Sunday 28 June 2015

HUKUM OPERASI PLASTIK



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Operasi Plastik
Contoh-contohnya :
1.      Menghilangkan jari yang berlebihan atau memisahkan dua jari yang saling menempel
2.      Menghilangkan belang bekas luka bakar
3.      Memisahkan bayi kembar siam
4.      Memperbaiki bibir yang sumbing
5.      Menghilangkan gigi yang lebih (gingsul)
6.      Menghilangkan bulu yang tidak normal pada wanita, misalnya kumis dan jenggot.

Hal-hal tersebut semuanya boleh dilakukan, karena itu adalah penyakit, dan menghilangkannya berarti mengambil sebab kesembuhan yang dianjurkan dalam Islam.
Adapun operasi plastik untuk mempercantik diri yang sifatnya menipu atau mengubah sesuatu yang pada dasarnya bukan cacat atau penyakit, hukumnya haram. Misalnya : operasi kulit wajah supaya tidak kelihatan tua, mengikir gigi supaya kelihatan kecil dan rapi, serta menyambung rambut dengan rambut palsu (wig).
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata – dalam Fath Al Bari – “Dikecualikan dari itu semua adalah menghilangkan atau merubah sesuatu yang memang dapat membahayakan, seperti gigi yang terlalu panjang hingga mengganggu , atau jari yang jumlahnya lebih hingga membuat repot atau menyakitkan. Menghilangkan semua itu diperbolehkan, baik bagi pria maupun wanita.”
Dalam Al-Qur’an Allah SWT menyebutkan perkataan Iblis, “…dan aku akan suruh mereka (merubah ciptaan Allah) lalu mereka benar-benar merubahnya.” (QS. An-Nisaa’ (4) : 119 )
Ibnu Mas’ud RA berkata, “Allah SWT melaknat wanita yang bertato dan memasangkan tato , yang mencukur bulu alis, dan yang mengikir gigi untuk mempercatntik diri. Mereka semua merubah ciptaan Allah. Bagaimana aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah SAW? “ ( HR Al-Bukhari dan Muslim )[1]
Dalam literatur lain dijelaskan bahwa operasi plastik dengan alasan kecantikan telah dibahas oleh ulama jauh sebelum kemajuan bidang kedokteran dan operasi plastik. Ulama-ulama masa lampau mengharamkan perubahan bentuk fisik manusia , lebih-lebih kalau hanya didasarkan pertimbangan kecantikan. Pengubahan itu dinilai sebagai tidak menerima ketetapan Allah. Bukankah , kata mereka, manusia telah diciptakan Allah dalam bentuk sebaik-baiknya? (lihat QS At-Tiin [95] : 5 )
Dalil-dalil terperinci yang mereka kemukakan antara lain firman Allah dalam Surah Ar-Ruum (30) : 30,…jangan lakukan/tidak dibenarkan perubahan dalam ciptaan Allah. Juga surah An-Nisaa’ (4) : 119, yang menginformasikan sumpah setan,… dan akan saya suruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak dan akan saya suruh mereka mengubah ciptaan Allah (lalu benar-benar mereka akan mengubahnya).
Memang, orang musyrik dahulu memotong (sebagian) telinga binatang dan membutakan matanya. Allah melarang hal tersebut bukan saja karena itu menyakiti binatang, melainkan juga karena perubahan itu didasarkan atas ajaran yang sesat. Itu sebabnya—tulis Al-Qurthubi dalam tafsirnya—terlarang menyembelih binatang kurban yang buta atau cacat telinganya, karena adanya kesan bahwa itu adalah hasil perintah setan. Mengebiri juga termasuk dalam larangan ini, walaupun sebagian ulama membolehkannya terhadap binatang (Tafsir Al-Qurthubi 5 : 390).
Di samping ayat tersebut , ada lagi beberapa hadits Nabi , antara lain yang diriwayatkan oleh Muslim, “ Allah mengutuk pemakai tato dan pembuatnya, dan yang mencabut rambut wajahnya serta si pencabutnya, dan yang mengatur giginya yang mengubah ciptaan Allah.”
Demikian, sebagian teks keagamaan yang dijadikan dasar oleh sebagian ulama dalam hal melarang pengubahan atau operasi plastik dengan tujuan kecantikan. Kalau kita menganalisis dalil-dalil tersebut , maka sebenarnya sedikit sekali ulama yang memahami arti Surah Ar-Ruum (30) : 30 tersebut sebagai larangan mengubah bentuk fisik manusia. Hampir semua ulama baik yang terdahulu, lebih-lebih yang kontemporer, memahaminya sebagai larangan atau tidak bisanya mengubah fitrah keagamaan manusia (fitrah tauhid). Hal ini sejalan dengan konteks ayat itu, kalaupun fitrah dipahami dalam arti umum, maka ayat ini pun tidak dapat dijadikan dasar, karena fitrah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam dirinya.
