Wednesday 21 March 2012

ijtihad


BAB I
PENDAHULUAN
a.       Latar belakang
Teks Al-Qur’an dan telah terhenti, tidak lagi ada yang baru apalagi menamabahkan. Sedangkan perabadan manusia terus bergerak beserta problematica nya, bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi turut mencetak problem pada masa sekarang. Suatu hal yang mustahil kiranya bila gerak yang serba cepat tersebut dapat ditahan (dikontrol) oleh teks yang ‘diam’. Tentu saja mendiamkan persoalaan yang membutuhkan justifikasi hukum, bukanlah sikap yang diajarkan oleh agama. Sebab agama menginginkan kemaslahatan bagi manusia agar kehidupan ini terus berjalan secara dinamis dan memiliki kepastian hukum.
Ijtihad dengan demikian menjadi suatu jawaban yang tak bisa dihindari. Ijtihad menjadi respon rasional yang harus dilakukan dalam kualitas apapun, sehingga rumusan hukum yang dihasilkan dapat mengcover apa yang belum termaktub dalam catatan al-qur'an dan .
Aktifitas penalaran akan menjamin keberlangsungan akselerasi budaya, akselerasi modernitas dan akselerasi-akselerasi lainnya dan menekan keresahan umat muslim. Sebab bagi kaum muslim telah menjadi keharusan bahwa segala aktifitasnya tetap berada dalam bingkai hukum Islam, setidaknya tidak berada dalam keraguan. Tentu saja kegiatan ini bersifat ‘bebas dan bertanggung jawab’. Artinya siapapun dapat melakukan aktifitas ijtihad, karena ijtihad merupakan manisfestasi dari kebebasan berfikir. Bertanggung jawab artinya hasil dari interpretsinya dapat dipertanggung jawabkan, dengan demikian, ijtihadkan dilakukan penuh kehatia-hatian dan keseriusan yang didasari kualifikasi yang memadai.





b.      Rumusan makalah
1.      Pengertian ijtihad ?
2.      Kualifikasi mujtahid ?
3.      Pola ijtihad ?




c.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui Pengertian ijtihad ?
2.      Untuk mengetahui kualifikasi mujtahid ?
3.      Untuk mengetahui Pola ijtihad  ?


















