Sunday 28 June 2015

HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN AGAMA DI INDONESIA



PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Di zaman modern, perdebatan tentang relasi  agama dan Negara terus menjadi wacana yang menarik. Pengalaman masyarakat muslim di sejumlah Negara menunjukkan terdapatnya hubungan yang canggung antara Islam dan Negara. Berbagai eksperimen dilakukan untuk menyelaraskan konsep dan kultur masyarakat muslim.
Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan  apapun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi.   Tapi, sekurang kurangnya secara teori,  kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga,  ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi,  negara untuk urusan publik.
Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik.Dalam pola hubungan ini,agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan "wisdom" yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. "Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan" (Q: Al Baqarah/176).
Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama berabad-abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik.

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini diantaranya adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan Negara beserta ruang lingkupnya?
2.      Bagaimana Cita Negara Pancasila, Cita Negara Sekularistik, dan Cita Negara Teokrasi?
3.      Apa yang dimaksud dengan Cita Negara?
C.     TUJUAN
Dari rumusan masalah dimuka dapat diketahui Tujuan dari makalah ini diantaranya adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian Negara beserta ruang lingkupnya.
2.      Untuk mendiskripsikan Cita Negara Pancasila, Cita Negara Sekularistik, dan Cita Negara Teokrasi.
3.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Cita Hukum.







PEMBAHASAN

A.       NEGARA DAN RUANG LINGKUP NEGARA
1.         Pengertian Negara
     Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.
     Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli : Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu. Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
     Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berbentuk republik yang telah diakui oleh dunia internasional dengan memiliki ratusan juta rakyat, wilayah darat, laut dan udara yang luas serta terdapat organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berkuasa.
     Negara merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.[1]
Secara literal istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), state (Bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (Bahasa Prancis), kata staat, state, etat itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara terminologi Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat.

