Friday 19 April 2013

WALIMAH


Walimah ialah makanan dalam perkawinan, berasal dari kata walam, yaitu mengumpulkan, karena suami istri berkumpul. Imam syafi’i dan sahabat-sahabatnya berkata bahwa walimah itu berlaku pada setiap undangan yang diadakan karena kegembiraan yang terjadi seperti nikah, khitan maupun lainnya. Dan yang terkenal kalau dikatakan secara mutlak, walimah dipergunakan dalam nikah dan terbatas dalam pengunaan lainnya sehingga untuk undangan khitanan disebut ‘a’dzar, untuk undangan kelahiran disebut ‘aqiqah untuk selamtan perempuan habis melahirkan khars, untuk datang dari bepergian naqi’ah untuk undangan membuat bangunan “wakirah” dan yang diadakan karena tiada seban ialah “makhdubah”, kata imam nawawi, sahabat-sahabatnya tidak menerangkan siapa yang mengadakan walimah orang yang datang dari bepergian. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dikalangan ahli bahasa, dan Al-Azhari mengutip dari Al-Farra’ bahwa yang mengadakan ialah orang yang datang. Dan pengarang Al-Muhkam berkata itu adalah makanan yang dibuat untuk orang yang datang, itulah qaul yang adzhar.
            Walimah paling sedikit bagi yang mampu ialah seokor kambing, karena nabi perna mengadakan selamatan untuk zainab binti jahsy R.A. dengan seekor kambing. Tetapi yang benar seseorang itu boleh mengadakan selamatan dengan apa saja karena nabi saw perna menngadakan selamatan utnuk shofiyah r.a dengan bubur dan korma.[1]
DASAR HUKUM MENGADAKAN WALIMAH
            Wajib mengadakan walimah setelah dukhul (bercampur), berdasarkan perintah nabi kepada Abdurrahman bin ‘auf agar menjalankan walimah sebagaimana telah dijelaskan pada hadits berikut:
عن بريدة بن الحصيب قال: لمّا خطب علي فاطمة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّ الله عليه وسلّم إنه لابدّ للعرس من وليمة
“Dari Buraidah bin Husaib ia bertutur, “ tatakala ali melamar fatimah r.a ia berkata bawa rasulullah s.a.w. bersabda, sesungguhnya pada perkawinan harus diadakan walimah” (shahih: shahihul jami’ul shaghir no 2419)[2]
HUKUM MENDATANGI WALIMAH
            Sedangkan mengabulkan undangan selamatan, apabila kita mewajibkan selamatan perkawinan, maka mengabulkan juga wajib, dan apabila kita tidak mewajibkannya, tetap mengabulkannya juga wajib menurut qaul yang rajih. Qaul ini juga dikuatkan oleh ulama iraq dan Ar-ruyani dan lain-lain, karena adanya beberapa hadits, antara lain :
من دعي  إلي وليمة فليأتها
“barang siapa yang diundang ke walimah, maka datanglah kewalimah tersebut.
Dan riwayat lain:
من لم يجب الدعوة فقد عصى الله ورسوله.
“Barang siapa tidak mengabulkan undangan, maka ia telah berdosa (maksiyat) kepada Allah dan rasulnya. (riwayat muslim)”.
a.       Hukum bagi orang yang sedang berpuasa
            Tidak ada perbedaan antara orang yang shiyam dan tidak tentang wajibnya menghadiri undangan walimah. Akan tetapi diperbolehkan bagi orang yang shiyam, untuk menghadiri saja tanpa menyantap hidangan. Dan dianjurkan agar ia mendoakan orang yang mengundangnya. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah s.a.w bersabda:
إدا دعي أحدكم فليجب, فإن كان صائما فليصل, وإن كان مفطرا فليطعم
“jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia menghadirinya. Jika ia sedang shiyam maka hendaklah ia berdoa untuk tuan rumah, jika ia tidak shiyam maka hendaklah ia makan.”
            Dan jika ia mau ia diperbolehkan untuk memakannya, atau tidak memakannya. Dasarnya adalah hadits dari jabir bin Abdillah r.a ia berkata: Rasulullah bersabda:
إدا دعي إحدكم إلى طعام فليجب, فإن شاء طعم, وإن شاء ترك
“jika salah seorang dari kalian diundang makan, maka hendaklah ia menghadirinya. Jika mau ia diperbolehkan makan, jika tidak mau ia diperbolehkan untuk meninggalkan.
b.      Terdapat unsur kemaksiyatan dalam undangan walimah
Tidak diperbolehkan untuk menghadiri undangan jika pad undangan tersebut terdapat kemaksiyatan. Dasarnya adalah hadits Ali bin Abi Thalib r.a.:
Bahwa ia memasak makanan dan mengundang Rasulullah s.a.w maka beliau datang, dan beliau melihat dirumah tersebut ada tirai yang terdapat padanya gambar (makhluk bernyawa), lalu beliau kembali pulang. Maka ia berkata: “Ya Rasulullah Ayah dan Ibuku jadi tebusannya, apa yang menyebabkan Rasulullah kembali?”