BAB II
PEMBAHASAN

a.       Pengertian ijtihad
Kata ijtihad menurut bahasa adalah pengerahan segala kemampuan dan kekuatan dalam suatu aktivitas dari aktifitas yang sulit dan berat. Pengertian kebahasaan ini menginformasikan bahwa ijtihad merupakan kegiatan yang melibatkan kemampuan fisik dan pesikis, batin dan dhahir, jasmani dan akal. Disisi lain ijtihad bukanlah aktifitas ringan, melainkan kegiatan yang sulit (mashaqqah). Karena kata jahada mengindikasikan sesuatu yang luar biasa yang tidak semua orang dapat melakukannya. Untuk itu Ibrahim Hosen menyatakan bahwa kegiatan ijtihad butuh keahlian dan kekuatan khusus (tertentu) untuk melakukannya.
Sedangkan ijtihad dalam istilah menurut al-Ghazali :
بذل المجتهد وسعه فى طلب العلم بأحكم الشريعة
(Pengerahan kemampuan oleh mujtahid secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum shari'at). Karena itu, bagi al-Ghazali ijtihad hanya bisa dilakukaan oleh orang yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid. Disamping itu, kesempurnaan ijtihad bagi al-Ghazali ditandai oleh keseriusan mujtahid dalam bereskplorasi sehingga seorang mujtahid merasa tidak mungkin lagi mengeluarkan kemampuannya yang lebih dari apa yang telah dilakukan.
Bagi al-Syaukani ijtihad adalah
البذل الوسع فى نيل حكم شرعي عملي بطريق الا ستنباط
(mencurahkan seluruh kemampuan dalam mendapatkan hukum yang praktis dengan menggunakan metode istinbath). Dengan kata lain, hukum-hukum yang dihasilkan oleh mujtahid tersebut diambil dari dilalah dhanni. Tidak jauh berbeda sebagaimana dikutip Nadiyah Syarif Umar, al-Amidi mengutarakan bahwa ijtihad merupakan aktifitas dengan segala kemampuan yang luar biasa dalam memperoleh hukum-hukum Allah yang bersifat dhanni, sehingga upaya tersebut merupakan upaya maksimal yang tidak mungkin melebihi lagi.
Demikian juga Ibn Hajib dan al-Baidhawi menyatakan bahwa ijtihad merupakan pengerahan kemampuan secara maksimal (oleh Mujtahid) untuk menemukan hukum-hukum shari'at yang bersifat Dhanni. Tampaknya Abu Zahrah memiliki pengertian yang lebih rinci yaitu pengerahan kemampuan oleh ahlu fiqh dalam memperoleh hukum syar'i yang berhubungan dengan amaliyah sehari-hari dari dalil-dalil yang terperinci.
Dengan demikian, ijtihad merupakan proses sistematis dalam wilayah hukum Islam yang optimal melibatkan kemampuan akal untuk memberikan (memperoleh) solusi hukum atas suatu persoalaan yang bersifat dhanni. Karena hal-hal yang jelas (qath'i) tidak lagi memberikan peluang bagi mujtahid . Kiranya menyamakan qiyas dengan ijtihad dalam satu status tampaknya terlalu menyerdehanakan ruang ijtihad, bila qiyas ditempatkan sebagi bagian integral dari ijtihad, maka logika mendapat pembenaran. Sebab aktifitas ijtihad tidak saja sekedar menyamakan hukum furu' dengan hukum ashl, tetapi sebagai sebuah metode, ijtihad dapat ditempuh dengan berbagai jalur, misalnya masalah mursalah, istihsan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, aktifitas intelektual secara serius dan independen menjadi ciri khas kegiatan ijtihad, ijtihad hanya bisa dilakukan oleh orang yang berkompeten dibidang ushul fiqh dengan menggunakan seperangkat metode teruji, dan wilayah hukum amaliyah menjadi inti dari garapan ijtihad yang digali dari al-qur'an dan hadits yang bersifat dhanni. Tugas mujtahid amatlah berat karena dia harus mengeluarkan petunjuk-petunjuk hukum yang tersembunyi dari nash-nash yang ada, supaya semua yang masih tersembunyi dapat menjadi terang dan bisa diaplikasikan kedalam kehidupan nyata. Ijtihad dengan begitu menurut Ali Yafie juga dapat dimaknai sebagai kemerdekaan berfikir manusia, berbeda dengan taklid yang diartikan sebagai keleseuan pemikiran karena hanya mengikuti pendapat para imam.