2.         Fungsi-Fungsi Negara :[2]

a.       Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat. Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
b.      Melaksanakan ketertiban. Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.
c.       Pertahanan dan keamanan. Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.
d.      Menegakkan keadilan. Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di segala bidang kehidupan.
3.         Urgensi Bernegara
Negara, yang secara terminologi bermakna organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat, didefinisikan oleh Roger H. Soltau dengan alat (agency) atau wewenang (authority), yang mengatur persoalan-persoalan bersama, atas nama rakyat. Maka, bernegara dengan baik menjadi sangat urgen bagi setiap warga negara.
Plato telah menggambarakan secara naratif alasan mengapa manusia perlu bernegara. Menurut Plato, pada mulanya manusia hidup sendiri-sendiri. Lantaran tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan teman untuk dapat memenuhinya. Lantas mereka bergabung dengan manusia lain. Jumlah mereka yang banyak secara tidak langsung menuntut adanya aturan yang disepakati dan ditaati serta seorang pemimpin.
Kemudian dilanjutkan dengan pembagian tugas masing-masing agar tidak ada tumpang tindih satu sama lain. Selain itu mereka juga membutuhkan seseorang yang memiliki otoritas guna melakukan tindakan tertentu jika terjadi sesuatu dengan mereka. Dia juga harus sekaligus mampu menjadi penengah atas semua konflik yang terjadi. Inilah yang mereka sebut sebagai raja atau kepala Negara.
Konklusinya adalah bahwa manusia tidak dapat hidup dengan teratur, tertib dan terjamin keamanannya tanpa adanya negara. Karena pada hakikatnya, dalam komunitas sekecil apapun diperlukan adanya pemimpin dan aturan.
4.         Urgensi Beragama
Secara kodrati manusia menyadari bahwa di luar dirinya ada kekuatan yang maha dahsyat. Dimana manusia dan alam sekitarnya tak kan mampu menandingi kekuatan itu. Pengakuan seperti inilah yang disebut dengan beragama.
Tak dapat dibayangkan jika manusia tidak mengenal agama sama sekali. Sama artinya dia tidak akan menemu kebahagian dan kedamaian hidup, tidak ada aturan dan norma yang membatasi tingkah laku. Niscaya sulit untuk dibedakan dengan hewan.
Kesimpulannya adalah manusia beragama karena memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dengan agama manusia mendapatkan nilai-nilai moral yang universal dan hal-hal yang tak dapat dicapainya dengan akal.
B.     HUBUNGAN AGAMA DENGAN NEGARA
1.         Cita Negara Pancasila
     Apabila kita perhatikan, Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, selain mempunyai makna yang sangat mendalam, juga mengandung pokok- pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari Undang Undang Dasar 1945. Pokok- pokok pikiran tersebut mewujudkan cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum tertulis maupun hukum yang tertulis.[3]
      Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah:[4]
1. “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia   dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dan kesatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi, negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan.  Negara, menurut pengertian Pembukaan ini menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya.
2. “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“.
3. “Negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan / perwakilan”. Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Tentunya hal ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
4. “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Oleh karena itu, Undang Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara yang lainnya untuk memelihara budi pekerti  kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita- cita moral rakyat yang luhur.
Sementara itu, lima sila dari Pancasila berbunyi sebagai berikut:
1)      Ketuhanan Yang Maha Esa
2)      Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3)      Persatuan Indonesia
4)      Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5)      Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan demikian, apabila kita perhatikan dan bandingkan antara keempat pokok Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dengan sila- sila Pancasila, tampak bahwa pokok- pokok pikiran itu tidak lain adalah pancaran dari dasar falsafah negara Pancasila. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa Pancasila merupakan cita- cita yang luhur bangsa Indonesia. Selanjutnya, pokok- pokok pikiran tersebut dijelmakan ke dalam pasal demi pasal Batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945.[5]
Pancasila sebagai tujuan sekaligus cita- cita yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia pernah disampaikan oleh Presiden Soeharto di depan Sidang DPRGR pada tanggal 16 Agustus 1967. Inti dari isi pernyataan Presiden Soeharto saat itu adalah sebagai berikut: “ Cita- cita luhur negara kita tegas dimuat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, karena Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 merupakan penuangan jiwa proklamasi ialah jiwa Pancasila. Maka dengan demikian, Pancasila juga merupakan cita- cita dan tujuan bangsa Indonesia. Cita- cita luhur inilah yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia.[6]
Pancasila yang menjiwai Pembukaan UUD 1945, yang menjadi dasar dalam tujuan kita berbangsa dan bernegara, dalam tataran implementasinya harus mengarah kepada terwujudnya cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinnekaan. Oleh karenanya, lembaga-lembaga negara terkait, terutama pemerintah, tidak boleh ragu-ragu dalam menyikapi berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat yang ditengarai bertentangan dengan Pancasila dan sendi-sendi bangsa. Segala tindakan yang melawan konstitusi dan hukum, tentu harus diselesaikan dengan tegas pemerintah dan perangkat hukum melalui jalur hukum yang berkeadilan dan beradab.
Pancasila sebagai cita- cita bangsa juga berarti bahwa  untuk mencapai cita- cita itu sendiri kita harus menghayati dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Sikap- sikap positif  yang harus kita lakukan dalam rangka mewujudkan cita- cita bangsa dapat diwujudkan dalam bentuk:

