BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Mendidik anak pungut merupakan
fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka
jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan
mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggung jawaban Allah SWT Karena anak
angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya,
apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan
bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat
disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat
dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan al-Laqiith?
2. Bagaimana
hukum pengasuhan anak hilang?
3. Bagaimana
status anak hilang?
4. Bagaimana
harta warisan anak hilang?
5. Filsafah
al-Laqiith (manamukan anak hilang)?
C.
Sistematika Penulisan
Bab
I Pendahuluan
a.
Latar belakang
b.
Rumusan masalah
c.
Tujuan pembahasan
Bab II Pembahasan
Bab III Kesimpulan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Anak Hilang atau Laqiith (اللقيط) adalah anak kecil yang belum baligh yang
ditemukan dijalan, yang tersesat atau anak yang tidak diketahui nasabnya (orang
tuanya).
B.
Hukum Pengasuhan Anak Hilang
Anak hilang wajib dipelihara oleh masyarakat setempat dimana anak
itu ditemukan atau oleh negara. Dalilnya adalah keumuman firman Allah ta’ala
(#qçRur$yès?ur
n?tã
ÎhÉ9ø9$#
3uqø)G9$#ur
( wur
(#qçRur$yès?
n?tã
ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur
4
“
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al Maidah ; 2)[1]
Menurut ulama’ Hanafiah, memungut al-Laqiith
adalah sangat di anjurkan dan termasuk amal yang sangat mulia, karena dengan
memungutnya, berarti telah menyelamatkan hidup si anak, bahkan hukumnya bias
menjadi fardhu kifayah. Jika seandainya si anak tidak dipungut, maka diduga
kuat keselatatan anak terancam, seperti si anak di temukan berada dalam gua
atau tempat-tempat berbahaya lainnya.
Sementara itu, para imam lain
mengatakan, memungut al-Laqiith hukumnya adalah fardhu kifayah, kecuali jika
keselamatan hidup si anak terancam, maka hukumnya menjadi fardhu ‘ain.
Di samping itu, terdapat sejumlah
hukum cabang yang berkaitan dengan al-Laqiith, di antaranya adalah,
- Bahwa orang yang menemukan dan memungutnya (al-multaqith) lebih berhak terhadap al-Laqiith, sehingga jika mau, maka ia bisa berderma untuk merawat dan membiayai hidupnya. Atau bisa juga ia melaporkannya kepada hakim, untk selanjutnya hakim menunjuk seseorang untuk merawat dan mengasuh al-Laqiith dan biayanya dibebankan pada baitul mal (kas Negara). Karena fungsi baitul mal adalah untuk memenuhi berbagai kebutuhan seluruh kaum muslimin. Ini apabila memang al-Laqiith tidak memiliki harta. Jika ternyata al-Laqiith memiliki harta, seperti ketika al-Laqiith ditemukan, disampingnya ditemukan juga harta yang diperuntukkan juga baginya, maka biaya perawatan dan nafkahnya diambilkan dari harta al-Laqiith tersebut. Karena dengan begitu, berarti al-Laqiith bukanlah orang yang butuh, sehingga ia tidak memiliki hak terhadap sebagian harta baitul mal.
Hukum ini sudah menjadi kesepakatan
para ulama.[2]
Seandainya
al-multaqiith menafkahi al-Laqiith dengan menggunakan harta milik al-multaqith
sendiri, maka apabila itu atas dasar izin dan rekomendasi dari hakim, maka ia
bisa meminta ganti kepada al-Laqiith ketika sudah baligh nanti. Namun apabila
itu tanpa seizin dan rekomendasi dari hakim, maka berarti biaya yang
dikeluarkan oleh al-multaqith untuk menafkahi al-Laqiith itu adalah derma,
sehingga kelak al-multaqiith tidak bisa meminta ganti kepada allaqiith ketika
sudah baligh.
Al-Laqiith
statusnya adalah sama seperti luqathah (barang temuan), yatu sebagamana amanah
di tangan al-multaqith.
- Bahwa perwalian atas al-laqith dalam urusan dirinya dan hartanya adalah ditangan hakim, yakni dalam kaitannya dengan urusan menjaga, mendidik, merawat, menikahkan dan malakukan pentasharufan terhadap hartanya. Hal ini berdasarkan hadits, “Sulthan adalah wali bagi orang-orang yang tidak memiliki wali”. Al-multaqith tidak memiliki perwalian atas al-Laqiith dalam hal menikahkan dan mentasharufkan hartanya.