Rasulullah s.a.w bersabda:
إن في البيث سترافيه تصاوير, وإن الملائكة لا تدحل بيتا فيه تصوير
“sesungguhnya dirumah itu terdapat tirai yang bergambar, dan sesungguhnya para malaikat tidak masuk kedalam rumah yang didalamnya terdapat gambar.”
Imam Al-Bukhori menulis bab khusus dalam Shahihnya:
            Bab: (bolehkan seorang kembali pulang jika ia melihat kemungkaran pada undangan itu? Ibnu mas’ud melihat gambar pada sebuah rumah, maka iapun kembali pulang. Ibnu ummar mengundang Abu Ayyub, ia melihat dirumah itu tirai yang menutupi dinding, Ibnu umar mengatakan: “sesungguhnya kami terpaksa oleh kaum wanita”. Abu Ayyub berkata”siapa yang harus aku takut kepadanya? Dan aku tidaklah takut pada engkau. Demi Allah aku tidak akan menyantap amakanan kaian.” Maka diapun kembali).
Dan disebutkan didalam hadits ini ummul mukminin ‘Aisyah r.a: bahwa ‘Aisyah membeli bantal yang terdapat padanya gambar-gambar, ketika Rasulullah s.a.w melihatnya, beliau berdiri saja didalam pintu dan tidak masuk. ‘Aisyah melihat tanda-tanda ketidaksukaan pada wajah beliau, lalu berkata: “Aku bertaubat kepada Allah dan kepada Rasulnya. Apa kesalahanku?” Rasulullah s.a.w berkata: “untuk apa bantal-bantal ini?”
Maka aku berkata: “Aku membelinya agar engkau dapat duduk diatasnya dan bersandar padanya”. Rasulullah s.a.w bersabda:
إن أصحاب هده الصور يعدبون يوم القيامة, ويقال لهم: أحيوا ما خلقتم, وقال: إن البيت الذي فيه الصور لا تدحله الملائكة.
“sesungguhnya pelukis ganbar-gambar ini akan di adzhab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: hidupkanlah apa yang telah engkau ciptakan itu! Sesungguhnya rumah yang terdapat padanya gambar-gambar tidak akan dimasui para malaikat.”[3]
            Adapun yang bukan walimah perkawinan, menurut madzhab, mengabulkan undangannya adalah sunnah. Kemudian apabila mengabulkan undangan walimah kita wajibkan, maka hukumnya adalah fardhu ain, menurut qaul yang rajih. Dan ada yang mengatakan fardhu kifayah. Kemudian kalau kita wajibkan atau sunnahkan mengabulkannya, maka wajib atau sunnah itu tentu dengan beberapa syarat, syarat tersebut ialah[4] :
1.      Hendaknya walimah dilaksanakan dalam tiga hari, setelah dukhul (bercampur), karena perbuatan inilah yang dinukil dari nabi:
عن أنس قال: تزوج النبي صل الله عليه وسلّم صفية وجعل عتقها وجعل الوليمة ثلاثة أيام.
“Dari anas r.a ia berkata: nabi s.a.w menikahi shafiyah dan menjadikan pemerdekaannya sebagai maharnya dan mengadakan walimah selama tiga hari.” (sanadnya shahih: adabuz zifaf: diriwayatkan abu ya’la dengan sanad hasan sebagaimana yang disebutkan didalam fathul barri).
2.      Mengundang orang-orang yang shalih baik fakir maupun kaya, karena rasulullah s.a.w bersabda:
لا تصاحب الا مؤمنا, ولا تأكل طعامك إلا تقي.
“janganlah kamu bersahabat kecuali dengan orang mukmin, Dan janganlah (pula) menyantap makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (Hasan: shahihul jami’us shaghir).
