Monday 3 June 2013

BENTUK BENTUK AKAD PERJANJIAN SYARI'AH



BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk sosial, tidak dapat bertahan apabila tidak ada bantuan dari orang lain. Maka dari itulah setiap manusia harus saling membantu atau bahu-membahu terutama di sini dengan jalan mengadakan perjanjian atau kontrak terhadap pihak yang bersangkutan. Akibat dari hal demikian maka timbullah perikatan yang mana ada kewajiban yang harus dipenuhi dan hal yang harus dituntut.
Dalam islam, istilah ini sering disebut akad, mencakup perikatan maupun perjanjian. Islam juga mewajibkan orang yang terlibat dalam akad untuk memenuhi kewajiban terhadap orang lain. Misalnya saja dalam hutang, apabila orang yang berhutang tersebut meninggal dunia sedangkan ia belum membayar lunas, maka harus ditanggung oleh ahli waris. Dari gambaran tersebut betapa tegasnya Islam dalam perikatan atau akad. Kemudian apakah perikatan dalam Islam dengan akad pada umumnya selalu sama akan dijelaskan di sini. Semoga makalah ini akan membantu dalam memahami perikatan dalam Islam meskipun penjelasan di sini hanya bersifat mendasar dan pengantar saja.
Dilihat dari berbagai literatur, akad terdiri dari beraneka bentuk. Para ahli fiqih mengelompokkannya berbeda-beda sesuai dengan pemikiran mereka masing-masing. Untuk memberi kemudahan dalam memahami bentuk-bentuk akad, dalam makalah ini penulis akan membagi bentuk akad berdasarkan kegiatan usaha yang sering dilakukan saat ini dalam tiga bentuk, yaitu: Percampuran, pertukaran dan derivasinya.
B.                 Rumusan Masalah
1)      Apakah yang di maksud bentuk akad perjanjian syariah percampuran?
2)      Apakah yang di maksud bentuk akad perjanjian syariah pertukaran?

C.                Tujuan Pembahasan
1)      Untuk menjelaskan bentuk akad perjanjian syariah percampuran
2)      Untuk menjelaskan bentuk akad perjanjian syariah pertukaran
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERCAMPURAN
Kerjasama atau As-syirkah secara etimologi berarti percampuran[1], yaitu percampuan antara sesuatu dengan selainnya, sehingga sulit dibedakan. Sedangkan secara terminology yaitu ikatan kerjasama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.
Dasar hokum dari syirkah ini yaitu bukan hanya dari al-qur’an saja tapi  melainkan dari hadis Rasulullah dan juga ijma’ para ulama’
1) Al-Quran
QS. Shaad (38) : 24
tA$s% ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ߊ¼ãr#yŠ $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çm­/u §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ  
Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
 QS. an-Nisa (4) : 12
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2  Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4  Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ós9ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïyŠ 3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u ß^uqム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h!$ŸÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ  
 Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

2) Hadits Rasulullah
Imam ad-Daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW yang bersabda : Allah SWT berfirman : “Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada perseroannya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi).
HR. Abu Daud : “Umat islam bersekutu dalam tiga hal : air, padang rumput, dan api…”

