Walimah ialah makanan dalam perkawinan, berasal dari kata walam,
yaitu mengumpulkan, karena suami istri berkumpul. Imam syafi’i dan
sahabat-sahabatnya berkata bahwa walimah itu berlaku pada setiap undangan yang
diadakan karena kegembiraan yang terjadi seperti nikah, khitan maupun lainnya.
Dan yang terkenal kalau dikatakan secara mutlak, walimah dipergunakan dalam
nikah dan terbatas dalam pengunaan lainnya sehingga untuk undangan khitanan
disebut ‘a’dzar, untuk undangan kelahiran disebut ‘aqiqah untuk selamtan
perempuan habis melahirkan khars, untuk datang dari bepergian naqi’ah untuk
undangan membuat bangunan “wakirah” dan yang diadakan karena tiada seban ialah
“makhdubah”, kata imam nawawi, sahabat-sahabatnya tidak menerangkan siapa yang
mengadakan walimah orang yang datang dari bepergian. Dalam hal ini ada
perbedaan pendapat dikalangan ahli bahasa, dan Al-Azhari mengutip dari
Al-Farra’ bahwa yang mengadakan ialah orang yang datang. Dan pengarang
Al-Muhkam berkata itu adalah makanan yang dibuat untuk orang yang datang,
itulah qaul yang adzhar.
Walimah paling
sedikit bagi yang mampu ialah seokor kambing, karena nabi perna mengadakan
selamatan untuk zainab binti jahsy R.A. dengan seekor kambing. Tetapi yang
benar seseorang itu boleh mengadakan selamatan dengan apa saja karena nabi saw
perna menngadakan selamatan utnuk shofiyah r.a dengan bubur dan korma.[1]
DASAR HUKUM MENGADAKAN WALIMAH
Wajib mengadakan
walimah setelah dukhul (bercampur), berdasarkan perintah nabi kepada
Abdurrahman bin ‘auf agar menjalankan walimah sebagaimana telah dijelaskan pada
hadits berikut:
عن بريدة بن الحصيب قال: لمّا خطب علي فاطمة رضي
الله عنه قال: قال رسول الله صلّ الله عليه وسلّم إنه لابدّ للعرس من وليمة
“Dari Buraidah bin Husaib
ia bertutur, “ tatakala ali melamar fatimah r.a ia berkata bawa rasulullah
s.a.w. bersabda, sesungguhnya pada perkawinan harus diadakan walimah” (shahih:
shahihul jami’ul shaghir no 2419)[2]
HUKUM MENDATANGI WALIMAH
Sedangkan
mengabulkan undangan selamatan, apabila kita mewajibkan selamatan perkawinan, maka
mengabulkan juga wajib, dan apabila kita tidak mewajibkannya, tetap
mengabulkannya juga wajib menurut qaul yang rajih. Qaul ini juga dikuatkan oleh
ulama iraq dan Ar-ruyani dan lain-lain, karena adanya beberapa hadits, antara
lain :
من دعي
إلي وليمة فليأتها
“barang siapa yang diundang ke walimah, maka datanglah kewalimah
tersebut.
Dan riwayat lain:
من لم يجب الدعوة فقد عصى الله ورسوله.
“Barang siapa tidak mengabulkan undangan,
maka ia telah berdosa (maksiyat) kepada Allah dan rasulnya. (riwayat muslim)”.
a.
Hukum
bagi orang yang sedang berpuasa
Tidak ada
perbedaan antara orang yang shiyam dan tidak tentang wajibnya menghadiri
undangan walimah. Akan tetapi diperbolehkan bagi orang yang shiyam, untuk
menghadiri saja tanpa menyantap hidangan. Dan dianjurkan agar ia mendoakan
orang yang mengundangnya. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah r.a ia berkata:
Rasulullah s.a.w bersabda:
إدا دعي أحدكم فليجب, فإن كان صائما فليصل,
وإن كان مفطرا فليطعم
“jika
salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia menghadirinya. Jika ia
sedang shiyam maka hendaklah ia berdoa untuk tuan rumah, jika ia tidak shiyam
maka hendaklah ia makan.”
