BAB II
PEMBAHASAN
A. Mustahik
Mustahiq
adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Orang-orang yang
berhak menerima zakat itu ada delapan golongan,
Para ulama madzhab sependapat bahwa
golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah
disebutkan dalam surat Al Taubah ayat 60 yaitu :
$yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# t
ûüÏBÌ»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# (
ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3
ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa yang berhak menerima zakat adalah delapan kategori
manusia. Penjelasan mengenai delapan golongan sebagai mustahiq zakat Orang-orang yang
berhak menerima zakat ada delapan
golongan diantaranya yaitu :
1. Fakir,menurut Hanafi fakir adalah orang yang mempunyai harta
kurang dari nisbah, sekalipun dia sehat dan mempunyai pekerjaan. Kalau
orang yang mempunyai harta sampai senisbah apapun bentuknya yang dapat memenuhi
kebutuhan primer. Kebutuhan primer itu adalah tempat tinggal (rumah), alat-alat
rumah, dan pakaian. Maka orang yang memiliki harta seperti itu atau lebih,
tidak boleh diberikan zakat. Alasannya bahwa orang yang mempunyai harta sampai nisbah
maka ia wajib zakat. Orang yang wajib mengeluarkan zakat berarti ia tidak
wajib menerima zakat.
Madzhab-madzhab lain: yang diaggap
kebutuhan itu bukan berdasarkan yang dimiliki akan tetapi kebutuhan. Maka
barang siapa yang tidak membuntuhkan, diharamkan untuk menerima zakat, walaupun
ia tidak mempunyai sesuatu. Dan orang yang membutuhkan tentu dibolehkan untuk
menerima zakat, sekalipun ia mempunyai harta sampai nisbah, karena yang
dinamakan fakir itu artinya yang membutuhkannya. Allah berfirman yang artinya:
“wahai
manusia, kamu semua adalah orang-orang fakir dihadapan Allah”
Artinya orang-orang yang sangat
membutuhkan imam syafi’i dan hanbali orang miskin adalah orang yang mendapatkan
separuh dari kebutuhannya, dan tidak diharuskan memberi zakat padanya.
Walau bagaimanapun penafsiran tentang
fakir dan miskin, sebenarnya secara essensial tidak ada perbedaan diantara
madzhab-madzhab itu, karena yang dimaksud adalah bahwa zakat itu mempunyai
tujuan untuk memenuhi kebutihan yang sangat mendesak, seperti tempat tinggal,
pangan, pakaina, kesehatan, pengajaran, dan lain-lain yang menjadi keharusan
dalam kehidupannya.
Para ulama madzhab sepakat bahwa,
selain maliki, bahwa orang wajib mengeluarkan zakat tidak boleh memberikan
zakatnya kepada kedua orang tuannya, kakek neneknya, juga pada anak-anaknya
putra-putra mereka (saudara-saudaranya), juga pada istrinya. Maliki justru
membolehkan memberikannya kepada kakeknya dan neneknya, dan juga pada anak
keturunannya, karena memberikan nafkah kepada mereka tidak wajib, menurut
Maliki.
Para ulama madzhab sepakat bahwa zakat
itu boleh diberikan kepada saudara-saudaranya, paman dari bapak, dan paman dari
ibu, zakat itu hanya tidak boleh diberikan kepada ayah dan anak-anaknya, kalau
zakat yang akan diberikan kepada ayah dan anak itu merupakan bagian untuk fakir
dan miskin. Tetapi kalau zakat yang duberikan itu bukan termasuk bagian untuk
fakir miskin, maka bapak dan anaknya boleh menerima zakat atau mengambilnya,
misalnya kalau bapak dan anak tersebut menjadi prang yang berjuang dijalan
Allah, atau termasuk muallaf, atau orang yang banyak hutang untuk menyelesaikan
masalah dan memperbaiki serta mendukung pihak yang mempunyai bukti, atau
merupakan ‘amil zakat karena semuannya itu adalah orang-orang yang boleh
mengambil, baik fakir maupun miskin.
Sekalipun begitu, memberikan zakat
kepada orang yang dekat yang tidak wajib diberikan nafkah bagi pemberi zakat
atas mereka adalah lebih utama.
Para ulama’ madzhab berbeda pendapat
tentang hukum
Syafi’i dan Hambali: orang yang
mempunyai separuh dari kebutuhannya, ia tidak bisa digolongkan kepada orang fakir
dan ia tidak boleh menerima zakat.