Syirkah memiliki syarat-syarat dalam pelaksanaannya dan diantara syarat  umum syirkah, yakni :
1)      Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. artinya, salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap objek perserikatan itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang bersangkutan.
2)      Persentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
3)      Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba perserikatan, bukan dari hasil harta lain.
Kemudian , Ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya akad syirkah. hal-hal yang menyebabkan berakhirnya akad perserikatan secara umum adalah sama dengan berakhirnya akad pada umumnya. jika dilihat dari bentuk perserikatan secara khusus, ada beberapa hal berakhirnya akad, yakni :
1)      Pada syirkah Amwal, akad dinyatakan batal bila semua atau sebagian modal perserikatan hilang, karena objek perserikatan ini adalah harta.
2)      Pada syirkah Mufawadhah, perserikatan dinyatakan batal bila modal masing-masing pihak tidak sama kuantitasnya, karena Mufawadhah berarti persamaan, baik dalam modal, kerja, maupun keuntungan yang dibagi.
Syirkah menurut ulama’ juga memilik jenis-jenis sendiri yang berbeda dengan antar satu dan lainnya. Syirkah secara umum terbagi dalam tiga bentuk, yaitu syirkah ibahah, syirkah amlak, dan syirkah uqud.
1.      Syirkah ibahah
Yaitu persekutuan hak semua orang untuk di bolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaaan seseorang.
2.      Syirkah amlak
Yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda. Syirkah amlak ini terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Syirkah amlak jabriyah, syirkah ini terjadi tanpa keinginan para pihak yang bersangkutan, misalnya persekutuan ahli waris.
2.      Syirkah amlak ikhtiyariyah, syirkah ini lawan dari syirkah amlak jabriyah, yaitu terjadi atas keinnginan pihak yang bersangkutan, misalnya persekutuan dagang.
3.      Syirkah akad
yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian. Syirkah ini terbagi menjadi 4, yaitu :
1.      Syirkah Amwal,
yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta. Syirkah bentuk ini ada dua macam.
a.       Syirkah al-Inan, adalah persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memasukkan bagian tertentu dari modal yang akan diperdagangkan dengan ketentuan keuntungan dibagi antara para anggota sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan modal masing-masing tidak harus sama.
b.      Syirkah al-Mufawadhah adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal dan keuntungannya dengan syarat besar modal masing-masing yang disertakan harus sama, hak melakukan tindakan hukum terhadap harta syirkah harus sama, dan setiap anggotanya adalah penanggung dan wakil dari anggota lainnya.
2.      Syirkah Ámal/Ábdan
adalah perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi diantara para anggotanya sesuai dengan kesepakatan mereka.
3.      Syirkah Wujuh
adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar untuk mengelola modal bersama tersebut dengan membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
4.      Syirkah Mudharabah (Qiradh)
yaitu berupa kemitraan terbatas yakni perseroan antara tenaga dan harta. Seseorang (pihak pertama/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan keuntungan bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. bila terjadi kerugian, maka dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola yang bekerja[2].

