Wednesday 8 April 2015

METODE ISTIMBATH ULAMA KONTEMPORER



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, ahklak, dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah Saw dengan Sunnahnya sehingga, sepanjang hidup beliau, hukum setap kasus dapat diketahui berdasarkan nash Al-quran atau Al-Sunnah. namun, pada masa berikutnya, masyarakat mengalami perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas dan para sahabat pun tersebar keberbagai daerah seiring dengan arus ekspansi yang berhasil dengan gemilang.
Selain aktif dalam jihad dan dakwah, para sahabat terkemuka juga mengemban tanggung jawab sebagai rujukan fatwa dan informasi keagamaan bagi umat di daerah yang mereka datangi. Kontak antara bangsa arab dan bangsa lain diluar jazirah Arab dengan corak budayanya yang beragam sehingga menimbulkan berbagai kasus baru yang tidak terselesaikan degan tunjukan lahir nash semata-mata. Untuk menghadapi hal itu, para sahabat terpaksa melakukan ijtihad. Tentu saja mereka tetap mempedomani nash-nash Al-quran atau hadist dan hanya melakukan ijtihad secara terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang dihadapi. Karena ijtihad merupakan upaya memahami dan menjabarkan Al-quran dan sunnah dengan mempertimbangkan seluruh makna serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Pada masa berikutnya, tanggung jawab itu beralih kepada para tokoh tabi’in, dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid dari generasi berikutnya.
Untuk memenuhi kebutuhan fatwa yang terus meningkat, mereka berusaha merumuskan kaidah-kaidah sebagai pedoman dalam berijtihad. Sejalan dengan perbedan kaidah-kaidah yang dirumuskan, fatwa-fatwa yang lahir sebagai hasil ijtihad pun banyak yang berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain.
Secara umum, sebagai produk social budaya semasa dan setempat, ilmu selalu terkait dengan kondisi masyarakat, ilmu hukum juga tidak terkecuali. Hukum mengatur perilaku masyarakat, tetapi kebiasaan yang berlaku turut pula menjadi hukum sendiri . dalam hukum islam, ketentuan hukum Islam yang terkait dengan, atau diatur berdasarkan urf’ cukup besar jumlahnya.
Dari masa kemasa, proses ijtihad tetap dilaksanakan mulai dari masa sahabat hingga saat ini para ulama melakuka ijtihad dengan tujuan mendapatkan jawaban hukum yang tidak ada dalam nash ataupun sunnah.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini diantaranya adalah:
1.      Bagaimana metode Istimbath Ulama kontemporer?
2.      Bagaimana metode Istidlal Kontemporer?
3.      Bagaimana metode istimbath Yusuf Qardhawi?
4.      Bagaimana metode istimbath Ibnu Qayyim?

C.    Tujuan
Dari Rumusan Masalah dimuka dapat diketahui tujuan diantaranya adalah:
1.      Untuk mendiskripsikan metode Istimbath Ulama kontemporer.
2.      Untuk mengetahui metode istidlal kontemporer.
5.      Untuk mengetahui metode istimbath Yusuf Qardhawi.
3.      Untuk mengetahui metode istimbath Ibnu Qayim.

