Imamiyah dan maliki : orang fakir
menurut syara’ adalah orang yang tidak mempunyai bekal untuk berbelanja selama
satu tahun dan juga tidak mempunyai bekal untuk menghidupi keluargannya. Orang
yang mempunyai rumah dan peralatannya atau binatang ternak, tetapi tidak
mencukupi kebutuhan keluargannya selama satu tahun maka ia boleh diberi zakat.
Imamiyah, Syafi’i dan Hambali: orang
yang mampu bekerja tidak boleh menerima zakat.
Hanafi dan Maliki: ia dibolehkan untuk
menerimannya tapi juga boleh untuk menolaknya.
Imamiyah: orang yang mengaku fakir
boleh dipercaya menskipun tidak ada bukti dan tanpa sumpah bahwa ia betul-betul
tidak mempunyai harta, serta tidak diketahui kalau ia bohong. Karena pada masa
rasulullah perna datang dua orang kepada beliau pada ketika itu rasulullah
sedang membagi sedekah, lalu kedua orang tersebut meminta kepada rasulullah,
maka beliau melihat dengan penglihatan yang tajam membenarkan keduannya, dan
bersabda kepadanya:
“kalau kamu berdua mau, maka aku akan
memberikannya. Orang yang kaya tidak mempunyai bagian untuk menerima zaklat,
begitu juga orang yang mampu (kuat) ungtuk bekerja”.
Lalu rasulullah mempercayai keduannya
tanpa bukti dan tidak pula dengan sumpah.
2.
Miskin, Orang miskin
adalah orang yang mampu untuk bekerja untuk menutupi kebutuhannya, namun belum
mencukupi. Adapun miskin ialah orang yang mempunyai
mata pencaharian tetap, tetapi penghasilannya belum cukup memenuhi keperluan
minimal bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Menurut madzhab
Syafi’i orang miskin adalah orang yang mampu mencari harta kekayaan dan
memiliki pekerjaan yang halal yang hasilnya bias mencukupi setengah biaya
kehidupan pada masanya. Sedangkan menurut madzhab Hambali orang miskin adalah
orang yang memperoleh sebagian besar biaya hidupnya atau setengah dari
pekerjaannya atau dari yang lain-lain. Sehubungan dengan beberapa pendapat
tersebut, maka Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan bahwa miskin ialah orang-orang fakir yang bersifat
tenang, dan tidak meminta-minta. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, orang fakir lebih
buruk keadaannya dibandingkan dengan orang miskin. Orang fakir adalah orang
yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali atau orang yang mempunyai
harta dan berpenghasilan lebih sedikit dari separoh kebutuhannya diri sendiri.
sedangkan orang miskin adalah orang yang memiliki harta dan berpenghasilan
separoh atau lebih dari kebutuhannya, sekalipun tidak mencapai kebutuhannya.
Para ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa
orang miskin lebih buruk keadaannya dibandingkan orang fakir, sebagaimana di
nukil dari Imam bahasa dan juga firman Allah yang artinya.
3.
Amil Zakat, Amil zakat atau para
pemungut zakat adalah orang yang ditugaskan oleh imam kepala pemerintahan atau
wakilnya untuk mengumpulkan zakat. Dengan demikian,
mereka adalah para pemungut-pemungut zakat, termasuk para penyimpan,
penggembala-penggembala ternak, dan yang mengurus administrasinya.
Yang boleh dikategorikan sebagai panitia zakat adalah
orang yang ditugasi mengambil zakat sepersepuluh (al-`Asyri): penulis AL-Katib
: pembagi zakat untuk para mustahiqqnya : penjaga harta yang dikumpulkan: al-hasyri:
yaitu orang yang ditugasi untuk mengumpulkan pemilik harta kekayaan/orang-orang
yang diwajibkan mengeluarkan zakat: al-a`rif (orang ditugasi menaksir orang
yang telah memiliki kewajiban untuk zakat): penghitung binatang ternak : tukang
takar, tukang timbang, dan penggembala: dan setiap orang yang menjadi panitia
selain ahli hukum (Islam) atau al-qadhi, dan penguasa, karena mereka tidak
boleh mengambil dari baitul mal. Upah menakar dan menimbang dilaksanakan pada
saat harta itu hendak dikeluarkan zakatnya. Adapun ongkos pembagiannya kepada penerima zakat
dibebankan kepada panitia (al-`amil).
Adapun
hadis yang menunjukan bahwa pemimpinlah yang menugaskan seorang amil :
Hadis
Abu Said al Khudri dan Abu Hurairah :
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم استعمل
رجلا على خيبر فجاءه بتمر جنيب
“Sesungguhnya Rasulullah SAW mengangkat
seorang laki-laki sebagai amil untuk pemungut zakat wilayah Khaibar, lalui ia
membawa kurma janib”.
