BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar belakang
Teks Al-Qur’an dan telah
terhenti, tidak lagi ada yang baru apalagi menamabahkan. Sedangkan perabadan
manusia terus bergerak beserta problematica nya, bahkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan kecanggihan teknologi turut mencetak problem pada masa sekarang.
Suatu hal yang mustahil kiranya bila gerak yang serba cepat tersebut dapat
ditahan (dikontrol) oleh teks yang ‘diam’. Tentu saja mendiamkan persoalaan
yang membutuhkan justifikasi hukum, bukanlah sikap yang diajarkan oleh agama.
Sebab agama menginginkan kemaslahatan bagi manusia agar kehidupan ini terus
berjalan secara dinamis dan memiliki kepastian hukum.
Ijtihad dengan demikian menjadi
suatu jawaban yang tak bisa dihindari. Ijtihad menjadi respon rasional yang
harus dilakukan dalam kualitas apapun, sehingga rumusan hukum yang dihasilkan
dapat mengcover apa yang belum termaktub dalam catatan al-qur'an dan .
Aktifitas penalaran akan menjamin
keberlangsungan akselerasi budaya, akselerasi modernitas dan
akselerasi-akselerasi lainnya dan menekan keresahan umat muslim. Sebab bagi
kaum muslim telah menjadi keharusan bahwa segala aktifitasnya tetap berada
dalam bingkai hukum Islam, setidaknya tidak berada dalam keraguan. Tentu saja
kegiatan ini bersifat ‘bebas dan bertanggung jawab’. Artinya siapapun dapat
melakukan aktifitas ijtihad, karena ijtihad merupakan manisfestasi dari
kebebasan berfikir. Bertanggung jawab artinya hasil dari interpretsinya dapat
dipertanggung jawabkan, dengan demikian, ijtihadkan dilakukan penuh
kehatia-hatian dan keseriusan yang didasari kualifikasi yang memadai.
b.
Rumusan makalah
1.
Pengertian ijtihad
?
2.
Kualifikasi mujtahid
?
3.
Pola ijtihad ?
c.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
Pengertian ijtihad ?
2.
Untuk mengetahui
kualifikasi mujtahid ?
3.
Untuk mengetahui
Pola ijtihad ?
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Pengertian ijtihad
Kata ijtihad menurut bahasa
adalah pengerahan segala kemampuan dan kekuatan dalam suatu aktivitas dari
aktifitas yang sulit dan berat. Pengertian kebahasaan ini menginformasikan
bahwa ijtihad merupakan kegiatan yang melibatkan kemampuan fisik dan pesikis,
batin dan dhahir, jasmani dan akal. Disisi lain ijtihad bukanlah aktifitas
ringan, melainkan kegiatan yang sulit (mashaqqah). Karena kata jahada
mengindikasikan sesuatu yang luar biasa yang tidak semua orang dapat
melakukannya. Untuk itu Ibrahim Hosen menyatakan bahwa kegiatan ijtihad butuh
keahlian dan kekuatan khusus (tertentu) untuk melakukannya.
Sedangkan ijtihad dalam istilah
menurut al-Ghazali :
بذل المجتهد وسعه فى
طلب العلم بأحكم الشريعة
(Pengerahan kemampuan oleh
mujtahid secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum
shari'at). Karena itu, bagi al-Ghazali ijtihad hanya bisa dilakukaan oleh orang
yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid. Disamping itu, kesempurnaan ijtihad
bagi al-Ghazali ditandai oleh keseriusan mujtahid dalam bereskplorasi sehingga
seorang mujtahid merasa tidak mungkin lagi mengeluarkan kemampuannya yang lebih
dari apa yang telah dilakukan.
Bagi al-Syaukani ijtihad adalah
البذل الوسع فى نيل حكم شرعي عملي بطريق الا ستنباط
(mencurahkan seluruh kemampuan
dalam mendapatkan hukum yang praktis dengan menggunakan metode istinbath).
Dengan kata lain, hukum-hukum yang dihasilkan oleh mujtahid tersebut diambil
dari dilalah dhanni. Tidak jauh berbeda sebagaimana dikutip Nadiyah Syarif
Umar, al-Amidi mengutarakan bahwa ijtihad merupakan aktifitas dengan segala
kemampuan yang luar biasa dalam memperoleh hukum-hukum Allah yang bersifat
dhanni, sehingga upaya tersebut merupakan upaya maksimal yang tidak mungkin
melebihi lagi.
