Sunday 15 September 2013

HUKUM PERJANJIAN SYARI'AH



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya[1].
Pengertian Hukum Perjanjian Syariah adalah merupakan suatu perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.
Bentuk ijtihad kontemporer dari para ulama kini telah terbentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Inilah yang memungkinkan Hukum Perjanjian Syariah dapat mengikuti perkembangan zamannya. Dengan menggunakan hasil ijtihad, para ulama kontemporer yang sangat mengerti mengenai teknis transaksi bisnis yang berlaku di zaman modern sekarang ini, namun Hukum Perjanjian Syariah tetap dapat dijalankan sesuai dengan kaidah aslinya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Pengertian dari Hukum Perjanjian Syariah?
2.      Apakah Sumber dan Dalil Hukum Perjanjian Syari’ah?
3.      Apakah Kedudukan Hukum Perjanjian Syari’ah Dalam Tata Hukum Indonesia?
4.      Apakah Perbedaan Hukum Perjanjian Syari’ah dan Hukum Perjanjian Konvensional?
5.      Apa saja Macam – macam perjanjanjian Syari’ah dan Perjanjian Konvensional?
  1. Apakah Syarat-syarat Untuk Sahnya Perjanjian?

  1. Tujuan Masalah
Dari permasalahn tersebut makalah ini memiliki tujuan:
1.      Untuk mengetahui Pengertian dari Hukum Perjanjian Syariah?
2.      Untuk mengetahui Sumber dan Dalil Hukum Perjanjian Syari’ah?
3.      Untuk mengetahui Kedudukan Hukum Perjanjian Syari’ah Dalam Tata Hukum Indonesia?
4.      Untuk mengetahui Perbedaan Hukum Perjanjian Syari’ah dan Hukum Perjanjian Konvensional?
5.      Untuk mengetahui Macam – macam perjanjanjian Syari’ah dan Perjanjian Konvensional?
  1. Untuk mengetahui Syarat-syarat Untuk Sahnya Perjanjian?



















BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Hukum Perjanjian Syariah
Merupakan suatu perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.
Dalam fiqh muamalah, pengertian kontrak pejanjian masuk dalam bab pembahasan tentang akad. Pengertian akad (al-‘aqd) secara bahasa dapat diartikan sebagai perikatan atau perjanjian.
Jadi, yang dimaksud dengan Hukum kontrak syariah adalah hokum yang mengatur perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.

B.       Sumber dan Dalil Hukum Perjanjian Syari’ah
Dalam hukum islam, yang menjadikan sumber hukum pada zaman dahulu sampai sekarang hanyalah al-quran dan sunnah.  Dasar hukum keduanya sebagai sebagai sumber syara’ tanpa ada yang terlibat, sedangkan yang lain tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum kecuali sebatas dalil-dalil syara’ saja itupun dengan ketentuan selama adanya dalalah-nya dan merujuk pada nash-nash yang terdapat pada kedua sumber hukum yaitu al-quran dan sunnah.[2]
  1. Al-Qur’an
Allah berfirman dalam surat al-baqarah ayat 282 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم        
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[3]
  1. Hadits
HR Abu Dawud dan Hakim
“Allah SWT telah berfirman (dalam Hadits Qudsi-Nya), ‘Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantaranya tidak berkhianat terhadap temannya. Apabila salah seorang diantara kedua berkhianat, maka aku keluar dari perserikatan keduanya.’56
  1. Ijtihad
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan akal atau ar-ra’yu. Posisi akal dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Penggunaan akal untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kedudukan ijtihad dalam bidang muamalat memiliki peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan, bahwa sebagian besar ketentuan-ketentuan muamalat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis bersifat umum. Ijtihad dalam masalah Hukum Perjanjian Syariah dilakukan oleh para Imam Mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Bentuk ijtihad kontemporer dari para ulama kini telah terbentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Inilah yang memungkinkan Hukum Perjanjian Syariah dapat mengikuti perkembangan zamannya. Dengan menggunakan hasil ijtihad, para ulama kontemporer yang sangat mengerti mengenai teknis transaksi bisnis yang berlaku di zaman modern sekarang ini, namun Hukum Perjanjian Syariah tetap dapat dijalankan sesuai dengan kaidah aslinya. [4]
  1. Peraturan Perundangan
Mengenai hukum kontrak (perjanjian) yang bersumber dari undang-undang dijelaskan :
a.       Persetujuan para pihak kontrak (perjanjian)
b.      UU karena suatu perbuatan, selanjutnya yang lahir dari UU karena suatu perubahan dapat dibagi:
1.      Yang dibolehkan (zaakwaarnaming),
2.      Yang berlawanan dengan hukum misalnya seorang karyawan yang membocorkan rahasia perusahan meskipun dalam kontrak kerja tidak disebutkan perusahaan dapat saja menutut karyawan tersebut karena perbuatan itu oleh UU termasuk perbuatan yang melawan hukum (onreehtsmatige daad) untuk hal ini dapat dilihat pasal 1365 KUHPerdata.[5]
Dalam KUHPerdata di BAB ke II tentang perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian dalam ketentuan umum dinyatakan :
1)      Pasal 1313
suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
2)      Pasal 1314
suatu perjanjian dibuat dengan Cuma-Cuma atau atas beban. Suatu perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa meneriama satu manfaat bagi dirinya sendiri. Sedangakan berjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan suatu, berbuat sesuatu atas tidak berbuat sesuatu.
3)      Pasal 1315
pada umumnya tak seorang dapat mengikat diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk diri sendiri.[6]