Hadis
Abu Humaid As-Sa’idi ra.
استعمل النبي صلى الله عليه وسلم رجلا من
الازد يقال له ابن الاتبية على الصدقة
“Nabi SAW mengangkat seorang laki-laki dari
Al-Azdi Ibnu Utbiyah sebagai amil untuk pemungutan zakat. (HR. Bukhari).
Seorang
amil hendaknya memenuhi beberapa syarat diantaranya yaitu:
- Muslim
Zakat
merupakan urusan kaum muslimin. Jadi Islam menjadi syarat utama bagi segala
urusan mereka. Akan tetapi menurut Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya
membolehkan seorang amil bukan muslim. Hal berdasarkan atas ayat “ amil
zakat” mempunyai pengertian bahwa ayat tersebut bersifat umum yang
didalamnya termasuk orang kafir dan muslim. Oleh karena itu tidak ada halangan
baginya mengambil upah kerja seperti upah-upah yang lain.
Adapun
menurut Ibnu Qudamah satiap pekerjaan yang memerlukan sikap amanah (kejujuran)
hendaknya disyaratkan Islam bagi pelakunya, seperti menjadi saksi. Hal ini
karena merupakan urusan kaum muslimin sehingga pengurusannya tidak dapat
diberikan kepada orang kafir. Orang yang bukan ahli zakat tidak boleh diserahi
urusan zakat seperti halnya kafir harbi (musuh) karena orang kafir itu tidak
dapat dipercaya.
- Mukallaf
Pengurus zakat harus orang dewasa yang
sehat akal pikirannya.
- Orang yang jujur
Pengurus
zakat seharusnya bukan orang yang fasik dan tidak dapat dipercaya. Misalnya ia
akan berbuat dzalim kepada para pemilik harta atau berbuat sewenag-wenang
terhadap hak fakir miskin karena mengikuti keinginan hawa nafsunya atau untuk
mencarai keuntungan.
- Orang yang memahami hukum-hukum zakat
Para
ulama mensyaratkan petugas zakat haruslah faham terhadap hukum zakat. Jika
orang yang diserahi zakat tidak mengetahui hukum, ia tidak mungkin mampu
melaksanakannya dan akan lebih banyak kesalahan. Masalah zakat memberikan
pengetahuan tentang harta yang wajib di zakati dan yang tidak wajib dizakati.
Urusan zakat juga memerlukan ijtihad terhadap masalah yang timbul mengethaui
hukumnya.Apabila pekerjaan itu menyangkut bagian tertentu mengenai urusan
pelaksanaan, tidak disyaratkan memiliki pengetahuan tentang zakat, kecuali
sekedar yang menyangkut tugasnya.
- Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
Pengurus
zakat hendaklah mampu melaksanakan tugasnya dan sanggup memikul tugas itu. Kejujuran
saja belum mencukupi jika tidak disertai kekuatan dan kemampuan untuk bekerja.
Amil
diberi zakat karena sebagai ganti upah kerjanya. Oleh karenanya dia tetap
diberi zakat sekalipun dia orang kaya.Adapun yang dipandang zakat atau sedekah
secara murni maka tidak halal diberikan kepada orang kaya.
4. Muallaf Yang Dibujuk Hatinya Orang-orang
muallaf yang dibujuk hatinya adalah orang-orang yang cenderung menganggap
sedekah itu untuk kemaslahatan islam.
Para ulama madzhab berbeda pendapat
tentang hukum mereka itu, apakah masih berlaku apakan sudah mansuh (dihapus).
Menurut yang mengatakan tidak mansuh, apakan yang dibujuk hatinya khusus untuk
orang-orang non islam atau untuk orang-orang islam yang masih lema imannya?
Hanafi: hukum ini berlaku pada
permulaan penyebaran islam, karena lemahnya kaum muslimin. Kalu dalam situasi
saat ini dimana islam sudah kuat, maka hilanglah hukumnya karena sebab sebabnya
tidak ada.
Madzhab-madzhab lain membahasnya secara
panjang lebar tentang terbaginya muallaf itu kedalam beberapa kelompok, dan
alternative yang dijadikan standar atau rujukan adalah pada satu masalah, yaitu
bahwa hukum muallaf itu tetap tidak dinasakh (dihapus), sekalipun
sebagian muallaf teteap diberikan kepada orang islam dan non islam dengan
syarat bahwa pemberian itu dapat menjamin dan mendatangkan kemaslahatan,
kebaikan kepada islam dan kaum muslimin. Rasulullah telah memberikan zakat
kepada Safwan bin Umayyah, padahal dia ketika itu masih musyrik, sebagaimana
beliau telah memberikan kepada Abu Sufyan dan lain-lain, setelah mereka
menampakkan diri menganut agama islam karena sebenarnnya mereka takut disiksa,
dan mereka sebenarnya meniupu kaum muslimin dan agama islam.