3.      Hendaknya mengadakan walimah, dengan memotong seekor kambing atau lebih, bila mampu. Hal ini berdasrkan sabda nabi s.a.w yang ditujukan kepada Abdurrahman bin ‘auf:
أولم ولوبشاة
“Adakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih seekor kambing” (muttafaqu alaih).[5]
Rasulullah s.a.w Bersabada:
وفي رواية: أن النيي صل الله عليه وسلم أقام بين خيبر والمدينة ثلاث ليال يبني عليه بصفيه, فدعوت المسلمين إلى وليمة, وما كان فيها من حبز ولا لحم, وما كان فيها الا أن أمر بالأنطاع فبسطت, فألقى عليها التمر والأقط والسمن. فقال المسلمون : إحدى أمهات المؤمنين أو ماملكت يمينه؟ قالوا: إن ححبها فهي إحدى أمهات المؤمنين, وإن لم يحجبها فهي مما ملكت يمينه. فلما ارتحل وطأ لها خلفه ومد الحجاب. (متفق عليه)
“dalam riwayat lain disebutkan: bahwasannya Nabi s.a.w tinggal diantara khaibar dan madinah selama tiga malam, disana beliau tinggal bersama shafiyyah. Lalu aku mengajak kaum muslimin untuk menghadiri walimah beliau, saat itu tidak ada roti tidak ada pula daging, beliau hanya memerintahkan mengeluarkan tikar kulit lalu dihamparkan, kemudian dituangkan kurma, keju dan mentega. (sebaian) kaum muslimin berkata, “salah seorang ummahatul mukminin atau hamba sahaya?” (sebagian) mereka menjawab, “bila beliau menghijabinya berarti salah seorang ummahatul mukminin, dan bila beliau tidak menghijabinya mangka hamba sahaya.” Ketika beranjak, beliau berjalan dibelakang dan menurunkan hijab (Muttafaq ‘Alaih).[6]
4.      Undangan itu merata pada semua kaum keluarga, tetangga, masyarakat sekitarnya, atau karyawan-karyawan perusahannya, yang kaya maupun yang miskin, tidak mengundang khusus orang kaya saja. Rasulullah bersabda :
شرّ طعام طعام الوليمة, يمنعها من يأتيها, ويدعى إليها من يأباها
“seburuk-buruk makanan ialah makanan walimah yang disitu dicegah orang yang mau mendatannginnya dan diundang kewalimah orang yang tidak mau menghadirinya.”
5.      Menghususkan dengan mengundang sendiri atau mengutus seseorang. Adapun apabila pengundang membuka pintu rumahnya dan berkata “datanglah siapa yang mau” atau mengutus orang lain supaya hadir bersama orang yang mau, atau ia berkata kepada seseorang “haidirilah dan hadirkan bersamamu orang yang engkau suka”, maka mengabulkan undangan walimah se[erni ini wajib dan tidak sunnah.
6.      Mengundang harus bukan karena takut, umpamanya orang yanhg akan diundang itu orang yang dzalim, atau pembantu-pembantunya, atau karena hakim yang dzalim, atau pembantu-pembantunya dan sebagainya. Pengundang juga bukan karena menginginkan pangkat atau kedudukan dari yang diundang. Atau agar yang diundang menolongnya mendapat kebatilan yang dicarinya, tapi mengundang untuk mendekatkan diri dan kasih sayang.
7.      Dalam undangan walimah harus tidak ada yang menyebabkan orang lain tergangu karena kehadirannya karena orang tersebut tidak layak duduk dengan undangan lainnya. Jika orang semacam itu ada, maka para undangan lainnya boleh berhalangan tidak hadir, misalnya mengundang orang-orang yang rendah akhlaknya sedangkan undangan lainnya terhormat. Yang dimaksud orang-orang yang rendah akhlaknya ialah seperti orang-p\orang yang terkenal jahat, anak pasar yang lucah mulutnya, dan agen polisi yang menjadi suruhan orang-orang dzalim dan hakim-hakim pemakn sogok dan orang-orang fakir dari pojok-pojok yang sering datang kewalimah-walimah pemeras masyarakat yang mengutip bea (cukai) dan sebagainya, sebab mereka itulah orang yang sehina-hinanya. Demikian pula orang-orang yang serupa dengan mereka yang tetap ada saja dimana-mana.
Contoh lain yang boleh tidak mengahdiri walimah yaitu apabila hadir orang yang menuntut ilmu dengan tujuan meperoleh pengetahuan untuk menjaga syari’at islam sementara itu diundang juga orang-orang yang menuntut ilmu karena kepentingan duniawi dan untuk menyombongka diri terhadap teman-teman dan sebagainya. Maka ini pun tidak wajib bagi penuntut ilmu yang menjaga marwah ilmu untuk menghadiri walimahnya. Demikian juga halnya tidak wajib hadir, bagi seorang sufi yang benar dalam perjalanannya, apabila dalam walimah itu diundang juga sufi lain dari masa ini, yang kerap datang pada undangan yang diadakan oleh orang baik maupun orang yang jahat, dan orang-orang tersebut selalu dalam walimahnya mempergunakan alat-alat permainan musik dan sebagainya. Dan semua ini adalah perkara yang jelas tidak sepi lagi, kecuali kepada sibuta yang tidak tau rupa bulan.