Sikap positif terhadap sila “ Ketuhanan Yang Maha Esa”. Setiap warga negara Indonesia sudah seharusnya menjujunjung tinggi nilai- nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
1)       Mengembangkan toleransi antarumat beragama untuk mewujudkan kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang
2)       Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain
3)       Melaksanakan kewajiban dalam keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa
4)       Membina kerjasama dan tolong- menolong dengan pemeluk agama lain sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan masing- masing
Sikap positif terhadap sila “ Kemanusiaan yag adil dan beradab”. Dalam menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan yang adil dan beradab kita harus bersikap menghormati orang lain sesuai harkat dan marabatnya . Dengan demikian tidak akan terjadi penindasan atau pemerasan.
1)       Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan seperti menolong orang lain
2)       Mengembangkan sikap tenggang rasa
3)       Memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
4)       Mengakui persamaan derajat, hak, dan kewajiban asasi manusia tanpa membedakan suku, agama, keturunan, maupun kedudukan sosial
Sikap positif terhadap sila “ Persatuan Indonesia”. Setiap warga negara harus mempertahankan keutuhan dan kekokohan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1)       Mencintai tanah air dan bangga terhadap bangsa dan negara Indonesia
2)       Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika
3)       Sanggup dan rela berkorban terhadap bangsa dan negara jika suatu saat diperlukan
4)       Memajukan pergaulan demi persatuan dan keatuan bangsa
Sikap positif terhadap sila “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Sila ini mengandung makna bahwa hendaknya kita dalam bersikap dan bertingkah laku menghormati dan mengedepankan kedaulatan negara sebagai perwujudan kehendak seluruh rakyat Indonesia.
1)       Mengakui bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama
2)       Menghormati pendapat orang lain tanpa memaksakan kehendak
3)       Mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama
4)       Memberi kepercayaan kepada wakil- wakil rakyat yang telah dipilih untuk melaksanakan dan menjalankan tugas dengan sebaik- baiknya
Sikap positif terhadap sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan mengamalkan sila ini diharapkan kesejahteraan lahir dan batin yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat terwujud
1)       Suka bekerja keras dalam memecahkan atau mencari jalan keluar atas masalah- masalah pribadi, masyarakat, bangsa, dan negara
2)       Mengembangkan sikap gotong- royong dan kekeluargaan dengan lingkungan masyarakat sekitar
3)       Tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain atau umum
4)       Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan social melalui karya nyata
Dengan mengamalkan nilai- nilai Pancasila tadi maka cita- cita yang luhur bangsa Indonesia, yaitu Pancasila itu sendiri, akan terwujud.[7]
2.      Cita Negara Sekularistik
a.      Pengertian Sekularisme
            Secara leksikologis, kata secular berasal dari bahasa Inggris yang berarti; yang bersifat duniawi, fana, temporal, yang tidak bersifat spiritual, abadi dan sacral, kehidupan diluar biara dan sebagainya.[8]
             Sedangkan istilah sekuler yang berasal dari kata latin saeculum mempunyai arti ganda, ruang dan waktu. Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pada pengertian sekarang atau zaman kini. Jadi kata saeculum berarti masa kini atau zaman kini. Dan masa kini atau zaman kini menunjuk pada peristiwa didunia ini, atau juga berarti peristiwa masa kini Atau boleh dikatakan bahwa makna “sekuler” lebih ditekankan pada waktu atau periode tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses sejarah.[9]