5.
Riqab (Budak), Riqab adalah orang (budak) yang dimerdekakan sayyidnya tetapi
harus menebus dengan sejumlah uang. Orang ini boleh menerima zakat, agar
secepatnya menjadi merdeka. Dalam hal ini banyak dalil yang cukup dan sangat
jelas bahwa Islam telah menempuh berbagai jalan dalam rangka menghapus
perbudakan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa hukum ini telah tidak berlaku
karena perbudakan sekarang ini telah tiada, apalagi telah dideklarasikannya
HAM.
Namun
ternyata dalam masa modern sekarang ini, masih ada saja yang diperbudak
oleh orang lain, misalnya oleh :
1.
para rentenir
dalam pemberian pinjaman dengan pengembalian yang tinggi.
2.
Menurut
pemahaman penulis seorang yang mempunyai hutang kepada bank itu juga termasuk
perbudakan karena adanya unsure keterpaksaan dan adanya ketakutan penyitaan
barang kepemilikan.
6.
Al Gharimun, Al Gharimun
ialah orang yang mempunyi hutang dan sulit untuk membayarnya. Hal ini
berdasarkan hadis Nabi dari Abu Said al Khudri r.a. yang menyatakan bahwa ada
seorang laki-laki dizaman Rasulullah mendapat musibah disebabkan buah-buahan
yang dibelinya hingga utangnya menjadi
banyak, kemudian Nabi bersabda:
تصدقوا عليه فتصدق الناس عليه
“Keluarkanlah zakat untuknya, lalu
orang-orangpun berzakat kepadanya. (HR. Muslim)”.
Menurut
ulama Hanabilah dan Syafi’iyah seseorang itu berutang untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Juga baik
utangnya digunakan untuk ketaatan maupun kemaksiatan. Jika dia berutang untuk
dirinya sendiri maka dia tidak diberi zakat, melainkan jika dia adalah orang
fakir. Sedangkan jika dia hutang untuk mendamaikan orang-orang yang berselisih
sekalipun terjadi antara orang-orang ahli dzimmah sebab merusak jiwa, harta
atau barang rampasan, maka dia diberi zakat dari golongan gharim, meskipun dia
orang kaya.
Para
ulama Hanafiyah berkata, gharim adalah orang yang mempunyai tanggungan utang
dan tidak memiliki satu nisab yang lebih dari utangnya. Para ulama Malikiyah
berpendapat bahwa gharim adalah orang yang terhimpit utang kepada orang lain
yang digunakan bukan untuk perbuatan keji dan merusak yaitu orang yang tidak
mempunyai harta untuk membayar utang.
Golongan
gharimin yang diberi zakat untuk membayar segala utangnya dengan beberpa
syarat:
a.
Ia
harus mempunyai kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat membayar utangnya.
b.
Orang
itu harus mempunyai utang untuk ketaatan atau mengerjakan suatu urusan yang
diperbolehkan (mubah).
c.
Utangnya
dibayar pada waktu itu.
d.
Keadaan
utangnya yang menimbulkan dipenjara atau ditahan.
Semua
syarat-syarat diatas adalah pendapat ulama Malikiyah sedangkan para fuqaha
tidak memberikan syarat apapun.
7. SABILILLAH, Sabilillah
adalah Orang yang berada dijalan Allah, menurut empat madzhab : orang-orang
yang berperang secara suka rela untuk membela islam.
Imamiyah: orang-orang yang berda
dijalan Allah secara umum, baik orang yang berperang, orang-orang yang
mengurusi masjid, orang-orang yang berdinas dirumah sakit dan sekolah-sekolah,
dan semua bentuk kegiatan untuk kemaslahatan umum.
Ada
beberapa contoh yang termasuk sabilillah pada zaman sekarang yaitu:
a.
Mendirikan
pusat kegiatan bagi kepentingan dakwah Islam yang benar dan menyampaikan
risalahnya kepada orang-orang non muslim disemua benua dari berbagai agama dan
aliran.
b.
Mendirikan
pusat kegiatan Islam yang refresentif dinegara Islam itu sendiri untuk pemuda
muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara akidah dari kekufuran,
memelihara diri dari perubahan pemikiran, dan tergelincirnya jalan, serta
mempersiapkan diri untuk membela Islam dan melawan musuh-musunya.
c.