BAB II

PEMBAHASAN

A.    Metode Istimbath Ulama Kontemporer
Istinbath hukum yaitu suatu cara yang dilakukan oleh pakar hukum (fiqih) untuk mengungkapkan suatu dalil yang dijadikan dasar hukum. Dalil-dalil dan sumber-sumber yang digunakan dalam istinbath hukum ini bisa berdasar atas teks (bi al-nashi)maupun bukan teks (ghaira al-nashi).[1]
Metode Ijtihad Kontemporer Di kalangan ulama mutaakhkhirīn  (kontemporer), dikenal tiga metode penalaran, yaitu: al- Ijtihād al-Bayānī; al-Ijtihad al-Qiyāsī dan al-Ijtihad al- Istislāhī.[2]
1.      Al-Ijtihād al-Bayānī
            Ijtihad bayani yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya dhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijitihad bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu di antara beberapa pemahaman yang berbeda. Dalam hal ini hukumnya tersyrat dalam nash, namun tidak memberikan penjelasan yang pasti. Ijtihad disini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nash itu.[3]
            Metode penalaran bayānī, pada dasarnya memberikan penafsiran terhadap nas (Alquran dan Sunnah), di mana lafal-lafalnya mengandung kemungkinan makna bervariasi. Hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya uslūb atau gaya bahasa Arab yang beragam, dan ulama memiliki peluang menafsirkan secara berbeda. Maka pada dasarnya, dari sinilah sebenarnya pola bayānī secara fungsional dan metodologis mendapatkan prioritas dan otoritas, dalam rangka memaknai dan memahami teks-teks nas.
            Perlu dipahami bahwa, corak penalaran bayānī ini, berbeda dengan kedua corak (ta’līlī dan istislāhī) dalam hal adanya ketentuan hukum sebuah masalah dalam atau tersebut dalam nas, sedangkan kedua corak yang disebut terakhir, sebaliknya tidak memliki ketentuan hukum dalam nas, sehingga, corak ta’līlī mengakomodir ketentuan hukum pada hukum asal (al-asl) karena adanya kesamaan ‘illat, sedangkan pada corak penalaran istislāhi bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan manusia, tetapi tidak terlepas dari spirit nas. Menurut ulama Hanafiyah, penunjukan bayānī terhadap teks-teks keagamaan sebagai kegiatan ijtihad dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:
a.       Dilālat al-Ibārah
            Yang dimaksud dilālat al-Ibārah  menurut Abu Zahrah adalah:
وهي المعنى المفهوم من اللفظ سواء اكان نصا او ظاهرا
            makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafadz, baik dalam bentuk nash maupun dhahir.
            Mengandung arti bahwa makna yang dimaksud langsung dipahami dari lafadz yang disebutkan, apakah dalam bentuk penggunaan asalnya(nash) atau bukan menurut asalnya (dhahir). Pemahaman lafadz dalam bentuk ini adalah menurut apa adanya yang dijelaskan dalam lafadz itu. Pemahamannya secara “tersurat” dalam lafadz.
            Salah satu ayat yang dijadikan contoh oleh ulama Hanafiyah dalam rangka memperjelas dilālah al-‘ibārah adalah firman Allah swt. dalam QS al-Nisa (4) : 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷
            Artinya: Jika kamu takut tidak akan berlaku adil dalam hal anak yatim maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil.
            Ayat ini menurut ibarat nash atau menurut yang tersurat, sesuai dengan tujuan semula, yaitu bolehnya mengawini perempuan sampai empat orang saja, bila terpenuhi syarat adil. Lafadz dalam ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukan hal tersebut.[4]
b.      Dilālat al-Isyārah,
            Yang dimaksud dengan dilālah al-isyārah atau disebut juga dengan isyarah al-nash adalah :
ما يدل عليه اللفظ بغير عبارة
                        “Apa yang ditunjuk oleh lafadz tidak melalui maknanya”
            Hakikat dilalah isyarah itu ialah bahwa lafadz yang diungkapkan memberi arti kepada suatu maksud, namun tidak menurut apa yang secara jelas disebutkan dalam lafadz itu. Lafadznya menunjukan kepada suatu arti tertentu, tetapi arti tersebut bukan merupakan maksud semula dari lafadz tersebut.
            Setiap lafadz menurut ibaratnya (ibarah nash) memberi petunjuk kepada maksud tertentu sesuai dengan apa yang dituju oleh lafadz itu. Para ulama ushul juga dapat menangkap bentuk lafadz yang demikian untuk memberi petunjuk (isyarat) kepada maksud lain. Kadang-kadang lafadz itu memberi isyarat kepada lebih dari satu maksud diluar apa yang ditunjuk menurut ibaratnya.
n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4
            dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf
            Ibarat lafadz dalam ayat di atas menunjukan kewajiban si ayah (suami) untuk memberi nafkah dan pakaian yang layak untuk istrinya atau jandanya dalam masa iddah.[5]
c.       Dilālat al-Dilālah
            Yang dimaksud dengan dilālat al-dilālah atau disebut juga dilalah al-nash adalah:
دلالة اللفظ على ثبوت حكم ما ذ كرلما سكت عنه لفهم المناط بمجرد فهم اللغة
            Dilalah lafadz yang disebutkan dalam penetapan hukum untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa”
            Dilalah nash adalah penunjukan lafadz yang “tersurat” terhadap apa yang “tersirat” dibalik lafadz itu. Hukum yang terdapat dalam suatu lafadz secara tersurat, berlaku pula pada apa yang tersirat dibalik lafadz itu, karena di antara keduanya terdapat hubungan. Untuk sampai pada pemahaman yang tersirat itu cukup dengan hanya menggunakan analisa kebahasaan, tidak menggunakan ijtihad dengan mengerahkan kemampuan daya nalar.
            Umpamanya firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 23:
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s?
            Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka
            Ibarat dari nash ini menunjukan tidak bolehnya mengucapkan kata-kata kasar dan menghardik ibu bapak. Hukum “tidak boleh” itu berlaku pula pada perbuatan “memukul orang tua” secara lebih kuat, karena sifat “menyaki” yang menjadi alasan larangan pada pengucapan kasar lebih kuat pada perbuatan “memukul”. Alasan ini dapat dipahami semata-mata karena berdasarkan pada pemahaman dari segi bahasa (lughawi) tanpa memerlukan penalaran.[6]
d.      Dilālat al-Iqtidhhā’
            Yang dimaksud dengan dilālat al-Iqtidā’ disebut juga iqtidha’ al-nash  adalah:
دلالة اللفظ على كل امر لايستقيم المعنى الا بتقد يره
            Penunjukan lafadz kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tanpa memunculkannya”
            Iqtidha’ al-nash dalam suatu makna yang sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah mengetahuinya, namun dari susunan ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali bila yang tidak tersebut itu dinyatakan.
            Contohnya adalah firman Allah dalam QS. Yusuf (12) : 82 tentang perintah bertanya kepada penduduk :
È@t«óur sptƒös)ø9$# ÓÉL©9$# $¨Zà2 $pkŽÏù uŽÏèø9$#ur ûÓÉL©9$# $uZù=t6ø%r& $pkŽÏù ( $¯RÎ)ur šcqè%Ï»|Ás9 ÇÑËÈ
Artinya: Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar".
Menurut dhahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimanapun mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan suatu kata dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung” sehingga menjadi “penduduk kampung”, yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-orang” sebelum kata “kafilah” sehingga menjadi “orang-orang kafilah” yang memungkinkan memberikan jawaban.[7]
2.      Al-Ijtihād al-Qiyāsī,
            Ijtihad qiyasi yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun secara dhanni, juga tidak ada ijma yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian (peristiwa) dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena ada dua peristiwa itu ada kesamaan dalam illat hukumnya. Dalam hal ini mujtahid menetapkan hukum suatu kejadian berdasarkan pada kejadian yang telah ada nashnya. Ijtihad seperti ini adalah melalui metode qiyas dan istihsan.
            Dalam ijtihad bentuk pertama (bayani) hukumnya “tersurat” dalam nash tetapi ada ketidakpastian maksudnya, dan ijtihad digunakan untuk mencari kepastian hukumnya itu. Dalam ijtihad bentuk kedua ini hukumnya memang tidak tersurat tetapi “tersirat” dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum dibalik tersirat diperlukan ijtihad dengan cara merentangkan hukum yang telah ada dalam nash kepada kejadian lain yang belum ada ketentuan hukumnya.[8]
            Tatkala sebuah masalah yang muncul dan tidak ditemukan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah, maka upaya penalaran harus dilakukan, dalam rangka menggali ketetapan-ketetapan hukum terhadap masalah tersebut, yang didasarkan kepada semangat Alquran dan Sunnah. Penalaran seperti ini didasarkan kepada ‘illat qiyasi, yakni ‘illah’ yang digunakan untuk mengetahui apakah ketetntuan yang berlaku terhadap suatu masalah yang dijelaskan oleh suatu dalil nas dapat diberlakukan pada ketentuan lain yang tidak dijelaskan oleh dalil nas karena adanya kesamaan di antara keduanya. Dengan kala lain, ketentuan pada masalah pertama yang ada nas-nya, diberlakukan nada masalah kedua yang tidak ada nas- nya karena ada kesamaan ‘illat. Dalam usul al-fiqh inilah yang disebut dengan qiyas.
            Kehujjahan qiyās, Istinbath hukum dengan qiyas dalam rangka mendapatkan hukum syara’ terhadap suatu perkara yang tidak ada nas-nya (secara eksplisit) yang menerangkan hukumnya, tidaklah begitu saja digunakan tanpa adanya acuan atau dalil yang membolehkannya. Dalil atau penguat keberadaan qiyas sebagai salah satu metode penggalian hukum, sering disebut dengan istilah hujjah atau justification (bahasa Inggeris), atau dasar- dasar pembenaran akan keberadaannya. Dalam hal ini hujjah qiyās antara lain:
a.       Alquran, QS. al-Nisa’ (4) : 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
            Ayat tersebut mengandung pengertian adanya perintah kepada orang mukmin bila terjadi silang pendapat tentang sesuatu yang tidak ada hukumnya secara eksplisit dalam Alqurandan Sunnah, hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (mengandung pengertian menghubungkan sesuatu peristiwa yang tiada nas- nyakepada kejadian yang ada nas-nyadan itu merupakan cara mengembalikan hukum kepada Allah dan Rasul-Nya).


b.      Sunnah
            Hadis Muadz bin Jabal (sebagaimana tersebut sebelumnya), bahwa Rasulullah ketika mengutusnya ke Yaman, beliau bersabda: bagaimana kamu mengadili suatu perkara jika kamu dimintai untuk memberikan keputusan ? Muaz menjawab: dengan Alquran, jika tidak kudapati, maka dengan Sunnah, jika tidak kudapati juga, maka aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah menepuk dadanya seraya mengucapkan alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhaiNya.
c.       Ijma’
      Para sahabat banyak menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum yang tidak ada nas-nva secara jelas, sehingga ijmu’ turut menjustifikasi keberadaan qiyas sebagai metode penetapan hukum sekaligus diakuinya produk qiyas sebagai dalil hukum.