Dan jika ia mau ia
diperbolehkan untuk memakannya, atau tidak memakannya. Dasarnya adalah hadits
dari jabir bin Abdillah r.a ia berkata: Rasulullah bersabda:
إدا دعي إحدكم إلى طعام فليجب, فإن شاء طعم,
وإن شاء ترك
“jika salah seorang dari kalian diundang
makan, maka hendaklah ia menghadirinya. Jika mau ia diperbolehkan makan, jika
tidak mau ia diperbolehkan untuk meninggalkan.
b.
Terdapat
unsur kemaksiyatan dalam undangan walimah
Tidak diperbolehkan untuk menghadiri undangan jika pad undangan
tersebut terdapat kemaksiyatan. Dasarnya adalah hadits Ali bin Abi Thalib r.a.:
Bahwa ia memasak makanan dan mengundang Rasulullah s.a.w maka beliau
datang, dan beliau melihat dirumah tersebut ada tirai yang terdapat padanya
gambar (makhluk bernyawa), lalu beliau kembali pulang. Maka ia berkata: “Ya
Rasulullah Ayah dan Ibuku jadi tebusannya, apa yang menyebabkan Rasulullah
kembali?”
Rasulullah s.a.w bersabda:
إن في البيث سترافيه تصاوير, وإن الملائكة لا
تدحل بيتا فيه تصوير
“sesungguhnya dirumah itu terdapat tirai
yang bergambar, dan sesungguhnya para malaikat tidak masuk kedalam rumah yang
didalamnya terdapat gambar.”
Imam Al-Bukhori menulis bab khusus dalam Shahihnya:
Bab: (bolehkan
seorang kembali pulang jika ia melihat kemungkaran pada undangan itu? Ibnu mas’ud
melihat gambar pada sebuah rumah, maka iapun kembali pulang. Ibnu ummar
mengundang Abu Ayyub, ia melihat dirumah itu tirai yang menutupi dinding, Ibnu
umar mengatakan: “sesungguhnya kami terpaksa oleh kaum wanita”. Abu Ayyub
berkata”siapa yang harus aku takut kepadanya? Dan aku tidaklah takut pada
engkau. Demi Allah aku tidak akan menyantap amakanan kaian.” Maka diapun
kembali).
Dan disebutkan didalam hadits ini ummul mukminin ‘Aisyah r.a: bahwa
‘Aisyah membeli bantal yang terdapat padanya gambar-gambar, ketika Rasulullah
s.a.w melihatnya, beliau berdiri saja didalam pintu dan tidak masuk. ‘Aisyah
melihat tanda-tanda ketidaksukaan pada wajah beliau, lalu berkata: “Aku
bertaubat kepada Allah dan kepada Rasulnya. Apa kesalahanku?” Rasulullah s.a.w
berkata: “untuk apa bantal-bantal ini?”
Maka aku berkata: “Aku membelinya agar engkau dapat duduk diatasnya
dan bersandar padanya”. Rasulullah s.a.w bersabda:
إن أصحاب هده الصور يعدبون يوم القيامة,
ويقال لهم: أحيوا ما خلقتم, وقال: إن البيت الذي فيه الصور لا تدحله الملائكة.
“sesungguhnya pelukis ganbar-gambar ini
akan di adzhab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: hidupkanlah
apa yang telah engkau ciptakan itu! Sesungguhnya rumah yang terdapat padanya
gambar-gambar tidak akan dimasui para malaikat.”[3]
Adapun yang bukan
walimah perkawinan, menurut madzhab, mengabulkan undangannya adalah sunnah.
