Saturday 27 June 2015

HUKUM TRANSPLANTASI ORGAN MANUSIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan di berbagai bidang. Salah satunya adalah di bidang kesehatan yaitu teknik transplantasi organ tubuh manusia. Transplantasi organ merupakan suatu teknologis medis penggantian organ tubuh pasien yang tidak berfungsi dengan organ dari individu lain. Sampai sekarang penelitian tentang transplantasi organ masih terus dilakukan.
Masalah transplantasi organ tubuh merupakan masalah ijtihad yang terbuka kemungkinan untuk didiskusikan karena belum pernah dibahas oleh para ulama terdahulu, sama halya dengan bayi tabung. Hal ini karena perkembangan zaman yang semakin maju dan menimbulkan masalah-masalah baru yang belum diterangkan oleh ulama tedahulu.
Namun apa yang bisa dicapai oleh teknologi belum tentu sesuai dengan al quran dan hukum hidup dalam masyarakat. mengingat transplantasi organ tubuh termasuk masalah ijtihad, yang tidak terdapat hukumnya secara eksplisit di dalam al quran dan hadist, maka seharusnya masalah ini dianalisis dengan memakai berbagai pendekatan. Supaya dapat diperoleh kesimpulan berupa hukum ijtihadi yang profesional dan mendasar yang tak lepas dari al quran dan as sunnah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Transplantasi organ tubuh manusia ?
2.      Apa saja yang menjadi sebab melakukan transplantasi organ ?
3.      Bagaimana akibat hukum menurut hukum islam pada transplantasi organ tubuh ?
4.      Apa saja organ tubuh yang haram dan halal untuk ditransplantasikan ?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengeetian dari Transplantasi organ tubuh manusia.
2.      Untuk memahami secara jelas sebab-sebab melakukan transplantasi organ tubuh.
3.      Untuk mengetahu pandangan hukum islam terhadap transplantasi organ tubuh.
4.      Untuk mengetahui organ tubuh apa saja yang haram dan halal untuk ditransplantasikan.





