3.      Al-Ijtihād Istislāhi
            Ijtihad istislahi yaitu karya ijtihad untuk menggali, menemukan dan merumuskan hukum syar’i dengan cara menerapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat nash baik qath’i maupun dhanni, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada juga belum diputuskan ijma. Dasar pegangan bentuk ijtihad ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat maupun menghindarkan mudharat.[9]
            Salah satu piranti ijtihad yang dianggap amat adaptif dan responsif terhadap perubahan zaman adalah al- maslahat al-mursalah. Cukup menarik apa yang dikatakan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf bahwa istislah merupakan cara meng-syari’atkan hukum yang paling subur dalam hal tidak ada teks syariat yang tegas menentukan hukumnya.
            Dalam metode ini, tersedia lapangan yang luas untuk mengembangkan hokum syari’at sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, untuk mewujudkan kemaslahatan mereka. Husain Hamid Hassan menilai bahwa keunggulan dan keutamaan syari’at terletak di sini teori maslahat yaitu bahwa ia memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.[10]
            Ijtihad dengan pola istislahi ini, mendasarkan pengkajian dan penetapan (istinbat) hukum pada “kemaslahatan” umat manusia. Dengan demikian sejalan dengan tujuan Allah menurunkan syariat (maqāsid al-syari’ah). Ulama sepakat bahwa istislah bukanlah sumber hokum dalam lapangan ibadah dan al-muqaddarat. Semenjak illat ibadah tidak dapat dipastikan oleh nalar manusia, maka istislah, istihsan atau qiyas tidak dapat digunakan untuk menyentuhnya. Dalam bidang ibadah sangat sulit dibayangkan adanya maslahah mursalah, sedangkan dalam bidang hudūd atau muqaddarāt masih terdapat kontroversi, apakah dapat diselesaikan dengan istislah atau tidak. Tetapi ada fuqaha yang menyelesaikan masalah hudūd dengan maslahah mursalah.  Singkatnya sesuatu yang berkaitan dengan ibadah dan hukum- hukum yang jelas, maka seorang muslim wajib melaksanakan dan mengikuti sebagaimana adanya.
            Tetapi di luar bidang ibadah dan muqaddarāt, mayoritas ulama menyatakan bahwa penggunaan istislah sebagai sumber hukum syariat adalah dibenarkan.
            Kebolehan menggunakan hujjah dengan maslahah mursalah adalah Alquran, Sunnah, ijma’, dan logika.[11]
            Dalam Alquran terdapat ayat yang menerangkan secara global dan rinci terhadap kewajiban mengikuti maslahah, karena syariah Islam dibangun di atas panji-panji kemaslahatan umat dan mencegah kemudratan. Tujuan syariat yang demikian memperoleh sandaran langsung dari Alquran, antara lain tersebut di dalam QS. al-Hajj (22) : 78, di mana Allah menggambarkan bahwa tujuan diwahyukannya agama bukan untuk menimbulkan kesulitan. Pernyataan ini biasa dikonfirmasikan dalam QS. al-Ma’idah (5) : 6 yang intinya menyatakan bahwa Allah tidak pernah bermaksud untuk membuat kesulitan bagi manusia.
            Memperhatikan beberapa contoh ayat yang dijadikan sebagai dalil di atas, memang secara tidak langsung (eksplisit) menunjukkan kebolehan penggunaan masālih mursalah, melainkan hanya pengertian dan pemahaman terhadap ayat tersebut yang dibawa kepada konsep maslahah mursalah.
            Cara serupa digunakan juga dalam memberikan landasan dari Sunnah terhadap kehujjah an maslahah mursalah. Di antara hadis yang sering dijadikan hujjah adalah “lā darara wa lā dirāra”, hadis dari Aisyah yang artinya bahwa Nabi saw tidak memilih kecuali yang lebih mudah dari dua alternatif sepanjang tidak menyebabkan dosa (innahū mā khayyara bayna amraini illa ikhtāra aisara huma mā lam yakun isman) .
            Meskipun secara teknis biasa dikatakan bahwa konsep maslahah mursalah tidak diterapkan pada keputusan hukum Nabi saw., tetapi hadis tersebut menunjukkan bahwa masalih merupakan bagian dalam penetapan hukum yang dibuat oleh Nabi saw.
            Adapun argumentasi ke-hujjah- an maslahah mursalah yang bersumber dari ijma’ secara ringkas dapat dijelaskan bahwa ketika menghadapi permasalahan baru setelah wafatnya Nabi saw., para sahabat memutuskan hukum dengan apa yang dianggap mendatangkan kemaslahatan. Mereka tidak henti-hentinya menetapkan hukum yang didasarkan kepada kemaslahatan ini. syari’ tidak menentukan sikap tertentu, sehingga mereka beranggapan terhadap sesuatu yang dapat menarik manfaat dan menolak bahaya berdasarkan akal mereka untuk melahirkan kemaslahatan. kiranya sangat cukup membangun hukum syari’at dengan maslahah ini.
            Sedangkan argumentasi berdasarkan logika tentang kehujjahan maslahah mursalah, di antaranya adalah:
a.       Sudah tidak diragukan lagi bagi orang yang berakal bahwa maksud dan tujuan syari’at yang utama adalah untuk kemaslahatan umat manusia.
b.      Apabila masālih yang kita peroleh itu sesuai dengan tujuan tasyri’ dan termasuk dianjurkan karena jenisnya, maka sudah tentu sesuai dengan tujuan syāri’, karenanya pula menggunakan maslahah mursalah tidak keluar dari sumber hokum
c.       Sesungguhnya jika maslahah mursalah tidak digunakan sebagai pertimbangan hukum, maka manusia akan menghadapi kesulitan dan kesempitan dalam hidupnya.

B.     Metode Istidlal Ulama Kontemporer
            Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata Istadalla yang berarti: minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta.[12] Dalam proses pencarian, al-Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi alternatif kedua, Ijma’ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, Maslahah Mursalah, dll. Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil tersebut.
1.      Maslahah Mursalah
      Maslahah secara etimologi adalah kata tunggal dari al-masalih, yang searti dengan kata solah, yaitu “yang mendatangkan kebaikan”. Terkadang digunakan juga istilah lain yaitu al-istislah yang berarti “mencari kebaikan”. Tak jarang kata maslahah atau istislah ini disertai dengan kata al-munasib yang berarti  “hal-hal yang cocok sesuai dan tepat penggunaannya”. Dari beberapa arti ini dapat diambil suatu pemahaman bahwa setiap sesuatu, apa saja, yang mengandung manfaat didalamnya baik untuk memperoleh kemanfaatan, kebaikan, maupun untuk menolak kemudaratan, maka semua itudisebut dengan maslahah.
      Sehubungan dengan pendekatan maslahah ini, dalam ilmu ushul Fiqh, dikenal tiga jenis maslahah, yaitu; 1) maslahah al-mu’tabarah, yakni kajian hukum dengan melihat dimensi kemslahatan pada berbagai perbuatn syar’I yang masih terakomodasi oleh pernyataan eksplisit nas (ain’ manshush), 2) maslahah al-mursalah, yakni kajian hukum denganmempertimbangkan dimensi kemaslahatan pada berbagai perbuatan syar’I yang tidak terjangkau oleh pernyataan eksplisit nas. Tetapi masih termasuk dalam kelompok jenis perbuatan yang terakomodasi nas, 3) Maslahah Maskut, yakni kajian hukum dengan mempertimbangkan dimensi kemaslahatan pada berbagai perbuatan syar’I yang sama sekali tidak terjangkau nas, baik dari segi ain’ perbuatan itu sendiri maupun jenis-nya.
      Maslahah al-Mu’tabarah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan dimensi kemaslahatan untuk sesuatu yang tidak dinyatakan secara khusus oleh nas, namun masih termasuk afrad salah satu dari pernyataan nas. Oleh karena itu, al-Ghazali menyebutkan dengan system analisa Qiyas (terhadap asal yang ditunjuk langsung oleh nas), karena sama dengan prosedur analisa qiyas untuk suatu furu’ yang tidak ditunjuk langsungoleh nas. Metode kajian hukum tersebut oleh abd Al-Wahab Khallaf disebut dengan metode analisa maslahat al-mu’tabarah min al-Syar’I, karena Syar’I sendiri telah menetapkan hukum untuk jenis perbuatan yang sama dengan orientasi yang sama pula. Dengan demikian, metode analisa “maslahat al-mu’tabarah” tersebut merupakan bagian dari upaya mengikuti pola Syar’I dalam menetapkan hukum.
      Sedangkan maslahat al-mursalah, sebagaimana dikemukakan Abd al-Karim Zaidan, adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan serta menghindari kebinasaan, untuk sesuatu perbuatan yang tidak diungkapkan secara eksplisit dalam al-Quran, akan tetapi masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran yang diungkapkan secara induktif oleh al-Quran dalam suatu perbuatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, ayat al-Quran tidak berperan sebagai dalil yang menunjukkan norma hukum tertentu, tapi menjadi saksi (syahid) atas kebenaran fatwa-fatwa hukumnya tersebut. Dengan demikian, system analisa tersebut dibenarkan karena sesuai dengan kecenderungan syar’I dalam penetapan hukum-Nya.
      Pendekatan maslahah al-mursalah dalam metode kajian hukum dimulai dengan perumusan kaidah-kaidahnya yang dilakukan melalui system analisa induktif terhadap dalil-dalil hukum suatu perbuatan yang berbeda satu sama lain namun memperlihatkan substansi ajaran yang sama. Kesamaan pada dimensi substansial itulah yang dijadikan premis-premis dalam perumusan kesimpulan induktifnya, sehingga dapat dirumuskan menjadi kaidah-kaidah maslahah al-mursalah yang merupakan kaidah kulli. Kaidah-kaidah tersebut selanjutnya dijadikan sebagai hukum asal untuk melihat kedudukan hukum furu’ yang dihadapi para mujtahid. Oleh karena itu, Husein Hamid Hasan menyimpulkan, bahwa system analisa “maslahah al-mursalah” tiada lain adalah aplikasi makna kulli terhadap furu’ yang juz’i. dengan demikian system analisanya sama dengan system analisa qiyas. Bahkan lebih kuat dari qiyas, karena pola qiyas adalah menganalogikan furu’ pada asal yang hanya didukung oleh satu ayat nas. Sedangkan pada system analisa maslahah al-mursalah hukum asalnya didukung oleh beberapa ayat atau nas. Akan tetapi, nas atau ayat tersebut bukan dijadikan sebagai dalil teradap ketentuan hukumnya, karena secara eksplisit ayat atau nash tersebut mengungkapkan tema perbuatan yang berbeda, namun dijadikan sebagai saksi (syahid) atas kebenaran fatwa hukum tersebut. Selain diambil makna substansial ajarannya sebagai premis-premis dalam pengambilan kesimpulan induktifnya untuk merumuskan kaidah-kaidah kulliyah tentang maslahah al-mursalah tersebut.[13]
2.      Istihsān
Istihsān secara etimologi berarti “menganggap atau memandang sesuatu baik.  Adapun istihsān secara terminology menurut ulama ushul ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jalī (nyata) kepada qiyas khāfi (sama) atau dari dalil kulli kepada hukum tahksīs lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.
Dalam pengertian lain, istihsān ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena terdapat dalil yang menghendakinya, serta lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.[14]
Ulama Hanafiyyah membagi istihsān kepada enam macam:
a.       Istihsān bil al-Nash, yaitu istihsān berdasarkan ayat atau hadis. Maksudnya, ada ayat atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum.
b.      Istihsān bil al-Ijma` , yaitu istihsān yang didasarkan pada ijma`.
c.       Istihsān bil al-Qiyās al-Khafi , yaitu istihsān berdasarkan qiyas yang tersembunyi.
d.      Istihsān bil al-Maslahah , yaitu istihsān berdasarkan kemaslahatan.
e.       Istihsān bil al-‘Urf , yaitu istihsān berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum.
f.       Istihsān bil al-Darūrah , yaitu istihsān berdasarkan keadaan darurat. Ulama ushul fiqhi berbeda pendapat dalam menetapkan istihsān sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsān merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Sedangkan ulama Syafi`iyah, Zahiriyah, Syi’ah, dan Mu`tazilah tidak menerima istihsān sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Syafi’iyah pernah mengatakan, “barang siapa menggunakan istihsān maka ia telah membuat syari’at. Sedangkan Ibnu Hazm memandang bahwa berhujjah dengan istihsān adalah mengikuti hawa nafsu, yang membawa kesesatan.[15]