b.      Kualifikasi mujtahid
Kegiatan ijtihad tidak bisa dihindari dari perbedaan pandangan antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lain, meski menggunakan dalil yang sama. Hal ini tidak lepas dari beragam kecendrungan yang melingkari pada saat mujtahid memperlakukan sebuah nash. Kondisi sosial atau bahkan perspektif yang digunakan turut mempengaruhi hasil akhir ijtihad. Disisi inilah subyektifitas mujtahid sebagaimana diungkapkan Baqir Sadr yang dikutip Amir Mu'allim sejenak menemukan pembenaran. Bila yang dimaksudkan subyektifitas Baqir adalah keberpihakan mujtahid pada teks sesuai kerangka yang telah dibangunnya, maka itu menurut penulis obyektif pada dunianya. Karena masing-masing mujtahid sangat mungkin memilih dari sekian ketersediaan pilihan dalil yang dianggapnya absah dan layak berdasarkan konteks teks itu berada. Sangat mungkin juga keterbatasan teks yang dihadapi oleh masing-masing mujtahid menyebabkan perbedaan konklusi ijtihad pada persoalaan yang sama, inilah yang disebut inakurasi oleh Jalaluddin Rahmat.
Terlepas dari perdebatan tersebut, optimisme untuk tidak terjebak pada kesalahan ijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, keikhlasan mujtahid dalam melakukan pencarian hukum yang didasarkan pada kemampuan akademik yang cukup memadai akan memberikan jaminan bahwa hasil ijtihad tertentu jauh dari spekualtif dan dapat dipertanggung jawabkan. Sekalipun ijtihad bukan persoalaan mudah, bukan berarti ijtihad telah tertutup. Sebab tidak ada yang memiliki otoritas untuk melarang seseorang untuk berijtihad, bahkan problem keumatan yang dewasa ini terus bermunculan tidak bisa didiamkan begitu, al-qur'an berkali-kali memotivasi umat manusia untuk menggunakan akalnya (berijtihad).
Oleh karena itu, masalah ijtihad bukan masalah mau dan tidak mau, tetapi lebih bersifat akademis : mampu atau tidak mampu. Menyuruh berijtihad pada orang yang tidak memiliki kapasitas yang memadai sama halnya dengan mengacaukan sistem hukum Islam. Sebab untuk kegiatan yang wahid ini diperlukan beberapa kriteria sebagai garansi (jaminan) hasil sebuah pemikiran yang benar-benar otoritatif.
Nadiyah Syarif al-Umari mengelompokkan syarat-syarat ijtihad ke dalam dua katagori sebagai berikut:
Pertama: persyaratan umum (al-Syurut al-'Ammah), meliputi:
a. Islam
b. Baligh
c. Memiliki daya nalar yang kuat
Kedua: persyaratan khusus (al-Syurut al-Taahhiliyah) yang dibagi dua macam:
1)      Persyaratan Pokok (al-Syurut al-Asasiyyah) yaitu kecakapan dasar yang meliputi:
a)      Mengetahui al-Qur'an (tidak harus hafal) sebagai referensi utama sumber hukum Islam, terutama ayat-ayat hukum dan ulum Al-Qur'an (asbab Al-Nuzul, nasikh mansukh, Makiyah dan Madaniyah, muhkamat dan mutasyabih). Paling tidak mengetahui letaknya sehingga ketika dibutuhkan dapat segera merujuknya.
b)      Memahami Sunnah (baik yang qauli, fi'li dan taqriri) terutama hadits ahkam. Persyaratan ini di anggap penting mengingat posisi sunnah sebagai sumber hukum setelah al-qur'an memiliki fungsi penjelas. Untuk itu mengetahui ma'na hadits dan susunan petunjuknya merupakan hal yang tak bisa dihindari. Demikian juga tentang kualitas sanad dan matan sehingga terhindar dari ketidak validan data.
c)      Menguasai bahasa Arab, nyaris tak ada pertentangan dikalangan ulama' ushul bahwa penguasaan bahasa mutlak adanya, seperti nahwu, sharf, balaghah, dan lain sebagainya. Tak dipungkiri lagi oleh ulama' bahwa al-qur'an diturunkan menggunakan bahasa Arab. Setidaknya menurut al-Ghazali, mujtahid mampu mengetahui kitab bangsa arab dan kebiasaannya, karena al-qur'an diturunkan dalam konteks tradisi bangsa Arab.
d)     Mengetahui ushul fiqh, mujtahid dituntut menguasi ketentuan yang beralaku dalam ushul fiqh sehingga mampu memahami petunjuk-petunjuk ataupu pertentangan dalil dan cara menyelesaikannya.
e)      Mengetahui tema-tema penting yang telah disepakati para sahabat (ijma'). Hal ini dimaksud dimaksudkan agar hasil ijtihanya tidak bertentangan, namun bila mengandaikan ijma' bukan sebagai dasar hukum, maka tidak perlu.
2)      Persyaratan pelengkap (al-Syurut al-Takmiliyyah) meliputi:
a)      Mengetahui hukum asal suatu perkara
b)      Mengetahui maksud hukum syari'at
c)      Mengetahui kaidah-kaidah umum hukum Islam, misalnya kaidah Al-Yaqin la yuzalu bi al-syak, al-dhararu yuzalu.
d)     Mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat
e)      Mengetahui tradisi yang membumi di suatu tempat
f)       Mengatahui ilmu logika
g)      Memiliki sifat adil
h)      Memiliki sifat wara' dan 'iffah
Sedangkan menurut al-Syaukani, syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid adalah sebagai berikut:
1)      Mengetahui al-Qur'an dan Sunnah, terutama yang berhubungan dengan hukum.
2)      Mengetahui ijma' sehingga tidak mengeluarkan fatwa yang berbeda. Al-Syaukani tidak menempatkan ijma' secara ketat, hanya bagi mereka yang berkeyakinan bahwa ijma' sebagai sumber hukum.
3)      mengetahui bahasa Arab.
4)      mengetahui ilmu ushul fiqih, ilmu ini sangat pokok bagi seorang mujtahid karena dengan ilmu ini mujtahid akan bergerak atau berijtihad merespon segala persoalaan yang muncul.
5)      mengetahui nasikh mansukh.
Bagi al-Ghazali setidaknya ditubuhkan dua syarat bagi mujtahid yaitu: (a) mengetahui ilmu syara' yang memadai sehingga memungkin memperlakukan teks dengan benar, (b) memiliki sifat 'adil dan menjauhkan diri dari ma'ashi. Bagi Al-Syatibi, untuk sampai ke derajat mujtahid seorang faqih harus memiliki dua sifat yaitu: (a), mampu memahami maksud-maksud syari'at (maqashid al-syari'ah) dan (b) sanggup mengistimbatkan hukum berdasarkan pemahamannya sendiri terhadap maqashid al-syari'ah.
Sedangkan menurut Abu Zahrah dan kelompok ahl sunnah syarat ijtihad meliputi:
1)      Mengetahui bahasa Arab
2)      Mengetahui al-kitab, sunnah, qiyas dan ijmak
3)      Mengetahui nasikh mansukh dan 'am dan khas
4)      Mengetahui tujuan hukum Islam