BAB II
PEMBAHASAN


A.    Akibat Hukum Islam Dari Praktek Transplantasi Organ Tubuh
Pencangkokan (transplantasi), ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
Tujuan utama transplantasi organ adalah mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Transplantasi  ditinjau dari sudut si penerima dapat dibedakan menjadi :
1.      Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri.
2.      Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatau jaringan atau organ dari  tubuh seseorang ke  tubuh  orang lain.
3.       Heterotransplantasi,  yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari  suatu spesies ke tubuh spesies lainnya.
Ada dua komponen yang  penting yang mendasari transplantasi yaitu :
a.       Eksplantasi, yaitu usaha mengambil  jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah  meninggal.
b.      Implantasi, yaitu usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh sendiri atau tubuh orang lain.
Disamping itu, ada dua komponen yang menunjang keberhasilan tindakan transplantasi, yaitu :
a.       Adaptasi donasi, yaitu  usaha  dan kemampuan menyesuaikan diri orang hidup yang  diambil jaringan atau organ tubuhnya, secara  biologis dan  psikis, untuk hidup dengan kekurangan jaringan / organ.
b.      Adaptasi resipien, yaitu usaha dan kemampuan diri  dari penerima jaringan / organ tubuh baru sehingga tubuhnya  dapat menerima atau menolak jaringan / organ tersebut, untuk berfungsi  baik, mengganti yang sudah tidak dapat berfungsi lagi.[1]
Ada tiga (3) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai permasalahannya sendiri, yaitu :
a.       Donor dalam keadaan sehat, tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap), baik terhadap donor maupun terhadap si penerima (resipien), demi menghindari kegagalan transplatasi yang disebabkan oleh karena penolakan tubug resipien, dan sekaligus untuk mencegah resiko bagi donor. Sebab menurut data statistic, 1 dari 1000 donor meninggal dan si donor juga bisa merasa was was dan tidak aman (insecure), karena menyadari bahwa dengan menyumbangkan sebuah ginjalnya, misalnya, ia tidak akan memperoleh kembali ginjalnya seperti sedia kala.
b.      Donor dalam keadaan hidup koma atau diduga kuat akan meninggal segera, untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat control dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus. kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut, setelah selesai proses pengambila organ tubuhnya, hanya kriteria mati secara medis/klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas. Apakah kriteria mati itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernafasan (sebagaimana rumusan PP No.18/1981) ataukah dengan berhentinya fungsi otak (sebagaimana rumusan Kongres IDI tahun 18985). Penegasan kriteria mati secara klinis dan yuridis itu sangat penting bagi dokter sebagai pegangan dalam menjalankan tugasnya, sehingga ia tidak khawatir dituntut melakukan pembunuhan berencana oleh keluarga yang bersangkutan sehubungan dengan praktek transplantasi itu.
c.       Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yuridis dan harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang mau diambil untuk transplantasi.
Sampai saat ini, transplantasi organ tubuh yang banyak dibicarakan di kalangan ilmuwan dan agamawan/rohaniwan adalah mengenai tiga macam organ tubuh, yaitu mata,ginjal dan jantung. Hal ini dapat dimaklumi, karena dari segi struktur anatomis manusia, ketiga organ tubuh tersebut sangatlah vital bagi kehidupan manusia. Namun, sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan modern dan teknologi yang makin canggih, maka di masa yang akan datang, transplantasi mungkin juga berhasil dilakukan untuk organ-organ tubuh lainnya, mulai dari kaki dan telapaknya sampai kepalanya termasuk pula organ tubuh bagian dalam, sperti Rahim wanita.
Namun apa yang bisa dicapai dengan teknologi, belum tentu bisa diterima oleh agama, dan hokum yang hidup di masyarakat. Karena itu, mengingat transplantasi organ tubuh itu termasuk masalah ijtihadi, karena tidak terdapat hukumnya secara eksplisit di dalam Al-Qur`an dan Sunah, dan mengingat pula masalah transplantasi itu termasuk masalah yang cukup kompleks, menyangkut berbagai bidang studi, maka seharusnya masalah ini dianalisis dengan memakai pendekatan/metode multi disipliner, misalnya kedokteran, biologi, hokum, etika, dan agama, agar bisa diperoleh kesimpulan berupa hokum ijtihadi (hokum fiqh Islam) yang proporsional dan mendasar).
Bagaimanakah pandangan Islam terhadap transplantasi ketiga organ tubuh tersebut di atas, yakni mata, ginjal dan jantung? jawaban atas masalah ini tergantung kepada kondisi donornya, apakah donor dalam keadaan hidup sehat, ataukah dalam keadaan koma atau hampir meninggal, ataukah dalam keadaan mati. Apabila Pencangkokan mata (selaput bening mata atau kornea mata), ginjal, atau jantung dari donor dalam keadaan hidup maka menurut hemat penulis, Islam tidak membenarkan (melarang), karena :
a.       Firman Allah dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah ayat 195 :
yang artinya : “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.
ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabag berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan yang luhur. Misalnya : seorang menyumbangkan sebuah matanya atau sebuah ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak berfungsi ginjalnya, sebab selain ia mengubah ciptaan Allah yang membuat mata dan ginjal berpasangan, juga ia menghadapai resiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu.
b.      Kaidah hokum islam :
“Menghindari kerusakan/risiko didahulukan atas menarik kemaslahatan,”
Misalnya, menolong orang dengan cara mengorbankan dirinya sendiri yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, tidak dibolehkan oleh Islam.
c.       Kaidah hokum islam :
“ Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.”
Misalnya, bahaya yang mengancam jiwa si A, tidak boleh diatasi/dilenyapkan dengan cara yang bisa menimbulkan bahaya baru yang mengancam jiwa orang yang menolong si A tersebut.
Apabila pencangkokan mata,ginjal, jantung dari donor dalam keadaan koma atau hampir meninggal; maka Islam pun tidak mengizinkan, karena :