B.     PERTUKARAN
kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dll
Dalam akad-akad di atas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya (baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri-sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan resiko bersama. Juga tidak ada percampuran aset si A dengan aset si B. Yang ada misalnya adalah si A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya B menyerahkan uang kepada A. Di sini barang ditukarkan dengan uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli (al-bai’).
Akad pertukaran terbagi dua, yaitu : pertukaran terhadap barang yang sejenis dan barang yang tidak sejenis.[3]
a.       Pertukaran barang yang sejenis, yaitu object  pertukaran ini barangnya sejenis. Oleh karena itu pertukaran ini di bagi lagi menjadi dua, yaitu :
ü  Pertukaran uang dengan uang atau sharf
Al-Sharf secara bahasa berarti al-Ziyadah (tambahan) dan al'adl (seimbang)[4]. Ash-Sharf kadang-kadang dipahami berasal dari kata Sharafa yang berarti membayar dengan penambahan[5]. Dalam kamus istilah fiqh disebutkan bahwa Ba'i Sharf adalah menjual mata uang dengan mata uang (emas dengan emas)[6]. Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Ulama fiqih mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjual belikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis. Pada masa kini, bentuk jual beli ini banyak dilakukan oleh bank-bank devisa atau money changer.
Dasar Hukum Al-Sharf
Fuqoha mengatakan bahwa kebolehan praktek al-Sharf didasarkan pada sejumlah hadis Nabi antara lain pendapat Jumhur yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi', dari Abu Sa'id al-Khudri ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عن ابي سعيد الخدري. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم: لاتبيعوا الذهب بالذهب إلامثلا بمثل، ولاتثفوابعضها على بعض، ولاتبيعوا الفضة بالفضة إلامثلا بمثل، ولاتثفوابعضها على بعض، ولا تبيعوا منها شيئا غا ئبابناجز. (مثفق علية)
Artinya: "Dari Abu Said al Khudzriy ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali dengan seimbang dan janganlah kamu memberikan sebagainya atas yang lain. Janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali dengan seimbang, dan janganlah kamu memberikan sebagainya atas yang lain. Janganlah kamu menjual dari padanya sesuatu yang tidak ada dengan sesuatu yang tunai (ada)". (H. Muttafaq Alaihi)[7].
Hadits diatas menunjukkan bahwa menjual emas dengan emas atau perak dengan perak itu tidak boleh kecuali sama dengan sama, tidak ada salah satunya melebih yang lain.
Dalam hadits Rasulullah SAW, yaitu:
وعن عبادة بن الصامث قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الذ هب بالذ هب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والثعيربالثعير، والتمربالتمر، والملح بالملح، مثلابمثلا، سواء بسواء، يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعواكيف سئتم اذا كان يذا بيد. (رواه مسلم)
Artinya: "Dari Ubadah bin Shamith ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan biji gandum, jagung centel dengan jagung centel, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama dengan sama, tunai dengan tunai, jika berbeda dari macam-macam ini semua maka juallah sekehendakmu apabila dengan tunai." (HR. Muslim)[8].
Hadits ini juga menerangkan enam macam jenis yang tidak boleh dijual kecuali dengan sama timbangannya dan tunai:
1.      Emas dijual dengan emas
2.      Perak dengan perak
3.      Gandum dengan gandum
4.      Jagung centel dengan jagung centel
5.      Kurma dengan kurma
6.      Garam dengan garam
Jika berlainan, misalnya emas dibeli dengan beras itu hukumannya boleh dengan syarat harus kontan.
Jumhur Fuqoha juga telah sepakat, bahwa emas atau perak yang sudah dicetak, juga masih lantakan atau sudah menjadi perhiasan, semuanya itu sama-sama dilarang menjualnya satu dengan yang lainnya memakai pelebihan. Kecuali mu’awiyah yang membolehkan pelebihan antara barang lantakan dengan barang yang sudah menjadi perhiasan, dengan alasan bertambahnya unsur kebiasaan[9].
Syarat-Syarat Al-Sharf
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad al-Sharf adalah:
1)      Masing-masing pihak saling menyerah terimakan barang sebelum keduanya berpisah. Syarat ini untuk menghindarkan terjadinya riba nasi'ah. Jika keduanya atau salah satunya tidak menyerahkan barang sampai keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi batal.
2)      Jika akad al-Sharf dilakukan atas barang sejenis maka harus setimbang, sekalipun keduanya berbeda kualitas atau model cetakannya.
3)      Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad al-Sharf, karena akad ini sesungguhnya merupakan jual beli dua benda secara tunai. Sedang khiyar syarat mengindikasikan jual beli secara tidak tunai[10].
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih sunnah, bahwa apabila berlangsung jual beli emas dengan emas atau gandum dengan gandum, ada dua syarat yang harus dipenuhi agar jual beli hukumnya sah, yaitu:
1)      Persamaan dalam kwantitas tanpa memperhatikan baik dan jelek, berdiri kepada hadits diatas dan yang diriwayatkan oleh muslim bahwa seorang mendatangi Rasulullah, dengan membawa sedikit kurma Rasullulah lalu mengatakan padanya:
ماهذا من تمرنا افقال الرجل: يارسول الله بعنا تمرناصاعين بصاع. فقال صلى الله عليه وسلم: ذلك الرباردوه ثم بيعو اتمرناثم اشتروالنا من هذا.
Artinya: "Ini bukanlah kurma kita." Orang tersebut berkata lagi: "Wahai Rasulullah, kami jual kurma kami sebanyak dua sha' dengan satu sha'." Rasulullah lantas bersabda lagi: "Yang demikian itu riba. Kembalikanlah, kemudian juallah kurma kita dengan setelah itu belilah untuk kita dari jenis ini".
2)      Tidak boleh menangguhkan salah satu barang, bahkan pertukaran harus dilaksanakan secepat mungkin[11].
Adapun menurut para ulama, syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli mata uang adalah sebagai berikut:
1)      Pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
2)      Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa.
3)      Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang dari B haru ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang.
4)      Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
5)      Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak kepemilikan (bai al-alfudhuli)[12].
ü  Pertukaran barang dengan barang atau barter
Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang.[13] Namun dalam pelaksanaannya bila tidak memperhatikan ketentuan syariat dapat menjadi barter yang mengandung unsur riba, umpamanya kita saling menukar beras, tapi takarannya berbeda.
b.      Pertukaran barang yang tidak sejenis.
ü  Pertukaran uang dengan barang, misalnya jual beli
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al ba’i yang berarti tukar menukar barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang dibenarkan[14].
Jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah.)
Para Ulama membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk yaitu: jual beli shahih, jual beli batal, dan jual beli fasid. Adapun jual beli dalam bentuk khusus dibagi menjadi dua yaitu, murabahah (jual beli diatas harga pokok) dan as salam (jual beli dengan pembayaran dimuka).
ü  Pertukaran barang dengan uang, misalnya sewa.
Ijarah menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Menurut Ulama Syafii adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju.