Meski syarat yang diberikan oleh Al-Syaukani tergolong ringan, namun tidak banyak ulama' yang memiliki nyali cukup kuat untuk melakukan ijtihad. Dari sekian persyaratan yang diajukan oleh ulama' ada beberapa hal yang secara umum harus selalu ada yaitu:
pertama, penguasaan bahasa Arab. Karena sumber hukum Islam adalah teks bisu yang menggunakan bahasa Arab, maka pendekatan kebahasaan mutlak adanya. Kedua, memiliki pengetahuan yang cukup tentang al-qur'an dan sunnah, sebab keduanya merupakan cantolan hukum yang resmi. Ketiga, mengetahui ushul fiqh, sebab ushul merupakan dasar untuk memahami ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan hukum. Atas dasar itulah ushul fiqh disebut sebagai kerangka berpikir, metode dan teori-teori yang mempelajari ajaran Islam.
Dalam perspektif pakar ushul al-fiqh, persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk menjamin kualitas hasil pemikiran (ijtihad) sehingga tidak keluar dari fream agama. Karenanya status mujtahid hanya diberikan kepada siapapun yang memenuhi kualifikasi tersebut. Siapaupn bagi al-Tayyib al-Khuderi sebagaimana dikutip Satria Efendi, bahwa mereka yang telah memenuhi kreteria di atas dipersilahkan berijtihad.
Sekalipun demikian, ulama' membedakan tingkatan (derajat) mujtahid ke dalam beberapa tingkatan, mulai dari rangking tertinggi sampai ke peringkat terendah.
Beberapa tingkatan mujtahid dimaksud sebagai berikut :
1.      Mujtahid mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari'ah langsung dari sumbernya yang terpokok (al-qur'an dan hadits) dan dalam meng-istinbathkan hukum mempunyai dasar-dasar ushul sendiri, tidak mengikuti ushul istinbath mujtahid lain. Mujtahid mustaqil ini lazim disebut mujtahid mutlak.
2.      Mujtahid muntasib, yakni mujtahid yang dalam meng-istibathkan hukum mengikuti (memilih) ushul al-istinbat imam madzhab tertentu walau terkadang dalam hal furu'iyah berbeda dengan pendapat imamnya.
3.      Mujtahid madzhab yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya baik maslah ashl mapun furu' . Kalaupun berijtihad adalah pada hal-hal yang ketentuannya tidak ditemukan dalam pendapat madzhabnya.
4.      Mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang tidak meng-istinbath-kan hukum-hukum furu' apalagi hukum ashl, ia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat (arjah).
5.      Mujtahid mustadil, yaitu ulama' yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada. Akan tetapi dia hanya mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangkan mana yang patut dipegang (diikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu.