8.      Harus dalam walimah itu tidak ada kemungkaran, seperti minum khomer dan alat-alat musik, seruling dan sebagainya. Jika yang tersebut itu ada, lihat dulu. Kalau yang diundang itu termasuk orang yang apabila hadir dapat mencegah kemungkarang, maka hendaklah ia hadir mengabulakn undangan dan menghilangkan kemungkaran itu. Dan jika tidak, haram menghadirinya karena yang demikan itu sama seperti orang yang merelahkan dan mengakui kemungkaran. Dalam satu wajah boleh menghadirinya tetapi tidak mendengarkan musik itu, dan mesti mengingkari dalam hatinya, sama seperti ketika didekatnya da kemungkaran dimainkan, maka ia harus menetap ditempat yang tidak perlu berpinda, meskipun suaramusik itu sampai kepadanya, kata iamam nawawi: “wajah ini salah. Tetapi sebenarnya wajah ini keliru, dan jangan terpengaruh dengan ketokohan pengarang kitab At-tanbih (imam nawawi).
9.      Pengundang mengundangnya pada hari pertama. Jadi kalau pengundang mengadakan walimah tiga hari, maka tidak wajib mengabulkan pada hari kedua, tanpa ada khilaf, dan tidak juga kuat kesunatannya seperti menghadiri pada hari pertama. Dan makruh pula mengabulkan pada hari ketiga.
10.  Yang mengundang disyaratkan seorang muslim. Kalau yang mengundang kafir dzimmi, maka tidak wajib mengabulkan, sesuai dengan yang diputuskan jumhur ulama, sebab bergaul dengan kafir dzimmih itu hukumnya makruh, karena kenajisannya dan tindakan-tindakannya yang batildan lain-lain, dan karena dalam walimah itu sebenarnya terkandung sikap kasih-mengasihi. Kata imam rafi’i, disinih hukumnya makruh, tetapi ia memastikan diakhir bab ‘jizyah’ bahwa kasih mengasihi dengan kafir dzimmi itu haram hukumnya sebagaimana firman Allah :
ياأيهاالدين امنواالاتتخذواعدويوعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة
“hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita muhammad) karen rasa kasih sayang.” (Al-Mumtahanah: 1)
Dan Allah berfirman :
لاتجد قوما يؤمنون بالله واليوم الاخر يوادّون من حادالله ورسوله
“kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman ke[pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih saying dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasulnya. (Al-Mujadalah: 22).
Allah telah membuang rasa kasih sayang dari orang yang beriman. Dengan demikian menunjukkan bahwa orang yang berkasih sayang denga mereka bukanlah lagi orang beriman. Dan sebagian ulama memperluas pengertian itu kepada kasih mengasihi dengan orang-orang islam yang fasik. Dengan demikian haram duduk bersama orang-orang fasik dengan cara berkasih sayang. Akan hal itu imam rafi’i dan imam nawawi telah menerangkan dalam kitab ‘syahadat’, dank arena itupulah sufyan Ats-tsauri sewaktu thowaf dibaitullah, kemudian harun Ar-Rasyid datang hendak mengerjakan thowaf, sufyan lalu memutus thawafnya dan pergi seraya membaca ayat ini:
 لاتجد قوما يؤمنون بالله واليوم الاخر يوادّون من حادالله ورسوله
“kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman ke[pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasulnya. (Al-Mujadalah: 22).
Demikian pulah yang diperbuat Ibnu Abi Warrad, dan mereka ini berpegang pada lafadz yang umum sifatnya.[7]



[1] Imam Taqiyuddin Abu Bakah bin Muhammad Al-Husaini KIFAYATUL AKHYAR Bina Iman Surabaya Hal: 144
[2] ‘Abdul ‘Azim Bin Badawi Al-Khalafi AL-WAJIZ Pustaka As-Sunnah Jakarta 2008 hal: 556-557
[3] Amru Abdul Mun’im Salim PANDUAN LENGKAP NIKAH Daar An-Naba’ Solo 2008 hal:180-183
[4] Imam Taqiyuddin Abu Bakah bin Muhammad Al-Husaini KIFAYATUL AKHYAR Bina Iman Surabaya Hal:146
[5] ‘Abdul ‘Azim bin Badawi Al-Khallafi AL-WAJIZ Pustaka As-Sunnah, Jakarta 2008 Hal:557-558
[6] Al-Imam Asy-Syaukani RINGKASAN NAILUL AUTHAR Rahmatan Jakarta 2006 hal: 499-500
[7] Imam Taqiyuddin Abu Bakah bin Muhammad Al-Husaini KIFAYATUL AKHYAR Bina Iman Surabaya Hal:146-150

No comments :