            Pengertian sekularisasi sering diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara (politik) dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrowi (akhirat). Sekularisasi, sebagaimana yang telah dikembangkan sejak Abad Pertengahan, menunjukan arah perubahan dan penggantian hal-hal yang bersifat adi-kodrati dan teologis menjadi hal-hal yang bersifat ilmiah, dalam dunia ilmu pengetahuan yang menjadi serba ilmiah dan argumentatif.[10]
Istilah sekularisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1846 oleh George Jacub Holyoake yang menyatakan bahwa schularism is an ethical system pounded on the principle of natural morality and in independent of reveald religion or supernaturalism. (sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supernaturalisme).
Jika sekularisasi menunjuk kepada suatu proses yang terjadi dalam pikiran orang seorang dalam kehidupan masyarakat dan negara maka sekularisme menunjuk kepada suatu aliran, paham, pandangan hidup, sistem atau sejenisnya yang dianut oleh individu atau masyarakat. H.M.Rasjidi mendefinisikan sekularisme sebagai berikut, Sekularisme adalah nama sistem etika plus filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau pengertian terhadap kehidupan manusia tanpa percaya kepada Tuhan, kitab suci dan hari kemudian.
 Dalam kamus Al-Mu’jam Ad-Dauliy Ats-Tsalits Al-Jadid menjelaskan kata ”secularism” sebagai berikut:
“Sebuah orientasi dalam kehidupan atau dalam urusan apapun secara khusus, yang berdiri diatas prinsip bahwa sesungguhnya agama atau istilah-istilah agama itu, wajib untuk tidak intervensi ke dalam pemerintahan. Dengan kata lain, sebuah orientasi yang membuang jauh-jauh makna dari istilah tersebut. Akhirnya, muncul pengertian seperti ini: hanya politik non agamais (Atheis) yang ada di dalam pemerintahan, yaitu sebuah sistem sosial dalam membentuk akhlak, dan sebagai pencetus atas pemikiran wajibnya menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupan modern dan dalam lingkup masyarakat sosial tanpa harus memandang agama”[11]
Pendiri sekularisme adalah Holyoake kelahiran Birmingham, Inggris, anak seorang pekerja kasar. Kehidupan ia pada mulanya berpendidikan agama, kehidupan remajanya yang diliputi dan ditimpa oleh situasi social dan poilitik ditempat kelahirannya yang keras, maka sikap Holyoake berubah, dan akhirnya ia menjadi terkenal karena Sekularismenya. Perlu dicatat bahwa pada mulanya Sekularisme ini belum berupa aliran etika dan filsafat, melainkan hanya merupakan gerakan protes sosial dan politik.
Pokok-pokok ajaran sekularisme dapat diperoleh dalam karyanya, seperti: Principles of secularism (1861), Hie Trial of Ttieism (1558), The limits of Atheism (1861), the origin and Nature Of Secularisme (1866), dan lain-lain.[12]
b.      Prinsip Dasar dan Etika Sekularisme
Berikut ini dijelaskan mengenai beberapa paham/ajaran sekularisme, yaitu:
1)       Paham Sekuler tentang Etika
Sebagai suatu sistem etika yang didasarkan atas prinsip-prinsip moralitas alamiah dan bebas dari agama wahyu atau supranatural, pandangan sekularisme harus didasarkan atas kebenaran ilmiah, kebenaran yang bersifat sekuler, tanpa ada kaitannya dengan agama atau metafisika. Sekularisme lahir disaat pertentangan antara ilmu (sains) dan agama sangat tajam (agama – kristen). Ilmu tampil dengan independensinya yang mutlak, sehingga bersifat sekuler. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui pengalaman yang telah menghasilkan kemajuan ilmu-ilmu sekuler seperti matematika, fisika dan kimia telah berhasil membawa kemajuan bagi kehidupan manusia. Justeru kebenaran ilmiah itu harus mendasari etika, tingkah laku, dan perikehidupan manusia.