C.    PEMBERIAN KEPERCAYAAN
a.      Wadi’ah (Titipan)
Ø  Pengertian
Lafadz Wadi’ah berasal dari wazan Wada’a yang berarti “ketika seseorang telah meninggal “ , jadi menurut bahasa Wadi’ah ialah sesuatu yang yang ditinggalkan di tempat bukan orang lain untuk dijaga. Sedangkan menurut istilah ialah suatu aqad yang bertujuan untuk menjaga. Wadi’ah merupakan suatu amanah yang ada dalam kekuasaan wadii’ (orang yang dititipi).[15]
Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 1 angka 4 peraturan Bank Indonesia nomor 7/46/PBI/2005 bahwa yang dimaksud dengan wadiah ialah : “ penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang pada penyimpan dana atau barang denga kewajiban pihak yang menerima titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu.”[16]
Ø  Dasar hokum wadiah
Al-Qur’an
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr&
            “ sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya … “ (An-Nissa’: 58)
As-sunnah
{عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَدَّ الأَمَانَةَ اِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ}
Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah menghianatimu.”

Ø  Ketentuan Wadi’ah
Rukun wadiah yaitu : 
1.      Orang yang menitipkan ( muwaddi’)
2.      Orang  yang di titipi ( wadii’ )
3.      Barang yang disimpan ( wadi’ah )
4.      Ijab Qabul ( shighoh )
Wadi’ah itu wajib dijaga oleh wadii’ (orang yang dititipi ) secara sepantasnya, karena wadi’ah merupakan amanah. Wadii’ tidak wajib menanggung atas wadi’ah apabila wadii’ telah menjaga wadi’ah secara semestinya dan terjadi kerusakan atau kehilangan bukan karena kelalaiannya, tapi apabila wadii’ lalai, seperti si wadii’ menitipkan wadi’ah kepada orang lain tanpa izin pemiliknya dan tidak ada udzur karenanya, kemudian wadi’ah tersebut rusak dan hilang, maka wadii’ harus menanggungnya.

b.      Rahn (Barang Jaminan)
Ø  Pengertian
Secara etimologi, rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad rahn dalam istilah hukum positif disebut barang jaminan atau agunan. ada beberapa definisi rahn yang dikemukakan oleh ulama fiqh.
Ulama Maliki mendifinisikannya dengan harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Ulama Hanafi mendefinisikannya dengan menjadikan sesuatu (barang) sebagai hak pembayar (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan Uama Syafi’ie dan Ulama Hambali mendefinisikannya dengan menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak dapat membayar utangnya tersebut[17].