Demikian juga Ibn Hajib dan
al-Baidhawi menyatakan bahwa ijtihad merupakan pengerahan kemampuan secara
maksimal (oleh Mujtahid) untuk menemukan hukum-hukum shari'at yang bersifat
Dhanni. Tampaknya Abu Zahrah memiliki pengertian yang lebih rinci yaitu
pengerahan kemampuan oleh ahlu fiqh dalam memperoleh hukum syar'i yang
berhubungan dengan amaliyah sehari-hari dari dalil-dalil yang terperinci.
Dengan demikian, ijtihad
merupakan proses sistematis dalam wilayah hukum Islam yang optimal melibatkan
kemampuan akal untuk memberikan (memperoleh) solusi hukum atas suatu persoalaan
yang bersifat dhanni. Karena hal-hal yang jelas (qath'i) tidak lagi memberikan
peluang bagi mujtahid . Kiranya menyamakan qiyas dengan ijtihad dalam satu
status tampaknya terlalu menyerdehanakan ruang ijtihad, bila qiyas ditempatkan
sebagi bagian integral dari ijtihad, maka logika mendapat pembenaran. Sebab
aktifitas ijtihad tidak saja sekedar menyamakan hukum furu' dengan hukum ashl,
tetapi sebagai sebuah metode, ijtihad dapat ditempuh dengan berbagai jalur,
misalnya masalah mursalah, istihsan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, aktifitas
intelektual secara serius dan independen menjadi ciri khas kegiatan ijtihad,
ijtihad hanya bisa dilakukan oleh orang yang berkompeten dibidang ushul fiqh
dengan menggunakan seperangkat metode teruji, dan wilayah hukum amaliyah
menjadi inti dari garapan ijtihad yang digali dari al-qur'an dan hadits yang
bersifat dhanni. Tugas mujtahid amatlah berat karena dia harus mengeluarkan
petunjuk-petunjuk hukum yang tersembunyi dari nash-nash yang ada, supaya semua
yang masih tersembunyi dapat menjadi terang dan bisa diaplikasikan kedalam
kehidupan nyata. Ijtihad dengan begitu menurut Ali Yafie juga dapat dimaknai
sebagai kemerdekaan berfikir manusia, berbeda dengan taklid yang diartikan
sebagai keleseuan pemikiran karena hanya mengikuti pendapat para imam.
b.
Kualifikasi
mujtahid
Kegiatan ijtihad tidak bisa
dihindari dari perbedaan pandangan antara satu mujtahid dengan mujtahid yang
lain, meski menggunakan dalil yang sama. Hal ini tidak lepas dari beragam
kecendrungan yang melingkari pada saat mujtahid memperlakukan sebuah nash.
Kondisi sosial atau bahkan perspektif yang digunakan turut mempengaruhi hasil
akhir ijtihad. Disisi inilah subyektifitas mujtahid sebagaimana diungkapkan
Baqir Sadr yang dikutip Amir Mu'allim sejenak menemukan pembenaran. Bila yang
dimaksudkan subyektifitas Baqir adalah keberpihakan mujtahid pada teks sesuai
kerangka yang telah dibangunnya, maka itu menurut penulis obyektif pada
dunianya. Karena masing-masing mujtahid sangat mungkin memilih dari sekian
ketersediaan pilihan dalil yang dianggapnya absah dan layak berdasarkan konteks
teks itu berada. Sangat mungkin juga keterbatasan teks yang dihadapi oleh
masing-masing mujtahid menyebabkan perbedaan konklusi ijtihad pada persoalaan
yang sama, inilah yang disebut inakurasi oleh Jalaluddin Rahmat.