Disini, tampak adanya pengaruh positivisme dan sekularisme. Bahkan kalau dilacak lebih mendalam, sekularisme dibidang etika dan menerapkan kebenaran ilmiah padanya, sudah dikemukakan oleh Voiltaire (1694-1778) seorang filsof Perancis yang pernah mengemukakan bahwa tuntunan hidup kesusilaan tidak bergantung pada pandangan metafisika dan agama, tetapi harus sesuai dengan tuntunan akal dan rasio.
2)      Paham sekuler tentang Agama
Agama dalam pandangan hidup sekularisme adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Prinsip sekularisme, dalam hal ini adalah theisme dan atheisme, sama-sama tidak mendapatkan dibuktikan dengan pengalaman. Dengan begitu, ia berada di luar pola pemikiran sekularisme. Theologi memberikan interpretasi tentang dunia yang tidak dikenal, sedangkan sekularisme tidak mau tahu sama sekali tentang dunia seperti ini serta interpretasinya. Namun, telah berkembang suatu paham yang menekankan bahwa karakter-karakter agama itu berbeda. Misalnya karakter Agama Islam berbeda dengan agama lain, penganut agama lain. Menurut paham ini, agama Islam akan mudah menerima netralitas negara terhadap pluralitas agama. Namun, Islam mempunyai karakter tersendiri yang berbeda.Samuel Huntington mendukung pula paham ini. Misalnya, dikatakan bahwa orang Kristen Barat tidak menuntut diberlakukannya hukum kristen dibidang pemerintahan dan ekonomi. Keterlibatan agama hanya sebatas nilai moral dan acara ritual tertentu saja. Namun, konsep netralitas seperti itu akan sulit diterapkan untuk agama Islam.
Sekularisme memandang bahwa simbol-simbol agama harus dihilangkan karena hal ini dapat memicu terjadinya pertentangan atau perpecahan. Perancis,misalnya dengan tegas, mendeklarasikan negaranya sebagai negara sekuler dan berusaha terus menerus untuk menghilangkan simbol-simbol itu, baik untuk umat kristiani maupun umat Islam.
3)      Paham sekuler tentang prinsip-prinsip rasio dan kecerdasan
Prinsip-prinsip dan kecerdasan ini sangat dijungjung tinggi sekularisme karena kelanggengan sekularisme sangat bergantung pada prinsip ini, sebagaimana ilmu pengetahuan pun ditopang oleh prinsip ini. Oleh karena itu, sekularisme pun sekaligus meyakini bahwa ilmu pengetahuan mampu mengajarkan aturan-aturan yang berkenaan dengan kebahagiaan. Ilmu itu bisa berprinsip bahwasanya dalam kemapanan situasi dan kondisi kehidupan material, ia mampu menghilangkan kemiskinan dan kebejatan moral.
4)       Paham sekuler tentang toleransi
Toleransi dalam pandangan sekularisme merupakan salah satu ciri yang sangat penting. Karena ciri ini, kita bisa melihat bahwa penganut sekularisme tidak segan-segan untuk bekerja sama, baik dengan kaum theis maupun atheis.[13]
5)      Sekularisme dan Islam
Sekularisme yang dalam bahasa Arabnya dikenal “al-’Ilmaniyyah”, diambil dari kata ilmu. Konon, secara mafhum, ia bermaksud mengangkat martabat ilmu. Dalam hal ini tentu tidak bertentangan dengan paham Islam yang juga menjadikan ilmu sebagai satu perkara penting manusia. Bahkan, sejak awal, Islam menganjurkan untuk memuliakan ilmu. Tetapi sebenarnya, penerjemahan kata sekular kepada “al-’Ilmaniyyah” hanyalah tipu daya yang berlindung di balik slogan ilmu. Sebenarnya makna tersirat bagi sekular adalah “al-Ladiniyah” yakni tanpa agama atau “al-Laaqidah” yakni tanpa aqidah.
Menurut seorang tokoh pemikir Islam Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi, dalam tulisannya tentang sekularisme, pernah menyebutkan bahwa Istilah “al-’Ilmaniyyah” dipilih untuk mengelabui mata umat Islam agar menerimanya kerana jika digunakan istilah “al-Ladiniyyah” atau “al-La’aqidah“, sudah pasti umat Islam akan menolaknya. Sebab itulah kita merasakan betapa jahatnya penterjemahan sekular kepada istilah “al-’Ilmaniyyah” dengan tujuan mengabui mata dan betapa jahatnya golongan ini yang ingin menutup perbuatan mereka tanpa diketahui oleh kebanyakan orang.[14]

