BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tanah mati adalah tanah yang tidak nampak
dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada bekas-bekas apapun, seperti
pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain. Menghidupkan tanah mati
(ihya’ul mawat) itu artinya mengelola tanah tersebut, atau menjadikan tanah
tersebut layak untuk ditanami dengan seketika. Tiap tanah mati, apabila telah
dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik orang yang
bersangkutan. Syara’ telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang
menghidupkannya.
Politik hukum pertanahan pada jaman HB dengan
asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan
dan Kaula Negara tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang
penguasaan dan penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan
perhatian dan perlindungan. Menurut
Agrarische Wet pemerintah HB bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak
adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan
setelah Indonesia merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa.
Hukum agraria Negara RI bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal 33 ayat 3).
Hukum agraria Negara RI bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal 33 ayat 3).
B.
Rumusan Masalah
a.
Pengertian Fiqih Ihya’ul Mawat ?
b.
Fatwa Ihya’ul Mawat?
c.
Hikmah Ihya’ul Mawat ?
C.
Tujuan
a.
Untuk menjelaskan Fiqih Ihya’ul
Mawat ?
b.
Untuk menjelaskan Fatwa Ihya’ul
Mawat?
c.
Untuk menjelaskan Hikmah Ihya’ul
Mawat ?
D.
Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan makalah ini di bagi menjadi 3 bab, sebagai berikut :
BAB I :
PENDAHULUAN, Pada bab ini yang merupakan pendahuluan, terdiri atas latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : PEMBAHASAN, Pada bab ini diuraikan mengenai pengertian
dari ihya’ul mawat, dasar hukum, dan aplikasinya dalam Negara Indonesia.
BAB III :
PENUTUP, Pada bab penutup ini berisikan tentang kesimpulan dari materi Ihya’ul Mawat dan saran atas paper yang telah dibuat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fiqih Ihya’ul Mawat
Bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah
satu cara untuk memperoleh hak milik. Dikatakan salah satu cara, karena
timbulnya hak milik atau cara memperoleh hak milik itu dapat ditempuh dengan
empat jalan, yaitu ihkraj al-mubahat, aqad pemindahan hak milik, al-khalafiyah
dan tawallud mim mamluk.
Ihrasul mubahat (penguasaan
terhadap bendabenda mubah)
Dimaksudkan dengan benda mubah ialah “harta
yang tidak masuk ke dalam milik yang dihormati (milik seseorang yang sah) dan
tidak ada suatu penghalang yang dibenarkan syara’ dari
miliknya.[1]
Seperti air yang tidak dimiliki seseorang,
rumput dan pepohonan di hutan belantara yang tidak dimiliki orang dan binatang
buruan serta ikan-ikan di laut, dan api yang tidak dimiliki seseorang.
Menguasai benda mubah dilakukan dengan :
a.
Ihya’ al-mawat (menghidupkan
tanah mati)
b.
Berburu
c.
Menguasai tambang dan harta karun.[2]
Adapun arti “bumi mati” sebagaimana pendapat
imam Rafi’i tersebut didalam syarkhus shaghir
, yaitu bumi yang tidak ada pemiliknya dan belum ada
seorangpun yang mengambil manfaat bumi tersebut.
Ihya’ul Mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh
dengan dua syarat yaitu:
a.
Bahwa orang yang menghidupkan itu
adalah orang islam, maka disunahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun
imam mengijinkan atau tidak.
Adapun kafir dzimmi, kafir muahad dan kafir mustakman, mereka semua
tidak boleh menghidupkan bumi mati, meskipun imam mengijinkan mereka.
b.
Bumi yang ada itu jelas belum ada
seorang islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan bahwa bumi itu dalam
setatus jelas merdeka.[3]
Tanah mawat, yaitu tanah yang belum pernah
dimakmurkan sama sekali. Asal hukum ini berdasarkan hadits nabi SAW. :
من احيى أرضا ميتة فهي له, وليس لعرق ظالم حق
“Barang
siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada
tangan yang dzalim berhak kepadanya”.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa’i dan
At-Tirmidzi, dan kata At-Tirmizi, hadits ini adalah hasan (baik).
Yang dimaksud dengan kalimat Irq, yang
diterjemahkan pada “tangan”, atau “kuasa”, tidak boleh bagi mereka untuk
bercocok tanam pada tahan itu, tidak boleh membangun diatas tanah itu, tidak
boleh mengorek sungai atau perigi.
Ketahuilah, bahwa ihya’ atau
menghidupkan tanah mati itu hukumnya sangat dituntut, sesuai dengan sabda nabi
SAW.