Ø  Dasar Hukum
Al-Quran
al-Baqarah (2) : 283
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
Hadits
Dari ‘Aisyah r.a menjelaskan bahwa : Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan Beliau menggadaikan kepadanya baju besi Beliau (HR. Bukhari)
 Ijtihad
Para ulama sepakat bahwa rahn boleh dilakukan dalam perjalanan atau tidak, asalkan barang jaminan itu bisa langsung dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang. misalnya apabila barang jaminan tersebut berbentuk tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah. Rahn dibolehkan karena banyak kemaslahatan yang terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
Ø  Ketentuan
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad rahn mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, utang terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila didalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib mengembalikan kepada pemiliknya.
Jumhur ulama fiqh selain ulama Hambali berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan barang miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan hanya sebagai jaminan piutang, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, ia boleh menjual atau menghargai barang itu utuk melunasi utangnya. Alasan jumhur ulama adalah sabda Rasulullah yang berbunyi : “barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil (dari barang jaminan) dan risiko (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggung jawabnya.” (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah)[18]
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan itu selama berada ditangannya, maka sebagian ulama Hanafi membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi sebagian ulama Hanafi lainnya, ulama Maliki, ulama Syafi’ie berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syari’at sekalipun diizinkan pemilik barang.
c.       Wakalah (perwakilan)
Ø  Pengertian
Wakalah adalah pemberian kewenangan atau kekuasaan kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.
Ø  Dasar Hukum
Al-Quran
QS. Al-Kahfi (18) : 19
y7Ï9ºxŸ2ur óOßg»oY÷Wyèt/ (#qä9uä!$|¡tGuŠÏ9 öNæhuZ÷t/ 4 tA$s% ×@ͬ!$s% öNåk÷]ÏiB öNŸ2 óOçFø[Î6s9 ( (#qä9$s% $uZø[Î7s9 $·Böqtƒ ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqtƒ 4 (#qä9$s% öNä3š/u ÞOn=ôãr& $yJÎ/ óOçFø[Î6s9 (#þqèWyèö/$$sù Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd n<Î) ÏpoYƒÏyJø9$# öÝàZuŠù=sù !$pkšr& 4x.ør& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uŠù=sù 5-ø̍Î/ çm÷YÏiB ô#©Ün=tGuŠø9ur Ÿwur ¨btÏèô±ç öNà6Î/ #´ymr& ÇÊÒÈ 
Hadits
Dalam kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad SAW pernah mewakilkan kepada para sahabat untuk berbagai urusan. Diantaranya untuk membayarkan utangnya, menetapkan hukuman-hukuman dan melaksanakannya, dan lain-lain.
Ijtihad
Para ulama telah sepakat atas dibolehkannya wakalah karena kebutuhan umat terhadapnya. Wakalah termasuk jenis ta’awwun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. (QS. Al-Maidah (5) : 2
Ø  Ketentuan
Wakalah boleh dilakukan dengan menerima bayaran atau tanpa bayaran. Nabi Muhammad memberikan komisi kepada para petugas penarik zakat. Dari Bisr Ibnu Said dari Ibnu as-Sa’idi berkata “Umar ra pernah mempekerjakan aku untuk menarik zakat (shadaqah). Setelah pekerjaanku selesai, Umar memberikanku upah, maka saya protes : “saya bekerja ini hanya untuk Allah”, Umar menjawab, “ambil saja apa yang diberikan kepadamu. Sungguh aku pernah dipekerjakan oleh Rasulullah SAW dan beliau memberiku upah”.
 Imam Abu Daud juga meriwayatkan tentang sahabat yang menerima upah, pemberian dari kepala kampung yang telah disembuhkannya dari sengatan binatang (kalajengking) melalui bacaan surat al-Fatihah. Jika diperhatikan, dua kasus diatas adalah termasuk amal tabarru’ (suka rela dan sosial) tetapi dalam kasus ini diperkenankan menerima upah seiring dengan perkembangan zaman, aktifitas yang terkait dengan jasa seperti mengajar, pengobatan, dan lain-lain dinilai sebuah pekerjaan yang dapat menghasilkan uang atau imbalan.