Fitrah adalah gabungan dari unsur tanah yang melahirkan jasmani dan unsur ruh yang melahirkan akal dan jiwa. Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadnya, dan upayanya untuk mengambil sesuatu dengan kakinya tidak sejalan dengan fitrah jasadiah ini. Mengambil kesimpulan dengan mengaitkan premis-premis adalah fitrah akliahnya, dan mengambil kesimpulan akliah dengan premis-premis yang saling bertentangan adalah bertentangan dengan fitrah akliah manusia. Kecenderungan terhadap lawan seks adalah fitrah manusia, dan ingin memiliki keturunan serta cinta anak adalah fitrah manusia. Ingin selalu cantik juga fitrah manusia. Menghilangkan atau mengubah fitrah itulah yang dilarang.
Adapun surah An-Nisa’ (4) : 119 tersebut, maka jelas ia merupakan larangan melakukan pengubahan bentuk fisik, tetapi diamati oleh sekian ulama bahwa konteks ayat tersebut berkaitan dengan (a) binatang;(b) pengubahan yang memperburuk atau menghalangi berfungsinya salah satu anggota badan ciptaan Allah; dan (c) atas dorongan ajaran setan. Atas dasar ini, jika faktor tersebut tidak terpenuhi maka terbuka kemungkinan untuk membolehkannya.
Hadis-hadis yang melarang penyambungan rambut, meruncingkan atau meluruskan gigi dan semacamnya bila dipahami dalam konteks faktor-faktor itu, tentu tidak akan dipahami secara harfiah dan dengan demikian terbuka peluang untuk membolehkannya.
Ulama besar kontemporer dari Tunis, Syaikh Muhammad Fadhil bin Asyur, menulis dalam tafsirnya At-Tahriir wa At-Tanwiir ( V:205) : “ Tidak termasuk dalam pengertian mengubah ciptaan Allah bila seseorang melakukan perubahan yang diizinkan-Nya. Tidak juga termasuk dalam larangan ini, perubahan yang bertujuan memperbaiki atau memperindah. Bukankah khitan termasuk mengubah ciptaan Allah? Akan tetapi karena mempunyai dampak positif terhadap kesehatan maka ia diperbolehkan. Demikian juga mencukur rambut untuk menghindari keruwetan, menggunting kuku untuk memudahkan kerja tangan, dan melubangi telinga wanita untuk memasang anting demi keindahan. Adapun riwayat-riwayat yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi SAW, menyangkut larangan menyambung rambut, meluruskan gigi untuk keindahan, maka riwayat-riwayat tersebut memang musykil.”
Sebelum ulama ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (w.1935) pun telah menulis dalam tafsirnya menyangkut pengubahan ciptaan Allah, kutukan terhadap yang memakai tato, dan meluruskan gigi untuk tujuan keindahan. Beliau berpendapat demikian : “Agaknya larangan yang begitu keras ini disebabkan oleh mereka yang melampaui batas dalam melakukan hal tersebut hingga mencapai tingkat pengubahan yang buruk dan menjadikan semua badan, apalagi yang tampak darinya, seperti muka dan tangan , berwarna biru karena tato buruk itu, sedangkan ketika itu banyak tato yang menggambarkan sembahan-sembahan mereka dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani dengan menggambar salib di tangan dan dada mereka. Adapun yang berkaitan dengan gigi, meluruskannya atau memotong sedikit kalau panjang, maka tidak tampak disini pengubahan yang memperburuk, bahkan ia lebih mirip dengan menggunting kuku dan mencukur rambut, seandainya rambut dan kuku tidak selalu memanjang maka tidak ada bedanya dengan gigi” (Tafsir Al-Manaar V:428).[2]
Hukum operasi plastik ada yang mubah dan ada yang haram.
1.      Operasi Plastik yang mubah
Operasi plastik yang mubah adalah yang bertujuan untuk memperbaiki cacat sejak lahir (al-uyub al-khalqiyyah) seperti bibir sumbing, atau cacat yang datang kemudian (al-uyub al-thari`ah) akibat kecelakaan, kebakaran, atau semisalnya, seperti wajah yang rusak akibat kebakaran/kecelakaan.[3] Operasi plastik untuk memperbaiki cacat yang demikian ini hukumnya adalah mubah, berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan untuk berobat (al-tadawiy). Nabi SAW bersabda,“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah menurunkan pula obatnya.” (HR Bukhari, no.5246). Nabi SAW bersabda pula,”Wahai hamba-hamba Allah berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan satu penyakit, kecuali menurunkan pula obatnya.” (HR Tirmidzi, no.1961).