C.       Kedudukan Hukum Perjanjian Syari’ah Dalam Tata Hukum Indonesia
Sunarjati Hartono mengisyaratkan bahwa fase-fase perkembangan penerapan hukum di Indonesia terjadi dalam 4 fase.
1.      Fase sistem hukum adat
Hingga abad ke-14, masyarakat kepulauan Nusantara hidup dalam suasana hukum adat mereka yang asli. Di Minangkabau, misalnya berlaku hukum adat Minangkabau, di Sulawesi berlaku hukum adat Sulawesi, begitu pula tempat-tempat lain berlaku hukum adat masing-masing.

2.      Fase pengaruh agama Islam
 Sebelum kekuasaan kolonial Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, Hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat baik dalam masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam pada zaman dahulu pun memakai hukum Islam. Menurut Ismail Sunni, hal ini dikarenakan sebagian besar bangsa Indonesia menganut agama Islam, maka kerajaan-kerajaan Islam Nusantara menggunakan hukum Islam sebagai hukum satu-satunya.
3.      Fase kolonial
Setelah kekuasaan VOC diambil alih dan diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda (tahun 1799), secara berangsur-angsur pemerintah kolonial ini menyingkirkan hukum Islam sebagai bagian dari upaya peneguhan kekuasaannya untuk menjajah Indonesia. Teori reseptie in complexu diganti dengan teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam hanya berlaku apabila telah diresepsi oleh dan keluar dalam bentuk hukum adat.
4.      Fase Indonesia Merdeka
 Kondisi berubah bagi hukum Islam dan peluang juridis-konstitusional bagi pemberlakunya semakin terbuka. Lahirnya lembaga keuangan dan bisnis syariah, khususnya bank syariah menjadikannya sebagai pijakan dasar. Beberapa bentuk akad telah diformalkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Pada aspek ini, keberlakuan hukum Islam khususnya di bidang perjanjian merupakan suatu kebutuhan dan tuntutan realitas nyata untuk memberikan dasar pijak bagi penyelenggaraan bisnis dan ekonomi syariah yang telah menjadi kenyataan di negeri ini.
Akhirnya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa kedudukan Hukum Islam (termasuk di dalamnya Hukum Perjanjian Islam) setelah Indonesia merdeka sudah lebih kokoh, tanpa dikaitkan dengan Hukum Adat. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan Hukum Nasional yang berprinsip sebagai berikut :
a)      Hukum Islam yang disebut dan direntukan oleh peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui Hukum Adat.
b)      Republik Indonesia wajib mengatur sesuatu masalah sesuai dengan Hukum Islam sepanjang hukum itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
c)      Kedudukan Hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia sama dan sederajat dengan Hukum Adat dan Hukum Barat.
d)     Hukum Islam juga menjadi sumber pembentukan Hukum Adat, Hukum Barat, dan hukum lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia.[7]
D.       Perbedaan Hukum Perjanjian Syari’ah dan Hukum Perjanjian Konvensional
Perjanjian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-’aqd yang berarti perikatan,  permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan : ”Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan
Sementara dalam pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal”.[8]
Dengan demikian, setelah adanya perjanjian yang menimbulkan perikatan maka timbulah yang dinamakan kontrak atau oleh Hasanuddin Rahmad disebut perjanjian tertulis sebagai media atau bukti kedua belah pihak
Perbedaan pokok antara Hukum Perjanjian Islam dengan Hukum Perjanjian  Barat (konvensional)


Perbedaan
Perjanjian Islam
Perjanjian Barat (Konvensional)
Landasan Filosofis
Religius Transedental (ada nilai agama, berasal dari ketentuan Allah)
Sekuler(tidak ada nilai agama)
Sifat
Individual Proposional
Individual / Liberal
Ruang lingkup
(Substansi)
Hubungan bidimensional manusia dengan Allah (vertikal), manusia dengan manusia, benda, dan lingkungan (horizontal)
Hanya hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda (horizontal)
Proses Terbentuknya
Adanya pengertian al-ahdu (perjanjian)-persetujuan-al-akhdu (perikatan)
(QS.Ali Imron : 76,QS Al-Maidah:1).
Adanya pengertian perjanjian (overeenkomst) dan perikatan (verbintebsis) (1313 dan 1233 BW)
Sahnya Perikatan
1.      Halal
2.      Sepakat
3.      Cakap
4.      Tanpa Paksaan
5.      Ijab & Qabul
1.      Sepakat
2.      Cakap
3.      Hal tertentu
4.      Halal (1320 BW)
Sumber
1.      Sikap tindak yang didasarkan Syariat
2.      Persetujuan yang tidak melanggar Syariah
1.      Persetujuan
2.      Undang-undang (1233 BW)