d.      Kafalah (tanggungan)
Ø  Pengertian
Kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang kedalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum. Dengan kata lain menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, utang, atau barang. Meskipun demikian, penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin.
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’ie dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang penjamin ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan atau pembayaran utang, dan dengan demikian kedua-duanya dipandang berutang. Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah dan agar yang berutang tidak dirugikan karena ketidak mampuan yang berutang.
Ø  Dasar Hukum
Al-Quran
QS. Yusuf (12) : 66
tA$s% ô`s9 ¼ã&s#Åöé& öNà6yètB 4Ó®Lym Èbqè?÷sè? $Z)ÏOöqtB šÆÏiB «!$# ÓÍ_¨Yè?ù'tFs9 ÿ¾ÏmÎ/ HwÎ) br& xÞ$ptä öNä3Î/ ( !$£Jn=sù çnöqs?#uä óOßgs)ÏOöqtB tA$s% ª!$# 4n?tã $tB ãAqà)tR ×@Ï.ur ÇÏÏÈ  

Hadits
HR. Abu Daud: Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar. HR. Abu Daud, at-Tarmizi dishahihkan Ibnu Hibban … bahwa penjamin adalah orang yang berkewajiban membayar.
Ijtihad
Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah dan agar yang berutang tidak dirugikan karena ketidakmampuan yang berutang.
Ø  Ketentuan
Secara umum, kafalah dibagi menjadi dua bagian, yakni :
a)      Kafalah dengan jiwa
Kafalah dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-kafil, al-dhmin, atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makful lah)
Penjamin yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan, karena menyangkut badan bukan harta. Penangungan tentang hak Allah, seperti had al-khamr dan had menuduh zina adalah tidak sah, sebab Nabi Muhammad SAW telah bersabda : “tidak ada kafalah dalam had” (Riwayat al-Baihaqi).
b)      Kafalah dengan harta
Kafalah harta merupakan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayararan atau (pemenuhan) berupa harta.

e.       Hiwalah (Pengalihan Hutang)
Ø  Pengertian
Menurut bahasa , yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. [19]
Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :
نَقْلُ الْمُطَا لَبَةِ مِنْ ذِ مّةِ الْمَدْ يُوْ نِ إِ لَى ذِ مّةِ الْمُلْتَزَمِ                                                                          
Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.[20]
Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak yang terlibat, muhil atau madin, pihak yang memberi utang (muhal atau dain), dan pihak yang menerima pemindahan (muhal alaih). Dipasar keuangan profesional praktik hiwalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (factoring).
Namun kebanyakan ulama’ tidak memperbolehkan mengambil manfaat atas pemindahan utang atau piutang tersebut.
Ø  Dasar Hukum
Hiwalah dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh mayoritas jumhur ulama dengan lafal yang berbeda. “Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan dzalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih.” Disamping itu terdapat kesepakatan ulama yang menyatakan, bahwa tindakan hiwalah boleh dilakukan.
Ø  Ketentuan
a.       Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al muhal bih) yaitu sebagai berikut, Sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang pasti. Jika yang dialihkan belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan utang yang timbul akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar maka hiwalah tidak sah.
b.      Apabila pengalihan utang dalam bentuk hiwalah mukayyadah semua ulama fiqih sepakat, bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama, meskilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika terdapat perbedaan jumlah atau kualitas, maka hiwalah tidak sah. Namun, jika pengalihan itu dalam bentuk hiwalah muthlaqah, maka kedua utang itu tidak mesti sama.
c.       Ulama dari mazhab Syafi’i menambahkan, bahwa kedua utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terdapat perbedaan, maka hiwalah tidak sah.

f.       Al-Ariyah (Pinjam-Meminjam)
Ø  Pengertian
Menurut terminologi fiqih, ada dua definisi dari al ariyah. Pertama, Ulama Maliki dan Hanafi mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi. Kedua, Ulama Syafi’i dan Hambali mendefinisikannya dengan kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua definisi ini membawa dampak hukum yang berbeda. Definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan kembali barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga. Sedangkan definisi kedua tidak membolehkan.
Ø  Dasar Hukum
Al Qur’an
QS. Al Maidah (5): 2
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  

 Hadist
HR. Bukhari Muslim: Dari Safwan ibnu Umayyah: Rasulullah SAW meminjam kuda Abi Talhah dan mengendarainya.
HR. Abu daud dan at Tirmidzi: Ariah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.