Kemudian apabila mengabulkan undangan walimah kita wajibkan, maka hukumnya
adalah fardhu ain, menurut qaul yang rajih. Dan ada yang mengatakan fardhu
kifayah. Kemudian kalau kita wajibkan atau sunnahkan mengabulkannya, maka wajib
atau sunnah itu tentu dengan beberapa syarat, syarat tersebut ialah[4] :
1.
Hendaknya
walimah dilaksanakan dalam tiga hari, setelah dukhul (bercampur), karena
perbuatan inilah yang dinukil dari nabi:
عن أنس قال: تزوج النبي صل الله عليه وسلّم صفية وجعل عتقها وجعل الوليمة
ثلاثة أيام.
“Dari anas r.a ia berkata: nabi s.a.w menikahi
shafiyah dan menjadikan pemerdekaannya sebagai maharnya dan mengadakan walimah
selama tiga hari.” (sanadnya
shahih: adabuz zifaf: diriwayatkan abu ya’la dengan sanad hasan sebagaimana
yang disebutkan didalam fathul barri).
2.
Mengundang
orang-orang yang shalih baik fakir maupun kaya, karena rasulullah s.a.w
bersabda:
لا تصاحب الا مؤمنا, ولا تأكل طعامك إلا تقي.
“janganlah kamu bersahabat kecuali dengan
orang mukmin, Dan janganlah (pula) menyantap makananmu kecuali orang yang
bertakwa.” (Hasan: shahihul jami’us shaghir).
3.
Hendaknya
mengadakan walimah, dengan memotong seekor kambing atau lebih, bila mampu. Hal
ini berdasrkan sabda nabi s.a.w yang ditujukan kepada Abdurrahman bin ‘auf:
أولم ولوبشاة
“Adakanlah walimah meski hanya dengan
menyembelih seekor kambing” (muttafaqu
alaih).[5]
Rasulullah s.a.w Bersabada:
وفي رواية: أن النيي صل الله عليه وسلم أقام بين خيبر والمدينة ثلاث ليال
يبني عليه بصفيه, فدعوت المسلمين إلى وليمة, وما كان فيها من حبز ولا لحم, وما كان
فيها الا أن أمر بالأنطاع فبسطت, فألقى عليها التمر والأقط والسمن. فقال المسلمون
: إحدى أمهات المؤمنين أو ماملكت يمينه؟ قالوا: إن ححبها فهي إحدى أمهات المؤمنين,
وإن لم يحجبها فهي مما ملكت يمينه. فلما ارتحل وطأ لها خلفه ومد الحجاب. (متفق
عليه)
“dalam riwayat lain disebutkan: bahwasannya
Nabi s.a.w tinggal diantara khaibar dan madinah selama tiga malam, disana
beliau tinggal bersama shafiyyah. Lalu aku mengajak kaum muslimin untuk
menghadiri walimah beliau, saat itu tidak ada roti tidak ada pula daging,
beliau hanya memerintahkan mengeluarkan tikar kulit lalu dihamparkan, kemudian
dituangkan kurma, keju dan mentega. (sebaian) kaum muslimin berkata, “salah
seorang ummahatul mukminin atau hamba sahaya?” (sebagian) mereka menjawab,
“bila beliau menghijabinya berarti salah seorang ummahatul mukminin, dan bila
beliau tidak menghijabinya mangka hamba sahaya.” Ketika beranjak, beliau
berjalan dibelakang dan menurunkan hijab (Muttafaq ‘Alaih).[6]
4.
Undangan
itu merata pada semua kaum keluarga, tetangga, masyarakat sekitarnya, atau
karyawan-karyawan perusahannya, yang kaya maupun yang miskin, tidak mengundang
khusus orang kaya saja. Rasulullah bersabda :
شرّ طعام طعام الوليمة, يمنعها من يأتيها, ويدعى إليها من يأباها
“seburuk-buruk makanan ialah makanan
walimah yang disitu dicegah orang yang mau mendatannginnya dan diundang
kewalimah orang yang tidak mau menghadirinya.”
5.