Apabila
hakim menikahan al-Alaqiith, maka maharnya diambilkan dari baitul mal, kecuali
jika al-Laqiith memiliki harta, maka maharnya diambilkan dari hartanya. Begitu
juga biaya hidup, sandang, obat dan lain sebagainya yang dibutuhkan oleh al-Laqiith
juga diambilkan dari baitul mal. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari
Umar ibnul Khathab r.a. Dan Ali ibnu Abi Thalib r.a juga, diantara fungsi
baitul mal adalah digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan orang-orang yang
sedang butuh seperti al-Laqiith dan orang yang menderita sakit menahun yang
tidak mampu bekerja lagi dan tidak memiliki harta. Juga karena harta pusaka al-Laqiith
adalah dimasukkan ke dalam baitul mal, berdasarkan prinsip, hasil keuntungan
untuk pihak yang menanggung kerugian, yakni karena kelak hasil keuntungan al-Laqiith
(dalam hal ini yaitu harta pusakanya) dan diyat yang berhak ia dapatkan
seandainya ia menjadi korban tindak kriminal fisik adalah untuk baitul mal,
maka oleh karena itu, baitul mal juga yang harus menanggung kerugiannya (yakni
biaya hidup yang dibutuhkan oleh al-Laqiith).
- Al-Laqiith statusnya adalah mereka dan muslim. Karena status asal manusia adalah merdeka, sementara kaidah mengatakan, bahwa status sesuatu di hukumi sesuai dengan status asalnya, hingga ada hal yang mengubahnya. Juga karena tempat dimana al-Laqiith di temukan adalah masuk kawasan negeri islam dan negeri merdeka. Sehingga al-Laqiith yang ditemukan di dalam kawasan negeri islam, maka ia dihukumi sesuai dengan status asalnya, yaitu merdeka dan si anak juga ditetapkan sebagai seorang muslim mengikuti tempat dimana ia di temukan
Berdasarkan
hal ini, maka apabila ada seorang islam menemukan al-Laqiith di kawasan negeri
islam maka al-Laqiith di tetapkan sebagai orang islam, bahkan jika seandainya al-Laqiith
itu mati, maka ia dimandikan, di sholati, dan dimakamkan di pemakaman kaum
muslimin. Adapun jika al-Laqiith di temukan di dalam gereja, atau di dalam
sinagog (tempat ibadah kaum yahudi), atau di perkampungan yang penghuninya
tidak ada yang beragama islam, baik apakah yang menemukannya adalah seorang
muslim atau orang kafir dzimmi, maka status al-Laqiith itu dihukumi sebagai
kafir dzimmi karena didasarkan pada pertimbangan dzahir atau lahiriyahnya.
Seandainya ada seorang kafir dzimmi menemukan al-Laqiith di kawasan negeri
islam , maka al-Laqiith itu dihukumi sebagai orang islam, dengan kata lain yang
menjadi pertimbangan ata patokannya disini adalah tempat dimana al-Laqiith di
temukan.
Sementara
itu, dalam riwayat an-nawaadir menurut ibnu samma’ah, bahwa dalam hal ini yang
diperhatikan dan menjadi patokan adalah orang yang menemukan. Dengan kata lain
status al-Laqiith apakah iya dihukumi dan ditetapkan sebagai orang islam
ataukah kafir dzimmi, disesuaikan dengan orang yang menemukannya, tanpa
mempertimbangkan tempat dimana ia ditemukan. Jadi, apabila yang menemukan al-Laqiith
adalah seorang muslim, maka status al-Laqiith di tetapkan sebagai orang islam,
baik apakah ia ditemukan di kawasann orang islam maupun di kawasan non islam
begitu juga sebaliknya, apabila yang menemukan al-Laqiith adalah orang kafir
dzimmi, baik apakah ia ditemukan di kawasan islam ataupun kawasan non islam. Alasannya adalah, karena
posisi “tangan” (dalam hal ini adalah pemungutan). Lebih kuat dari posisi
tempat ( dalam hal ini adalah tempat dimana al-Laqiith di temukan).
