Watak
manusia adalah pencuri yang lihai,”begitu, kalau tidak salah ingat, perna say
abaca buku pedoman belajaran akhlak kelas dua tsanawiyah (waktu itu kitab
tahliyah wat targhib). Jangan salah tangkap bukan berarti semua manusia
memiliki watak suka mencuri. Ini jauh berbeda. Maksudnya, kira-kira manusia itu
sangat lihai dalam “mencuri” prilaku orang-orang disekitarnya.
Hadits
nabi sendiri, sebagai rujukan rujukan karya ilmiyah, menyatakan bahwa semua
manusia dilahirkan dalam keadaan islam . lalu, orang tua (dan lingkuingan) yang
menjadikan nasrani dan yahudi.
Maka
beruntunglah orang-orang yang hidup dilingkungan pesantren. Karena, secara
otomatis mereka akan menjadi santri.
Kita
tahu, dipesantren ini, kepribadian santri dibentuk bukan dengan bantuan sim
salabin atau aba kadabra. Toh disini kita tidak mengenal tongkat sihir dan dapu
terbang. Tapi semuah itu dihasilkan dengan latihan dan disip;in menahun, juga
kesadaran diri siang malam menekuni ointruksi dan perintah, sampai semuanya
melebur dalam satu tubuh. Menyatu dalam diri, kemudian tercermin dalam laku dan
ucapan. Santri adalah santri, didalam maupun diluarpesantren, dengan atau tanpa
peraturan yang mengekangnya.
Yang
ghalib harus seperti itu. Tapi kalau ada satu dua yang tidak, ya berarti
pengecualian. Bukankah selalu ada kata kecuali dalam susatu kaidah. Kullu
qoidatin “mustasnayat,” begitu kerap saya dengar dari teman-teman ahli
bahtsu masail.
Kita
menyadari dengan baik, bahwa zaman ber;aku maju. Segala beruba dari waktu
kewaktu, termasuk budaya. Ada banyak hal diluar yang dulu sepertinya tabu, tapi
sekarang ramai dititru. Didalam tembok kukuh pesantren, segala sesuatu Nampak
kendali. Santri-santri terkondisi untuk mengenakan baju santrinya setiap waktu.
Tapi, santri
tidak selamnya tingal dipesantren. Suatu saat ia akan turun gunung, agar ilmunya
selalu dialap oleh masyarakat. Inilah saya saatnya mengajukan pertanyaan,
akankah santri tersebut akan mengenakan baju santrinya, sementara diluar sana
ada baju-baju lain yang kelihatan baru dan lebiuh keren?
Saya
piker hal seperti ini harus dipahami secara betul-betul oleh pemegang kebijakan
dipesantren. Sehingga sejak mula-mula, santri-santri harus diajarkan umtuk
mengambil sikap; bagai mana pentingnya, seseorang memeghang prinsip dalam
hidup.
Dalam
bulu al lkemis, Paulo Coelho bercerita tentang seorang bocah yang hendak
menuntuk ilmu kebujaksanaan dari orang terbijak didunia.
“lihat-lihatlah
rumahku.” Kata orang bijak itusembari menyerakhan setetes minyak dalam sebuah
sendok perak. Ia juga berpesan bahwa jangan sampai minyuak itu tumpah. Selam
dua jam bocah berjalan mengelilingi rumahorang terbijak yang super megah itu.
Tak sedilitpun perhatian tertuju selain kepada sendok dan minyaknya. Sampai ia
kembali menemui gurunya.
Boca itu
ditanya tentang kesannya tentang teman-teman, lukisan, patung dan karya seni
lain dirumah itu. Tapi mia hanya bisa diam menunduk. Karena memang ia tidak
melihat apapun selai sendok dan minyaknya. Maka seorang terbijak itu pun
maklum, dan mengulangi intruksinya. “pergilah!lihat-lihat rumahku sekali lagi,
“katanya.
Si bocah
Nampak senang, ia bergegas memasuki kamar menyusuri ruang dan selasar, seraya
mengagumi selera yang tinggi dalam penataan setiap furnetur didalam rumah itu.
Ia mengamati patung dan lukisan, serta terkesan pada estetika dalam setiap
karya itu. Pada akhirnya, ia keluar dan berlari-lari ditaman, memandang
bunga-bungah dan mencium wanginya. Dua jam berlalu dengan cepat, sibocah
kembali menemui orang terbijak. Ia menceritaklan apa saja yang dilihatnya
dengan penu semangat.
“hmm… menarik sekali,” komentar orang terbijak,
setelah si bocah mengakhiri ceritanya. “Tapi, dimana setetes minyak yang tadi
kuprcayaka kepamu?”
Setetes
minyak itu sudah tidak ada. “baiklah, anak muda,” kata orang terbijak itu.
“tadi katanya kau ingin belajar rahasia kebijaksanaan. Untukmu aku hanya punya
satu nasehat sederhana: rahasia kebijaksaan adalah, ketika kau bisa melihat
keindahan dunia tanpa kehilangan setetes minyak wijen dalam sendok.”
Dulu saya
mencatat baik-baik catatan orang terbijak itu, dan sekarang bolehlah kita
renungkan bersama. Setetes minyak didalam kisah diatas, boleh jadi adalah
senuah symbol. Barangkali Coelho memaksudkannya sebagai pelambang yang dimaknai
dengan apa saja. Terserah kepada pembaca. Tentu bertdasarkan latar belakang dan
tingkat pengetahuan mereka.
Sebagai
muslim, setetes minyak itu bisa berarti sebuah keyakinan. Dan sebagai santri,
tentu saja berarti kepribadian dan etika santri.
Belajarlah
apa saja, bukahlah buku-buku yang kau suka, bertemanlah kepada siapa saja,
[ergilah kemana kau sanggup melangkah, sampai planet mars sekalipun. Lihatlah
jagat raya dan segala indahnya, tapi jangan lupakam setetes minyak wijen dalam
sendokmu.
By: putra
mahkota kerajaan langit
No comments :
Post a Comment