Terlepas dari perdebatan tersebut,
optimisme untuk tidak terjebak pada kesalahan ijtihad dibutuhkan kejujuran
intelektual, keikhlasan mujtahid dalam melakukan pencarian hukum yang
didasarkan pada kemampuan akademik yang cukup memadai akan memberikan jaminan
bahwa hasil ijtihad tertentu jauh dari spekualtif dan dapat dipertanggung
jawabkan. Sekalipun ijtihad bukan persoalaan mudah, bukan berarti ijtihad telah
tertutup. Sebab tidak ada yang memiliki otoritas untuk melarang seseorang untuk
berijtihad, bahkan problem keumatan yang dewasa ini terus bermunculan tidak
bisa didiamkan begitu, al-qur'an berkali-kali memotivasi umat manusia untuk
menggunakan akalnya (berijtihad).
Oleh karena itu, masalah ijtihad
bukan masalah mau dan tidak mau, tetapi lebih bersifat akademis : mampu atau
tidak mampu. Menyuruh berijtihad pada orang yang tidak memiliki kapasitas yang
memadai sama halnya dengan mengacaukan sistem hukum Islam. Sebab untuk kegiatan
yang wahid ini diperlukan beberapa kriteria sebagai garansi (jaminan) hasil
sebuah pemikiran yang benar-benar otoritatif.
Nadiyah Syarif al-Umari
mengelompokkan syarat-syarat ijtihad ke dalam dua katagori sebagai berikut:
Pertama:
persyaratan umum (al-Syurut al-'Ammah), meliputi:
a. Islam
b.
Baligh
c.
Memiliki daya nalar yang kuat
Kedua:
persyaratan khusus (al-Syurut al-Taahhiliyah) yang dibagi dua macam:
1)
Persyaratan Pokok
(al-Syurut al-Asasiyyah) yaitu kecakapan dasar yang meliputi:
a)
Mengetahui
al-Qur'an (tidak harus hafal) sebagai referensi utama sumber hukum Islam,
terutama ayat-ayat hukum dan ulum Al-Qur'an (asbab Al-Nuzul, nasikh mansukh,
Makiyah dan Madaniyah, muhkamat dan mutasyabih). Paling tidak mengetahui
letaknya sehingga ketika dibutuhkan dapat segera merujuknya.
b)
Memahami Sunnah
(baik yang qauli, fi'li dan taqriri) terutama hadits ahkam. Persyaratan ini di
anggap penting mengingat posisi sunnah sebagai sumber hukum setelah al-qur'an
memiliki fungsi penjelas. Untuk itu mengetahui ma'na hadits dan susunan
petunjuknya merupakan hal yang tak bisa dihindari. Demikian juga tentang
kualitas sanad dan matan sehingga terhindar dari ketidak validan data.
c)
Menguasai bahasa
Arab, nyaris tak ada pertentangan dikalangan ulama' ushul bahwa penguasaan bahasa
mutlak adanya, seperti nahwu, sharf, balaghah, dan lain sebagainya. Tak
dipungkiri lagi oleh ulama' bahwa al-qur'an diturunkan menggunakan bahasa Arab.
Setidaknya menurut al-Ghazali, mujtahid mampu mengetahui kitab bangsa arab dan
kebiasaannya, karena al-qur'an diturunkan dalam konteks tradisi bangsa Arab.
d)
Mengetahui ushul
fiqh, mujtahid dituntut menguasi ketentuan yang beralaku dalam ushul fiqh
sehingga mampu memahami petunjuk-petunjuk ataupu pertentangan dalil dan cara
menyelesaikannya.
e)
Mengetahui tema-tema
penting yang telah disepakati para sahabat (ijma'). Hal ini dimaksud
dimaksudkan agar hasil ijtihanya tidak bertentangan, namun bila mengandaikan
ijma' bukan sebagai dasar hukum, maka tidak perlu.
2)
Persyaratan
pelengkap (al-Syurut al-Takmiliyyah) meliputi:
a)
Mengetahui hukum
asal suatu perkara
b)
Mengetahui maksud
hukum syari'at
c)
Mengetahui kaidah-kaidah
umum hukum Islam, misalnya kaidah Al-Yaqin la yuzalu bi al-syak, al-dhararu
yuzalu.
d)
Mengetahui
tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat
e)
Mengetahui tradisi
yang membumi di suatu tempat
f)
Mengatahui ilmu
logika
g)
Memiliki sifat adil
h)
Memiliki sifat
wara' dan 'iffah
Sedangkan menurut al-Syaukani,
syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid adalah sebagai berikut:
1)
Mengetahui
al-Qur'an dan Sunnah, terutama yang berhubungan dengan hukum.