Dalam
sebuah riwayat lain di sebutkan bahwa, al-Laqiith di tetapkan sebagai orang
islam, disesuaikan orang yang menemukannya atau lokasinya.
Al-Kasani
mengatakan bahwa yang benar adalah riwayat ini. Maka karena itu, apabila al-Laqiith ditemikan oleh seorang muslim di
kawasan islam, maka al-Laqiith di tetapkan sebagai orang islam, mengikuti
tempat dimana ia ditemukan. Apabila al-laqiit di temukan oleh orang kafir di
kawasan islam, maka al-Laqiith di tetapkan sebagai orang islam. Atau al-Laqiith
ditemukan oleh orang kafir dzimmi atau seorang muslim di dalam gereja, maka
statusnya ditetapkan sebagai kafir dzimmi.[3]
Jadi
dalam hal ini terdapat tiga pendapat. Pertama, yang menjadi pertimbangan dan
patokannya adalah tempat dimana al-Laqiith di temukan. Kedua, yang
menjadipertimbangan adalah orang yang menemukannya. Ketiga, yang menjadi
pertimbangannya adalah te,pat dimana al-Laqiith di temukan atau orang yang
menemukannya. Menurut ulama’ hanafiyyah pendapat yang ketiga inilah yang lebih
shahih.
Sementara
itu, ulama’ syafi’iyyah dan ulama’ hanabilah mengatakan apabila al-Laqiith di
temukan di kawasan islam, maka ditetapkan sebagai orang islam. Apabila ditemukan
di kawasan non islam (kafir), maka al-Laqiith di tetapkan sebagai orang kafir
dengan syarat di kawasan itu tidak di temukan satupun orang islam, seperti
orang islam yang menjadi tawanan atau orang islam yang berniaga di kawasan itu,
namun apabila di kawasan non islam itu di temukan ada orang islam di dalamnya,
maka al-Laqiith itu di tetapkan sebagai orang islam menurut pendapat yang lebih
shahih,[4]
sebagai bentuk memenangkan dan mengunggulkan unsur islam, berdasarkan hadis
yang diriwayatkan oleh imam ahmad dan Ad-Daruquthni, “ Islam itu unggul dan
tidak ada yang mengungguli”.
- Hukum nasab al-Laqiith, al-Laqiith atau anak pungut di anggap sebagai orang yang tidak di ketahui nasabnya, sehingga jika seandainya ada seseorang yang mengakui bahwa nasab al-Laqiith adalah kepadanya, maka pengakuan itu diterima dan sah.
Berdasarkan
hal ini, maka seandainya al-Multaqith (orang yang menemukan dan memungut al-Laqiith)
atau orang lain mengakui dan mengklaim bahwa al-Laqiith itu adalah anaknya,
maka pengakuan itu di terima tanpa harus ada bayyinah (saksi), sebagai bentuk
al-Istihsaan, namun jika dilihat dari sudut pandang qiyas, maka pengakuan itu
tidak diterima kecuali dengan di dasari adanya bayyinah.
Arah
qiyas jelas, yaitu bahwa orang yang bersangkutan mengakui dan mengklaim sesuatu
yang mengandung kemungkinan ada dan tidak ada. Maka oleh karena itu, dari sini
harus ada salah satu dari dua kemungkinan itu yang diunggulkan dan dimenangkan
dengan berdasarkan pada suatu pertimbangan yang bisa diterima, yaitu bayyinah,
sementara disini tidak di temukan bayyinah.
Sedangkan
arah al-Istihsaan adalah, bahwa klaim itu adalah sebuah pengakuan yang
bermanfaat dan memberi dampak positif bagi al-Laqiith. Karena dengan memiliki
nasab, status al-Laqiith bisa menjadi terhormat seperti anak-anak yang lain,
berbeda dengan jika ia menjalani hidup tanpa memiliki nasab.