2.      Operasi Plastik yang Diharamkan
Adapun operasi plastik yang diharamkan, adalah yang bertujuan semata untuk mempercantik atau memperindah wajah atau tubuh, tanpa ada hajat untuk pengobatan atau memperbaiki suatu cacat. Contohnya, operasi untuk memperindah bentuk hidung, dagu, buah dada, atau operasi untuk menghilangkan kerutan-kerutan tanda tua di wajah, dan sebagainya.
Dalil keharamannya firman Allah SWT (artinya) : “dan akan aku (syaithan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya”. (QS An-Nisaa` : 119). Ayat ini datang sebagai kecaman (dzamm) atas perbuatan syaitan yang selalu mengajak manusia untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat, di antaranya adalah mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah). Operasi plastik untuk mempercantik diri termasuk dalam pengertian mengubah ciptaan Allah, maka hukumnya haram.[4]
Selain itu, terdapat hadis Nabi SAW yang melaknat perempuan yang merenggangkan gigi untuk kecantikan (al-mutafallijat lil husni). (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis ini terdapat illat keharamannya, yaitu karena untuk mempercantik diri (lil husni)[5]
Imam Nawawi berkata,”Dalam hadis ini ada isyarat bahwa yang haram adalah yang dilakukan untuk mencari kecantikan. Adapun kalau itu diperlukan untuk pengobatan atau karena cacat pada gigi, maka tidak apa-apa.” (Imam Nawawi, Syarah Muslim, 7/241). Maka dari itu, operasi plastik untuk mempercantik diri hukumnya adalah haram. Wallahu alam.
Kalau bedah plastik yang sifatnya bedah rehabilitasi, maka itu justru dianjurkan dalam Islam, sebab hal itu mutlak dibutuhkan. Misalnya bibir sumbing atau kasus Lisa, yang cukup menyedot perhatian khalayak. Wajahnya tak lagi berbentuk selayak orang yang normal. Bayangkan kalau Lisa tidak di operasi, hal itu akan menjadi beban fisik dan psikologis tersendiri baginya.
Sedangkan apabila kasusnya merubah-rubah apa yang telah diciptakan oleh Allah,hal itu jelas telah melampaui batas kewajaran. Allah telah mengingatkan kita agar jangan sampai melebihi batas. Seperti dalam firman berikut yang artinya:
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi “(Al-Maidah : 32)
B.     Pergantian Kelamin[6]
1.      Pengertiannya:
Perkataan pergantian kelamin merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “transeksual”, karena memang operasi tersebut sasaran utamanya adalah mengganti kelamin seseorang waria yang menginginkan dirinya menjadi perempuan. Padahal waria digolongkan sebagai laki-laki, karena ia memiliki alat kelamin laki-laki.
Maka dalam hal ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa penggantian kelamin (transeksual) adalah usaha seseorang dokter ahli bedah plastik dan kosmetik untuk mengganti kelamin seseorang laki-laki menjadi kelamin perempuan, melalui proses operasi.
2.      Proses operasi dan efeknya
Bukan hanya di negara barat yang menunjukkan keberhasilan beberapa dokter ahli, mengganti kelamin laki-laki menjadi perempuan, tetapi di Indonesia pun sudah banyak dokter yang mampu berbuat seperti itu.
Meskipun proses operasi penggantian kelamin (transeksual) hanya memerluakan waktu dua jam saja, namun hal tersebut tidak bisa disebut sebagai operasi kecil, karena resikonya sangat besar bila terjadi kekurang telitian atau kelainan dokter yang menanganinya. Resiko yang dimaksudnya adalah bukan saja terjadi pada saat pembedahan, tetapi justru sesudahnya yang lebih berbahaya. Lebih-lebih bila larangan dokter dilanggar oleh yang menjalani pergantian kelamin itu.
Pada operasi penggantian kelamin, penis (dzakar) scrotum(buah dzakar atau buah pelir) serta testis ( tempat produksi sperma) dibuang. Sedangkat kulit scroten digunakan untuk menutup liang vagina (faraj); dan untuk pembuatan clitoris (klentit) diambil sebagian dari penis yang telah terbuang tadi.