2)
Mengetahui ijma'
sehingga tidak mengeluarkan fatwa yang berbeda. Al-Syaukani tidak menempatkan
ijma' secara ketat, hanya bagi mereka yang berkeyakinan bahwa ijma' sebagai
sumber hukum.
3)
mengetahui bahasa
Arab.
4)
mengetahui ilmu
ushul fiqih, ilmu ini sangat pokok bagi seorang mujtahid karena dengan ilmu ini
mujtahid akan bergerak atau berijtihad merespon segala persoalaan yang muncul.
5)
mengetahui nasikh
mansukh.
Bagi
al-Ghazali setidaknya ditubuhkan dua syarat bagi mujtahid yaitu: (a) mengetahui
ilmu syara' yang memadai sehingga memungkin memperlakukan teks dengan benar,
(b) memiliki sifat 'adil dan menjauhkan diri dari ma'ashi. Bagi Al-Syatibi,
untuk sampai ke derajat mujtahid seorang faqih harus memiliki dua sifat yaitu:
(a), mampu memahami maksud-maksud syari'at (maqashid al-syari'ah) dan (b)
sanggup mengistimbatkan hukum berdasarkan pemahamannya sendiri terhadap
maqashid al-syari'ah.
Sedangkan
menurut Abu Zahrah dan kelompok ahl sunnah syarat ijtihad meliputi:
1)
Mengetahui bahasa
Arab
2)
Mengetahui
al-kitab, sunnah, qiyas dan ijmak
3)
Mengetahui nasikh
mansukh dan 'am dan khas
4)
Mengetahui tujuan
hukum Islam
Meski syarat yang diberikan oleh
Al-Syaukani tergolong ringan, namun tidak banyak ulama' yang memiliki nyali
cukup kuat untuk melakukan ijtihad. Dari sekian persyaratan yang diajukan oleh
ulama' ada beberapa hal yang secara umum harus selalu ada yaitu:
pertama, penguasaan bahasa Arab.
Karena sumber hukum Islam adalah teks bisu yang menggunakan bahasa Arab, maka
pendekatan kebahasaan mutlak adanya. Kedua, memiliki pengetahuan yang cukup
tentang al-qur'an dan sunnah, sebab keduanya merupakan cantolan hukum yang
resmi. Ketiga, mengetahui ushul fiqh, sebab ushul merupakan dasar untuk
memahami ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan hukum. Atas dasar itulah
ushul fiqh disebut sebagai kerangka berpikir, metode dan teori-teori yang
mempelajari ajaran Islam.
Dalam perspektif pakar ushul
al-fiqh, persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk menjamin kualitas
hasil pemikiran (ijtihad) sehingga tidak keluar dari fream agama. Karenanya
status mujtahid hanya diberikan kepada siapapun yang memenuhi kualifikasi
tersebut. Siapaupn bagi al-Tayyib al-Khuderi sebagaimana dikutip Satria Efendi,
bahwa mereka yang telah memenuhi kreteria di atas dipersilahkan berijtihad.
Sekalipun demikian, ulama'
membedakan tingkatan (derajat) mujtahid ke dalam beberapa tingkatan, mulai dari
rangking tertinggi sampai ke peringkat terendah.
Beberapa
tingkatan mujtahid dimaksud sebagai berikut :
1.
Mujtahid mustaqil,
yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari'ah langsung dari sumbernya
yang terpokok (al-qur'an dan hadits) dan dalam meng-istinbathkan hukum
mempunyai dasar-dasar ushul sendiri, tidak mengikuti ushul istinbath mujtahid
lain. Mujtahid mustaqil ini lazim disebut mujtahid mutlak.
2.
Mujtahid muntasib,
yakni mujtahid yang dalam meng-istibathkan hukum mengikuti (memilih) ushul
al-istinbat imam madzhab tertentu walau terkadang dalam hal furu'iyah berbeda
dengan pendapat imamnya.
3.
Mujtahid madzhab yaitu
mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya baik maslah ashl mapun furu' . Kalaupun
berijtihad adalah pada hal-hal yang ketentuannya tidak ditemukan dalam pendapat
madzhabnya.
4.