من أحيى أرضاميتة فله فيها أجر, وماأكله العوافي
فهو له صدقة
“barang siapa menghidupkan tanah mati, maka baginya ada pahalanya dan
apa yang dimakan oleh binatang, maka itu merupakan sedekah daripadanya.”
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan dishahihkan
oleh Ibnu Hibban. Yang disebut binatang didalam hadits tadi termasuk, burun,
binatang liar dan binatang buas.
Jadi semua orang yang boleh memiliki harta
dibolehkan menghidupkan tanah, atau membuka tanah, kemudian dimilikinya tanah
mati yang dihidupkannya itu, karena itu adalah milik dengan sebab perbuatannya
menghidupkan tanah mati itu. Jadi perkaranya sama dengan kerja memburu dan
mengutip kayu-kayuan dan sebagainya.
Tidak ada perbedaan dalam hal memiliki tanah
mati itu dengan diizinkan oleh penguasa (pemerintah) atau tidak, tetapi
mencukupilah dengan keizin penghulu dari sekalian orang-orang yang terdahulu
dan orang-orang yang terbelakang, yaitu Nabi Muhammad SAW.
B.
Fatwa Ihya’ul Mawat
Hak-hak
atas tanah
1.
Hak milik
a.
Dasar hukum untuk pemilikan hak
milik atas tanah yaitu pasal 20-27 UUPA
b.
Mempunyai sifat turun temurun
c.
Terkuat dan terpenuh
d.
Mempunyai fungsi social
e.
Dapat beralih atau dialihkan
f.
Dibatasi oleh ketentan sharing
(batas maksimal) dan dibatasi oleh jumlah penduduk
g.
Batas waktu hak milik atas tanah
adalah tidak ada batas waktu selama kepemilikan itu sah berdasar hukum
h.
Subyek hukum hak milik atas tanah
yaitu WNI asli atau keturunan, badan hukum tertentu
2.
Hak guna bangunan
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka
waktu tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 29 UUPA untuk perusahaan
pertanian atau peternakan.
a.
Jangka waktu 25 tahun dan
perusahaan yang memerlukan waktu yang cukup lama bisa diberikan selama 35 tahun
b.
Hak yang harus didaftarkan
c.
Dapat beralih karena pewarisan
d.
Obyek HGU yaitu tanah negara
menurut pasal 28 UUPA pasal 4 ayat 2, PP 40/96
Apabila tanah yang dijadikan obyek HGU tersebut merupakan kawasan hutan
yang dapat dikonversi maka terhadap tanah tersebut perlu dimintakan dulu
perlepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan (pasal 4 ayat 2 UUPA, PP
40/96).
Apabila tanah yang dijadikan obyek HGU adalah tanah yanh sah mempunyai
hak maka hak tersebut harus dilepaskan dulu (pasal 4 ayat 3, PP 40/96)
Dalam hal tanah yang dimohon terhadap tanaman dan atau bangunan milik
orang lain yang keberadaannya atas hak yang ada maka pemilik tanaman atau
bangunan tersebut harus mendapat ganti rugi dari pemegang hak baru (pasal 4
ayat 4, PP 40/96)
Pendaftaran
Tanah
Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan pengujian serta pemeliharaan data fisik
dan yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
- Data fisik adalah keterangan atas letak, batas, luas, dan keterangan atas bangunan.
- Persil adalah nomor pokok wajib pajak.
- Korsil adalah klasifikasi atas tanah.
- Data yuridis adalah keterangan atas status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban lain yang membebaninya.
Dasar hukum
pendaftaran tanah :
UUPA pasal 19, 23, 32, dan pasal 38. PP No 10/1997 tentang pendaftaran
tanah dan diganti dengan PP No 24/1997
Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 PP
24/1997 yaitu memberikan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah meliputi :
a. Kepastian hukum
atas obyek atas atas tanahnya yaitu letak, batas dan luas.
- Kepastian hukum atas subyek haknya yaitu siapa yang menjadi pemiliknya (perorangan dan badan hukum)
- Kepastian hukum atas jenis hak atas tanahnya (hak milik, HGU, HGB)
Tujuan
pendaftaran tanah (pasal 3 PP 24 Tahun 1997)
a. Untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
- Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang mudah terdaftar.
- Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
- Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam satu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
- Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
- Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satuan-satuan rumah susun.
- Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
- Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin
- Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.
- Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
- Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
- Tujuan wakaf (pasal 4 UU No. 41/2004) yaitu memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya
- Fungsi wakaf (pasal 5) yaitu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
C.
Penerapan Hukum Pertanahan Dalam
Negara Indonesia
Menurut UUPA Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:
1.
Meletakkan dasar-dasar bagi
penyusunan hukum agraria nasional
2.
Meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
3.
