Hokum jaminan dalam perspektif islam
atau yang tercantum dalam al-qu’ran dan hadis ialah ada dan di akui. Dalam
islam di kenal RAHN dan KAFALAH sebagai akad jaminan dalam islam.
A. Rahn atau gadai
Secara
bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); juga berarti
al-habs (penahanan).
Secara
syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman)
agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia
gagal (berhalangan) menunaikannya.
Ar-Rahn
disyariatkan dalam Islam. Allah Swt. berfirman:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B (
÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3
wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4
`tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
“Jika kalian
dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang).” (QS al-Baqarah [2]: 283).
Anas
ra. juga pernah menuturkan: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi wasalam pernah
mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau
mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.”
(HR al-Bukhari).
Ar-rahn mempunyai tiga rukun
(ketentuan pokok), yaitu:
·
Shighat (ijab dan qabul)
·
Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan
akad ar-rahn), yaitu pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan
(al-murtahin)
·
Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek
akad), yaitu barang yang diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih).
Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut
syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi,
sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan
tasharruf, maka akad ar-rahn tersebut sah.
Barang gadai adakalanya berupa
barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati
serah terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat
dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya
dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah
terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah
terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta
dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
B. Kafalah
Kafalah adalah jaminan atau garansi
yang diberikan oleh penjamin kepada pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua/peminjam.
Dalil tentang kafalah ialah hadis
nabi berikut ini :
“Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah
seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah
saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka,
beliau mensalatkannya. Kemudian
dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai
utang?’ Sahabat menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’
(beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu
Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’.
Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” (HR. Bukhari dari Salamah bin Akwa’).
Ketentuan Umum Kafalah menurut DSN MUI ialah sebagi
berikut :
1. Pernyataan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad).
2. Dalam akad kafalah, penjamin dapat
menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
3. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat
dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Ø Rukun dan Syarat Kafalah
1. Pihak Penjamin (Kafiil)
a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan
hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah
tersebut.
2. Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu
)
a. Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang)
kepada penjamin.
b. Dikenal oleh penjamin.
3. Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
a. Diketahui identitasnya.
b. Dapat hadir pada waktu akad atau
memberikan kuasa.
c. Berakal sehat.
4. Obyek Penjaminan (Makful Bihi )
a. Merupakan tanggungan pihak/orang yang
berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
b. Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
c. Harus merupakan piutang mengikat
(lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
d. Harus jelas nilai, jumlah dan
spesifikasinya.
e. Tidak bertentangan dengan syari’ah
(diharamkan).
Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
No comments :
Post a Comment