Mujtahid murajjih,
yaitu mujtahid yang tidak meng-istinbath-kan hukum-hukum furu' apalagi hukum
ashl, ia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian
memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat (arjah).
5.
Mujtahid mustadil,
yaitu ulama' yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada.
Akan tetapi dia hanya mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan
menerangkan mana yang patut dipegang (diikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih
dahulu.
Wahbah al-Zuhaili dan Abu Zahrah memetakan tingkatan
mujtahid hampir sama dengan yang disebut di atas, namun dengan istilah yang
berbeda, yaitu :
1)
Mujtahid Mustaqil
yakni mujathid yang berdiri sendiri dari sisi metodelogi (empat madzhab)
2)
Mujtahid Ghair Mustaqil
yakni mujtahid yang memanfaatkan metode imam madzhab, seperti Ibn Qasim madzhab
Malikiyah dan Muzanni madzhab Syafiiyah.
3)
Mujatahid Muqayyid
(tahrij) yakni mengikuti hasil ijtihad imam madzhab, seperti Thahawi Hanafiyah
dan Abi Ishak al-Syairazi Syafiiyah.
4)
Mujtahid Tarjih
yakni mujtahid yang dapat memilah dalil-dalil yang digunakan imamnya, seperti
al-Quduri Hanafiyah.
5)
Mujtahid Fataya
yakni hanya memahami beberapa pendapat dari madzhabnya beserta mengetahui dalil
yang digunakan.
Sebagian ulama' yang lain
menyempitkan klasifikasi mujtahid menjadi dua yaitu: Mujtahid mutlak dan
mujtahid bi al-madzhab. Bagi al-Syaukani yang disebut mujtahid adalah orang
telah memiliki persyaratan di atas, baginya dilarang taklid. Lebih lanjut
Syaukani sangat mencela praktek taklid, baginya taklid dalam agama disebut
bid'ah.
Kalau demikian adanya bagaimana
dengan orang-orang yang tidak memiliki kapasitas sebagai mujtahid? Bukankah
alami dan sunnatullah bila ada imam dan makmum? Pertanyaan ini setidaknya
menyadarkan al-Syaukani untuk tidak terlalu memaksakan pendapatnya kepada semua
umat Islam untuk berijtihad. Bila ungkapan tersebut bertujuan mendorong
semangat berfikir maka patut diapresiasikan. Atau Syaukani sebenarnya mengakui
adanya tingkatan mujtahid, sehingga dengan sendirinya semua orang berijtihad
sesuai tingkatannya masing-masing.
Sejalan dengan keinginan
menghidupkan kembali semangat syari'at melalui ijtihad, perlu dikedepankan
niatan yang bersih dan i'tikad yang baik bagi tiap-tiap upaya pemikiran hukum.
Niat dan i’tikad yang brsih akan mengarahkan mujtahid pada kebersihan pikiran
dan tindakan. Lebih-lebih masyarakat saat masih mengalami syndrom pada kaidah
andur ila man qala bukan ila ma qala.
Di era dewasa ini, ijtihad
menjadi kebutuhan mutlak untuk kepentingan dinamisasi kehidupan umat Islam.
Problem yang dihadapi sedemikian kompleks, membiarkan persoalaan tersbut
berlalu lalang tanpa kapastian hukum justru akan mengacaukan pola kehidupan
umat Islam. Tentu saja tak cukup menyerahkan persoalaan kekinian ke hadapan
fiqh klasik yang dibuat jauh sebelumnya. Lain persoalaan lain pula cara
menyelesaikannya. Mengingat peluang ijtihad berdasarkan pola dan tingkatannya
masih terbuka, maka pandangan kaum bermadzhab perlu dirubah, dari madzhab qauli
menjadi madzhab manhaji, dari ijtihad induvidu ke ijtihad ijtima’i. Demikian
juga disiplin ilmu tertentu yang dapat memberikan solusi terbaik patut juga
dipertimbangkan.
Masa
depan ijtihad setidaknya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
A.
Ijtihad Intiqa’i
(tarjih) : adalah menyeleksi pendapat dan dalil yang digunakan oleh madzhab,
tidak hanya di dalam internal madzhab tertentu tapi meliputi semua madzhab yang
ada. Pola ini setidaknya dapat mengetahui dalil mana yang kuat dan dapat
dijadikan pegangan.