Mendirikan
percetakan surat kabar yang baik, termasuk media elektronik, TV, radio.
d.
Menyebarkan
buku-buku tentang Islam yang baik, yang bias menjelaskan maksud Islam, membuka
mutiaranya yang tersimpan, menjelaskan keindahan dan kebenaran serta membuka
kesalahan-kesalahan musuh Islam.
e.
Menurut
penulis, yang termasuk dalam sabilillah juga adalah para pengajar dan penyebar
agama seperti guru, dosen dan lain-lain.
Memperkerjakan
orang-orang kuat yang terpercaya, ikhlas untuk melakukan kegiatan-kegiatan
tersebut.
8. Ibnu Sabil, Ibnu
sabil adalah orang asing yang menempuh perjalanan ke negeri lain dan sudah
tidak punya harta lagi. Zakat boleh diberikan kepadanya sesuai dengan ongkos
perjalanan untuk kembali kenegaranya.[1]
Para fuqaha’
selama ini mengartikan ibn sabil dengan musafir yang kehabisan bekal.
Pengertian ini diajukan oleh jumhur ulama’ dan masih relevan, hanya saja
pengertiannya sempit. Di alam kemajuan tekhnologi informasi saat ini, memang
kondisi ibn sabil yang diilustrasikan pada artian klasik
tampaknya sudah sangat kecil kemungkinannya terjadi, kalaupun kondisi tersebut
terjadi, sangat dimungkinkan karena orang yang bepergian tersebut pada dasarnya
berada pada kondisi ekonomi yang lemah, artinya bepergian atau tidak bepergian
kondisinya memang sudah sangat lemah secara ekonomi. Pendekatan yang banyak
dilakukan oleh sejumlah lembaga amil zakat mengkategorikan para perantau yang
mengalami kegagalan dalam mengais rizki di kota atau para pelajar yang merantau
di kota lain untuk menuntut ilmu dikategorikan termasuk kelompok ibn sabil
B. Syarat-Syarat Orang Yang Berhak
Menerima Zakat Dan Sifat-Sifatnya.
Para fuqaha memberikan lima syarat bagi
orang yang berhak menerima zakat, yaitu:
1. Hendaknya dia seorang fakir, kecuali
amil. Seorang amil tetap iberi zakat sekalipun kaya, karena dia berhak menerima
upah. Juka, karena dia menyempatkan diri untuk melakukan pekerjaan ini. Karena,
dia membutuhkan sesuatu yang dapt mencukuoinya. Demikian juga kecuali ibnu
sabil jika dinegerinya dia memiliki harta, maka dia seperti orang fakir,
sekalipun aslinya dia orang kaya. Juga, kecuali orang yang muallaf dan orang
yang berperang (sabilillah) menurut pendapat ulama syafi’iyah dan hanabilah.
2. Orang yang menerima zakat harus seorang
muslim. Kecuali muallaf, menurut pendapat ulama malikiyyah dan hanabilah. Tidak
boleh memberikan zakat kepada orang fakir, tanpa ada perbedaan pendapat dalam
hal ini, berdasarkan hadits mu’adz r.a. yang telah disebutkan (ambillah
zakat-zakat itu dari orang kaya dan berikanlah kepada orang-orang miskin)
merupakan perintah untuk memberikan zakat kepada kalangan miskin dari kalangan
orang-orang kaya yang diambil zakatnya, yaitu orang-orang muslimin. Maka tidak
boleh memberikan zakat kepada kalangan selain muslimin.
Adapun
selain zakat fitrah, kafarat dan nadzhar, maka tidak diragukan bahwa
memberikannya kepada orang-orang fakir kaum muslimin lebih utama. Karena,
memberikannya kepada mereka berarti membantu mereka dalam menunaikan ibadah.
Apakan boleh memberikan zakat kepad ahli dzimmah (kafir dzimmi)? Abu hanifah
dan Muhammad berpendapat bahwa itu boleh, berdasarkan firman Allah SWT :
“jika
kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, mak itu baik. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih
baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah
maha teliti apa yang kamu kerjakan.”