C.    Metode Istimbath Yusuf Qardhawi
Qardhawi menegaskan bahwa tidak sepantasnya bagi seorang yang berilmu, yang dikaruniai berbagai fasilitas akal pikiran yang bias digunakan untuk mentarjih, yaitu memilih-milih pendapat yang lebih relevan dan real untuk dijalankan, terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi seharusnya ia wajib berpegang kepada dalil dan hujjah yang kuat dan sahih untuk menjadi pegangannya.[16]
Seorang muslim yang baik adalah orang yang selalu berpegang kepada dalil yang benar dan hujjah yang kuat sebagai parameter untuk dipedomani guna mengetahui yang haq. Dan tidaklah layak baginya mengikuti suatu pendapat hanya karena kemasyhurannya dan banyak pengikutnya. [17]Menurut Qardhawi ada dua pola pikir yang harus dijauhkan dari masyarakat, baik masyarakat awam maupun cendekiawan dan ulama. Pertama, berbagai pemahaman yang merasuk kaum muslim di era penjajahan berupa kesalahpahaman terhadap Islam, seperti memahami zuhud dengan meninggalkan kehidupan dunia secara total, sehingga dikuasai oleh orang-orang kafir, memahami keimanan terhadap takdir sebagaimana yang dipahami oleh kaum jabariah, memahami bahwa pintu ijtihad telah ditutup, akal berseberangan dengan wahyu, menganggap perempuan sebagai perangkap setan, memahami bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat digantung untuk menjaga diri dari jin, berkah sunnah terletak pada pembacaan Kitab Shahih Bukhari saat terjadi musibah, memahami masalah wali dan karomah dengan pemahaman yang bertentangan dengan sunnatullah, dan sebagainya. Masih banyak lagi pemahaman lain yang menyebabkan kebekuan ilmu dan pemikiran. Kedua, berbagai pemahaman yang menyerang masyarakat bersamaan dengan serangan penjajah. Mereka masuk dari pintu dan berjalan bersama rombongannya, berlindung di belakangnya dan menjadikan mereka sebagai kiblat dan imam.[18]
Qardhawi menegaskan bahwa Ijtihad tidak menghilangkan tradisi fikih klasik tetapi ijtihad mengandung beberapa hal yang mendasar, yaitu :
1.      Menafsir ulang tradisi fikih klasik yang melimpah ruah melalui aliran, madzhab, dan pendapat-pendapat yang shahih terutama dari kalangan sahabat dan tabi’in, kemudian memilih mana yang lebih kuat serta sesuai dengan tujuan-tujuan syariat serta kemaslahatan umat dalam kondisi yang aktual.
2.      Kembali kepada sumber, nash-nash yang shahih yang sesuai dengan tujuan umum syariat.
3.      Ijtihad untuk kasus-kasus dan masalah-masalah aktual yang tidak ada hukumnya serta belum terungkap oleh para ahli fikih terdahulu. Hal itu dilakukan untuk mengambil hukum aktual[19] yang sesuai dengan dalil-dalil syara.
Menurut Qardhawi, ada dua bidang baru untuk ijtihad, yakni yang pertama, bidang hubungan keuangan dan ekonomi. Hal ini berhubungan dengan kegiatan perbankan, pertukaran valuta, jaminan surat-surat berharga, deposito, dan lain sebagainya. Yang kedua, bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran (medis), seperti masalah pencangkokan organ tubuh, bolehkah organ tubuh itu diambil dari orang-orang non muslim untuk diberikan kepada orang-orang muslim, bolehkah donor darah dari orang non muslim untuk diberikan kepada orang  muslim, mencangkok organ tubuh binatang untuk diberikan kepada manusia.[20]
Mengenai peluang ulama untuk berijtihad saat ini menurut Qardhawi adalah suatu keharusan dan hukumnya fardu kifayah. Ada tiga macam ijtihad yang dikemukakan oleh Qardhawi, yaitu ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i, dan ijtihad integrasi antara ijtihad intiqa’i dan insya’i.  
1)      Ijtihad Intiqa’i/Tarjih 
Yang dimaksud dengan ijtihad intiqa’i adalah memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih Islam yang penuh dengan fatwa dan putusan hukum.[21]
Qardhawi tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa kita boleh berpegang pada pendapat dalam bidang fikih (pemahaman) karena sikap itu merupakan taqlid tanpa dibarengi argumentasi. Seharusnya diadakan studi komparatif terhadap pendapat-pendapat itu dan meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan dasar pendapat tersebut, sehingga pada akhirnya dapat diketahui dan dipilih pendapat yang terkuat dalilnya dan alasannya pun sesuai dengan kaidah tarjih, seperti mempunyai relevansi dengan kehidupan pada zaman sekarang, pendapat itu mencerminkan kelemahlembutan dan kasih sayang kepada manusia, pendapat itu mendekati kemudahan yang ditetapkan oleh hukum Islam, pendapat itu lebih memprioritaskan realisasi maksud-maksud syara, kemaslahatan manusia, dan menolak marabahaya.[22]
Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli tarjih pada masa kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa kemunduran hukum Islam. Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan yang tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat para ahli fikih di lingkungan intern madzhab tertentu, seperti syafi’iyah, malikiyah, dll. Sedangkan pada periode kebangkitan Islam, tarjih berarti menyeleksi berbagai pendapat dari bermacam madzhab, baik beraliran sunni atau tidak. Jadi, sifatnya lintas madzhab.[23]
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari ijtihad tarjih ini. Sedikitnya menurut Qardhawi ada tiga hal, yakni perubahan sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan adanya desakan dari perkembangan zaman.[24] Contoh ijtihad tarjih adalah tentang harusnya meminta izin untuk menikahkan anak gadis. Golongan Syafi’i, Maliki, dan mayoritas golongan Hanbali berpendapat sehungguhnya orang tua berhak memaksakan anak gadisnya yang sudah akil balig untuk menikah dengan calon suami yang dipilih oleh orang tua walaupun tanpa persetujuan gadis tersebut. Alasan yang digunakan adalah orang tua lebih tahu tentang kemaslahatan anak gadisnya. Cara yang demikian itu mungkin masih dapat diterapkan pada seorang gadis yang belum mengenal sedikitpun tentang kondisi dan latar belakang suaminya, sedangkan di zaman modern sekarang para gadis mempunyai kesempatan luas untuk belajar, bekerja dan berinteraksi dengan lawan jenis dalam kehidupan ini. Akhirnya, hasil dari ijtihad tarjih ini adalah mengambil pendapat Abu Hanifah yakni melibatkan urusan pernikahan kepada calon mempelai wanita untuk mendapatkan  persetujuan dan izinnya.[25]
Contoh lain dari ijtihad intiqa’i adalah tentang kekayaan yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan al-amwal, yakni segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk memilikinya. Menurut Ibnu Asyir, kekayaan pada mulanya adalah emas dan perak tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi sesuatu yang disimpan dan dimiliki. Menurut madzhab Hanafi, kekayaan adalah segala yang dapat dimiliki dan digunakan menurut kebiasan. Kekayaan dapat disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat tersebut, seperti tanah, binatang, barang-barang, perlengkapan dan uang. Sesuatu yang tidak dapat  dimanfaatkan  tetapi mungkin dimiliki seperti ikan di laut, binatang di hutan dan burung di udara adalah termasuk kekayaan. Sebaliknya sesuatu yang dapat dimanfaatkan tetapi tidak mungkin dimiliki seperti cahaya dan panas matahari, tidak termasuk kekayaan., begitu juga sesuatu yang secara nyata dapat dimiliki tetapi tidak dapat dimanfaatkan seperti sebutir beras, segenggam tanah, setetes air dan sebagainya. Menurut madzhab Maliki, Syafii dan Hanbali, yang dimaksud dengan kekayaan adalah termasuk segala manfaat yang dapat dikuasai dengan cara menguasai tempat dan sumbernya. Ibnu Najim berpendapat bahwa kekayaan, sesuai dengan yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fikih adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan, Setelah memperhatikan dan mempelajari berbagai pendapat tadi, maka Qardhawi menyimpulkan bahwa yang paling tepat adalah pendapat madzhab Hanafi. Alasannya adalah pengertian tersebut lebih dekat pengertiannya dalam kamus- kamus Arab dan dapat diterapkan pengertiannya melalui nash-nash tentang zakat.[26] Dengan demikian maka yang dimaksud dengan kekayaan adalah sesuatu yang berwujud dan dapat dimiliki, itulah yang  dapat dibebani kewajiban untuk mengeluarkan zakat. 

