Wednesday 21 March 2012

Setetes Minyak



Watak manusia adalah pencuri yang lihai,”begitu, kalau tidak salah ingat, perna say abaca buku pedoman belajaran akhlak kelas dua tsanawiyah (waktu itu kitab tahliyah wat targhib). Jangan salah tangkap bukan berarti semua manusia memiliki watak suka mencuri. Ini jauh berbeda. Maksudnya, kira-kira manusia itu sangat lihai dalam “mencuri” prilaku orang-orang disekitarnya.
Hadits nabi sendiri, sebagai rujukan rujukan karya ilmiyah, menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan dalam keadaan islam . lalu, orang tua (dan lingkuingan) yang menjadikan nasrani dan yahudi.
Maka beruntunglah orang-orang yang hidup dilingkungan pesantren. Karena, secara otomatis mereka akan menjadi santri.
Kita tahu, dipesantren ini, kepribadian santri dibentuk bukan dengan bantuan sim salabin atau aba kadabra. Toh disini kita tidak mengenal tongkat sihir dan dapu terbang. Tapi semuah itu dihasilkan dengan latihan dan disip;in menahun, juga kesadaran diri siang malam menekuni ointruksi dan perintah, sampai semuanya melebur dalam satu tubuh. Menyatu dalam diri, kemudian tercermin dalam laku dan ucapan. Santri adalah santri, didalam maupun diluarpesantren, dengan atau tanpa peraturan yang mengekangnya.
Yang ghalib harus seperti itu. Tapi kalau ada satu dua yang tidak, ya berarti pengecualian. Bukankah selalu ada kata kecuali dalam susatu kaidah. Kullu qoidatin “mustasnayat,” begitu kerap saya dengar dari teman-teman ahli bahtsu masail.
Kita menyadari dengan baik, bahwa zaman ber;aku maju. Segala beruba dari waktu kewaktu, termasuk budaya. Ada banyak hal diluar yang dulu sepertinya tabu, tapi sekarang ramai dititru. Didalam tembok kukuh pesantren, segala sesuatu Nampak kendali. Santri-santri terkondisi untuk mengenakan baju santrinya setiap waktu.
Tapi, santri tidak selamnya tingal dipesantren. Suatu saat ia akan turun gunung, agar ilmunya selalu dialap oleh masyarakat. Inilah saya saatnya mengajukan pertanyaan, akankah santri tersebut akan mengenakan baju santrinya, sementara diluar sana ada baju-baju lain yang kelihatan baru dan lebiuh keren?
Saya piker hal seperti ini harus dipahami secara betul-betul oleh pemegang kebijakan dipesantren. Sehingga sejak mula-mula, santri-santri harus diajarkan umtuk mengambil sikap; bagai mana pentingnya, seseorang memeghang prinsip dalam hidup.
Dalam bulu al lkemis, Paulo Coelho bercerita tentang seorang bocah yang hendak menuntuk ilmu kebujaksanaan dari orang terbijak didunia.
“lihat-lihatlah rumahku.” Kata orang bijak itusembari menyerakhan setetes minyak dalam sebuah sendok perak. Ia juga berpesan bahwa jangan sampai minyuak itu tumpah. Selam dua jam bocah berjalan mengelilingi rumahorang terbijak yang super megah itu. Tak sedilitpun perhatian tertuju selain kepada sendok dan minyaknya. Sampai ia kembali menemui gurunya.
Boca itu ditanya tentang kesannya tentang teman-teman, lukisan, patung dan karya seni lain dirumah itu. Tapi mia hanya bisa diam menunduk. Karena memang ia tidak melihat apapun selai sendok dan minyaknya. Maka seorang terbijak itu pun maklum, dan mengulangi intruksinya. “pergilah!lihat-lihat rumahku sekali lagi, “katanya.
Si bocah Nampak senang, ia bergegas memasuki kamar menyusuri ruang dan selasar, seraya mengagumi selera yang tinggi dalam penataan setiap furnetur didalam rumah itu. Ia mengamati patung dan lukisan, serta terkesan pada estetika dalam setiap karya itu. Pada akhirnya, ia keluar dan berlari-lari ditaman, memandang bunga-bungah dan mencium wanginya. Dua jam berlalu dengan cepat, sibocah kembali menemui orang terbijak. Ia menceritaklan apa saja yang dilihatnya dengan penu semangat.
“hmm…  menarik sekali,” komentar orang terbijak, setelah si bocah mengakhiri ceritanya. “Tapi, dimana setetes minyak yang tadi kuprcayaka kepamu?”
Setetes minyak itu sudah tidak ada. “baiklah, anak muda,” kata orang terbijak itu. “tadi katanya kau ingin belajar rahasia kebijaksanaan. Untukmu aku hanya punya satu nasehat sederhana: rahasia kebijaksaan adalah, ketika kau bisa melihat keindahan dunia tanpa kehilangan setetes minyak wijen dalam sendok.”
Dulu saya mencatat baik-baik catatan orang terbijak itu, dan sekarang bolehlah kita renungkan bersama. Setetes minyak didalam kisah diatas, boleh jadi adalah senuah symbol. Barangkali Coelho memaksudkannya sebagai pelambang yang dimaknai dengan apa saja. Terserah kepada pembaca. Tentu bertdasarkan latar belakang dan tingkat pengetahuan mereka.
Sebagai muslim, setetes minyak itu bisa berarti sebuah keyakinan. Dan sebagai santri, tentu saja berarti kepribadian dan etika santri.
Belajarlah apa saja, bukahlah buku-buku yang kau suka, bertemanlah kepada siapa saja, [ergilah kemana kau sanggup melangkah, sampai planet mars sekalipun. Lihatlah jagat raya dan segala indahnya, tapi jangan lupakam setetes minyak wijen dalam sendokmu.
By: putra mahkota kerajaan langit

No comments :