B.
Ijtihad Insyai :
adalah usaha untuk menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan oleh imam
madzhab terdahulu, metode yang digunakan para mujtahid dapat dipakai disamping
memperhatikan disiplin ilmu tertentu yang berkembang saat ini. Perlu kiranya
melihat persolaan secara utuh dan menyeluruh. Mengingat desain pengetahuan masa
kini bersifat spesifikasi, maka sangat sulit kiranya dilakuakn secara mandiri.
Melibatkan banyak orang atau semacam kelompok penelitian akan lebih agresif.
Untuk mewujudkan keinginan
tersebut diperlukan rekonstruksi idea-moral alqur’an. Al-qur’an bukan
sekumpulan teks yang anti dengan kenyataan-kenyataan bumi. Idealitas al-qur’an
justru ingin memberikan kemaslahatan yang besar buat manusia di bumi. Karena
itu, hukum yang ada di al-qur’an semuanya merupakan shari’at ideal yang dibantu
oleh organisasi hadits.
Memahami akar sosiologis setiap bagian al-qur’an secra utuh
dengan tidak melupakan karya-karya klasik akan memberikan pemahaman baru dan
lebih mengena. Tidak bisa dipungkiri bahwa al-qur’an sangat terkait dengan
realitas dimana diturunkan, yakni tradisi Arab. Historisitas ayat akan membantu
penyingkapan ruh ataupun tujuan yang dikehendaki oleh shara’, meski tidak harus
membuang aspek legalitas.
Apa yang dilakukan shahabat Umar mewakili gerakan
reaktualisasi ajaran al-qur’an. Umar secara nyata keluar dari formalitas
al-qur’an untuk beralih ke subtansi yang lebih maslahah dan berkeadilan.
Kreatifitas dan inovasi yang dinamis dalam menemukan rumusan baru dalam
memahami shari’ah untuk kemudian dijadikan pijakan brijtihad perlu
mengakomodasi tiga pilar sebagai berikut :
a.
Pendekatan historistas guna menemukan keinginan teks
b.
Menemukan perbedaan legal formal teks dan tujuan pemberlakuan shari’ah.
c.
Penetapan shari’ah harus bisa memperhatikan aspek maslahah.
c.
Pola ijtihad
Para ulama’ telah menyusun
seperangkat metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadits dalam upaya lebih
mendekatkan pada maksud-maksud pensyariatan hukum di satu pihak dan mendekatkan
hasil penalaan dengan kenyataan yang ada di tengah masyarakat di pihak lain. Kerangka
sistematis kaidah-kaidah tersebut, mula-mula diperkenalkan oleh Imam Syafi’i
(150-204 H). Secara umum metode penalaran tersebut dapat dibagi ke dalam tiga
pola, yaitu pola bayani (kajian semantik), pola ta’lili (penentuan illat), dan
pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan berdasar nash umum).
1.
Pola Bayani
Ke dalam pola pertama ini
dimasukkan semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik):
kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti
dari lafal musytarak (anbigu), mana lafal yang umum yang diterangkan (‘am
mubayyan), dan mana pula yang khusus yang menerangkan, mana ayat yang qath’i
dan mana pula yang dzanny, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula
sunat, kapan larangan itu haram dan kapan pula makruh, dan seterusnya.
Sebagai contoh di dalan hadis ada
perintah untuk mempersaksikan nikah dan di dalam Al-Quran ada perintah
mempersaksikan ruju’ (At-Talaq: 2). Ulama memahami kesaksian nikah sebagai
wajib sedang kesaksian ruju’ oleh sebagian ulama dianggap sunnah. Ulama sepakat
bahwa masa iddah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haid adalah
tiga quru’. Adanya masa iddah ini dianggap qath’i. Akan tetapi terjadi
perbedaan pendapat tentang arti quru’ tersebut. Ada yang menyatakannya masa
suci dan ada yang menyatakannya masa haid. Pemilihan salah satu arti tersebut
dianggap dzanny.
2.
Pola Qiyasi
(Ta’lili)
Ke dalam pola ini dimasukkan
semua penalaran yang menjadikan illat (kaadaan atau sifat yang menjadi tambatan
hukum) sebagai titik tolaknya. Di sini dibahas cara-cara menemukan illat di
dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan
illat baru (sebagai pengganti yang lama).