Wahbah al-Zuhaili dan Abu Zahrah memetakan tingkatan mujtahid hampir sama dengan yang disebut di atas, namun dengan istilah yang berbeda, yaitu :
1)      Mujtahid Mustaqil yakni mujathid yang berdiri sendiri dari sisi metodelogi (empat madzhab)
2)      Mujtahid Ghair Mustaqil yakni mujtahid yang memanfaatkan metode imam madzhab, seperti Ibn Qasim madzhab Malikiyah dan Muzanni madzhab Syafiiyah.
3)      Mujatahid Muqayyid (tahrij) yakni mengikuti hasil ijtihad imam madzhab, seperti Thahawi Hanafiyah dan Abi Ishak al-Syairazi Syafiiyah.
4)      Mujtahid Tarjih yakni mujtahid yang dapat memilah dalil-dalil yang digunakan imamnya, seperti al-Quduri Hanafiyah.
5)      Mujtahid Fataya yakni hanya memahami beberapa pendapat dari madzhabnya beserta mengetahui dalil yang digunakan.
Sebagian ulama' yang lain menyempitkan klasifikasi mujtahid menjadi dua yaitu: Mujtahid mutlak dan mujtahid bi al-madzhab. Bagi al-Syaukani yang disebut mujtahid adalah orang telah memiliki persyaratan di atas, baginya dilarang taklid. Lebih lanjut Syaukani sangat mencela praktek taklid, baginya taklid dalam agama disebut bid'ah.
Kalau demikian adanya bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki kapasitas sebagai mujtahid? Bukankah alami dan sunnatullah bila ada imam dan makmum? Pertanyaan ini setidaknya menyadarkan al-Syaukani untuk tidak terlalu memaksakan pendapatnya kepada semua umat Islam untuk berijtihad. Bila ungkapan tersebut bertujuan mendorong semangat berfikir maka patut diapresiasikan. Atau Syaukani sebenarnya mengakui adanya tingkatan mujtahid, sehingga dengan sendirinya semua orang berijtihad sesuai tingkatannya masing-masing.
Sejalan dengan keinginan menghidupkan kembali semangat syari'at melalui ijtihad, perlu dikedepankan niatan yang bersih dan i'tikad yang baik bagi tiap-tiap upaya pemikiran hukum. Niat dan i’tikad yang brsih akan mengarahkan mujtahid pada kebersihan pikiran dan tindakan. Lebih-lebih masyarakat saat masih mengalami syndrom pada kaidah andur ila man qala bukan ila ma qala.
Di era dewasa ini, ijtihad menjadi kebutuhan mutlak untuk kepentingan dinamisasi kehidupan umat Islam. Problem yang dihadapi sedemikian kompleks, membiarkan persoalaan tersbut berlalu lalang tanpa kapastian hukum justru akan mengacaukan pola kehidupan umat Islam. Tentu saja tak cukup menyerahkan persoalaan kekinian ke hadapan fiqh klasik yang dibuat jauh sebelumnya. Lain persoalaan lain pula cara menyelesaikannya. Mengingat peluang ijtihad berdasarkan pola dan tingkatannya masih terbuka, maka pandangan kaum bermadzhab perlu dirubah, dari madzhab qauli menjadi madzhab manhaji, dari ijtihad induvidu ke ijtihad ijtima’i. Demikian juga disiplin ilmu tertentu yang dapat memberikan solusi terbaik patut juga dipertimbangkan.
Masa depan ijtihad setidaknya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
A.    Ijtihad Intiqa’i (tarjih) : adalah menyeleksi pendapat dan dalil yang digunakan oleh madzhab, tidak hanya di dalam internal madzhab tertentu tapi meliputi semua madzhab yang ada. Pola ini setidaknya dapat mengetahui dalil mana yang kuat dan dapat dijadikan pegangan.
B.     Ijtihad Insyai : adalah usaha untuk menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan oleh imam madzhab terdahulu, metode yang digunakan para mujtahid dapat dipakai disamping memperhatikan disiplin ilmu tertentu yang berkembang saat ini. Perlu kiranya melihat persolaan secara utuh dan menyeluruh. Mengingat desain pengetahuan masa kini bersifat spesifikasi, maka sangat sulit kiranya dilakuakn secara mandiri. Melibatkan banyak orang atau semacam kelompok penelitian akan lebih agresif.