a.       Hadis Nabi riwayat Malik dari `Amar bin Yahya, riwayat Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Al-Darutqutni dari Abu Sa`id al-Khudri, dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan `Ubadah bin Al-Shamit :
“Tidak boleh membikin mudarat pada dirinya dan tidak boleh pula membikin mudarat pada orang lain.”
Misalnya orang yang mengambil organ tubuh dari seorang donor yang belum mati secra klinis dan yuridis untuk transplantasi, berarti ia membuat mudarat kepada donor yang berakibat mempercepat kematiannya.
b.      Manusia wajib berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya, demi mempertahankan hidupnya; tetapi hidup dan mati itu di tangan Allah. Karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri (bunuh diri) atau mempercepat kematian orang lain, sekalipun dilakukan oleh dokter dengan maksud untuk mengurangi /menghentikan penderitaan si pasien.
Apabila pencangkokan mata, ginjal, atau jantung dari donor yang telah meninggal secara klinis dan yuridis, maka menurut penulis, Islam bisa mengizinkan dengan syarat :
a.       Resipien (penerima sumbangan donor ) berada dalam keadaan darurat, yang mengancam jiwanya, dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan nonmedis, tetapi tidak berhasil.
b.      Pencangkokan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resipien dibandingkan dengan keadaannya sebelum pencangkokan.
Adapun dalil-dalil syar`I yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan pencangkokan mata (selaput bening atau kornea mata), ginjal, atau jantung antara lain sebagai berikut :
a.       Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 195 di atas, yang menurut sebab turun ayatnya adalah para sahabat Nabi mulai merasa Islam dan umat Islam telah menang dan kuat. Karena itu, mereka ingin melakukan bisnis perdagangan dan sebagainya dengan sepenuh tenaga guna memperoleh kembali harta benda yang lenyap selama itu akibat perjuangan untuk agama. Maka ayat ini memperingatkan kepada para Sahabat agar tidak tergoda oleh harta sampai lengah dan lupa perjuangan yang mulia, sebab musuh-musuh Islam masih tetap mencari dan menunggu kelengahan umat islam agar dengan mudah Islam dapat dihancurkan.
Ayat tersebut secara analogis dapat dipahami, bahwa Islam tidak membenarkan pula orang yang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya maut atau tidak berfungsinya organ tubuhnya yang sangat vital baginya, tanpa usaha-usaha penyembuhannya secara medis dan nonmedis, termasuk pencangkokan organ tubuh, yang secara medis memberi harapan kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahan hidup dengan baik.
b.      Al-Qur`an Surat Al-Maidah ayat 32 :
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-seolah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.”
ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat meneyelamatkan jiwa manusia. Misalnya seorang yang menemukan bati yang tidak berdosa yang dibuang di sampah, wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Demikian pula seorang yang dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhnya (mata, ginjal, dan jantung) setelah ia meninggal, maka Islam membolehkan, bahkan memandangnya sebagai sebagai suatu kewajiban kemanusiaan yang tinggi nilainya, karena menolong jiwa sesama manusia atau membantu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
c.       Hadis Nabi :
“ Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit, kecuali Dia juga meletakkan obat penyembuhannya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua (Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal, Al-Tirmidzi, Abu Daud, Al-Nasa`I, Ibnu Majah, Ibnu Hibba, dan Al-Hakim dari Usamah bin Syarik).
Hadis ini menunjukkan bahwa umat Islam wajib berobat jika menderita sakit, apa pun macam penyakitnya, sebab setiap penyakit berkah kasih saying Allah, pasti ada obat penyembuhnya, kecuali sakit tua. Karena itu penyakit yang sangat ganas, seperti kanker dan AIDS yang telah banyak membawa korban manusia di seluruh dunia, terutama di dunia Barat, yang hingga kini belum diketahui obatnya, maka pada suatu waktu akan ditemukan pula obatnya.
d.      Kaidah hokum Islam :
“ Bahaya itu dilenyapkan/dihilangkan.”
Seorang yang menderita sakit jantung atau ginjal yang sudah mencapai stadium yang gawat, maka ia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu, Maka menurut kaidah hokum di atas bahaya maut itu harus ditanggulangi dengan usaha pengobatan. Dan jika usaha pengobatan secara medis biasa tidak bisa menolong, maka demi menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau ginjal diperbolehkan karena keadaan darurat.
Dan ini berarti, kalau penyembuhan penyakitnya bisa dilakukan tanpa pencangkokan, maka pencangkokan organ yubuh tidak dikenakan.
e.       Menurut hokum wasiat. keluarga orang meninggal wajib melaksanakan wasiat orang yang meninggal mengenai hartanya dan apa yang bisa bermanfaat, baik untuk kepentingan si mayat itu sendiri (melunasi utang-utangnya), kepentingan ahli waris dan non ahli waris, maupun untuk kepentingan agama dan umum (kepentingan social, pendidikan, dan sebagainya). Berhubung si donor aorgan tubuh telah membuat wasiat untuk menyumbangkan organ tubuhnya untuk kepentingan kemanusiaan, maka keluarga/ahli waris wajib membantu pelaksanaan wasiat si mayat itu.
bagaimana menurut islam, apakah donor organ tubuh itu bisa mendapat pahala, jika resipien (penerima organ tubuh) orang yang saleh; dan apakah si donor juga menanggung dosa, jika resipiennya orang yang suka berbuat maksiat? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan tegas “tidak”! berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
a.       Al-Qur`an surat Al-Najm ayat 39-41 :
“ bahwasanya manusia itu tidak memperoleh selain apa yang ia usahakan. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang saling sempurna.”
Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa setiap orang hanya akan mendapatkan balasan/ganjaran dari Allah sesuai dengan amalnya masing-masing.
b.      Al-Qur`an surat Al-Najm ayat 38 :
“Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang tidak menanggung dosa orang lain. Berdasarkan ayat ini dan ayat-ayat tersebut di atas  (Al-Najm 39-41), maka Islam tidak mengenal swarga nunut, neraka katut.