Membenarkan
dan menerima klaim dari orang yang bersangkutan tersebut dalam masalah seperti
ini, tidak perlu dengan adanya bayyinah. Akan tetapi jika yang mengklaim itu
adalah orang kafir dzimmi, maka klaimnya tersebut tetap diterima dan al-Laqiith
itu di nasabkan kepadanya, namun status keagamaannya al-Laqiith ditetapkan
sebagai orang islam. Karena klaim nasab yang diterima adalah dalam hal-hal yang
bermanfaat dan baik bagi al-Laqiith, bukan yang merugikan. Keberadaan al-Laqiith
sebagai anak orang kafir dzimmi yang mengklaim nasabnya itu tidak mesti ia juga
kafir. Sama seperti dalam kasus ada salah satu pasangan suami istri masuk
islam, maka anak itu mengikuti salah satu dari kedua orang tuanya yang baik
agamanya (yaitu yang beragama islam), sebagaimana yang sudah diketahui bersama.
Seandainya
ada dua orang, sebut saja si A dan si B, keduanya mengklaim bahwa al-Laqiith
itu adalah anaknya, namun mereka berdua sama-sama tidak memiliki bayyinah,
sementara salah satu di antara mereka berdua sebut saja si A adalah Muslim,
sedangkan si B adalah kafir dzimmi, maka yang lebih layak diterima adalah klaim
si A, karena itu adalah yang lebih bermanfaat dan baik bagi al-Laqiith.
Namun
apabila keduanya sama-sama Muslim dan berstatus orang merdeka, maka menurut
ulama Hanafiyyah, siapa diantara keduanya mengenali suatu tanda pada tubuh al-Laqiith,
maka dirinyalah yang lebih berhak di terima klaimnya. Karena dengan dirinya
mampu menyebutkan dan mengenal suatu anda fisik pada tubuh al-Laqiith, maka itu
mengindikasikan bahwa sebelumnya al-Laqiith itu berada ditangannya. Maka oleh
karena itu, zahirnya adalah, al-Laqiith itu untuknya. Hal ini didasarkan pada
ayat yanag menceritakan tentang kisah nabi Yusuf as.
bÎ) c%x. ¼çmÝÁÏJs% £è% `ÏB 9@ç6è% ôMs%y|Ásù uqèdur z`ÏB tûüÎ/É»s3ø9$# ÇËÏÈ bÎ)ur tb%x. ¼çmÝÁÏJs% £è% `ÏB 9ç/ß ôMt/xs3sù uqèdur
z`ÏB tûüÏ%Ï»¢Á9$# ÇËÐÈ
"Jika baju gamisnya koyak di
muka, Maka wanita itu benar dan Yusuf Termasuk orang-orang yang dusta. dan jika
baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita Itulah yang dusta, dan Yusuf
Termasuk orang-orang yang benar."[5]
Namun
apabila keduanaya tidak ada yang bisa menyebutkan dan mengenali suatu tanda
fisik pada tubuh al-Laqiith, atau kedua-duanya sama-sama mengajukan bayyinah,
maka diputuskan bahwa al-Laqiith adalah anak mereka berdua. Karena disini,
tidak ada di antara mereka berdua yang bisa diangap lebih berhak. Keputusan ini
juga diriwayatkan dari Umar Ibnu Khaththab r.a. dalam kasus yang serupa, ia
berkata,”al-Laqiith itu adalah anak mereka berdua, al-Laqiith berhak mewarisi
harta pusaka mereka berdua dan mereka berdua sama-sama berhak mewarisi harta
pusaka al-Laqiith.”
Aabila
salah satunya mengajukan bayyinah, sedangkan yang lain mengyebutkan dan
mengenali tanda fisik tubuh al-laqiit, maka klaim nasab yang lebih berhak
diterima adalah klaim pihak yang mengajukan bayyinah. Karena ia adalah pihak
yang memiliki landasan yang menguatkan posisinya, yaitu bayyinah.
Sementara
itu, ulama’ syafi’iyyah menagatakan, apabila ada dua orang sama-sama mengaku
dan mengklaim bahwa al-Laqiith it u adalah anaknya, sementara tidak ada di
antara mereka berdua yang memiliki bayyinah, maka langkah yang diambil untuk
memutuskan adalah dengan menggunakan jasa al-qaa’if (pakar mengenali nasab
dengan berdasarkan pengamatannya terhadap kemiripan-kemiripan yan ada), maka
siapa yang diantara mereka berdua yang dinyatakan sebagai orang tua al-Laqiith oleh
al-qaa’if, maka dialah orang tuanya. Karena dalam kasus-kasuus ketidakjelasan
nasab seseorang, maka yang dijadikan rujukannya adalah hasil pengamatan dan
penelitian al-qaa’if.[6]
Apabia
ada seorang perempuan mengaku dan mengklaim bahwa al-Laqiith adalah anaknya, maka
apabila ia perempuan tidak besuami, maka klaimnya itu tidak bisa diterima.