Untuk mewujudkan keinginan tersebut diperlukan rekonstruksi idea-moral alqur’an. Al-qur’an bukan sekumpulan teks yang anti dengan kenyataan-kenyataan bumi. Idealitas al-qur’an justru ingin memberikan kemaslahatan yang besar buat manusia di bumi. Karena itu, hukum yang ada di al-qur’an semuanya merupakan shari’at ideal yang dibantu oleh organisasi hadits.
Memahami akar sosiologis setiap bagian al-qur’an secra utuh dengan tidak melupakan karya-karya klasik akan memberikan pemahaman baru dan lebih mengena. Tidak bisa dipungkiri bahwa al-qur’an sangat terkait dengan realitas dimana diturunkan, yakni tradisi Arab. Historisitas ayat akan membantu penyingkapan ruh ataupun tujuan yang dikehendaki oleh shara’, meski tidak harus membuang aspek legalitas.
Apa yang dilakukan shahabat Umar mewakili gerakan reaktualisasi ajaran al-qur’an. Umar secara nyata keluar dari formalitas al-qur’an untuk beralih ke subtansi yang lebih maslahah dan berkeadilan. Kreatifitas dan inovasi yang dinamis dalam menemukan rumusan baru dalam memahami shari’ah untuk kemudian dijadikan pijakan brijtihad perlu mengakomodasi tiga pilar sebagai berikut :
a. Pendekatan historistas guna menemukan keinginan teks
b. Menemukan perbedaan legal formal teks dan tujuan pemberlakuan shari’ah.
c. Penetapan shari’ah harus bisa memperhatikan aspek maslahah.