Karena operasi tersebut termasuk pembedahan yang mengandung resiko, maka seorang dokter yang menanganinya harus berhati-hati dan cermat, karena bisa saja terjadi hal-hal sebagai beerikut:
a.       Tembusnya unus atau kotoran, sehingga mestinya kotoran keluar melalui dubur, tetapi justru melewati liang vagina buatan itu. Maka kedalaman liang vagina buatan itu harus disesuaikan dengan besarnya pinggul atau anatomi tubuh yang menjalani operasi. Tentu saja pinggul yang agak kecil tidak diperbolehkan membuat liang vaginannya terlalu dalam,karena dikhawatirkan dapat menembus tempat pembuangan kotorannya, yang pada gilirannya akan berbahaya pada sipasien itu sendiri. Kebanyakan pasien yang dioperasi di indonesia, kedalam vaginanya hanya mencapai antara 10-15 cm. Itupun masih bisa mengerut dan memendek bila operasi sudah sembuh. Oleh karena itu vagina buatan yang selesai dioperasi, dipasangi didalamnya sebuah alat penyanggah yang disebut “tempo” selama satu bulan baru bisa dilepaskan. Dan kalau dilepaskan sebelum lukannya sembuh maka liangnya bisa tertutup kembali.
b.      Terjadinya kelainan syaraf pada penderita, bila ia tidak dapat menahan kencing setelah operasinya selesai. Ini sering terjadi karena ketika operasi, saliran kencingnya ikut terbuang.
Ada satu hal yang sangat berbahaya terhadap pasien bila ia tidak menuturuti nasihat dokter, yang akhirnya melakukan hubungan seks sebelum vaginanya betul-betul sembuh. Perbuatan semacam itu bisa mengabitkan robeknya selaput perut yang bisa menembus saluran kotoran. Dan kalau teerjadi hal seperti itu, maka satu-satunya cara mengatasinya, adalah ooperasi kembali untuk menutupnya. Berarti tidak lagi berfungsi sebagai vagina, tetapi hanya sebagai saluran kencing saja.
Kalau vaginanya sudah sembuh, maka sudah bisa difungsikan sebagaimana keinginan pasien, menuruti keterangan dokter. Sehingga tidak sedikit waria yang sudah mengganti kelaminnya, melangsungkan perkawinan dan hidup berumah tangga dengan laki-laki. Dan perlu diketahui hubungan seks antar keduanya, bisa saling memuaskan sebagaimana layaknya laki-laki dengan perempuan; hanya saja ia tidak dapat hamil, karena maninya tetap berjenis sperma, tidak bisa dirubah oleh dokter manjadi ovum. Sebagai syarat utama terjadinya pembuahan (kehamilan) seseorang.
Ada lagi keberhasilan dokter, menemukan obat yang dapat digunakan oleh waria untuk merawat bodinya menjadi sama dengan bodi perempuan; yaitu pil keluarga berencana (KB) , yang selama ini hanya sebagai alat kontarsepsi. Menurut dokter, tablet KB itu dapat merangsang tubuh manusia dan berfungsi untuk menghaluskan kulit tubuh waria serta merangsang pertumbuhan payudara dan memperbesar pinggulnya, yang tentunya mempunyai aturan-aturan tertentu dalam memakainya, agar tidak terjadi efek samping dari padanya.
3.      Hukumya
Seseorang laki-laki dilarang dalam islam menyamakan dirinya dengan perempuan, dan sebaliknya perempuan dilarang menyamakan dirinya dengan laki-laki; baik perilakunya, pakaiannya dan lebih-lebih bila ia mengganti kelaminnya.
Larangan ini mengandung dosa besar, yang banyak melibatkan pihak lain, misalnya dokter yang mengoprasinya, orang-orang yang memberikan dorongan moril dalam pengupaya pengoprasiannya dan sebagainya. Kesemuannya itu mendapatkan dosa yang sama, lebih-lebih lagi bila waria berhasil mengganti kelaminnya, menggunakan untuk mengadakan hubungan seks dengan laki-laki. Maka ia mendapatkan lagi dosa besar, karena digolongkan sebagai perbuatan homoseksual (Al-Liwaath), yang status hukumnya sama dengan pezinaan. Dan berikut ini dapat dikemukakan salah satu hadist yng dijadikan dasar diharamkannya perbuatan tersebut:
Artinya:
Empat golongan yang pagi-pagi mendatangi kemarahan Allah, dan berangkat pada sore hari menemui kemurkaan-Nya. Maka saya berkata (salah seorang sahabta bertannya): siapakan mereka yang dimaksud itu hai Rasulullah ? Nabi menjawab: laki-laki yang menyamakan dirinya dengan perempuan, dan perempuan yang menyamakan dirinya dengan laki-laki, serta orang yang mengumpuli binatang dan sesama laki-laki. (H.R. Al Baihaqy)
Telah dikemukakan diatas, semua orang yang terlibat langsung terhadap upaya penggantian kelamin, termasuk menanggung dosa besar. Hal ini dapat diketahui status hukumnya sebagai haram, yang mengakibatkan dosa bagi seseorang dokter yang menanganinnya, dan orang-oarang yang memberikan fasilitas dan dorongan morilnya; berdasarkan Qoidah Fiqhiyah yang berbunyi:
ما حرم اخذه حرم اعطا ؤه
Artinya
Apa-apa yang diharamkan menerimanya, diharamkan pula memberinya.