(al-Baqarah:271)
Tanpa
membedakan antara orang fakir dengan orang fakir lainnya. Keumuman teks ini
memberikan pengertian bolehnya zakat memberikan kepada ahli dzimmah. Hanya
saja, khususnya dari zakat, berdasarkan hadits mu’adz dan firman Allah SWT
dalam kafarat yang artinya:
فكفارته اطعام عشرة مساكين
“maka
kafaratnya _denda pelanggaran sumpa) ialah memberimakan sepuluh orang miskin”
(al-Maidah: 89)”
Tanpa membedakan antara orang miskin
dan orang miskin lainnya. Hanya saja, pelanggaran untuk mmeberikan zakat itu
dikhususkan atas orang kafir harbi, dengan alas an agar hal itu tidak membantu
mereka untuk memerangi kita. Juga karena memberikan zakat kepada ahli dzimmah
termasuk menyampaikan kebaikan kepada mereka , dan kita tidak dilarang untuk
melakukan hal itu. Allah SWT berfirman yang artinya:
”Allah tidak melarang kamu berbuat baik
dan berlaku adil terhdap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urudan agama
dan tidak mengusir kamu dari kampong halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahana:8)
Abu Yusuf, Zufar, Syafi’i, dan jumhur
ulama berpendapat bahwa tidak boleh juga memberikan sedekah selain zakat kepada
ahli dzimmah, sebagaimana halnya zakat. Demikian juga tidak boleh memberikannya
kepada orang kafir harbi.
3. Penerima bukan dari keturunan bani
hasyim: ahli bait dilarang untuk menerima zakat. Sebab, itu adalah kotoran
harta manusia. Mereka berham mendapatkan 1/5 dari 1/5 da baitul mal, sekirannya
dapat mencukuoi kebutuhan mereka. Itu berdasarkan sabda Nabi saw:
أن هده الصدقات أنما هي أوساح الناس
وانما لاتحل لمحمد ولا لال محمد.
“sesungguhnya
sedekah-sedekah ini hanyalah kotoran (harta) manusia. Dan ia tidak halal bagi
Muhammad dan tidak pula bagi keluarga Muhammad.”
Bani hasyim yang diharamkan menerima
sedekah (zakat), menurut al-Karkhi dari kalangna hanafiyah dan hanabilah,
adalah keluarga abbas, keluarga ali, keluarga ja’far, keluarga agil bin abu
thalib, dan keluarga harits bin abdul muthalib, berdasarkan keumuman hadits
yang telah disebutkan. Demikian juga para ulama syafi’iyah berkata, mereka
adalah bani hasyim dan bani muthalib, berdasarkan sabda nabi saw.
أن بني
هاشم وبني المطلب شيئ واحد وشبك بين أصابعه.
“sesungguhnya
bani hasyim dan bani muthalib adalah satu dan ibarat jari jemari yang saling
bertautan.
Abu hanifah hanifah dan ulama malikiyah
berkata, “mereka adalah bani hasyim saja,. Adapun bani muthalib saudarah
hasyim, mereka bukan termasuk ahli bait. Oleh karenannya mereka diberi zakat,
menurut pendapat yang masyhur.”
Telah dinukil pendapat dari abu
hanifah, ulama malikiyah dan sebagian ulama syafi’iyah akan bolehnya memberikan
zakat kepada bani hasyim, karena mereka diharamkan mendapatkan bagian dzawilo
qurba dari baitul mal, demi mencegah kerugian dan kebutuhan mereka, dan
mengamalkan kaedah “maslahah mursalah.” Memberi mereka (sebagaimana dikatan
oleh ad-Dasuki al-Maliki) pada saat itu lebih baik dari pada memberi selain
mereka. Sedekah sunnah boleh diberikan kepada mereka menurut kebanyakan ulama.
4. Hendaknya bukan orang yang wajib
dinafkahi oleh orang yang berzakat, seperti kerabat dan istri-istri, sekalipun
dalam masa iddah. Karena, hal itu mencegah terjadinya pelaksanaan memberi hak
milik bagi orang fakir dari semua sisi. Bahkan dari satu sisi, hal itu
merupakan pendistribusian zakat kepad dirinya sendiri, yaitu mencegah kewajiban
zakat atas dirinya.
Zakat juga tidak boleh diberikan kepada
kedua orang tua dan nasab keatasnnya (kakek-nenek). Juga, kepada anak turun dan
nasab kebawahnya (cucu). Demikian juga tidak boleh diberikan kepada istir yang
fakir atau miskin, sekalipun istri dalam iddah talak ba’in, menurut madzhab
hanafi. Karena, hukum menafkahi meraka bagi orang yang mnegeluarkan zakat tersebut
adalah wajib. Fungsi zakat adalah untuk memenuhi kebutuhan, maka tidak ada
kebutuha jika diberih nafkah. Juga, karena salah satu dari mereka mengambil
manfaat dari harta yang lain. Bahkan menurut ulama syafi’iyah, tidak boleh
memberi zakat kepada seseorang yang bukan dalam tanggungan nafkah muzakki
(orang yang mengeluarkan zakat), tapi tanggungan orang lain, karena dia tika
membutuhkan, seperti orang yang bekerja setiap hari dan berkecukupan.
