Sunday, 28 June 2015

NEGARA DAN AGAMA



Perbincangan mengenai hubungan agama dan negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus berkepanjangan di kalangan para ahli.[1] Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara merupakan bagian dari dogma agama. Bahkan, menurut Syafi’i Maarif (1935 M.), Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998 M.), seorang ahli teologi Islam pernah mengatakan, bahwa persoalan yang telah memicu konflik intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan umat Islam adalah berkait dengan masalah hubungan agama dengan negara.[2]
Menurut Deliar Noer (1926 M.), Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yaitu agama dan masyarakat (politik)[3]. Akan tetapi untuk mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan suatu problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari mereka malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan Negara[4].
Perdebatan dan diskusi mengenai ini sesungguhnya lebih terletak pada tataran konseptualisasi dan pola-pola hubungan antara keduanya[5]. Dimana perdebatan ini muncul dilatar belakangi oleh teks-teks agama sendiri yang pola hubungannya dikotomis. Agama dan negara seringkali dikesankan sebagai dua wilayah yang berhadapan. Misalnya, hubungan dunia akhirat atau al dunya wa al-din. Baik al-Qur’an maupun hadits banyak menyebut dua hal tersebut. Bahkan sering dijumpai ungkapan al Islam huwa al-din wa al-daulah.
Kesan berhadap-hadapan seperti itulah yang kemudian memunculkan kontroversi yang tajam dan keras di sekitar konsep hubungan agama dan negara. Sehingga menurut, Azyumardi Azra (1955 M.), ketegangan perbedaan hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (daulah).
Dari sini lalu akan timbul pertanyaan: Apakah Islam mempunyai konsep tentang negara. Untuk menjawab tentang pertanyaan ini kiranya sangat perlu kita menengok ke belakang, perjalanan sejarah pemikiran para ulama dalam konteks ini. Memang dalam Islam, negara bisa diterjemahkan dengan berbagai cara.
Perbedaan ini bukan saja disebabkan oleh faktor sosio-budaya-historis, tetapi bersumber juga dari aspek teologis-doktrinal. Menurut Karim, Walaupun Islam mempunyai konsep ‘khalifah, daulah, hukumah’ tetapi al-Qur’an belum menjelaskan secara rinci tentang bentuk dan konsepsi tentang negara Islam.

Teori Negara teokrasi
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Karya tulis Ibnu Taimiyah dalam bidang politik yang paling penting adalah buku yang berjudul Al-Siyasah al-Syar’iyah fi islah al-Ra’i wal al-Ra’iyah (Politik yang berdasarkan Syariah untuk Perbaikan Penggembala dan Gembala). Orientasi pemikiran politik Ibnu Taimiyah yang bersendikan agama itu selain tampak jelas dari judul bukunya, juga dapat dilihat pada isi Pendahuluan buku itu, dengan melanda skan teori politiknya atas firman Allah dalam Al-Quran, surat An-Nisaa ayat 58 dan 59.
Menurut Ibnu Taimiyah ayat yang pertama, yakni ayat 58 ditujukan untuk para pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi hendaknya mereka menyampaikan amanat yang berhak atasnya, dan bertindak adil dalam mengambil keputusan atas sengketa antara sesama anggota masyarakat. Sedangkan ayat kedua, ayat 59, ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan supaya taat, tidak saja kepada Allah dan Rasul, tetapi juga kepada pemimpin mereka, dan melakukan segala perintahnya selama tidak diperint ahkan berbuat maksiat atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Jadi negara teokr atis ditandai, antara lain, dengan (1) diterimanya kitab suci sebagai sumber hukum, (2) negara berada di tangan pemimpin agama[6].
Menurut Munawir Sjadzali terdapat tiga pandangan umat Islam tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan:  aliran pertama, berpendirian bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat, yaitu hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah salah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Oleh karena itu dalam bernegara umat Islam sebaiknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan Al-Khulafa Al-Rasyidin. Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah Syekh Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana A.A. Al-Maududi.
Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanya seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur; Nabi tidak pernah bertujuan mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh-tokoh terkemuka aliran kedua ini adalah Thaha Husain dan Ali Abd Al-Raziq.
Aliran ketiga, menolak pendapat aliran pertama dan kedua. Menurut aliran ketiga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika untuk kehidupan bernegara. Tokoh yang menonjol dari aliran ini adalah Mohammad Husein Haikal.
Pemikiran pertama sering disebut sebagai aliran tradisional atau integralistik. Aliran kedua disebut sebagai kelompok sekuler atau reformis-sekuler. Sedangkan aliran ketiga disebut sebagai reformis atau modernis, atau reformis-modernis. Ketiga aliran pemikiran tersebut memiliki pertautan dengan pemikiran-pemikrian Ibnu Taimiyah, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan bersambung dengan pemikiran-pemikiran Islam kontemporer masa kini. Sifat negara Islam menurut Maududi universal, menyeluruh, dan bersifat ideologis artinya segenap pendukung dan penyelenggara negara harus meyakini serta menjunjung tinggi ideologi Islam dan hukum Islam[7]
Teori teokrasi diadaptasi oleh NII KW-9 untuk membuat suatu negara yang berlandaskan pada hukum Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang disitir dalam pembenaran konsep agama dan negara yang mereka tanamkan kepada anggota NII KW-9.