2)      Ijtihad Insya’i
Yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah pengambilan konkluse hukum dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Atau cara seseorang mujtahid kontemporer untuk memilih pendapat baru dalam masalah itu, yang belum ditemukan didalam pendapat ulama salaf. Boleh juga ketika para pakar fikih terdahulu berselisih pendapat sehingga terkatub pada dua pendapat, maka mujtahid masa kini memunculkan pendapat ketiga.[27]
Sebagian besar ijtihad insya’i ini terjadi pada masalah- masalah baru yang belum dikenal dan diketahui oleh ulama terdahulu serta belum pernah terjadi pada masa mereka. Kalaupun mengenalnya, tentu masih dalam skala kecil yang belum mendorong mereka untuk mengadakan penelitian demi mencari penyelesaiannya. Mengenai ijtihad insya’i ini, Qardhawi berpendapat bahwa setelah mengutip berbagai pendapat para ulama, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji kembali berbagai pendapat tersebut, kemudian menarik simpulan yang sesuai dengan nash al-Quran dan Hadits, kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyah sambil berdoa semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak menghalangi tabir pahala,dan menjaga dari belenggu fanatisme dan taqlid serta hawa nafsu dan prasangka buruk  terhadap orang lain.[28]
Sebagai contoh ijtihad insya’i adalah para pakar fikih pada zaman moderen ini berpendapat bahwa rumah, pabrik, tanah, dan sebagainya yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khalaf dan Abdurrahman Hasan, Qardhawi sangat mendukung pendapat tersebut dengan pembahasan yang lengkap dengan dalil-dalil yang dipegangi.[29] Apabila pemilik tanah menyewakan tanahnya dengan sewa berupa uang atau lain-lain yang menurut jumhur hukumnya boleh, maka siapakah yang berkewajiban membayar zakatnya, apakah pemilik tanah atau penyewa tanah? Menurut Abu Hanifah, zakat wajib atas pemilik tanah. Berdasarkan ketentuan bahwa zakat adalah kewajiban tanah yang memproduksi, bukan kewajiban tanaman. Dan bahwa zakat adalah beban tanah yang sama kedudukannya dengan kharaj. Maka dalam hal sewa, tanah yang seharusnya diinvestasi dalam bentuk pertanian lalu diinvestasi dalam bentuk sewa, berarti sewa tersebut sama kedudukannya dengan hasil tanaman. Demikian juga pendapat Ibrahim al-Nakha’i.[30]
Malik, Syafii, al –Tsauri, Ibn al-Mubarak dan Jumhur ulama Fikih berpendapat bahwa zakat wajib atas orang yang menyewa, karena zakat adalah beban tanaman bukan beban tanah. Pemilik tanah bukanlah penghasil biji-bijian dan buah- buahan yang karenanya tidak mungkin mengeluarkan zakat hasil tanaman yang bukan miliknya. Menurut Ibnu Rusyd perbedaan pendapat disebabkan tidak ada kepastian apakah zakat tersebut merupakan beban tanah, beban tanaman atau beban keduanya.[31]
Al-Mughni menilai bahwa pendapat Jumhur lebih kuat, zakat diwajibkan atas hasil tanaman. Sedangkan Al-Rafii berpendapat bahwa penyewa tanah mempunyai dua kewajiban yakni membayar sewa dan membayar zakat. Setelah mempelajari pendapat para ulama tersebut maka Qardhawi mengemukakan pendapat bahwa yang adil adalah baik penyewa maupun pemilik harus secara bersama-sama menanggung zakat itu masing-masing sesuai dengan perolehannya[32]
Jadi pemilik tanah juga diwajibkan mengeluarkan zakat dari hasil sewa, sedangkan pendapat tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu. Ijtihad yang demikian disebut ijtihan insya’i. Pendapat tersebut sangat adil dan sangat realistis diterapkan dizaman sekarang. 