Namun apabila ia perempuan yang bersuami, lalu si suami membenarka klaim
isterinya itu,atau ada bidan yang bersaksi untuknya, atau ada dua orang saksi
laki-laki yang memberikan kesaksian untuknya, maka klaimnya itu diterima.
Seandainya
ada dua orang perempuan sama-sama mengklaim dan mengakun bahwa al-Laqiith itu
adlah anaknya, maka siapa diantara mereka berdua yang bisa mengajukan bayyinah,
maka klaimnya itulah yang diterima. Jika kedua-duanya sama-sama mengajukan
bayyinah, maka menurut imam Abu Hanifah, al-Laqiith itu ditetapkan sebagai anak
mereka berdua. Sedangkan menurut Abu Yusuf, klaim keduanya sama-sama ditolak
dan al-Laqiith atidak ditetapkan sebagai anak salah satu dari mereka berdua.[7]
C.
Status Anak Hilang
Bagaimanaka status agama atau
kemerdekaan anak tersebut. apakah dia beragama islam atau bukan. Apakah dia
anak merdeka atau bukan. Padahal tidak terdapat keterangan atau saksi yang
mengetahui status anak hilang tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan pertama
maka dikembalikan kepada keadaan lingkungan atau negara tempat anak hilang
tersebut ditemukan. Jika anak tersebut diketemukan di negeri atau kampung yang
kaum muslimin menjadi mayoritas penghuninya. Anak tersebut dihukumi sebagai
seorang muslim. Begitupun jika ia didapati berada di negeri nonmuslim maka anak
tersebut dihukumi sebagai non muslim.
Terkait status anak tersebut apakah
budak atau merdeka maka kembalikan pada hukum asal manusia yaitu sebagai
makhluk yang merdeka. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah atsar. Abi Sunain
seorang lelaki dari bani Sulaim berkata: saya pernah menemukan anak hilang,
maka untuk mengetahui hukumnya kudatangi Khalifah Umar bin Khotob Radhiallahu
anhu. Ketika bertemu beliau, ada seorang lelaki berkata kepada umar mengenai
diriku: “wahai khalifah dia (Abu Sunain) adalah lelaki yang shalih!”. Umar
berkata: “benarkah demikian keadaan lelaki tersebut?” “benar demikian wahai
khalifah!”. Maka Umar berkata: pulanglah dan bawa anak itu bersamamu, anak
tersebut adalah anak yang merdeka, kamu adalah wali baginya adapun. Adapun
nafkah anak tersebut adalah tanggung jawab kami
Atsar ini juga merupakan dalil bahwa
nafkah anak hilang berada dalam tanggungan negara. Jelas disebutkan bahwa Umar
Radhiallahu anhu mengambil keputusan bahwa biaya sehari-hari anak tersebut
dibayar oleh beliau dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Sebagai muslim
tentunya kita diperintahkan untuk meneladani sahabat Radhiallahu anhum.
Terlebih khulafa rasyidin yang mana Nabi tegaskan secara khusus perintah untuk
mengikuti jejak mereka. Dan Umar Raadhiallahu anhu termasuk salah satu dari
khulafa rasyidin.
D.
Harta Warisan Anak Hilang
Jika ditemukan bersama anak hilang
harta yang merupakan milik anak tersebut. maka harta tersebut digunakan oleh
pengasuhnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak tersebut. adapun jika kemudian
anak itu meninggal dan meninggalkan harta. Maka harta benda peninggalannya
menjadi milik negara. Begitupula jika anak itu dibunuh lantas pembunuhnya
membayar diyat secara otomatis harta diyat menjadi milik negara.[8]
E.
Filsafah Laqiith (Menemukan Anak Hilang)
Secara bahasa, Laqiith adalah isim fa'il dari lafal laqatha yang mempunyai makna isim maf’ul,
yang berarti barang yang ditemukan atau dipungut. Dalam pengertian syara’nya, Laqiith adalah sebutan bagi anak hilang
yang kemudian ditemukan, atau anak yang biasa dipungut atau diangkat.