3.      Cita Hukum Teokrasi
Kata “teokrasi” berasal dari bahasa Yunani θεοκρατία (theokratia). θεος (theos) artinya “Tuhan” dan κρατειν (kratein) “memerintah” Teokrasi artinya “pemerintahan oleh Tuhan”, Negara teokrasi umumnya difahami sebagai negara yang diperintah oleh orang (atau orang-orang) yang mengklaim – tentu secara otoriter – sebagai wakil Tuhan. Dalam teokrasi, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa, diklaim sebagai keputusan Tuhan sehingga tidak ada seorang pun yang boleh mengkoreksi atau menolak keputusan tersebut. Setiap bentuk koreksi atau penolakan terhadap kebijakan penguasa akan mendapatkan hukuman yang sangat berat.
Teokrasi berarti menganggap diri sebagai perantara Tuhan dan pemegang kekuasaaan penuh dalam mengenal dan menafsirkan pesan dari langit baik yang berhubungan dengan urusan agama atau dunia. Pengakuan ini bisa saja datang dari perseorangan yang memegang tampuk kuasa agama atau politik. Bisa juga pengakuan ini datang dari personal,lembaga ilmiah ataupun politik. Teokrasi memerintah kehidupan manusia dan perasaan mereka dengan mengatasnamakan “Kebenaran Tuhan”. “Pendeta” ataupun “Tokoh agama” mengaku sebagai representasi dari kehendak Pencipta di dunia, ataupun Keinginan langit di bumi. Maka setiap kebijakan ataupun hukum apapun yang dilontarkan mereka serta-merta mesti diikuti, karena mereka merupakan perantara Tuhan dalam mengabarkan suatu ajaran ataupun kebijakan.
Pada masa egypt kuno sistem pemerintahan Tuhan ini telah ada, sehingga setiap raja fir’aun menganggap dirinya sebagi Tuhan ataupun anak Tuhan. Begitupun dengan kekaisaran Kisra, para kaisar mengaku dirinya mempunyai hubungan khusus dengan Tuhannya “Ahuramazda”. Mereka mengatur masalah perintah dan larangan, juga ucapannya berarti undang-undang yang turun dari langit. Tidak dapat diprotes sekalipun bertentangan dengan kemaslahatan rakyat, karena setiap keputusannya adalah keputusan yang diwahyukan Tuhan. Kekaisaran Romawi pra-Kristen menganggap bahwa setiap hukum yang ditetapkan kaisar, merupakan kebenaran dari Tuhan.
Sistem pemerintahan romawi pada awalnya adalah berbentuk feodalisme, yaitu kekuasaan hanya dimiliki oleh para bangsawan. Namun dimulai abad ke 4, raja-raja selalu didampiingi oleh para pendeta yang berfungsi sebagai alat legitimasi setiap kebijakan kerajaan. Sehingga sebelum abad ke 13 hanya pengurus tinggi gereja saja yang memiliki pendidikan, kultur,serta prestise tertinggi. Adapun pengurus gereja bawahan dan jema’at adalah orang-orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan akses yang leluasa untuk menuju ke atas.
Hubungan romantis antara kerajaan dan gereja ini tidak lepas dari manipulasi politik kelas atas dei melanggengkan kekuasaannya dan dalam menekan setiap kebijakannya. Sehingga dijadikan instrumen untuk membius umatnya agar tetap rela dan ridla menderita di bawah bayang-bayang penguasa feodal atas nama agama.[15]
Setelah kita mengenal bentuk pemerintahan teokrasi, yang pada intinya merupakan pemerintahan yang dibentuk oleh kebijakan-kebijakan tokoh agama yang mengaku untouchble dan setiap kebijakannya datang dari Tuhan. Lalu apakah negara Islam yang dicita-citakan kaum muslimin dan pernah terwujud selama 12 abad lamanaya, merupakan penjiplakan terhadap teokrasi yang diusung gereja?.
Dalam ajaran Islam tidak mengenal terma pengelompokan umat, karena seluruh umat dalam pandangan Alloh Azza wa Jalla adalah sama. Sama-sama makhluq-Nya, dan sama-sama memiliki dua kemungkinan, yaitu kemungkinan berbuat benar dan salah. Sehingga siapapun orangnya, tidak akan serta merta diterima setiap kebijakannya, ketika hal tersebut bertentangan ataupun tidak terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Setiap orang berhak untuk mengkoreksi dan memprotes setiap pendapat jika hal itu tidak sesuai dengan kedua Kitab tersebut, maupun bertentangan dengan kemaslahatan ummat.
1)      Terkecuali kelompok Syi’ah, mereka mengakui kema’shuman imamnya, dan imam tersebut merupakan pemimpin spiritual dan pemimpin negara bagi mereka. Mereka beralasan. Bahwa individu tidak ma’shum dari kesalahan, sedangkan ummat merupakan kumpulan individu, dan kumpulan tersebut tidak ma’shum. Maka membutuhkan adanya individu yang spesial dan ma’shum –imam- agar menjadi pencegah dari terjadinya deviasi dan kesesatan ummat.
2)      Banyaknya manuscript dan tafsiran-tafsiran yang menegaskan pendapat mereka seperti : Imamah dan Sistem politik dalam masyarakat, kedua-duanya merupakan agama dan rukun dari rukun-rukun agama.
Terlepas dari pendapat kelompok Syi’ah, negara Islam ini pada dasarnya dipimpin oleh orang yang tidak luput dari salah dan dosa, tidak kebal dari kritik maupun koreksi. Dan kesalahan yang dilakukan para pemimpin dalam negara Islam, adalah tindakan yang dilakukan bertentangan dengan syari’at dan kemaslahatan ummat. Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa Imam, Khalifah, atau Presiden adalah manusia juga, bisa benar ataupun salah, baik ataupun buruk. Maka bagi umat Islam untuk mengikutinya jika dia benar ataupun baik, dan membenarkannya jika dia salah ataupun buruk.[16]
Maka tidak ada individu -menurut Abu Al A'la Al Maududi-, dinasti ataupun kelas yang bisa disebut Khalifah (Pemimpin), kecuali dengan persyaratan bahwa wewenang khilafah (pemerintahan perwakilan) dipegang oleh seluruh rakyat, yang bersedia memenuhi persyaratan "Perwakilan" (Khilafah), setelah mereka menerima prinsip-prinsip Tauhid dan Risalah. Serta mereka telah memenuhi persyaratan-persyaratan khilafah yang ditentukan oleh kedaulatan Tuhan".[17]