3)      Integrasi antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i 
Di antara bentuk ijtihad kontemporer adalah ijtihad perpaduan antara intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru. Sebagai contoh ijtihad jenis ini adalah masalah aborsi. Lajnah Fatawa di Kuwait mengeluarkan pendapat tentang aborsi yang dibolehkan dan yang diharamkan. Lajnah Fatawa telah menyeleksi pendapat-pendapat para pakar fikih Islam sekaligus menambahkan unsur-unsur kreasi baru yang dituntut oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran. Yang ditunjang dengan segala peralatan teknologi canggih dan kemampuan untuk mendeteksi apa yang menimpa pada janin dalam bulan-bulan pertama, berupa cacat yang mempunyai pengaruh fisik/biologis dan psikis pada kehidupan si janin dikemudian hari menurut sunnatullah yang berlaku di alam ini.
Isi Fatwa yang dikeluarkan tanggal 29 September 1984 itu adalah seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan seorang wanita yang telah genap 120 hari, kecuali untuk menyelematkan wanita/ibu itu dari marabahaya yang ditimbulkan oleh kandungannya. Dan seorang dokter boleh menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan kedua belah pihak yaitu suami istri, sebelum kandungan itu genap berusia 40 hari, yakni saat masih berbentuk segumpal darah. Apabila kandungan itu sudah lebih dari 40 hari dan belum sampai 120 hari maka dalam keadaan seperti ini tidak boleh dilakukan abortos kecuali dalam dua kondisi berikut ini:
a.       Apabila kandungan itu tetap dipertahankan, akan menimbulkan bahaya bagi sang ibu dan bahaya itu akan berlangsung terus menerus sampai sehabis melahirkan.
b.      Apabila sudah dapat dipastikan bahwa janin yang lahir akan menderita cacat baik fisik atau akalnya, yang kedua hal itu tidak mungkin dapat disembuhkan.[33]
Selanjutnya Qardhawi juga memberikan rambu-rambu bahwa ada beberapa hal yang harus dihindari agar didalam berijtihad tidak terjadi penyimpangan, yaitu :
1.      Mengabaikan nash  Qardhawi mengingatkan bahwa yang sangat perlu diperhatikan oleh seorang Mujtahid adalah kembali kepada nash al-Qur’an, bila tidak ada dalam al-Qur’an maka hendaklah berpedoman kepada al-Sunnah. Jika tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah barulah berijtihad menurut pendapatnya dengan tidak meremehkan kedua sumber tersebut. [34] Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Muaz bin Jabal ketika ia diutus oleh Nabi Saw ke Yaman.
2.      Salah memahami nash atau menyimpang dari konteksnya.
Menurut Qardhawi, kesalahan ijtihad kontemporer juga bisa terjadi disebabkan kesalahan dalam pemahaman dan keliru dalam menginterpretasikan nash tersebut, misalnya nash yang bersifat umum dianggap khusus atau yang muthlaq diperkirakan muqayyad atau sebaliknya. Atau ketika memahami suatu nash dipisahkan dengan konteksnya, atau dipisahkan dari nash-nash lain  yang menjelaskan isi dan maksudnya, atau terpisahkan dari ijma yang kuat, atau lebih cenderung membenarkan kenyataan yang ada, sehingga ijtihad yang dihasilkan menyimpang dari tujuan syariat[35]
3.      Kontra terhadap ijma yang dikukuhkan.
Yang dimaksud dengan ijma jenis ini adalah ijma yang telah diyakini, yang telah menjadi ketetapan fikih dan ijma itu telah diterapkan oleh semua umat Islam dan disepakati oleh semua madzhab fikih dikalangan umat Islam sepanjang masa. Ijma semacam ini biasanya tidak akan timbul kecuali bersandar kepada nash.[36]
4)      Qiyas tidak pada tempatnya. Menurut Qardhawi , kekeliruan dapat pula terjadi apabila salah dalam menggunakan Qiyas (analogi), seperti mengqiyaskan perkara yang bersifat taabbudi (ibadah) kepada hal-hal yang bersifat adat istiadat dan muamalat, atau salah dalam memandang hukum dan tujuan- tujuannya, atau salah dalam menetapkan illatnya, dan sebagainya. [37]
5)      Kealpaan terhadap realitas zaman. Qardhawi menegaskan bahwa terkadang manusia terbawa hanyut dalam arus realitas yang ada sehingga mengikuti aliran moderen sekalipun aliran tersebut bersifat asing dan bertentangan dengan Islam. Agar dapat membenarkan kenyataan yang ada, mereka berusaha untuk membenarkannya dengan cara memberikan sandaran hukum yang diambil dari Islam meskipun dengan cara penyelewengan dan paksaan.[38]
6)      Berlebih-lebihan dalam mengungkapkan kepentingan umum walaupun harus mengabaikan nash.
Menurut  Qardhawi, suatu kekeliruan juga dapat terjadi ketika berdalih untuk kepentingan umum (mendapatkan maslahat) tanpa memperhatikan nash. Karena pada dasarnya setiap hukum syariat telah memenuhi kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat. Dan menurut para ahli fikih dalam menerapkan maslahat tidak boleh bertentangan dengan nash yang bersifat qath’i. [39]
Untuk mewujudkan ijtihad yang lurus, menurut Qardhawi harus diperhatikan beberapa aturan dan ketentuan pokok untuk ijtihad kontemporer:
1. Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan.
2. Tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang bersifat qath’i.
3. Tidak boleh menjadikan yang zanni menjadi qath’i.
4. Menggabungkan antara fikih dan hadits, sekaligus menghilangkan jurang pemisah antara fuqaha dan muhadditsin.
5. Waspada agar tidak mudah tergelincir oleh tekanan realita.
6. Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat dengan tidak menerima atau menolak hal-hal yang bersifat asing, tetapi menyeleksinya lebih dahulu.
7. Tidak mengabaikan perkembangan zaman.
8. Melakukan transformasi dari ijtihad individu kepada ijtihad kolektif.
9. Bersikap lapang dada terhadap kekeliruan mujtahid[40]
D. Metode Istimbath Ibnu Qayyim
Menurut Ibnu Qayyim berbeda padangan dengan ulama-ulama lainnya tentang urutan dasar-dasar istinbath hukum. Dan urutan dasar-dasar istinbath hukum yaitu ada lima macam:[41]
1.      Nash (al-Qur’an dan as-sunnah)
Seorang mujtahid atau mufti diperintahkan mengambil sumber hukum yang berdasarkan teks al-qur’an dan hadits. Apabila ada hadits yang saling bertentangan, ia wajib memilih hadits yang lebih shahih. Seorang mujtahid atau mufti dilarang mengambil istinbath hukum yang berdasarkan ijma’, karena ijma’ sulit untuk direalisasikan, ia juga tidak boleh berdasarkan atas dalil-dalil yang bersifat zhanni’.
2.      Fatwa atau ijma’ sahabat
Apabila fatwa para sahabat yang diketahui saling bertentangan, seseorang mujtahid atau mufti tidak dapat menjadikan fatwa mereka sebagai dasar hukum, karena fatwa mereka bukan lagi dikatakan sebagai ijma’ sahabat lagi.
3.      Usaha mengkompromikan pendapat sahabat yang saling bertentangan
Apabila terjadi pertentangan pendapat antara para sahabat, ia harus memilih pendapat yang berdalil atas al-qur’an dan hadits. Apabila pendapat mereka masing-masing tetapi ia tidak mengambil pendapat mereka sebagai sumber hukum.
4.      Hadits mursal dan hadits dha’if
Menurut Ibnu Qayyim, hadits dha’if adalah hadits yang tidak bathil dan tidak munkar serta perawinya tidak tertuduh dusta. Apabila tidak terdapat hadits shahih atau qaul sahabat, seorang mujtahid dapat mengamalkan hadits dha’if, sebab dasar ia lebih utama dari pada qiyas.
5.      Qiyas dalam keadaan darurat
Jika tidak menemukan dasar normatif, pendapat sahabat, hadits mursal, atau hadits dha’if, seorang mujtahid boleh berhujjah dengan sumber qiyas dalam keadaan darurat.
Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mikallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan.
Pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyah terhadap istinbath hukum tekstual
1.      Al-qur’an
a.       Cara al-qur’an menetapkan hukum[42]
1)      Al-qur’an tidak memberatkan atau menyusahkan. Misalnya perintah agar umat dapat melaksanakan ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
2)      Al-qur’an tidak memperbanyak beban. Misalnya, sesuatu yang sangat memberatkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan akan membawah dampak psikologis yang sangat mendalam terhadapa seseorang.
3)      Al-qur’an mensyari’atkan sesuatu secara berangsur-angsur. Agar kedatangan syari’at islam kedunia ini dapat diterima dengan baik oleh para pengikutnya, islam memperhatikan faktor kemaslahatan, keadilan, dan kasih sayang.
b.      Ke hujjahan dan kandungan hukum al-qur’an[43]
Al-qur’an merupakan pedoman dan hujjah atau dalil bagi seluruh umat manusia. Al-qur’an berisi tentang aturan hukum yang segala perintahnya wajib diikuti dan segala larangan hanrus ditinggalkan. Menurut ibnu qayyim menyatakan bahwa apabila  seorang muslim mukmin telah berselisih pendapat, hendaklah kembali kepada al-qur’an dan hadits. Kembali kepada al-qur’an dan hadits sebagai sumber hukum adalah wajib. Sebaliknya, mereka yang mengingkari al-qur’an adalah termasuk orang-orang yang perbuatannya melampaui batas (thahut).
2.      As-sunnah
a)      Kehujjahan sunnah dalam istinbath hokum
Segala apa yang disampaikan dari nabi SAW. baik perkataan, perbuatan, atau taqrir merupakan sumber hukum. Kaerna itu, sunnah nabi yang sampai kepada kita dengan jalan yang benar atau dengan jalan interpretasi yang telah diuji kebenarannya wajib diikuti dan dijadikan sebagai sumber instinbat hukum yang menjadi pegangan bagi seluruh mujtahid. Dengan demikian, sumber hukum sunnah merupakan penjelasan al-qur’an. Karena itu, segala aturannya wajib diikuti. Sunnah sebagai hujjah dalam mengistinbathkan hukum ini didasarkan atasa alasan-alasan, baik dari al-qur’an. Hadits, ijma’ maupun rasio.[44]
Menurut ibnu qayyim al-jauziyah mempunyai pandangan lebih longgar lagi dibanding dengan pandangan ulama lain, yaitu kebolehan mengamalkan hadits mursal secara mutlak. Beliau menyatakan bahwa hadits dha’if bukan termasuk hadit yang menurut ahli hadits dikatagorikan sebagai hadits tertolak, tetapi hadits dha’if termasuk hadits yang shahih. Ahal ini muncul karena ibnu qayyim mengklasifikasikan hadits menjadi dua macam saja, yakni hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if. Jadi beliau memasukan hadits dha’if sebagai hadits hasan. Padahal, hadits dha’if adalah hadits yang bathil dan munkar. Selain itu, perawinya yang tertuduh dusta.[45]
Pandangan ibnu qayyim al-jauziyah terhadap istinbath hukum non tekstual sumber-sumber hukum nontekstual tersebut adalah:
1.      Ijma’[46]
Secara bahasa ijma’ mempunyai dua arti kesepakatan (al-ittifaq) dan tekad atau niat(al-‘azmu). Sedangkan ijma’ secara istilah adalah uangkapan kesepakatan bersama antara penguasa dan rakyat tentang sesuatu hal. Rumusan ini mengandaikan adanya kesepakat dalam keyakinan, perkataan, dan segala perbuatan antar seluruh umat islam yang awam dengan para mujtahid dalam permasalahan hukum.
Dalam mengunakan dasar istinbath hukum dengan ijma’ ada tiga hal yang harus disepakati yaitu:
a.       Apakah orang yang melakukan ijma’ harus melibatkan seluruh umat islam dengan tidak terbatas ataupun sebatas mewakilkan pada orang yang mempunyai keterampilan khusus dengan persyaratan yang ketat.
b.      Ketika nabi SAW masih hidup, segala persoalan hukum selalu di atasi dengan landasan al-qur’an dan as-sunnah nabi SAW. tetapi setelah beliau wafat setiap muncul persoalan baru tidak jarang memunculkan perbedaan-perbedaan pandangan. Seperti persoalan yang dihadapai masyarakat saat ini lebih tentang persoalan politik keagamaan global daripada persoalan-persoalan yang lainnya.karena itu, diperlukan pengetahuan untuk mengetahuai demensi agama yang berhubungan dengan persoalan publik dan fardu kifayah yang selama ini tidak banyak diperhatikan.
c.       Kesepakatan bersam dalam ijma’ merupakan hal yang penting, yaitu adanya perinsip musyawarah dalam menghadapi suatu persoalan. Ada beberapa fase ketika ijma’ dijadikan sebagai sumber hukum sejak masa sahabat sampai pada masa para imam mujtahid.
2.      Fatwa sahabat[47]
Secara bahasa sahabat berarti yang mempunyai. Yang menyertai, dan teman. Sedangkan secara istilah adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi SAW. dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan muslim. Adapun fatwa dalam istinbath hukum. Hal ini menunjuk kepada dalil normatif dan logika, seperti firman Allah surat al-taubah ayat 100, berbunyi:
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur ç...m÷Ztã ÇÊÉÉÈ
orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah..”
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memuji para sahabat karena mereka selalu menaati perintah Rasul, sehingga pantas mereka mendapatkan pujian. Bukan saja karena ucapannya sebagai hujjah, tetapi mereka juga dinilai dari segi ketaatnya.
Ibnu qayyim mengartikan sahabat sebagai seseorang yang berpendapat, memutuskan perkara hukum, berfatwa, berijtihat sendiri atau bersama-sama, atau mendengar ucapan nabi SAW. sekalipun diperoleh dari hafalan sahabat lain yang belum tentu riwayatnya benar. Kelonggaran pendapatnya dapat diamati dalam beberapa hal berikut:
a)      Orang yang sedikit meriwayatkan hadits yang di Peroleh dari perkataan sahabat abu hurairah adalah termasuk sahabt. Padahal, sebagai ahli hadits menuduh sahabat abu hurairah sebgai sahabat yang namanya saja tidak jelas, orang miskin, dan banya tuduhan-tuduahan miring yang dialamatkan kepadanya.
b)      Bagi ibnu qayyim fatwa sahabat meliputi seluruh riwayat hadits yang disampaikan oleh para sahabat. Ibnu qayyim tidak khawatir apakah ada penambahan atau pengurangan terhadap hadits.
Ibnu qayyim kemudian memberikan beberapa Landasan tentang fatwa sahabat, berikut:
i.                    Apa yang diceritakan hendaknya merupakan hadits yang di dengar dari nabi SAW.
ii.                  Hadits yang di dengar itu hedaknya merupakan hadits dari orang yang mendengarkan dari nabi SAW.
iii.                Perawi hadits itu hedakny memahami al-qur’an
iv.                Hendaknya ada kesepakatan secara keseluruhan bahwa yang disampaikan kepada kita hanya merupkan dari seorang mufti.
v.                  Ia mempunyai pengetahuan yang luas dalam kebahasaan, yaitu dilihat dari perkataan, perbuatan, dan perilakunya.
vi.                Ia tidak memberikan pemahaman riwayat yang seolah-olah dari nabi padahal bukan dari nabi, dan juga tidak memberikan pengertian yang keliru.
3.      Qiyas [48]
Ibnu qayyim mendasarkan Konsep qiyasnya atas risalah umar yang ditunjukan kepada abu musa al-asy’ari yang artinya: “perhatikan dengan seksama. Aku tunjukkan kepadamu suatu hujjah bagimu yang tidak ada di dalam al-qur’an dan as-sunnah. Qiyaskanlah perkara yang ada, berpikirlah terhadap perumpamaan-perumpaan, berpenganglah kepada pendapat yang dicintai oleh allah dan persamakanlah dengan kebenaran.”
Lebih lajut, ibnu qayyim menyatakan bahwa qiyas mengandung sifat berpikir suatu masalah hukum, lalu hukum itu disamakan dengan hukum yang ada. Jadi semua hukum perumpamaan disebut qiyas, karena hukum perumpamaan adalah sama dengan hukum yang diumpamakan.
Padangan ibnu qayyim menyatakan bahwa ketetapan qiyas sebagai hujjah hukum tidak diperintahkan dan bukan dari agama.[49] Beliau merujukan kepada firman allahSWT. Dalam surat an-nisaa’ ayat 59, berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Yang memerintahkan kaum muslim agar kembali kepada allah dan rasulnya, yakni berpegang teguh kepada al-qur’an dan as-sunnah nabi SAW. ibnu qayyim menolak dalil qiyas sebab merupakan dalil zhanni yang harus dihindari sebagai sumber istinbath hukum. Dan beliau juga menganggap qiyas sebagai khabar yang berkebohongannya karena tidak bisa memberikan keyakinan yang benar. Nabi SAW bersabda sesungguhnya zhanni aalah hadits yang sangat bohong.































PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.        Metode Ijtihad Kontemporer Di kalangan ulama mutaakhkhirīn  (kontemporer), dikenal tiga metode penalaran, yaitu:
a.       Al-Ijtihād al-Bayānī, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya dhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya.      
b.      Al-Ijtihād al-Qiyāsī,  yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun secara dhanni, juga tidak ada ijma yang telah menetapkan hukumnya.
c.       Al-Ijtihād Istislāhi, yaitu karya ijtihad untuk menggali, menemukan dan merumuskan hukum syar’i dengan cara menerapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat nash baik qath’i maupun dhanni, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada juga belum diputuskan ijma.
2.        Metode istidlal ulama kontemporer:
a.       Maslahah mursalah, bahwa setiap sesuatu, apa saja, yang mengandung manfaat didalamnya baik untuk memperoleh kemanfaatan, kebaikan, maupun untuk menolak kemudaratan, maka semua itudisebut dengan maslahah. Dikenal tiga jenis maslahah, yaitu; 1) maslahah al-mu’tabarah, 2) maslahah al-mursalah, 3) Maslahah Maskut.
b.      Istihsān secara etimologi berarti “menganggap atau memandang sesuatu baik.  Adapun istihsān secara terminology menurut ulama ushul ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jalī (nyata) kepada qiyas khāfi (sama) atau dari dalil kulli kepada hukum tahksīs lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.