Ø  Ketentuan
Para Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal akad. Apakah bersifat pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekedar kebolehan memanfaatkannya. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam memiliki akad yang ia pinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatannya untuk peminjam saja.
Sedangkan Ulama Syafi’i, Hambali, dan Abu Hasan Al Kharki, pakar fiqih Hanafi, berpendapat bahwa ariyah hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda, sehingga pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam. Namun seluruh Ulama fiqih sepakat, bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya kepada pihak lain.




BAB III
KESIMPULAN

A.    KESIMPULAN
Jadi, yang di maksud dengan bentuk-bentuk perjanjian syariah percampuran yaitu percampuan antara sesuatu dengan selainnya, sehingga sulit dibedakan. Sedangkan secara terminology yaitu ikatan kerjasama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Bentuk perjanjian ini lebih cenderung disebut dengan kerja sama atau asy-syirkah.
Dalam syirkah ini juga di bagi menjadi beberapa jenis, diantaranya yang paling pokok yaitu menjadi 4 jenis: Syirkah Ibahah, Syirkah amlak, dan Syirkah Akad
Kemudian, yang disebut dengan bentuk-bentuk perjanjian syariah pertukaran yaitu system pertukaran aset yang dimiliki antara kedua pihak, yang objectnya baik berupa barang maupun jasa harus ditetapkan di awal. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dll
Bentuk ini ada dua jenis, yaitu pertukaran sejenis yang dibagi lagi menjadi pertukaran uang dengan uang dan barang dengan barang, serta pertukaran barang yang tidak sejenis, baik uang dengan uang atau sebaliknya.
Selain bentuk perjanjian syariah percampuran dan pertukaran juga ada bentuk pemberian kepercayaan, yaitu berbentuk atas rasa amanat dan saling percaya antara pihak yang terlibat. Bentuk ini diantarnya yaitu : wadia’ah, rahn, wakalah, kafalah, hiwalah, dan ariyah.







[1] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 98.
[2] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 101
[3] Gemala dewi, Hukum perikatan islam di Indonesia, ( Jakarta: kencana, 2005 ), hlm 95
[4] Ghufron A Mas'adi, Fiqh Muamalah Konstekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 149.
[5] Murtadho Muthahari, Ar-Riba Wa At-Ta'min, Terj. Irwan Kurniawan "Asuransi dan Riba", Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, hlm. 219.
[6] M. Abdul Mujieb, et.al, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 34.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Abdurahman, Haris Abdullah” Bidayatul  Mujtahid”, Semarang: Asy-Syifa, 1990, hlm 145.
[8] Ibnu Hajr Al-Asqolani, Bulugh al-Maram, Terj. Muh Rifai, A. Qusyairi Misbah "Bulughul maram", Semarang: Wicaksana, 1989, hlm 479. 

[9] Ibnu Rusyd, op.cit, hlm. 146.
[10] Ghufron A. Mas'adi, op.cit., hlm. 150.
[11] Sayid Sabiq, al Fiqh al-Sunah XII, Terj. Kamaludin A. Marzuki, "Fiqh Sunnah", Bandung: Al Ma'arif, 1988, hlm. 123-124.
[12] Gemala Dewi, et.al, op.cit., hlm. 99.
[13] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 150
[14] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 154
[15] Drs.H.Imron Abu amar, Terjemahan Kitab Fathul Qarib Jilid 1, ( menara kudus, kudus,1982) hlm 330
[16] Rachmadi Usman, S.H., M.H., PRODUK DAN AKAD PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA IMPLEMENTASI DAN ASPEK HUKUM, ( Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009), hlm 148.
[17] Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 129
[19] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si , Fiqh Muamalah , hlm.99
[20] Ibid

No comments :