c.       Hadis Nabi :
“ Jika manusia itu telah meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali yang meninggalkan tiga hal, yaitu : 1. sedekah/amal jariyah (wakaf), 2. ilmu yang bisa diambil manfaatnya oleh orang lain, dan 3. anak saleh yang mendoakan untuk orang tuanya.”( Hadis riwayat Al-Bukhari dan lain-lain dari Abu Hurairah)
Karena itu, menurut penulis, donor organ tubuh tidak bertanggungjawab atas perbuatan resipien, sebagaimana ia (donor) tidak berhak memperoleh pahala dari amalan-amalan yang baik dari resipien, sebab sumbangan organ tubuh itu tidak termasuk dalam kategori tiga hal yang disebut dalam Hadis di atas.[2]
Dr.Yusuf Qardhawi di dalam bukunya yang berjudul “fatwa-fatwa kontemporer juga membahas tentang pencangkokan organ tubuh. Ada beberapa hal yang di bahas oleh beliau, tetapi penulis hanya mengambil dari beberapa masalah saja, diantaranya yaitu :
a.       Memberikan donor kepada orang Non-Muslim
Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh dilakukan terhadap orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir harbi yang memerangi kaum muslim, Misalnya, menurut pendapat saya orang kafir yang memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.
Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad yang keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan Islam, orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup ? apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim dan satunya non muslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah Berfirman :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain” (At-Taubah : 71)
Bahkan seorang Muslim yang saleh dan komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan hidup dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya melakukan ketaatan kepada Allah dan memberikan manfaat kepada sesame makhluk-Nya. Hal ini berbeda dengan ahli maksiat yang menggunakan nikmat-nikmat Allah hanya untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain.
Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia lebih utama daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang lebih kuat lagi, sebagaimana firman Allah :
“ Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah” (Al-Anfal : 75 )
Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada orang tertentu, sebagaimana ia juga boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang khusus menangani masalah ini ( seperti bank mata dan sebagainya), yang merawat dan memelihara organ tersebut dengan caranya sendiri, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan.
b.      Tidak diperbolehkan menjual organ tubuh
Perlu saya ingatkan di sini bahwa pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli iti sebagaimana dita`rifkan fuqaha adalah tukar menukar harta secara sukarela, sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi obyek perdagangan dan jual-beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi dibeberapa daerah miskin, di sana terdapat pasar yang mirip dengan pasar budak. Di situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah untuk konsumsi orang-orang kaya yang tidak lepas dari campur tangan “mafia baru” yang bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minum keras, ganja, morfin, dan sebagainya.
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan pertolongan maka yang demikian itu hukumnya boleh, bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang berutang ketika mengembalikan pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya, Hal ini diperkenankan syara` dan terpuji, bahkan Rasulullah saa. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya.[3]
c.       Batas hak Negara mengenai pengambilan organ tubuh
Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para wali untuk mendonorkan sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah Negara membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian organ tubuh orang mati yang tidak diketahui identitasnya, dan tidak diketahui ahli waris atau walinya, untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang sakit dan yang terkena musibah ?
Tidak jauh kemungkinanya, bahwa yang demikian itu diperbolehkan dalam batas-batas darurar, atau karena suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila ia mempunyai wali, maka wajib memninta izin kepadanya, di samping itu, juga tidak didapati indikasi bahwa sewaktu hidupnya dulu si mayit berwasiat agar organ tubuhnya tidak didonorkan.
d.      Mencangkokan organ tubuh orang kafir kepada orang muslim
Adapun mencangkokan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pendangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya sebagaimana yang diperintahkan Allah. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperaang fi sabilillah.
Bahkan kami katakana bahwa organ-organ di dalam tubuh orang kafir itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah) selalu bertasbih dan bersujud kepada Allah, sesuai dengan pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur`an bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi itu bersujud menyucikan Allah hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.
Kalau begitu, maka yang benar adalah bahwa kekafiran atau keislaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya, termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri, yang oleh Al-Qur`an ada yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Padalah yang dimaksud di sini bukanlah organ yang dapat diraba (ditangkap dengan indera) yang tremasuk di bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi, sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat, tetapi yang dimaksud dengannya adalah makna ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa. berpikir, dan memahami sesuatu. sebagaimana firman Allah :
“ Lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami” (Al-Hajj : 46)
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)” (Al-A`raf : 179)
Kata najis dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berhubungan dengan badan, melainkan najis indrawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran). Karena itu tidak terdapat larangan syara` bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.
e.       Pencangkokan organ binatang yang najis ke tubuh orang muslim
Adapun pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis seperti babi misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka pada dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. Sedangkan keadaan darurat itu bermacam-macam kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa : “ segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harsu diukur menurut kadar kedaruratannya.”, dan pemanfaatannya harus melalui ketepatan dokter-dokter muslim yang terpercaya.
Mungkin juga ada yang mnegatakan di sini bahwa yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an dalam empat ayat, sedangkan mencangkokan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw, memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai yaitu kulitnya padahal bangkai itu diharamkan bersam-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur`an. Maka apabila syara` memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan, maka arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan. Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah sawa, pernah melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata, “sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak Maimunah.” lalu beliau bersabda :
“ Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?” mereka menjawab. “ sesungguhnya itu adalah bangkai,” Beliau bersabda, “sesunggungnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya.”
Dalam hal ini saya akan menjawab : bahwa yang dilarang syara` ialah mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang di dalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia itu justru merupakan tenpat benda-benda najis, sperti darah, kencing, tinja, dan semua kotoran; dan manusia tetap melakukan shalat, membaca Al-Qur`an, thawaf di Baitul haram, meskipun benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya sedikitpun, sebab tidak ada hubungan antara hokum najis dengan apa yang ada di dalam tubuh.[4]


























BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Pencangkokan (transplantasi), ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
Tujuan utama transplantasi organ adalah mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Transplantasi  ditinjau dari sudut si penerima dapat dibedakan menjadi :
a.       Autotransplantasi
b.      Homotransplantasi
c.       Heterotransplantasi
Ada tiga (3) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai permasalahannya sendiri, yaitu :
a.       Donor dalam keadaan sehat
b.      Donor dalam keadaan hidup koma atau diduga kuat akan meninggal segera
c.       Donor dalam keadaan mati
Dalam pandangan agama Islam tentang pencangkokan yaitu Apabila Pencangkokan mata (selaput bening mata atau kornea mata), ginjal, atau jantung dari donor dalam keadaan hidup maka menurut hemat penulis, Islam tidak membenarkan (melarang), karena :
a.       Firman Allah dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah ayat 195 :
yang artinya : “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.
ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabag berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan yang luhur. Misalnya : seorang menyumbangkan sebuah matanya atau sebuah ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak berfungsi ginjalnya, sebab selain ia mengubah ciptaan Allah yang membuat mata dan ginjal berpasangan, juga ia menghadapai resiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu.
b.      Kaidah hokum islam :
“Menghindari kerusakan/risiko didahulukan atas menarik kemaslahatan,”
Misalnya, menolong orang dengan cara mengorbankan dirinya sendiri yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, tidak dibolehkan oleh Islam.
c.  Kaidah hokum islam :
“ Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.”
Misalnya, bahaya yang mengancam jiwa si A, tidak boleh diatasi/dilenyapkan dengan cara yang bisa menimbulkan bahaya baru yang mengancam jiwa orang yang menolong si A tersebut.

B.     Saran
Jika transplantasi organ tubuh dibutuhkan , hendaknya dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan secara nasional dan sesuai dengan syariat Islam.




















DAFTAR PUSTAKA

Nata Abuddin. Masail Al-Fiqhiyah. Jakarta ; Kencana Prenada Media Group, 2006.
Qardhawi Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press, 1995.
Zuhdi Masjfuk.  Masail Fiqhiyah. Jakarta : CV HAJI MASAGUNG, 1988.
http://ilmukita-imam.blogspot.com/2012/04/transplantasi-organ-dalam-perspektif.html. di unduh tanggal 08 oktober 2014 Pukul 14.00 Wib.




[2] Drs. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah ( Jakarta : CV HAJI MASAGUNG, 1988), h. 81-88.
[3] Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer ( Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h. 760-762.
[4] Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 766-769.

No comments :