Perbincangan mengenai hubungan agama dan negara
merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus berkepanjangan
di kalangan para ahli.[1]
Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai
bagian dari negara atau negara merupakan bagian dari dogma agama. Bahkan,
menurut Syafi’i Maarif (1935 M.), Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998 M.),
seorang ahli teologi Islam pernah mengatakan, bahwa persoalan yang telah memicu
konflik intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan umat Islam adalah
berkait dengan masalah hubungan agama dengan negara.[2]
Menurut Deliar Noer (1926 M.), Islam setidaknya
meliputi dua aspek pokok yaitu agama dan masyarakat (politik)[3].
Akan tetapi untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata
merupakan suatu problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak
holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk
memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari mereka malah
menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan Negara[4].
Perdebatan dan diskusi mengenai ini sesungguhnya
lebih terletak pada tataran konseptualisasi dan pola-pola hubungan antara
keduanya[5].
Dimana perdebatan ini muncul dilatar belakangi oleh teks-teks agama sendiri
yang pola hubungannya dikotomis. Agama dan negara seringkali dikesankan sebagai
dua wilayah yang berhadapan. Misalnya, hubungan dunia akhirat atau al dunya wa
al-din. Baik al-Qur’an maupun hadits banyak menyebut dua hal tersebut. Bahkan
sering dijumpai ungkapan al Islam huwa al-din wa al-daulah.
Kesan berhadap-hadapan seperti itulah yang kemudian
memunculkan kontroversi yang tajam dan keras di sekitar konsep hubungan agama
dan negara. Sehingga menurut, Azyumardi Azra (1955 M.), ketegangan perbedaan hubungan
agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam
sebagai agama (din) dan negara (daulah).
Dari sini lalu akan timbul pertanyaan: Apakah Islam
mempunyai konsep tentang negara. Untuk menjawab tentang pertanyaan ini kiranya
sangat perlu kita menengok ke belakang, perjalanan sejarah pemikiran para ulama
dalam konteks ini. Memang dalam Islam, negara bisa diterjemahkan dengan
berbagai cara.
Perbedaan ini bukan saja disebabkan oleh faktor
sosio-budaya-historis, tetapi bersumber juga dari aspek teologis-doktrinal. Menurut
Karim, Walaupun Islam mempunyai konsep ‘khalifah, daulah, hukumah’ tetapi
al-Qur’an belum menjelaskan secara rinci tentang bentuk dan konsepsi tentang
negara Islam.
Teori
Negara teokrasi
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami
puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral.
Karya tulis Ibnu Taimiyah dalam bidang politik yang paling penting adalah buku
yang berjudul Al-Siyasah al-Syar’iyah fi islah al-Ra’i wal al-Ra’iyah (Politik yang
berdasarkan Syariah untuk Perbaikan Penggembala dan Gembala). Orientasi pemikiran
politik Ibnu Taimiyah yang bersendikan agama itu selain tampak jelas dari judul
bukunya, juga dapat dilihat pada isi Pendahuluan buku itu, dengan melanda skan
teori politiknya atas firman Allah dalam Al-Quran, surat An-Nisaa ayat 58 dan
59.
Menurut Ibnu Taimiyah ayat yang pertama, yakni ayat 58
ditujukan untuk para pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang
serasi hendaknya mereka menyampaikan amanat yang berhak atasnya, dan bertindak
adil dalam mengambil keputusan atas sengketa antara sesama anggota masyarakat.
Sedangkan ayat kedua, ayat 59, ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan
supaya taat, tidak saja kepada Allah dan Rasul, tetapi juga kepada pemimpin
mereka, dan melakukan segala perintahnya selama tidak diperint ahkan berbuat maksiat
atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Jadi negara teokr atis ditandai,
antara lain, dengan (1) diterimanya kitab suci sebagai sumber hukum, (2) negara
berada di tangan pemimpin agama[6].
Menurut Munawir Sjadzali terdapat tiga pandangan
umat Islam tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan: aliran pertama, berpendirian bahwa Islam
bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat, yaitu hanya menyangkut hubungan
antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah salah satu agama yang
sempurna dan lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan manusia
termasuk kehidupan bernegara. Oleh karena itu dalam bernegara umat Islam sebaiknya
kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan
Barat. Sistem ketatanegaraan Islam yang harus diteladani adalah sistem yang
telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan Al-Khulafa Al-Rasyidin. Tokoh-tokoh
utama aliran ini adalah Syekh Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad
Rasyid Ridha, dan Maulana A.A. Al-Maududi.
Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama
dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanya seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul
sebelumnya dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang
mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur; Nabi tidak pernah bertujuan
mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh-tokoh terkemuka aliran kedua ini
adalah Thaha Husain dan Ali Abd Al-Raziq.
Aliran ketiga, menolak pendapat aliran pertama dan
kedua. Menurut aliran ketiga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat
sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika untuk kehidupan
bernegara. Tokoh yang menonjol dari aliran ini adalah Mohammad Husein Haikal.
Pemikiran pertama sering disebut sebagai aliran tradisional
atau integralistik. Aliran kedua disebut sebagai kelompok sekuler atau
reformis-sekuler. Sedangkan aliran ketiga disebut sebagai reformis atau
modernis, atau reformis-modernis. Ketiga aliran pemikiran tersebut memiliki
pertautan dengan pemikiran-pemikrian Ibnu Taimiyah, Jamaludin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan bersambung dengan pemikiran-pemikiran Islam kontemporer masa
kini. Sifat negara Islam menurut Maududi universal, menyeluruh, dan bersifat
ideologis artinya segenap pendukung dan penyelenggara negara harus meyakini
serta menjunjung tinggi ideologi Islam dan hukum Islam[7]
Teori teokrasi diadaptasi oleh NII KW-9 untuk
membuat suatu negara yang berlandaskan pada hukum Islam di Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang disitir dalam pembenaran
konsep agama dan negara yang mereka tanamkan kepada anggota NII KW-9.