Maksud Qoidah ini, adalah seorang waria diharamkan menerima penggantian kelamin dari dokter, maka diharamkan pula bagi dokter memberikan waria itu dalam upaya tertentu.
الرضا با لشيء رضا بم يتو لد منه
Artinya
Rela memberi dukungan terhadap sesuatu, berarti rela pula terhadap resiko dosa yang ditimbulkannya.
Maksud Qoidah ini adalah orang-orang yang memberikan fasilitas dan dorongan morilnya, termasuk kedua orang tuanya yang memberikan izin untuk mengganti kelamin seorang waria, turut menanggug dosannya. Jadi jelas, semua orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam upaya pergantian kelamin seorang waria, mendapatkan dosa yang sama besarnya dengan dosa yang diperbuat oleh dosa waria itu.  
Bila sesorang memiliki dua alat kelamin tapi alat kelamin pria lebih dominan, maka ia boleh mengganti alat kelaminnya dengan alat kelamin pria.
Hal itu dapat diketahui melalui pemeriksaan dokter yang ahli dan terpercaya, dengan cara menentukan jumlah kromosom pria dalam tubuh dan sel-sel darah putih.
Sedangkan bila alat kelamin wanitanya lebih dominan, maka ia boleh mengganti alat kelaminnya dengan alat kelamin wanita.Itu semua termasuk pengobatan yang dianjurkan, bahkan diwajibkan oleh Islam.
Adapun bila hanya ada kecenderungan seorang pria untuk bertingkah laku seperti wanita, sedangkan wanita bertingkah seperti pria maka diharamkan bagi mereka untuk mengganti alat kelamin sesuai dengan keinginan mereka. Hal itu termasuk penyerupaan dengan lawan jenis yang dilaknat oleh Rasulullah SAW, seperti yang diriwayatkan oleh Anas RA itu semua hanya akan mendatangkan kerusakan pada diri mereka dan masyarakat umum. (Diringkas dari fatwa Dar Al-Iftaa’ Al Mishriyyah tahun 1981 M yang dimuat dalam kitab Ahsan Al Kalam fi Fatawa Al Ahkam karya Syaikh ‘Athiyyah Shaqr , vol. 12 h. 190)[7]
Operasi bedah (ganti kelamin) boleh diterapkan kepada orang yang secara fisik lelaki, namun menyandang ciri-ciri khas wanita secara psikologis, dan memiliki kecenderungan seksual sebagai seorang wanita, seandainya tidak melakukan ganti kelamin, maka mereka akan terjerumus dalam kerusakan. Operasi tersebut boleh dilaksanakan bila bertujuan untuk menyingkap dan menampilkan jenis kelamin sejatinya, dengan syarat tindakan itu tidak menimbulkan perbuatan haram dan berdampak keburukan.[8]




[1] Muhammad Manshur , Fikih untuk Orang Sakit (Jakarta : NAJLA Press, 2007) , h.228-229
[2] M.Quraish Shihab , Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah, ( Bandung : Penerbit Mizan,1999) , h.54-59
[3] M. Al-Mukhtar asy-Syinqithi, Ahkam Jirahah Al-Thibbiyyah, h.183
[4]  (M. Al-Mukhtar asy-Syinqithi, Ahkam Jirahah Al-Thibbiyyah, h. 195
[5] M. Utsman Syabir, Ahkam Jirahah At-Tajmil fi Al-Fiqh Al-Islami, h. 37
[6] Mahyuddin, Masailul fiqhiyyah berbagai kasus yang dihadapi,(Kalam Mulia, Jakarta) h. 25-29
[7] Muhammad Manshur , Fikih untuk Orang Sakit , h.230-231
[8] Ayatullah al-Uzhma Imam Ali Khamenei , Fatwa-fatwa 2 : Muamalah ahlulbait (Jakarta : Penerbit Al-Huda,2008) , h.99

No comments :