Meletakkan dasar untuk memberikan
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.
Berdasarkan
tujuan pembentukan UUPA tersebut maka seharusnyalah kaidah-kaidah hukum agraria
dibicarakan oleh suatu cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, yaitu cabang
ilmu hukum agraria. Menurut Prof Suhardi, bahwa untuk dapat menjadi suatu
cabang ilmu harus memenuhi persyaratan ilmiah yaitu:
1.
Persyaratan obyek materiil Yaitu
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
2.
Persyaratan obyek formal Yaitu UUPA
sebagai pedoman atau dasar dalam penyusunan hukum agraria nasional
Berdirinya
cabang ilmu hukum agraria kiranya menjadi sebuah tuntutan atau keharusan,
karena:
1.
Persoalan agraria mempunyai arti
penting bagi bangsa dan negara agraris.
2.
Dengan adanya kesatuan/kebulatan,
akan memudahkan bagi semua pihak untuk mempelajarainya.Disamping masalah
agraria yang mempunyai sifat religius, masalah tanah adalah soal masyarakat
bukan persoalan perseorangan.
D.
Filsafat Ihya’ul Mawat
Al-Mawaat merupakan sebutan dari lahan tanah yang tidak terkena air. Sebagaimana
pertanian merupakan sumber kekayaan terbesar dan mata pencarian, menghidupkan
tanah yang mati mempunyai faedah yang amat besar yang hikmahnya kembali pada enam manfaat yaitu :
1. Menghidupkan tanah yang telah mati
2. Memperluas lahan pencarian rezeki manusia.
3. Pengambilan manfaat bagi seorang imam untuk Baitul Mal umat Islam
sebanyak sepersepuluh dan juga pajak dari tanah ini yang kemudian membaginya
kepada yang berhak.
4. Mendorong
manusia untuk berusaha dan bekrja mencari rizki dalam hidup ini disamping untuk
tempat tinggal
5. Agar manusia
hidupnya tidak berkumpul dsalam suatu tempat dan agar tidak berdesak-desakan
karena kekurangan lahan untuk tempat tinggal
6. Agar manusia
mensyukuri atas kekuasaan Alloh bahwa bumi ini dijadikan untuk manusia.
Dan, tidak
asing lagi bahwa orang yang menghidupkan lahan mati dengan izin imam setelah
itu, maka ia menjadi pemiliknya. Apabila orang tersebut fakir, maka akan
menjadi orang kaya yang mempunyai kepemilikan hingga menyelamatkan dirinya
dari jeratan kefakiran.
Semoga Allah
menghindarkan kami dan kalian semua dari hal itu, dan ini merupakan nikmat
terbesar yang dapat diperoleh.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Mawaat merupakan sebutan dari lahan tanah yang tidak terkena air. Sebagaimana
pertanian merupakan sumber kekayaan terbesar dan mata pencarian, menghidupkan
tanah yang mati mempunyai faedah yang amat besar yang hikmahnya kembali pada
tiga manfaat.
a.
Menghidupkan
tanah yang telah mati
b.
Memperluas
lahan pencarian rezeki manusia.
c.
Pengambilan
manfaat bagi seorang imam untuk Baitul Mal umat Islam sebanyak sepersepuluh dan
juga pajak dari tanah ini yang kemudian membaginya kepada yang berhak.
d.
Mendorong manusia untuk berusaha
dan bekrja mencari rizki dalam hidup ini disamping untuk tempat tinggal
e.
Agar manusia hidupnya tidak
berkumpul dsalam suatu tempat dan agar tidak berdesak-desakan karena kekurangan
lahan untuk tempat tinggal
f.
Agar manusia mensyukuri atas
kekuasaan Alloh bahwa bumi ini dijadikan untuk manusia.
Dan, tidak
asing lagi bahwa orang yang menghidupkan lahan mati dengan izin imam setelah
itu, maka ia menjadi pemiliknya. Apabila orang tersebut fakir, maka akan
menjadi orang kaya yang mempunyai kepemilikan hingga menyelamatkan dirinya
dari jeratan kefakiran.
Semoga Allah
menghindarkan kami dan kalian semua dari hal itu, dan ini merupakan nikmat
terbesar yang dapat diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Imam
Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Alhusaini KIFATAUL AKHYAR
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqih Muamalah ,
Semarang : Pustaka Rezeki Putra.
Muhammad Yusuf Musa, al-Madkhal li
Fiqh al-Islami, Mesir: Maktabah Abdullah Wahbah.
Abu
Abdillah Muhammad Bin Qasim TAUSYEKH ALA FATHUL QARIB MUJIB Indonesia :
kharomain
UUPA
No: 5 Tahun 1960
No comments :
Post a Comment