3.        Metode ijtihad yang dikemukakan oleh Qardhawi, yaitu:
a.       Ijtihad Intiqa’i/Tarjih : memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih Islam yang penuh dengan fatwa dan putusan hukum.
b.      Ijtihad insya’i adalah pengambilan konkluse hukum dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu.
c.       Ijtihad perpaduan antara intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.
4.        Metode ijtihad Ibnu Qayyim: urutan dasar-dasar istinbath hukum yaitu ada lima macam:
a.    Nash (al-Qur’an dan as-sunnah), Seorang mujtahid atau mufti diperintahkan mengambil sumber hukum yang berdasarkan teks al-qur’an dan hadits.
b.    Fatwa atau ijma’ sahabat, Apabila fatwa para sahabat yang diketahui saling bertentangan, seseorang mujtahid atau mufti tidak dapat menjadikan fatwa mereka sebagai dasar hukum, karena fatwa mereka bukan lagi dikatakan sebagai ijma’ sahabat lagi.
c.    Hadits mursal dan hadits dha’if, Menurut Ibnu Qayyim, hadits dha’if adalah hadits yang tidak bathil dan tidak munkar serta perawinya tidak tertuduh dusta. Apabila tidak terdapat hadits shahih atau qaul sahabat, seorang mujtahid dapat mengamalkan hadits dha’if, sebab dasar ia lebih utama dari pada qiyas.
d.   Qiyas dalam keadaan darurat, Jika tidak menemukan dasar normatif, pendapat sahabat, hadits mursal, atau hadits dha’if, seorang mujtahid boleh berhujjah dengan sumber qiyas dalam keadaan darurat.

B.     Saran
            Demikian penyusunan makalah ini kami buat. Harapan kami dengan adanya tugas ini dapat menambah wawasan kami dan dapat bermanfaat kepada para pembaca, khusunya kelompok kami sendiri. Demi kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca serta dosen yang telah membimbing kami.Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.



[1] Abdul Fatah Idris, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, (Semarang:Pustaka Zaman,2007), H. 1-2
[2] Muhammad Salam Mazkur, Manāhij al-Ijtihād fī al- Islām, dalam Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam( Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 8
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), h. 286
[4] Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 136
[5] Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 139
[6] Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 141
[7] Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 144
[8] Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 287
[9] Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 287
[10] Abd. Wahhab Khallaf, Masādir al-Tasyrī’ al-Islāmī, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h. 85
[11] Muhammad Mustafa Syalabi, Ta’līl al-Ahkām,  (Beirut: Dar al-Nahdah, 1981), h. 287 – 290
[12] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 50
[13] Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 112-115.
[14] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1986), h. 739
[15] Nasrun Rusli,. Ijtihad Asy-Syaukani. Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 32
[16]Al Qardhawi, Fatawa Muasirah (Bairut:Dar al Fikr 1991) j.2 h.99 sebagaimana dikutip Rif’an Syafruddin, Ijtihad Kontemporer dalamPersfektif Yusuf Al Qardhawi, Tesis IAIN Antasari 2004 h.32.
[17]Al Qardhawi, Fatawa Muasirah, h. 3.
[18]Al Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syari’at Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak, alih bahasa oleh Abdus Salam Masykur (Solo: Era Intermedia, 2003) Cet ke 1 h.125-126.
[19]Qardhawi, Tafsir al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fadilah 1987) h. 8.
[20]Al Qardhawi, Ijtihad Kontempore Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, alih bahasa oleh Abu Barzani (Surabaya: Risalah Gusti 1995) Cet. Ke 1h.7-12.
[21]Al Qardhawi, Ijtihad, h.15-24.
[22]Al Qardhawi, Ijtihad h.24-25.
[23]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997) cet ke-1, h.167-168.
[24]Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, Opcit, h 32-42.
[25]Al Qardhawi, Ijtihad, h.34.
[26]Qardhawi, Hukum Zakat, alih bahasa oleh Salman Harun dkk (Jakarta: Litera Antar Nusa 2006) Cet ke 9 h. 123-124.
[27]Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, h. 43.
[28]Qardhawi, Fikih Peradaban, Sunnah sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, alih bahasa oleh Faizah Firdaus.(Surabaya:Dunia Ilmu, 1997) cet I h. 56.
[29]Qardhawi, Hukum Zakat h.376-379.
[30]Qardhawi, Hukum Zakat, h.376.
[31]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1988/1408) cet ke 10.
[32]Qardhawi, h. 377.
[33]Qardhawi, Ijtihad Kontemporer. h. 53-54.
[34]Qardhawi, h. 63.
[35]Qardhawi, h. 71.
[36]Qaradhawi,h. 81.
[37]Qaradhawi, h. 87.

[39]Qaradhawi h. 89.
[40]Qaradhawi h. 131-142.
[41] Idris, Menggugat Istinbath , h. 39-40
[42] Idris, Menggugat Istinbath, h.44-45
[43] Idris, Menggugat Istinbath, h.45-46
[44] Idris, Menggugat Istinbath, h.56-57
[45] Idris, Menggugat Istinbath, h.62
[46] Idris, Menggugat Istinbath, h.63-65
[47] Idris, Menggugat Istinbath, h.74-77
[48] Idris, Menggugat Istinbath, h.84-85
[49] Idris, Menggugat Istinbath, h.89-90