Teori
Negara Sekularisme
Kata secular yang berasal dari bahasa Latin saeculum
mencakup dua pengertian: waktu (time) dan tempat (location). Hal itu
menunjukkan “masa kini” dan lokasi yang berarti “duniawi”. Dengan demikian,
jangkauan dan pengertian sekularisme itu adalah memikirkan ”kurun ini” (this
age) dan ”masa kini” (the present time) dan berhubungan dengan kepen tingan
hidup ”duniawi” yang berkembang menurut proses sejarah. Proses awal tumbuhnya
aliran sekularisme di benua Eropa pada abad pertengahan ketika kekuasaan gereja
Kristen pada saat itu tidak dapat menjawab tantangan-tantangan masyarakat yang
tumbuh dan kekurangan kepercayaan terhadap peranan agama Kristen dalam usaha-usaha
kenegaraan. Menurut H. M. Yunan Nasution, secara singkat dapat disimpulkan
bahwa sekularisme adalah sistem politik, ideologi, maupun falsafah sosial yang akan mencapai kesejahteraan
manusia di dunia ini de ngan mengandalkan kemampuan akal dan menolak segala
bentuk dan campur tangan ajaran dan keyakinan agama[8].
Claus Offe membagi menjadi 8 butir organisasi
negara, diantaranya dalam teori Marxis tentang negara, terdapat pemisahan
antara dua pendekatan. Satu pendekatan mengemukakan, terdapat hubungan instrumental
khusus antara kelas penguasa (kapital secara keseluruhan) di satu pihak dan aparatur
nega ra di lain pihak. Dengan demikian, negara menjadi alat untuk memajukan
kepentingan bersama kelas penguasa. Kita yakin pendekatan ini menyesatkan,
termasuk versi-versi yang dikemukakan dalam doktrin tentang “kapitalisme
monopoli negara” dan proposi stereotipnya tentang “penggabungan monopoli dan
aparatur negara”. Pendekatan alternatifnya adalah bahwa negara tidak memajukan
kepentingan tertentu dan tidak beraliansi dengan kelas tertentu. Sebaliknya
yang dilindungi dan dimajukan negara adalah seperangkat peraturan dan hubungan
sosial yang dianggap tercakup dalam kekuasaan kelas kapitalis. Negara tidak
membela kepentingan satu kelas tertentu tetapi kepentingan bersama semua
anggota masyarakat (kelas) kapitalis. Hal teresbut berhubungan dengan definisi
sekularisme yang berarti pemisahan dua kepentingan[9].
NII KW-9 dalam menjalankan konsep keagamaan tidak
mengambil konsep sekularisme untuk diterapkan. Bagi NII KW-9 suatu negara harus
integral dengan agama, sehingga dalam penerapan hukum-hukumnya tidak dapat
dilepaskan dari hukum-hukum agama, yaitu Al-Quran dan Hadis. Namun dalam
kenyataannya, para anggota NII KW-9 kurang memperhatikan aspek ruhiyah dalam
kajian-kajian yang dilakukannya. Mereka lebih menekankan pada rekrutmen anggota
dan penggalangan dana, seperti masalah shalat. NII KW-9 memiliki doktrin
tentang shalat yang bersifat ritual dan universal. Shalat ritual adalah shalat
yang dilakukan lima kali sehari, sedangkan shalat universal adalah penerapan nilai
shalat ritual dalam sosial kemasyarakatan, hal ini diartikan sebagai rekrutmen
anggota baru dan penggalangan dana untuk mendirikan negara. Anggota NII KW-9 lebih
memilih shalat universal dibandingkan dengan shalat ritual. Hal ini bertentangan
dengan teori teokrasi yang sangat menekankan pada nilai-nilai agama.
[1] Dede Rosyada. Pendidikan
kewargaan demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani Jakarta: ICCE
UIN syarif hidayatullah, 2000 Hlm 58
[2] Ahmad syafi’I ma’arif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan
Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacaba 1999 Hlm ix
[3] Deliar Noer, gerakan modrn
islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8 1996 Hlm 1
[4] Ahmad syafi’I maarif, islam
dan masalah kenegaraan studi tentang percaturan dalam konstituante, Jakarta:
LP3ES, cet ke-1 1996 Hml 15
[5] Ahmad suaedy pergulatan
pesantren demokrasi, Yogyakarta: LKiS, Hlm 88
[6] Bahtiar Effendi, isla dan
Negara: transformasi pemikiran dan praktek politik islam di Indonesia,” prisma,
Mei 1995 Hlm 21
[7] Haedar Nashir, gerakan islam
syariat: reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia, Jakarta: Psap, 2007,
Hlm 109-111
[8] H.M. Yunan Nasution, islam
dan problema-problema kemasyarakatan, Jakarta: bulan bintang, 1988 Hlm 82
[9] Anthony Giddens dan David Held, perdebatan
klasik dan kontemporer mengenai kelompok, kekuasaan, dan konflik: teori social
kontemporer, Jakarta: CV Rajawali, 1987 Hlm 241