Sebagai contoh di dalam hadits
ada perintah mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman, yaitu gandum, kurma
(kering), dan anggur (kismis). Sebagian ulama kelompok zahiriyah memahami hadits
ini melalui pola bayani, hanya memegangi arti zahirnya. Jadi produk pertanian
yang terkena zakat hanyalah ketiga jenis tanaman tersebut.
Namun, sebagian besar ulama berupaya mencari illat dari
jenis tanaman tersebut dan lantas memperluasnya kepada tanaman lain yang
mempunyai illat sejenis. Ada yang menyatakan, “mengenyangkan (makanan pokok)”,
ada yang menyatakan jenis biji-bijian, ada yang menyatakan ditanam bukan tumbuh
sendiri, dan ada yang menyatakan dibudidaya sebagai illatnya. Karena perbedaan
ini terjadi perbedaan pendapat tentang zakat cengkeh, kopi, sayuran, rotan, dan
sebagainya. Ada yang menyatakan terkena zakat dan ada yang menyatakan tidak, sesuai
dengan illatnya yang dipilih tadi.
Biasanya pola ini digunakan
apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk memperkuat
argumen, tetapi mungkin juga untuk mengalihkannya pada kesimpulan lain agar
terasa lebih logis dan lebih berhasil guna.
3.
Pola Istislahi
Dalam pola ini, ayat-ayat umum
dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsisp umum yang digunakan untuk
melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun
menjadi tiga tingkatan daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan
primer), dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini didedukasikan
kepada persoalan yang ingin diselesaikan.
Misalnya tranplantasi organ
tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas kendaraan bermotor. Masalah-masalah
ini tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan. Karena itu untuk menentukan
hukumnya, digunakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari ayat-ayat, seperti:
tidak boleh mencelakan diri sendiri dan orang lain, menolong orang lain adalah
kebajikan, dan lain-lain.
Melalui pendeduksian dan
pertimbangan tingkatan keutamaan, para ulama menyimpulkan kebolehan sebagai
hukum dasar tranplantasi, boleh untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh
suami istri itu sendiri, sedang pelanggran lalu lintas dianggap sebagai ta’zir.
Pola istislahi sesuai keadaannya,
baru digunakan ketika tidak ada dalil khusus, hanya berhubungan dengan
persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena penggunaan teknologi dan
kemajuan ilmu pengetahuan. Di dalam ushul fiqh, pola yang terakhir ini sangat
sedikit mendapat perhatian.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Sumber hukum tertinggi dalam
Islam adalah Allah. Dalam pandangan syariah semua orang wajib tunduk pada hukum
Allah yang berasal dari wahyu samawi. Jadi, perumusan hukum Islam tidak lain
ialah usaha menemukan kehendak Allah. Sumber untuk mengetahui kehendak Allah
itu adalah Al-Quran dan Sunnah. Tujuan utama kedua sumber ajaran itu adalah
meletakkan sebuah way of life yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan
sesamanya dan dalam hubungan dengan Allah. Dengan demikian, adalah tugas kaum
muslimin melalui pemanfaatan akalnya untuk merealisasikan pedoman-pedoman pokok
itu dalam wujud ketetapan-ketetapan hukum dalam konteks yang berbeda-beda.
Kesimpulan dalam kajian ini
ditemukan bahwa ijtihad pada periode klasik dilakukan melalui dua cara, yaitu
mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan
kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat, serta
mereka sendiri berijtihad. Adapun cara yang digunakan oleh mayoritas mujtahid
pada periode berikutnya ialah melalui pendekatan yang mengedepankan teks (ahlul
hadits) dan logika (ahlur ra’yi).
Adapun pola ijtihad pada periode
pertengahan tidak semaju pada periode berikutnya. Bahkan lebih cenderung mundur
dan hanya mengikuti hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya.
REFRENSI
·
Al-Baihaqi,
Metodelogi Ijtihad Sayyidina Umar, Yogyakarta : Qalam, 2005.
·
Amir Mu’alim dan
Yusdani. 2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
·
htp://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad.
·
Hasan, Ahmad. Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung : Pustaka, 1984.
No comments :
Post a Comment