Menghususkan
dengan mengundang sendiri atau mengutus seseorang. Adapun apabila pengundang
membuka pintu rumahnya dan berkata “datanglah siapa yang mau” atau mengutus
orang lain supaya hadir bersama orang yang mau, atau ia berkata kepada
seseorang “haidirilah dan hadirkan bersamamu orang yang engkau suka”, maka
mengabulkan undangan walimah se[erni ini wajib dan tidak sunnah.
6.
Mengundang
harus bukan karena takut, umpamanya orang yanhg akan diundang itu orang yang
dzalim, atau pembantu-pembantunya, atau karena hakim yang dzalim, atau
pembantu-pembantunya dan sebagainya. Pengundang juga bukan karena menginginkan
pangkat atau kedudukan dari yang diundang. Atau agar yang diundang menolongnya
mendapat kebatilan yang dicarinya, tapi mengundang untuk mendekatkan diri dan
kasih sayang.
7.
Dalam
undangan walimah harus tidak ada yang menyebabkan orang lain tergangu karena
kehadirannya karena orang tersebut tidak layak duduk dengan undangan lainnya.
Jika orang semacam itu ada, maka para undangan lainnya boleh berhalangan tidak
hadir, misalnya mengundang orang-orang yang rendah akhlaknya sedangkan undangan
lainnya terhormat. Yang dimaksud orang-orang yang rendah akhlaknya ialah
seperti orang-p\orang yang terkenal jahat, anak pasar yang lucah mulutnya, dan
agen polisi yang menjadi suruhan orang-orang dzalim dan hakim-hakim pemakn
sogok dan orang-orang fakir dari pojok-pojok yang sering datang
kewalimah-walimah pemeras masyarakat yang mengutip bea (cukai) dan sebagainya,
sebab mereka itulah orang yang sehina-hinanya. Demikian pula orang-orang yang
serupa dengan mereka yang tetap ada saja dimana-mana.
Contoh lain
yang boleh tidak mengahdiri walimah yaitu apabila hadir orang yang menuntut
ilmu dengan tujuan meperoleh pengetahuan untuk menjaga syari’at islam sementara
itu diundang juga orang-orang yang menuntut ilmu karena kepentingan duniawi dan
untuk menyombongka diri terhadap teman-teman dan sebagainya. Maka ini pun tidak
wajib bagi penuntut ilmu yang menjaga marwah ilmu untuk menghadiri walimahnya.
Demikian juga halnya tidak wajib hadir, bagi seorang sufi yang benar dalam
perjalanannya, apabila dalam walimah itu diundang juga sufi lain dari masa ini,
yang kerap datang pada undangan yang diadakan oleh orang baik maupun orang yang
jahat, dan orang-orang tersebut selalu dalam walimahnya mempergunakan alat-alat
permainan musik dan sebagainya. Dan semua ini adalah perkara yang jelas tidak
sepi lagi, kecuali kepada sibuta yang tidak tau rupa bulan.
8.
Harus
dalam walimah itu tidak ada kemungkaran, seperti minum khomer dan alat-alat
musik, seruling dan sebagainya. Jika yang tersebut itu ada, lihat dulu. Kalau
yang diundang itu termasuk orang yang apabila hadir dapat mencegah
kemungkarang, maka hendaklah ia hadir mengabulakn undangan dan menghilangkan
kemungkaran itu. Dan jika tidak, haram menghadirinya karena yang demikan itu
sama seperti orang yang merelahkan dan mengakui kemungkaran. Dalam satu wajah
boleh menghadirinya tetapi tidak mendengarkan musik itu, dan mesti mengingkari
dalam hatinya, sama seperti ketika didekatnya da kemungkaran dimainkan, maka ia
harus menetap ditempat yang tidak perlu berpinda, meskipun suaramusik itu
sampai kepadanya, kata iamam nawawi: “wajah ini salah. Tetapi sebenarnya wajah
ini keliru, dan jangan terpengaruh dengan ketokohan pengarang kitab At-tanbih
(imam nawawi).