Teori Negara Sekularisme
Kata secular yang berasal dari bahasa Latin saeculum mencakup dua pengertian: waktu (time) dan tempat (location). Hal itu menunjukkan “masa kini” dan lokasi yang berarti “duniawi”. Dengan demikian, jangkauan dan pengertian sekularisme itu adalah memikirkan ”kurun ini” (this age) dan ”masa kini” (the present time) dan berhubungan dengan kepen tingan hidup ”duniawi” yang berkembang menurut proses sejarah. Proses awal tumbuhnya aliran sekularisme di benua Eropa pada abad pertengahan ketika kekuasaan gereja Kristen pada saat itu tidak dapat menjawab tantangan-tantangan masyarakat yang tumbuh dan kekurangan kepercayaan terhadap peranan agama Kristen dalam usaha-usaha kenegaraan. Menurut H. M. Yunan Nasution, secara singkat dapat disimpulkan bahwa sekularisme adalah sistem politik, ideologi, maupun  falsafah sosial yang akan mencapai kesejahteraan manusia di dunia ini de ngan mengandalkan kemampuan akal dan menolak segala bentuk dan campur tangan ajaran dan keyakinan agama[8].
Claus Offe membagi menjadi 8 butir organisasi negara, diantaranya dalam teori Marxis tentang negara, terdapat pemisahan antara dua pendekatan. Satu pendekatan mengemukakan, terdapat hubungan instrumental khusus antara kelas penguasa (kapital secara keseluruhan) di satu pihak dan aparatur nega ra di lain pihak. Dengan demikian, negara menjadi alat untuk memajukan kepentingan bersama kelas penguasa. Kita yakin pendekatan ini menyesatkan, termasuk versi-versi yang dikemukakan dalam doktrin tentang “kapitalisme monopoli negara” dan proposi stereotipnya tentang “penggabungan monopoli dan aparatur negara”. Pendekatan alternatifnya adalah bahwa negara tidak memajukan kepentingan tertentu dan tidak beraliansi dengan kelas tertentu. Sebaliknya yang dilindungi dan dimajukan negara adalah seperangkat peraturan dan hubungan sosial yang dianggap tercakup dalam kekuasaan kelas kapitalis. Negara tidak membela kepentingan satu kelas tertentu tetapi kepentingan bersama semua anggota masyarakat (kelas) kapitalis. Hal teresbut berhubungan dengan definisi sekularisme yang berarti pemisahan dua kepentingan[9].
NII KW-9 dalam menjalankan konsep keagamaan tidak mengambil konsep sekularisme untuk diterapkan. Bagi NII KW-9 suatu negara harus integral dengan agama, sehingga dalam penerapan hukum-hukumnya tidak dapat dilepaskan dari hukum-hukum agama, yaitu Al-Quran dan Hadis. Namun dalam kenyataannya, para anggota NII KW-9 kurang memperhatikan aspek ruhiyah dalam kajian-kajian yang dilakukannya. Mereka lebih menekankan pada rekrutmen anggota dan penggalangan dana, seperti masalah shalat. NII KW-9 memiliki doktrin tentang shalat yang bersifat ritual dan universal. Shalat ritual adalah shalat yang dilakukan lima kali sehari, sedangkan shalat universal adalah penerapan nilai shalat ritual dalam sosial kemasyarakatan, hal ini diartikan sebagai rekrutmen anggota baru dan penggalangan dana untuk mendirikan negara. Anggota NII KW-9 lebih memilih shalat universal dibandingkan dengan shalat ritual. Hal ini bertentangan dengan teori teokrasi yang sangat menekankan pada nilai-nilai agama.


[1] Dede Rosyada. Pendidikan kewargaan demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani Jakarta: ICCE UIN syarif hidayatullah, 2000 Hlm 58
[2] Ahmad syafi’I ma’arif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacaba 1999 Hlm ix
[3] Deliar Noer, gerakan modrn islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8 1996 Hlm 1
[4] Ahmad syafi’I maarif, islam dan masalah kenegaraan studi tentang percaturan dalam konstituante, Jakarta: LP3ES, cet ke-1 1996 Hml 15
[5] Ahmad suaedy pergulatan pesantren demokrasi, Yogyakarta: LKiS, Hlm 88
[6] Bahtiar Effendi, isla dan Negara: transformasi pemikiran dan praktek politik islam di Indonesia,” prisma, Mei 1995 Hlm 21
[7] Haedar Nashir, gerakan islam syariat: reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia, Jakarta: Psap, 2007, Hlm 109-111
[8] H.M. Yunan Nasution, islam dan problema-problema kemasyarakatan, Jakarta: bulan bintang, 1988 Hlm 82
[9] Anthony Giddens dan David Held, perdebatan klasik dan kontemporer mengenai kelompok, kekuasaan, dan konflik: teori social kontemporer, Jakarta: CV Rajawali, 1987 Hlm 241