4.      Cita Negara
a.       Pengertian Cita Negara (Staatsidee)
Kata cita negara ialah terjemahan kata staatsidee. Kata idee dapat diterjemahkan dengan cita. Cita ialah gagasan, rasa, cipta, pikiran. Menurut Oppenheim, cita negara yaitu hakikat yang paling dalam dari negara (de staats diepstewezen), sebagai kekuatan yang membentuk negara (de statenvormende kraccht). Elemen kunci dari teorinya adalah bahwa kepentingan umum akan selalu mendahului kepentingan individu dan kelompok. Dari pendapat tesebut dapat disimpulkan bahwa cita negara ialah hakikat negara yang paling dalam yang dapat memberi bentuk pada negara atau hakikat negara yang menetapkan bentuk negara.
Pengertian staatsidee merupakan pengertian penting dalam pendekatan positivis terhadap hukum konstitusional. Menurut doktrin ini, negara merupakan sebuah herarki hukum (yang dinamakan norma-norma hukum) dimana puncaknya disebut staasidee (grundnorm, staatsfundamentalnorm, atau norma dasar). Menurut Nawiasky isi norma dasar ialah norma yang merupakan dasar (landasan dasar filosofis) bagi pembentukan konstitusi termasuk norma perubahannya. Hakekat hukum suatu norma dasar ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Ia ada terlebih dahulu sebelum adanya konstitusi.
b.      Macam-macam Cita Negara
Menurut Soepomo dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 ada tiga teori atau aliran tentang negara. Pertama, teori perseorangan (individualistis). Menurut aliran ini negara ialah masyarakat hukum yang disusun atas kontraknya antara seluruh orang dalam masyarakat itu. Kedua, teori golongan dari negara (class theory). Negara dianggap sebagai alat dari sesuatu klasee untuk menindas klasee lain. Ketiga, teori integralistik. Menurut aliran ini, negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, tetapi menjamin kepentingan rakyat seluruhnya sebagai persatuan. Aschaper, merinci cita negara menjadi delapan macam yaitu:
1) Negara Kekuasaan,
 2) Negara berdasarkan atas Hukum,
3) Negara Kerakyatan,
 4) Negara Kelas,
5) Negara Liberal,
6) Negara Totaliter Kanan,
7) Negara Totaliter Kiri,
8) Negara Kemakmuran.
c.   Tujuan nasional Indonesia yang ada pada pembukaan undang-undang dasar 1945 adalah  mencakup empat hal, yaitu :
1.         Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.         Memajukan kesejahteraan umum.
3.         Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4.        Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan keadilan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Keempat tujuan ini bila terpenuhi maka apa yang disebut dengan kesejahteraan dan keadilan sosial dapat dikatakan terwujud. Berdasarkan hal tersebut dikatakan bahwa tujuan negara itu terdiri dari tujuan perlindungan (protection goal), tujuan kesejahteraan (welfare goal), tujuan mencerdaskan (education goal) dan tujuan kedamaian (peacefull goal).
            Sejahtera ukurannya terpenuhinya sandang pangan, dan papan, sedangkan urusan pendidikan juga merupakan hal yang sangat penting terlebih-lebih dalam kehidupan yang serba maju peran pendidikan menentukan sumberdaya manusai, sehingga diperlukan akses yang mudah agar dapat dinikmati oleh rakyat umunya. Kedamaian adalah tujuan akhir dari hukum, kedamaian disini ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, situasi yang kondusif tentram, aman dan damai adalah kehendak seluruh rakyat dalam sebuah negara yang berdasarkan atas Hukum. Dari keempat tujuan ini dalam penyelenggaraanya harus berdasarkan pada lima sila dasar negara yakni Pancasila. Pancasila dijadikan pemandu politik hukum nasional dalam mewujudkan tujuan negara.[18]