Ulama hanafiyah membolehkan membayar
zakat kepada seorang perempuan fakir, sedang suaminya kaya. Karena, seorang
perempuan tidak berhak atas harta suaminya melainkan seukuran nafkahnya. Dengan
kadar nafkah tersebut, si perempuan tidak dianggap kaya. Menurut ulama
hanafiyah juga, seorang pezina tidak boleh membayar zakat kepada anak hasil
zinannya, kecuali jika anak tersebut dari seorang perempuan yang mempunyai suami yang dikenal.
Akan tetapi, boleh membayarkan zakat
kepada orang-orang yang telah disebutkan didalam al-qur’an seperti orang
gharim, atau berperang dijalan Allah dan semisalnya. Para ulama syafi’iyah,
sebagaimana dijelaskan didalam al-majmuu’ karya iamam nawawi, ulama malikiyah,
dan ibnu taimiyyah, membolehkan membayar zakat kepada anak atau ayah yang tidak
dapat dinafkahi oleh muzakki, jika anak atau ayah itu fakir. Karena, saat itu
mereka berdua seperti orang asing. Para ulama malikiyah membolehkan seorang
perempuan membayar zakat fitrahnya (bukan zakat wajib) kepada suaminya yang
fakir.
Syekh abu ishak asy-syairazi berkata
didalam al-muhadzdzab: tidak boleh seorang itu membayar zakat dari
bagian-bagian orang fakir kepada orang yang wajib dia nafkahi dari kalangan
kerabat dan istri, karena zakat diperuntukkan untuk sebuah kebutuhan. Dan
mereka yang wajib dinafkahi tidak membutuhkan itu.
5. Hendaknya sudah baligh, berakal, dan
merdeka. Para ulama sepakat bahwa tidak sah zakat diberikan kepada seorang
budak. Menurut ulama hanafiyah, zakat juga tidak sah diberikan kepada anak
kecil sebelum mencapai usia puber (usia dibawah tujuh tahun), dan orang gila
kecuali jika diterima oleh orang yang boleh menerimanya bagi kedua seperti
ayah, orang yang diwasiati, dan selainnya. Menurut ulama hanafiyah, zakat juga
boleh diberikan kepada anak kecil kerabat yang mumayyiz ketika perayaan ulang
tahu atau selainnya. Tidak boleh membayar zakat keada anak orang kaya jika
masih kecil. Karena, anak kecil tersebut dipandang kaya disebabkan harta
bapaknya. Anak tersebut sebagaimana halnya orang asing, sebagaimana halnya
seorang bapak tidak dianggap kaya dengan harta anaknnya, seorang istri sebab
kekayaan suaminya, seorang anak kecil sebab kekayaan ibunya.[2]
C. Muzakki
Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim yang
bekewajiban menunaikan zakat. Disyaratkan pada orang yang wajib
mengeluarkan zakat hal-hal berikut ini:
1) Balig. Maka tidak wajib bagi mereka
yang belum balig. Yunus Bin Ya’qub berkata. “saya menulis surat kepada Imam as
bahwa saya masih mempunyai saidara-saudara yang masih kecil. Kapankah
nkewajiban zakat berlaku pada harta mereka? Beliau menjawab jika mereka telah
berkewajiban shalat maka zakat pun wajib atas mereka.” Beliau juga berkata,
“tidak ada zakat pada harta anak yatim, dan tidak ada kewajiban shalat atasnya.
Juga tidak ada zakat pada seluruh tumbuhan-tumbuhan miliknya, seperti kurma,
kismis dan gandum. Jika seorang yatim telah mencapai balig maka dia tidak
kewajiban mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang lalu, dan tidak untuk
tahun-tahun yang akan datang sampai ia balig. Jika dia sudah balig maka dia
berkewajiban satu kali zakat (setahun) sebagimana orang-orang lain yang
berkewajiban zakat.” Kebanyakan fuqaha’ berpegang pada riwayat ini dan pada
riwayat-riwayat lain semacam ini. Riwayat-riwayat tersebut merupakan dalil yang
mematahkan pendapat bahwa zakat adalah wajib pada harta mereka yang belum balig
selain emas dan perak. Benar, disunahkan bagi wali anak yang belum balig, baik
ayah, kakek (dari pihak ayah), atau hakim syar’i, untuk menzakati harta
anak kecil.