E.        Macam – macam perjanjanjian Syari’ah dan Perjanjian Konvensional
1.      Perjanjian Syari’ah
Perjanjian dalam Syari’ah kebanyakan mengenai perjajanjian muamalat, diantaranya :
a.       Al-Wakalah
b.      Ash shulhu
c.       Perjanjian Jual Beli
d.      Perjanjian Sewa Menyewa (Al-Ijarah)
e.       Bagi Hasil
f.       Penitipan Barang (Wadi’ah)
g.      Serikat/Perseroan (Syirkah)
h.      Pemberian (Hibah)
i.        Pinjam Pakai (Al-Ariyah)
j.        Perjanjian Pinjam Pakai habis (Pinjam Meminjam)
k.      Gadai (Rahn)
l.        Penanggungan Hutang (Kafalah)
m.    Perjanjian Perdamaian (As Shulhu), dan masih banyak lagi.[9]

2.      Perjanjian Konvensional
Berikut adalah beberapa perjanjian yang biasa dijumpai dalam perjanjian konvensional :
a.       Perjanjian Timbal Balik
b.      Perjanjian Cuma-Cuma (Pasal 1314 KUHPerdata)
c.       Perjanjian Atas Beban
d.      Perjanjian Bernama (Benoemd)
e.       Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst)
f.       Perjanjian Obligator
g.      Perjanjian Kebendaan (Zekelijk)
h.      Perjanjian Konsensual
i.        Perjanjian Rill
j.        Perjanjian Liberatoir
k.      Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst)
l.        Perjanjian Untung-untungan
m.    Perjanjian Publik
n.      Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)[10]

F.        Syarat-syarat Untuk Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 :
“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 syarat :
1.      Sepakat mereka yangmengikatkan dirinya
2.      Cakap untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal[11]

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan dari isi makalah diatas adalah bagaimana cara kita memahami dan mengetahui sumber dan dalil tentana hukum perjanjian syari’ah. Dewasa ini sudah semakin banyak orang-orang yang mengetahui tentang perjanjian syari’ah, tetapi kebanyakan dari mereka (orang awam) belum mengetahui tentang perbedaan perjanjian syari’ah dengan perjanjian biasanya (konvensional), orang-orang kebanyakan berpikir bahwa perjanjian syari’ah disi sama halnya dengan perjanjian konvensional yang sudah ada sejak dulu. Sebenarnaya perjanjian syari’ah dan hukum dari perjanjian tersebut sudah ada sejak zaman dahulu, hal itu dapat ditinjau dari sejarah yang telah dipaparkan di atas, sejak masyarakat adat hingga saat ini hukum perjanjian syari’ah telah ada. Bahkan di dalam Al-Qur’an, al-Hadits dan Ijtihad dari beberapa Ulama telah mengemukakannya. Dan saat ini hukum perjanjian syar’iah telah banyak di aplikasikan oleh masyarakat Indonesia sendiri dan dunia.

DARTAR PUSTAKA

Burhanuddin. 2009. Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta.

Darus Badrulzaman Mariam. 2001. Kompilasi Hukum Perikata. Jakarta : PT. Citra aditya Bakti

Dewi , Gemala. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Pasaribu, Chairuman. 1993. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Medan : Sinar Grafika S,

Saliman, Abdul Rasyid. 2005. Hukum Bisnis untuk Perusahan teori dan contoh. Jakarta :    Kencana Prenada Media Group
Suharnoko. 2007. Hukum Perjanjian. Jakarta: Kencana Prenada Media Group


[1] Suharnoko, Hukum Perjanjian, ( Jakarta: Kencana, 2007)
[2] Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2009), 4
[3] Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah,12-13.
[4] Gemala Dewi,Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005), 42-44
[5] Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan teori dan cotoh kasus, (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2005), 5.
[6] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT Pradnya Paramita), 338
[7] Gemala Dewi,Hukum,11-18.
[8] Salim HS, SH., Hukum Kontrak, (Jakarta, Sinar Grafika, 2003), 27
8Chairuman Pasaribuan, Suhrawardi K.Lubis , Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta, sinar Grafika, 1993) hlm, 19-148
[10] Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta, PT. Citra aditya Bakti, 2001) hlm 66-69
[11] Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta, PT. Citra aditya Bakti, 2001) hlm 73