KESIMPULAN

A.          KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan dimuka antara lain adalah:
1.      Negara, yang secara terminologi bermakna organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat, didefinisikan oleh Roger H. Soltau dengan alat (agency) atau wewenang (authority), yang mengatur persoalan-persoalan bersama, atas nama rakyat. Maka, bernegara dengan baik menjadi sangat urgen bagi setiap warga negara.
2.      Dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
3.      Tujuan nasional Indonesia yang ada pada pembukaan undang-undang dasar 1945 adalah  mencakup empat hal, yaitu :
c.       Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
d.         Memajukan kesejahteraan umum
e.         Mencerdaskan kehidupan bangsa.
f.       Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan keadilan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
B.     SARAN
1.      Dalam proses menentukan politk hukum Indonesia hendaknya produk hukum yang dihasilkan mencerminkan nilai-nilai pancasila sehingga apa yang menjadi amanat konstitusi mengenai tujuan negara dapat terwujud. Dalam hal ini politik hukum tidak hanya ditujukan kepada bandan legislatif pembuat undang-undang, tetapi juga eksekutif pelaksana undang-undang dan yudikatif yang menerapkan hukum sebagai pengontrol dan pemberi keadilan bagi pencari keadilan.
2.      Sebagai warga negara, sudah selayaknya kita mengkaji lebih dalam hubungan antara agama dan negara. Selain untuk memperluas cakrawala berpikir, kelak ketika kita menempati posisi strategis di pemerintahan kita tidak terjebak pada arus perdebatan penyatuan agama dan negara. Sebab yang lebih penting itu semua adalah bagaimana kita bernegara atau memerintah sesuai dengan norma-norma yang diajarakan agama kita. Lantaran pada hakikatnya agama akan menuntun umatnya pada kebaikan. Jika kita bernegara dengan mengindahkan norma agama, niscaya kita akan menjadi warga negara dan pemimpin yang baik.






[1] Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana, 2006),h. 130-135.

[3] Haryanto, dkk. , Pendidikan Kewarganegaraan SMA/ MA kelas X, (Malang: CV. Krina Alis, 2007), hlm.11.
[4] Anonymous, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (yang telah diamandemen I, II, dan III), (Surabaya: Terbit Terang, 2009), hlm. 26.
[5] Haryanto, Kewarganegaraan, h. 11.
[6] Achmad Widjaja, MA., Pancasila (Tinjauan dari Aspek Filsafat),(Malang:Lembaga Penerbitan dan Publikasi Fakultas Ilmu Administrasi U.B., 1991), hlm. 33-34
[7] http://www. Pendidikan Kewarganegaraan  Pancasila sebagai Cita – cita Bangsa, diakses 18 september 2014.
[8] M. Solihin, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik hingga Moderen, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007. Hlm.244
[9] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: penerbit pustaka. 1981. Hlm. 19.
[10] Prodoyo, sekuarisme dalam polemik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1993. Hlm. 20.
[11] Yusuf Al-Qardhawi, Islam dan Sekularisme diterjemahkan dari buku Al-Islam Wal Ilma Niyah Wajhim, Bandung: Pustaka Setia, 2006. Hlm. 67.
[12] Atang abdul Hakim, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, Bandung: CV Pustaka Setia. 2008. Hlm. 408
[13] M. solihin. Pemikiran. 247-249
[14] Qardawi, Sekularisme, h. 65-66.
[15] http://id.wikipedia.org/wiki/Teokrasi. diakses 18 September 2014.
[16] Majalah Justicia, edisi 29, th. XIV,2006, Yogyakarta. Tema: Sekularisasi, Renaissance dan kerunTuhan otoritas gereja oleh: M. Najibur Rohman, h. 13-14.
[17] Abu Al A'la Al Maududi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Pustaka, Bandung 1995, hal.5
[18] Miriam Budiardjo, dasar-dasar ilmu politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm, 47.

No comments :