9.
Pengundang
mengundangnya pada hari pertama. Jadi kalau pengundang mengadakan walimah tiga
hari, maka tidak wajib mengabulkan pada hari kedua, tanpa ada khilaf, dan tidak
juga kuat kesunatannya seperti menghadiri pada hari pertama. Dan makruh pula
mengabulkan pada hari ketiga.
10.
Yang
mengundang disyaratkan seorang muslim. Kalau yang mengundang kafir dzimmi, maka
tidak wajib mengabulkan, sesuai dengan yang diputuskan jumhur ulama, sebab
bergaul dengan kafir dzimmih itu hukumnya makruh, karena kenajisannya dan
tindakan-tindakannya yang batildan lain-lain, dan karena dalam walimah itu
sebenarnya terkandung sikap kasih-mengasihi. Kata imam rafi’i, disinih hukumnya
makruh, tetapi ia memastikan diakhir bab ‘jizyah’ bahwa kasih mengasihi dengan
kafir dzimmi itu haram hukumnya sebagaimana firman Allah :
ياأيهاالدين امنواالاتتخذواعدويوعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة
“hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil musuhku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita muhammad) karen rasa kasih sayang.” (Al-Mumtahanah: 1)
Dan Allah berfirman :
لاتجد قوما يؤمنون بالله واليوم الاخر يوادّون من حادالله ورسوله
“kamu tidak
akan mendapati suatu kaum yang beriman ke[pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih saying dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasulnya.
(Al-Mujadalah: 22).
Allah telah membuang rasa kasih sayang dari
orang yang beriman. Dengan demikian menunjukkan bahwa orang yang berkasih
sayang denga mereka bukanlah lagi orang beriman. Dan sebagian ulama memperluas
pengertian itu kepada kasih mengasihi dengan orang-orang islam yang fasik.
Dengan demikian haram duduk bersama orang-orang fasik dengan cara berkasih
sayang. Akan hal itu imam rafi’i dan imam nawawi telah menerangkan dalam kitab
‘syahadat’, dank arena itupulah sufyan Ats-tsauri sewaktu thowaf dibaitullah,
kemudian harun Ar-Rasyid datang hendak mengerjakan thowaf, sufyan lalu memutus
thawafnya dan pergi seraya membaca ayat ini:
لاتجد قوما يؤمنون بالله واليوم الاخر
يوادّون من حادالله ورسوله
“kamu tidak
akan mendapati suatu kaum yang beriman ke[pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasulnya. (Al-Mujadalah: 22).
Demikian pulah yang diperbuat Ibnu Abi
Warrad, dan mereka ini berpegang pada lafadz yang umum sifatnya.[7]
[1] Imam
Taqiyuddin Abu Bakah bin Muhammad Al-Husaini KIFAYATUL AKHYAR Bina Iman
Surabaya Hal: 144
[2] ‘Abdul
‘Azim Bin Badawi Al-Khalafi AL-WAJIZ Pustaka As-Sunnah Jakarta 2008 hal:
556-557
[3] Amru
Abdul Mun’im Salim PANDUAN LENGKAP NIKAH Daar An-Naba’ Solo 2008
hal:180-183
[4] Imam
Taqiyuddin Abu Bakah bin Muhammad Al-Husaini KIFAYATUL AKHYAR Bina Iman
Surabaya Hal:146
[5] ‘Abdul
‘Azim bin Badawi Al-Khallafi AL-WAJIZ Pustaka As-Sunnah, Jakarta 2008
Hal:557-558
[6] Al-Imam
Asy-Syaukani RINGKASAN NAILUL AUTHAR Rahmatan Jakarta 2006 hal: 499-500
[7] Imam
Taqiyuddin Abu Bakah bin Muhammad Al-Husaini KIFAYATUL AKHYAR Bina Iman
Surabaya Hal:146-150
No comments :
Post a Comment