dengan harta
Kafalah
harta merupakan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan
pembayararan atau (pemenuhan) berupa harta.
e.
Hiwalah (Pengalihan Hutang)
Ø Pengertian
Menurut bahasa , yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal
dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. [19]
Menurut
Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :
نَقْلُ
الْمُطَا لَبَةِ مِنْ ذِ مّةِ الْمَدْ يُوْ نِ إِ لَى ذِ مّةِ الْمُلْتَزَمِ
Memindahkan
tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung
jawab kewajiban pula.[20]
Hiwalah
adalah akad pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak lain. Dalam hal
ini ada tiga pihak yang terlibat, muhil atau madin, pihak yang memberi utang
(muhal atau dain), dan pihak yang menerima pemindahan (muhal alaih). Dipasar
keuangan profesional praktik hiwalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang
(factoring).
Namun
kebanyakan ulama’ tidak memperbolehkan mengambil manfaat atas pemindahan utang
atau piutang tersebut.
Ø Dasar Hukum
Hiwalah
dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh mayoritas
jumhur ulama dengan lafal yang berbeda. “Memperlambat pembayaran utang yang
dilakukan orang kaya merupakan perbuatan dzalim. Jika salah seorang kamu
dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih.”
Disamping itu terdapat kesepakatan ulama yang menyatakan, bahwa tindakan
hiwalah boleh dilakukan.
Ø Ketentuan
a.
Syarat
yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al muhal bih) yaitu sebagai
berikut, Sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang pasti. Jika yang
dialihkan belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan utang
yang timbul akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar maka hiwalah
tidak sah.
b.
Apabila
pengalihan utang dalam bentuk hiwalah mukayyadah semua ulama fiqih sepakat,
bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga
kepada pihak pertama, meskilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika terdapat
perbedaan jumlah atau kualitas, maka hiwalah tidak sah. Namun, jika pengalihan
itu dalam bentuk hiwalah muthlaqah, maka kedua utang itu tidak mesti sama.
c.
Ulama
dari mazhab Syafi’i menambahkan, bahwa kedua utang itu mesti sama waktu jatuh
tempo pembayarannya. Jika terdapat perbedaan, maka hiwalah tidak sah.
f.
Al-Ariyah (Pinjam-Meminjam)
Ø Pengertian
Menurut
terminologi fiqih, ada dua definisi dari al ariyah. Pertama, Ulama Maliki dan
Hanafi mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi.
Kedua, Ulama Syafi’i dan Hambali mendefinisikannya dengan kebolehan
memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua definisi ini membawa
dampak hukum yang berbeda. Definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan
kembali barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga. Sedangkan definisi kedua
tidak membolehkan.
Ø Dasar Hukum
Al
Qur’an
QS. Al Maidah
(5): 2
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#q=ÏtéB
uȵ¯»yèx©
«!$#
wur
tök¤¶9$# tP#tptø:$#
wur
yôolù;$#
wur
yÍ´¯»n=s)ø9$#
Iwur
tûüÏiB!#uä
|Møt7ø9$#
tP#tptø:$# tbqäótGö6t
WxôÒsù
`ÏiB
öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4
#sÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rß$sÜô¹$$sù 4
wur
öNä3¨ZtBÌøgs
ãb$t«oYx© BQöqs% br&
öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$#
br& (#rßtG÷ès?
¢ (#qçRur$yès?ur n?tã
ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur
( wur (#qçRur$yès? n?tã
ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# (
¨bÎ)
©!$#
ßÏx© É>$s)Ïèø9$#
ÇËÈ
Hadist
HR. Bukhari Muslim: Dari Safwan ibnu Umayyah: Rasulullah SAW meminjam kuda Abi Talhah dan mengendarainya.
HR. Bukhari Muslim: Dari Safwan ibnu Umayyah: Rasulullah SAW meminjam kuda Abi Talhah dan mengendarainya.
HR. Abu daud dan
at Tirmidzi: Ariah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.
Ø Ketentuan
Para
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal akad. Apakah bersifat
pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekedar kebolehan memanfaatkannya. Ulama
Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa ariyah merupakan akad yang menyebabkan
peminjam memiliki akad yang ia pinjam. Peminjaman itu dilakukan secara
sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, peminjam berhak
meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat
barang itu telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi
pemanfaatannya untuk peminjam saja.
Sedangkan
Ulama Syafi’i, Hambali, dan Abu Hasan Al Kharki, pakar fiqih Hanafi,
berpendapat bahwa ariyah hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda, sehingga
pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam. Namun seluruh Ulama fiqih
sepakat, bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya kepada pihak lain.
BAB III
KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
Jadi, yang di maksud dengan
bentuk-bentuk perjanjian syariah percampuran yaitu percampuan antara sesuatu
dengan selainnya, sehingga sulit dibedakan. Sedangkan secara terminology yaitu
ikatan kerjasama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan. Bentuk perjanjian ini lebih cenderung disebut dengan kerja sama
atau asy-syirkah.
Dalam syirkah ini juga di bagi menjadi
beberapa jenis, diantaranya yang paling pokok yaitu menjadi 4 jenis: Syirkah Ibahah,
Syirkah amlak, dan Syirkah Akad
Kemudian, yang disebut dengan
bentuk-bentuk perjanjian syariah pertukaran yaitu system pertukaran aset yang
dimiliki antara kedua pihak, yang objectnya baik berupa barang maupun jasa
harus ditetapkan di awal. Yang termasuk dalam kategori ini adalah
kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dll
Bentuk ini ada dua jenis, yaitu
pertukaran sejenis yang dibagi lagi menjadi pertukaran uang dengan uang dan
barang dengan barang, serta pertukaran barang yang tidak sejenis, baik uang
dengan uang atau sebaliknya.
Selain bentuk perjanjian syariah
percampuran dan pertukaran juga ada bentuk pemberian kepercayaan, yaitu
berbentuk atas rasa amanat dan saling percaya antara pihak yang terlibat.
Bentuk ini diantarnya yaitu : wadia’ah, rahn, wakalah, kafalah, hiwalah, dan
ariyah.
[3] Gemala dewi, Hukum perikatan islam di Indonesia, ( Jakarta:
kencana, 2005 ), hlm 95
[4] Ghufron A
Mas'adi, Fiqh Muamalah Konstekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 149.
[5] Murtadho
Muthahari, Ar-Riba Wa At-Ta'min, Terj. Irwan Kurniawan "Asuransi
dan Riba", Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, hlm. 219.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid, Terj. Abdurahman, Haris Abdullah” Bidayatul Mujtahid”,
Semarang: Asy-Syifa, 1990, hlm 145.
[8] Ibnu Hajr
Al-Asqolani, Bulugh al-Maram, Terj. Muh Rifai, A. Qusyairi Misbah "Bulughul
maram", Semarang: Wicaksana, 1989, hlm 479.
[11] Sayid Sabiq,
al Fiqh al-Sunah XII, Terj. Kamaludin A. Marzuki, "Fiqh
Sunnah", Bandung: Al Ma'arif, 1988, hlm. 123-124.
[15] Drs.H.Imron Abu amar, Terjemahan Kitab Fathul Qarib Jilid 1,
( menara kudus, kudus,1982) hlm 330
[16] Rachmadi Usman, S.H., M.H., PRODUK DAN AKAD PERBANKAN SYARIAH DI
INDONESIA IMPLEMENTASI DAN ASPEK HUKUM, ( Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009),
hlm 148.
No comments :
Post a Comment