Penyebutan lafal dengan nama akibat
(dipungut) adalah karena adat atau kebiasaan. Dan, menyebutkan sesuatu dengan
nama akibat merupakan sesuatu yang sah-sah saja dan hal itu sering terjadi,
sebagaimana dalam firman Allah SWT., dalam QS. Yusuf 36
þÎoTÎ) ûÓÍ_1ur&
çÅÇôãr&
#\ôJyz
(
"Sesungguhnya aku bermimpi,
bahwa aku memeras anggur."
Dan firman Allah dalam QS. al-Zumar 30,
y7¨RÎ) ×MÍhtB Nåk¨XÎ)ur tbqçFÍh¨B
“ Sesungguhnya
kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula).”
Anggur disebut sebagai khamar dan
yang mati disebut dengan mayit adalah dengan menggunakan nama
akibat. Hikmah dalam Laqiith adalah kembali pada pahala yang amat besar bagi orang yang
memungut dan mengangkat anak ini. Karena dengan melakukan hal tersebut, berarti
seseorang telah memberi kehidupan kepada jiwa yang suci yang belum melakukan
dosa sekecil apa pun.
Allah berfirman dalam QS., al-Maidah 32
ô`tBur $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $uômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_
“ Barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya “.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki
datang kepada Ali dengan membawa anak pungut, kemudian Ali berkata, Dia bebas
dan aku berharap dapat menjadi penanggung jawab atas dirinya sebagaimana engkau
menjaganya. Aku lebih memilih anak ini
daripada melakukan perbuatan ini dan ini (ia menghitung beberapa amal
kebaikannya).
Maka lihatlah wahai orang yang
dijaga oleh Allah, bagaimana Ali sangat menyukai perbuatan Laqiith (memungut
anak). Bahkan, sampai-sampai la mengunggulkannya dari amalan amalan kebaikan
lainnya. Hal itu tidak lain karena adanya pahala yang amat besar di dalam
perbuatan tersebut.
Pemerintah non-Islam sangat peduli
sekali terhadap anak-anak pungut, dan menempatkan mereka pada panti asuhan
atau tempat penampungan yang luas. Setelah mereka tumbuh besar, mereka
dimasukkan ke dalam sekolah dan diberi pendidikan yang balk. Akhirnya, mereka
dapat tumbuh sebagai orang yang terdidik dan terpelajar serta bermanfaat bagi
dirinya dan bangsanya di kemudian hari.
Seharusnya yang lebih layak
melakukan hal itu adalah pemerintahan Islam. Pasalnya, agama Islam telah memerintahkan
untuk memperlakukan anak-anak pungut ini dengan sebaik baiknya, agar rnereka
dapat tumbuh sebagai orang yang berilmu dan menjadi partisipan dalam kegiatan
sosial.
Daftar Pustaka
Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wa
Al-Kitab Al-’Aziz, Dr. Abdul Azhim Al-Badawi, Dar Ibnu Rajab,
2001
Al-Badaa’I, juz 6
Mughnil Muhtaj, Juz 2
Al-Mughni, Juz 5
Fiqh Islam Wa Adllatuhu,
Juz 6, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Darul Fikr, Damaskus, 2007 M
[1] Al-Wajiz
fi Fiqh As-Sunnah wa Al-Kitab Al-’Aziz, Dr. Abdul Azhim Al-Badawi,
Dar Ibnu Rajab, 2001
[2]
Al-Mughni, Juz 5 halaman 683
[3]
Al-Badaa’I, juz 6, hlm 198
[4]
Mughnil Muhtaj, Juz 2, hlm 422, Al-Mughni, Juz 5 hlm. 681
[5]
QS. Yusuf 26-27
[6]
Mughnil Muhtaaj, juz 2, hlm. 428.
[7]
Fiqh Islam Wa Adllatuhu, Juz 6, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Darul Fikr,
Damaskus, 2007 M
[8]
al-wajiz
fi Fiqh As-Sunnah wa Al-Kitab Al-’Aziz, Dr. Abdul Azhim
Al-Badawi, Dar Ibnu Rajab, 2001
No comments :
Post a Comment