2) Berakal. Penulis jawahir menyatakan
bahwa kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa hukum orang yang gila sama dengan
hukum anak kecil pada semua hal yang disebutkan diatas (bahwa tidak ada
kewajiban zakat atasnya).” Kemudian beliau berkata, “yang demikian ini adalah
sangat sulit. Sebab tidak ada dalil yang dijadikan sandaran untuk menyamakan
hukum keduannya itu, kecuali mushadarat dimana tidak sepatutnya seorang
fakih berpegang padanya.”[3]
3) Harta tersebut harus merupakan hak
penuh bagi pemiliknya dimana di dapat membelanjakannya (mengunakannya). Oleh
karena itu tidak ada zakat pada harta hadiah sebelum diterima oleh penerimanya.
Demikian pula harta wasiat, hutang, maghsub (yang masuh dirampas orang),
yang digadaikan, harta yang terhalang pengunaannya (mahjur), dan harta
yang tidak ada ditempat, sampai semua itu dikuasai secara penuh dan bisa
dibelanjakan. Imam Shadiq as berkata, “tidak ada sedekah pada hutang dan harta
yang tidak ada padamu, sampai ia jatuh ke tanganmu.” Zurarah bertanya kepada
beliau tentang seorang yang hartanya tidak ada bersamanya dan dia tidak mampu
mengambilnya. Beliau menjawab, “tidak ada zakat padanya, sampai dia
mendapatkannya kembali. Bila sudah demikian maka dia menzakatinya untuk satu
tahun.”
Zakat tidak dikenakan pada harta hutang
tanpa ada perbedaan apakah pemiliknya mampu mengambil dan mendapatkannya kapan
saja ataukah tidak mampu, sebagaimana yang mashur diantara fuqaha’ mutakhir
menurut kesaksian penulis kitab Hada’iq[4]
BAB III
KESIMPULAN
Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima
zakat. Orang-orang yang berhak menerima zakat itu ada delapan golongan,
Fakir, Miskin, Amil, Mu’allaf, Riqab, Ghorim, Sabilillah, ibnu sabil.
Para ulama madzhab sependapat bahwa
golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah
disebutkan dalam surat Al Taubah ayat 60.
Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim yang
bekewajiban menunaikan zakat.
Seluruh ahli fiqih sepakat bahwa
setiap Muslim, merdeka, baligh dan berakal wajib menunaikan zakat. Akan tetapi
mereka berbeda pendapat tentang orang yang belum baligh dan gila.
Menurut madhab imamiyah, harta
orang gila, anak-anak dan budak tidak wajib dizakati dan baru wajib di zakati
ketika pemiliknya sudah baligh, berakal dan merdeka.
DAFTAR
PUSTAKA
Mughniyah, Muhammad Jawad, 2001. fiqih imam ja’far
shadiq. Jakarta : Lentera.
Zuhaili,Wahbah.
2007. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr.
Zuhaily,Wahbah.
2005. Zakat: Kajian Berbagai Madzhab. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Qardawi,Yusuf. 1991.
Hukum Zakat. Jakarta : PT Intermasa.
Hasbi,Al-furqon
.2008.125 Masalah Zakat. Solo :
Tiga Serangkai.
Abidin, Slamet Moh Suyono,
1991, Fiqih Ibadah, Bandung : CV Pustaka Setia.
Rasjid, H. Sulaiman, 1994, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
[1]
Muhammad Jawad Mughniyah FIQH LIMA MAZHAB Ja’far, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali basrie press Jakarta: 1992 hal 244-249
[2]
Prof. Dr. Wahba Zuhaili FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU Jilid 3 Gema Insani
Darul Fikir Jakarta 2011 hlm: 289-298
[3]
Tidak benar berdalil untuk meniadakan zakat dari harta anak kecil dan orang
gila dengan hadits, “pena telah diangkat dari anak kecil sampai dia balig., dan
dari orang gila sampai dia sembuh.” Sebab, hadis ini hanya meniadakan dosa san
hukum taklifi, bukan hukum wadh’i, yakni tetapnya zakat pada
harta orang gila dan anak kecil. Dengan demikian, kita harus menghitung
permulaan haul (masa setahun), dari harta mencapai satu nisab, bukan
dari saat balig pada anak kecil atau dari saat sembuh pada orang gila.
[4]
Muhammad
Jawad Mughniyah FIQIH IMAM JA’FAR SHADIQ Lentera Jakarta: 2001 hlm: 317-318
No comments :
Post a Comment