c.       Pola ijtihad
Para ulama’ telah menyusun seperangkat metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadits dalam upaya lebih mendekatkan pada maksud-maksud pensyariatan hukum di satu pihak dan mendekatkan hasil penalaan dengan kenyataan yang ada di tengah masyarakat di pihak lain. Kerangka sistematis kaidah-kaidah tersebut, mula-mula diperkenalkan oleh Imam Syafi’i (150-204 H). Secara umum metode penalaran tersebut dapat dibagi ke dalam tiga pola, yaitu pola bayani (kajian semantik), pola ta’lili (penentuan illat), dan pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan berdasar nash umum).
1.      Pola Bayani
Ke dalam pola pertama ini dimasukkan semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik): kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafal musytarak (anbigu), mana lafal yang umum yang diterangkan (‘am mubayyan), dan mana pula yang khusus yang menerangkan, mana ayat yang qath’i dan mana pula yang dzanny, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan larangan itu haram dan kapan pula makruh, dan seterusnya.
Sebagai contoh di dalan hadis ada perintah untuk mempersaksikan nikah dan di dalam Al-Quran ada perintah mempersaksikan ruju’ (At-Talaq: 2). Ulama memahami kesaksian nikah sebagai wajib sedang kesaksian ruju’ oleh sebagian ulama dianggap sunnah. Ulama sepakat bahwa masa iddah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haid adalah tiga quru’. Adanya masa iddah ini dianggap qath’i. Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang arti quru’ tersebut. Ada yang menyatakannya masa suci dan ada yang menyatakannya masa haid. Pemilihan salah satu arti tersebut dianggap dzanny.
2.      Pola Qiyasi (Ta’lili)
Ke dalam pola ini dimasukkan semua penalaran yang menjadikan illat (kaadaan atau sifat yang menjadi tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Di sini dibahas cara-cara menemukan illat di dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan illat baru (sebagai pengganti yang lama).
Sebagai contoh di dalam hadits ada perintah mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman, yaitu gandum, kurma (kering), dan anggur (kismis). Sebagian ulama kelompok zahiriyah memahami hadits ini melalui pola bayani, hanya memegangi arti zahirnya. Jadi produk pertanian yang terkena zakat hanyalah ketiga jenis tanaman tersebut.
Namun, sebagian besar ulama berupaya mencari illat dari jenis tanaman tersebut dan lantas memperluasnya kepada tanaman lain yang mempunyai illat sejenis. Ada yang menyatakan, “mengenyangkan (makanan pokok)”, ada yang menyatakan jenis biji-bijian, ada yang menyatakan ditanam bukan tumbuh sendiri, dan ada yang menyatakan dibudidaya sebagai illatnya. Karena perbedaan ini terjadi perbedaan pendapat tentang zakat cengkeh, kopi, sayuran, rotan, dan sebagainya. Ada yang menyatakan terkena zakat dan ada yang menyatakan tidak, sesuai dengan illatnya yang dipilih tadi.
Biasanya pola ini digunakan apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk memperkuat argumen, tetapi mungkin juga untuk mengalihkannya pada kesimpulan lain agar terasa lebih logis dan lebih berhasil guna.
3.      Pola Istislahi
Dalam pola ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsisp umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini didedukasikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan.
Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas kendaraan bermotor. Masalah-masalah ini tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan. Karena itu untuk menentukan hukumnya, digunakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari ayat-ayat, seperti: tidak boleh mencelakan diri sendiri dan orang lain, menolong orang lain adalah kebajikan, dan lain-lain.
Melalui pendeduksian dan pertimbangan tingkatan keutamaan, para ulama menyimpulkan kebolehan sebagai hukum dasar tranplantasi, boleh untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh suami istri itu sendiri, sedang pelanggran lalu lintas dianggap sebagai ta’zir.
Pola istislahi sesuai keadaannya, baru digunakan ketika tidak ada dalil khusus, hanya berhubungan dengan persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena penggunaan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Di dalam ushul fiqh, pola yang terakhir ini sangat sedikit mendapat perhatian.



















BAB III
PENUTUP


a.       Kesimpulan
Sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Allah. Dalam pandangan syariah semua orang wajib tunduk pada hukum Allah yang berasal dari wahyu samawi. Jadi, perumusan hukum Islam tidak lain ialah usaha menemukan kehendak Allah. Sumber untuk mengetahui kehendak Allah itu adalah Al-Quran dan Sunnah. Tujuan utama kedua sumber ajaran itu adalah meletakkan sebuah way of life yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan sesamanya dan dalam hubungan dengan Allah. Dengan demikian, adalah tugas kaum muslimin melalui pemanfaatan akalnya untuk merealisasikan pedoman-pedoman pokok itu dalam wujud ketetapan-ketetapan hukum dalam konteks yang berbeda-beda.
Kesimpulan dalam kajian ini ditemukan bahwa ijtihad pada periode klasik dilakukan melalui dua cara, yaitu mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat, serta mereka sendiri berijtihad. Adapun cara yang digunakan oleh mayoritas mujtahid pada periode berikutnya ialah melalui pendekatan yang mengedepankan teks (ahlul hadits) dan logika (ahlur ra’yi).
Adapun pola ijtihad pada periode pertengahan tidak semaju pada periode berikutnya. Bahkan lebih cenderung mundur dan hanya mengikuti hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya.




REFRENSI
·         Al-Baihaqi, Metodelogi Ijtihad Sayyidina Umar, Yogyakarta : Qalam, 2005.
·         Amir Mu’alim dan Yusdani. 2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
·         htp://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad.
·         Hasan, Ahmad. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung : Pustaka, 1984.

No comments :